Ruang rapat utama di gedung Apex dipenuhi atmosfer serius. Cahaya putih dari lampu LED memantulkan kilau samar di permukaan meja kaca panjang yang menghadap jendela besar dengan pemandangan kota yang sibuk.Bara duduk di kursi eksekutif di ujung meja, sorot matanya tajam namun tenang, mencerminkan kendali penuh atas situasi. Di hadapannya, tiga perwakilan dari Prima Sentosa duduk dengan ekspresi serius. Richard, direktur utama perusahaan tersebut, membuka pembicaraan dengan nada percaya diri.“Kami ingin membangun kawasan terpadu yang mengintegrasikan hunian, bisnis, dan gaya hidup. Untuk itu, kami memerlukan sistem pembayaran digital yang dapat menyatukan seluruh transaksi dalam ekosistem kami. Apex memiliki teknologi dan infrastruktur yang kami butuhkan.”Bara tidak langsung menanggapi. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, membiarkan keheningan mengisi ruangan. Taktik sederhana, tetapi cukup untuk membuat lawannya mulai bertanya-tanya.Dengan gerakan santai, Bara meraih remote di me
Taksi melambat saat tiba di depan sebuah gerbang tinggi. Cheryl segera menelepon petugas keamanan, “Tolong buka gerbangnya.” Hanya butuh beberapa detik sebelum gerbang besi hitam itu terbuka secara otomatis, suara mekanisnya bergema pelan di antara azan magrib yang mulai menggema dari toa masjid di kejauhan.Jalan masuk menuju rumah Bara yang semegah istana itu cukup panjang, membentang lurus dengan lampu-lampu kecil tertanam rapi di sepanjang tepian, menerangi hamparan rumput yang terawat sempurna. Pepohonan tinggi menjulang di kedua sisi, seolah menciptakan lorong alami yang menambah kesan eksklusif dan… misterius.Tak lama, tampak bangunan utama, berdiri megah dengan arsitektur klasik yang dipadukan sentuhan modern. Pilar-pilar tinggi menjulang, fasadnya diterangi lampu-lampu dinding yang memberikan semburat keemasan pada marmer putih yang mendominasi eksteriornya. Air mancur besar berdiri di tengah halaman depan, suara gemericik airnya terdengar lembut di antara suara azan yan
Cheryl mengusap sisa air mata di pipinya sebelum akhirnya melangkah pelan, menelusuri "kamar lamanya" yang kini telah kembali menjadi miliknya. Jika hanya ingin menunjukkan kemurahan hatinya saja, Bara bisa saja memberinya uang dalam jumlah besar, hal yang jauh lebih mudah untuknya. Karena bagi pria itu, uang sama sekali bukan masalah.Namun, Bara memilih sesuatu yang lebih personal, lebih manis. Ia mengembalikan semua yang pernah Cheryl jual satu per satu, seakan ingin menghapus jejak luka yang pernah ia alami.Itu bukan sekadar kemurahan hati. Bukan kebiasaan seorang pria kaya yang hanya sebatas ingin menunjukkan belas kasihnya.Cheryl menggigit bibirnya. Dulu, ia pikir Bara hanyalah seseorang dengan ego besar dan sifat dominan yang menyebalkan. Tapi sekarang? Sekarang ia melihat sisi lain pria itu. Dan itu jauh lebih berbahaya.Berbahaya untuk hatinya.Cheryl mendesah pelan dan kembali mengedarkan pandang ke seisi kamar. Setiap sudut terasa begitu familiar, namun ada sesuatu yang
Bara melangkah memasuki rumahnya, bangunan megah yang lebih menyerupai istana daripada sekadar tempat tinggal. Pilar-pilar tinggi menopang langit-langit yang menjulang. Lampu kristal menggantung anggun, memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Pelayan yang berbaris rapi di dekat pintu menundukkan kepala sebagai bentuk hormat. Di antara mereka, Mimi maju selangkah, tersenyum hangat seperti biasanya. “Selamat datang, Tuan.”“Cheryl sudah di kamarnya?” Bara bertanya tanpa basa-basi.“Sudah, Tuan.” Mimi menjawab sopan, memperhatikan bagaimana mata gelap sang tuan yang biasanya tajam kini tampak berbinar-binar.“Dia tadi menangis, kan?”Ada senyum yang terlukis di bibir Bara saat mengatakannya. Mimi nyaris tak percaya melihatnya. Tuannya tersenyum sejelas itu, selepas itu? Wanita paruh baya itu telah lama mengabdi dalam keluarga Bara, cukup mengenal setiap ekspresi dan kebiasaannya. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada diri Bara yang selama ini ia kenal. “Bukan cuma men
Detik ini juga, dunia seakan berhenti berputar.Sial. ‘Ini nyata?’ Bara masih tak percaya. Cheryl, dengan bibir selembut kelopak mawar, baru saja mengecupnya, sentuhan lembut yang nyaris membuatnya hilang akal.Bara tak sempat berpikir. Tak sempat mencerna. Tubuhnya hanya bereaksi secara alami.Ia menginginkan gadis ini. Dari tadi. Dari jauh sebelum ini. Dan sekarang Cheryl ada di sini, menyerahkan bibirnya yang manis ini.Brengsek. Ia bisa gila.Dorongan liar yang sejak tadi ditahannya kini pecah. Bara bergerak cepat, menangkup tengkuk Cheryl, menahannya agar tak bisa mundur. Jika gadis itu memberinya ciuman selembut itu, bukan berarti ia akan membalas dengan sama lembutnya. Jangan harap, tidak untuk kali ini.Bibirnya menekan bibir Cheryl, menguasai, menyesap kelembutan yang seketika terasa seperti candu. Bara mendesak lebih dalam, menarik tubuh Cheryl ke dadanya, memerangkapnya dalam kehangatannya yang berbahaya.Napas mereka berpacu, membakar udara di antara mereka. Bara bisa m
Cheryl tersentak, spontan menggigit bibir bawahnya saat kesadarannya terhempas oleh kenyataan bahwa kini ia begitu terbuka di hadapan Bara.Wajahnya merona, terbakar oleh rasa malu yang melilit erat di antara ketegangan yang ia rasakan. Sementara itu sepasang mata Bara yang gelap, begitu intens menelusuri setiap inci tubuh Cheryl dengan sorot mata berbinar, kelam dan pekat seperti bara api yang menyala dalam kegelapan. Bibir pria itu melengkung, tersenyum penuh kepuasan. “Tubuh yang indah, Cheryl,” bisiknya, nyaris tanpa suara, seolah Cheryl adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk didefinisikan dengan kata-kata.Lalu, Bara melucuti pakaiannya sendiri. Helai demi helai jatuh ke lantai, meninggalkan tubuh tegapnya yang kini terpampang di hadapan Cheryl—indah, kokoh, nyaris terlalu sempurna hingga rasanya sulit dipercaya.Tuhan…Cheryl menelan ludah. Darahnya berdesir kencang, seakan ada listrik yang berkelindan liar di sepanjang kulitnya, menegangkan setiap sarafnya hingga nyaris m
Oh, Tuhan. Bara bisa gila. Cheryl sungguh membuatnya gila.Gairah yang mengalir deras di tubuhnya terasa begitu mendesak, membakar setiap inci kesabarannya. Cheryl membuatnya kehilangan kontrol dengan setiap sentuhan dan erangan yang keluar dari bibirnya. Bara ingin menyerahkan seluruh dirinya, ingin menikmati kebersamaan ini tanpa batas.“Ohh… Cheryl…!” “Bara… oh… Bara…!”Suara erangan dan desahan mereka saling bersahutan.Akan tetapi, di saat semuanya sudah berada di puncak, kesadaran Bara seketika menamparnya keras. “Awas, ntar hamil!”Sial. Ia tak ingin mengacaukan masa depan Cheryl yang masih begitu muda dengan kehamilan. Cinta dan gairah memang kadang membutakan, tapi Bara bukan pria yang akan membiarkan egonya menguasai segalanya tanpa mempertimbangkan masa depan mereka berdua. Kepala Bara menegang, seluruh tubuhnya bergetar saat ia terpaksa menarik dirinya dengan cepat. “Oh, shit!” Nyaris saja ia terlambat untuk melepaskan hasratnya di atas perut Cheryl. Begitu usai, Bara
Setelah sekian lama berpelukan, Bara akhirnya menarik napas panjang dan berbisik lembut di telinga Cheryl, "Ayo kita bersih-bersih. Habis ini aku mau masak buat kita makan malam." Suaranya tenang, penuh kehangatan, sebelum dia mengecup kening gadis itu dengan kelembutan yang membuat Cheryl semakin nyaman dalam dekapan Bara.Cheryl meringkuk manja dalam pelukannya, matanya masih terasa berat, tubuhnya pun enggan untuk beranjak. "Tapi aku nggak lapar," sahutnya dengan nada malas, suaranya hampir seperti gumaman.Bara menatapnya sekilas, kemudian tersenyum nakal. "Mau aku bikin lapar?" bisiknya di dekat telinga Cheryl. "Aku nggak keberatan membuatmu menggelinjang lagi, Cheryl. Sampai lemas." Ia sengaja mempermainkan nada suaranya agar terdengar menggoda. "Pengen..." Cheryl malah merengek, menantang.Nggak ada gengsi dan malu-malunya.Sial. Bara mengumpat dalam hati. Gadis ini benar-benar menggemaskan dan suka mancing-mancing. Bahaya. Ini bahaya sekali buat kewarasannya. Tanpa peringat
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta