Bara mendapati Cheryl yang sedang menggigit bibir bawahnya, gigi kecilnya tampak menekan lembut bibir merah mudanya yang tampak segar dan sehat. Ia mengenali kebiasaan itu—bahasa tubuh khas Cheryl yang kerap muncul saat gadis itu merasa tersudut atau gelisah.Di depan gadis itu, piring makannya masih setengah penuh, tetapi tangannya sama sekali tidak tergerak untuk melanjutkan. Matanya menatap kosong pada potongan kecil makanan yang tersisa, seolah-olah benda itu adalah masalah besar yang tidak bisa dipecahkannya. Ruangan saat ini dipenuhi dengan suara tawa Baby yang tampak menikmati setiap suapan makan siangnya, berbanding terbalik dengan Cheryl. Kontras di antara keduanya begitu kentara, seperti langit cerah di atas badai yang mendung.Baby menyeka sudut bibirnya dengan tisu, matanya berbinar antusias di tengah ceritanya. “Ngeselin. Orang-orang selalu mengira aku berhasil masuk ke perusahaan itu karena nepotisme.”Ia melirik ke arah Bara, berharap mendapatkan dukungan dari pria itu
Bara melihat bagaimana wajah Cheryl segera memerah begitu ia menegurnya. Gadis itu tampak berusaha menyembunyikan emosinya dengan menyibukkan membereskan sisa makan siangnya. Sekilas tatapan mereka sempat beradu—hanya sesaat, sebelum Cheryl buru-buru mengalihkan pandangannya ke kotak makan di atas meja. Ada kekecewaan di sana. Tidak, lebih dari itu. Kekecewaan yang bercampur luka. Bara bisa merasakannya.Ketika Cheryl meraih kotak makan siang yang masih utuh, Bara buru-buru mengatakan, “Biar saja, yang itu jangan dibawa pulang. Nanti buat aku makan lagi.” Suaranya terdengar tenang, tapi tegas. Cheryl mendongak dan mata mereka kembali bertemu, tatapan gadis itu seolah mempertanyakan keputusannya itu. Bara pun mencoba meyakinkannya dengan mengangguk pelan.“Baik, Pak. Saya pamit, permisi.” Suara Cheryl nyaris berbisik, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk keluar dari bibirnya. Gadis itu sedikit menundukkan kepala, gerakan yang terlihat kaku namun tetap menunjukkan rasa hormat.“Hat
Bara menyandarkan kepalanya di kursi eksekutifnya, menatap kosong ke arah pintu. Suara Baby masih terngiang di telinganya—membandingkan Cheryl dengan ibu tirinya. Sesuatu yang selama ini terkubur dalam-dalam kembali mencuat, menghantamnya dengan kepahitan yang masih terasa nyata.Dulu, rumah besar itu selalu terasa hangat. Meski ibunya sering terbaring lemah di kamar, kehadirannya tetap nyata. Ada suara lembut yang menyapanya setiap pagi, ada tangan kurus yang membelai kepalanya sepulang sekolah, ada harum teh chamomile yang selalu tercium dari balik pintu kamar. Lalu, perempuan itu datang. Awalnya hanya sebagai koki pribadi keluarga mereka. Masakannya memang begitu lezat, membuat lidah siapa pun serasa dimanjakan. Bara pun pernah menyukainya, sampai suatu hari… ia melihat sesuatu yang mengubah segalanya.Tatapan ibunya itu… yang memandang ayahnya—di kala ayahnya sedang menatap kagum pada sang koki yang tengah menyajikan hasil olahannya di meja makan.Bukan sekadar kagum atau rasa t
Cheryl tersentak ketika pintu toilet terbuka, pantulan di cermin memperlihatkan sosok Baby yang melangkah masuk dengan anggun. Wanita itu mendekati wastafel tanpa tergesa, jemarinya yang dihiasi nail art berkilauan membuka salah satu keran di sisi Cheryl. Suara air mengalir memenuhi keheningan di antara mereka.“Aku bisa melihatnya jelas di matamu.” Baby berbicara pelan, nyaris berbisik, tapi nada suaranya menusuk. “Kamu menyukai Mas Bara, kan?”Mata mereka bertemu dalam pantulan cermin. Senyum sinis terukir di wajah Baby, bibirnya melengkung seolah menikmati momen ini. “Hakmu untuk menyukai laki-laki mana pun di dunia ini, tapi tolong tahu diri. Dia sudah ada yang punya. Hanya karena tunangannya sedang di luar negeri, jangan pikir kamu punya celah untuk masuk,” lanjutnya, suaranya mengalun lembut, tapi penuh ancaman terselubung.Cheryl terdiam. Ia masih mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan Baby. Bukan hanya karena tuduhan itu, tetapi karena ada sesuatu yang jauh lebih mengejut
"Permisi, Pak. Ini dokumennya. Maaf, sekadar mengingatkan, meetingnya sepuluh menit lagi di ruang rapat direksi—lantai tujuh belas."Nina meletakkan dokumen yang diminta sang CEO di atas meja dengan gerakan terukur. Sikapnya tetap profesional, meski ia tahu Bara jarang menanggapi lebih dari sekadar anggukan."Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya sopan.Bara menggeleng pelan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. "Terima kasih." Ucapannya singkat, lugas, dan dingin, seperti biasa.Nina mengangguk kecil. "Baik, Pak. Saya permisi."Saat berbalik, pandangannya jatuh pada lunch box yang masih tergeletak di meja. Isinya masih utuh. Tanpa berpikir lama, ia meraihnya, lalu memastikan meja tamu di ruangan itu tetap rapi, agar selalu siap jika ada klien atau tamu penting yang datang.Keluar dari ruangan CEO, Nina melangkah menuju meja sekretarisnya dan memencet interkom. "Tolong ke sini sebentar."Beberapa saat kemudian, seorang OB masuk.Nina menunjuk lunch box yang tergelet
Suasana di dalam lift terasa senyap. Cheryl berdiri di sudut, berusaha mengecilkan dirinya sendiri, sementara Bara berdiri tegap di tengah dengan ekspresi tak terbaca. Sekilas, bayangannya terpantul sempurna di dinding lift yang terbuat dari logam mengilap. Setelan jasnya tetap rapi, seolah tak ada satu helai pun yang berani berantakan.Di sampingnya, Nina dengan cekatan membacakan beberapa catatan dari tablet yang selalu ia bawa. “Pak Bara, tadi ada beberapa klien yang menghubungi saya terkait implementasi sistem keamanan terbaru Apex untuk transaksi lintas batas. Mereka ingin kepastian apakah enkripsi tambahan ini akan mempengaruhi kecepatan proses transaksi real-time.”Bara menggeser jasnya sedikit, merogoh ponselnya, lalu mengecek sesuatu dengan satu tangan. Ia tetap tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda tekanan, meskipun yang mereka bicarakan adalah proyek besar yang sedang menjadi perhatian industri teknologi finansial.“Saya sudah berbicara dengan tim pengembang backend pagi ta
Pintu lift VIP menutup perlahan, membawa Cheryl turun menuju lobi. Jantungnya masih berdebar tak menentu setelah momen canggung tadi—berdiri dalam diam bersama Bara, yang tak sekalipun menoleh ke arahnya. Rasanya seakan ia tak lebih dari bayangan samar yang bisa diabaikan begitu saja.Namun, sebelum ia sempat menarik napas lega, lift melambat dan berhenti di lantai sembilan.Pintu terbuka.Seorang wanita melangkah masuk dengan anggun. Wangi parfum mewah segera menyelimuti udara, berpadu dengan aura percaya diri yang nyaris menenggelamkan keberadaan Cheryl. Gaun eksekutifnya terpotong sempurna, mencerminkan kelas dan kekuatan. Sepatu hak tinggi wanita itu beradu pelan dengan lantai lift, memberi kesan otoritas tanpa perlu banyak kata. Sebuah ponsel terselip di tangannya, dan nada suaranya yang ringan tetapi tajam memecah kesunyian.“Bara memang keras kepala. Biasanya Milena yang bisa membujuknya, tapi sekarang Milena sedang tidak di sini.”Cheryl menunduk, berusaha menyamarkan ekspres
Cheryl melangkah keluar dari lift dengan kepala tegak, meski hatinya masih bergemuruh dengan emosi yang baru saja menyerbunya. Lobi gedung perkantoran elite itu dipenuhi oleh orang-orang berpakaian rapi, lalu lalang dengan langkah cepat, seakan dunia mereka begitu terencana dan terstruktur.Ketukan sepatunya menggema ringan di atas lantai marmer yang mengilap. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir kepahitan yang masih tersisa di dadanya. Tidak ada gunanya lagi memikirkan apa yang terjadi di dalam lift tadi. Ia harus melangkah maju.Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya."Cheryl?"Ia menoleh.Seorang pemuda berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih yang lengannya sedikit tergulung hingga siku, dipadukan dengan celana bahan gelap yang memberi kesan profesional tetapi tetap santai. Rambutnya yang sedikit berantakan memberi kontras dengan penampilannya yang rapi, seakan kebiasaannya di masa sekolah dulu masih melekat."Axel?" Cheryl sedikit terkejut.Lelaki muda d
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl