“Oh… Ethan, syukurlah jika kamu sudah sadar.”Evelyn menatap pria itu dengan penuh rasa syukur. Bersyukur jika Ethan sadar dengan cepat. Dalam keadaan yang masih bingung, Ethan mempertajam fokus penglihatannya.“Evelyn, kau menangis?” tangan Ethan terulur di pipi Evelyn.Evelyn menggenggam tangan Ethan yang berada di pipinya. Dia tersenyum. “Cepat sembuh, agar kita bisa berkumpul,” ucapnya.“Tentu, Evelyn, Karena ada kamu dan Raziel yang menjadi tujuan hidupku saat ini,” ucap Ethan.“Apakah kau mau makan? Aku tadi membeli buah dan bubur. Aku pikir, saat ini kau hanya bisa makan makanan yang lembut.”Ethan menggeleng lemah. “Lidahku masih pahit. Kalau boleh, aku ingin makan jeruk,” ucap Ethan. “Baik. Tunggu sebentar, aku akan mengupaskannya untukmu.” Evelyn segera berdiri dan meraih satu buah jeruk yang tampak oren. Setelah membersihkan jeruk tersebut, Evelyn menyuapi Ethan dengan hati-hati. Mereka berdua, tampak menikmati momen berdua itu. Evelyn dengan kesabarannya, mencoba mengurus
"Papa, bolehkah aku kesana?" Tanya Raizel sambil menunjuk ke arah jejeran kue. Anak itu tampaknya tertarik dengan warna kue-kue tersebut. Ethan yang melihat Raizel bersemangat pun mengangguk. "Ya, Rai bisa memakan semuanya yang Rai mau. Tapi ingat, jaga kesehatan gigimu," ucap Ethan sedikit membungkuk menyesuaikan tinggi badan Raizel. "Oki doki, Papa!" seru Raizel, "cup!" satu kecupan Raizel berikan di pipi Ethan, setelah itu, Raizel dengan semangat berlari ke arah prasmanan. Ethan menatap Evelyn yang tampak kikuk. Walaupun Evelyn sering ke acara pesta, tapi menurut Evelyn, pesta kali ini yang paling mewah. Sebab, banyak sekali kolega dan rekan bisnis yang berpengaruh hadir disini. Ethan yang menyadari kecanggungan Evelyn pun meraih pinggul Evelyn. Evelyn tersentak saat tubuhnya menyatu dengan pria yang menariknya. "Ethan, jangan seperti ini. Aku malu," Evelyn berisik dengan pelan. "Jangan gugup. Kau adalah wanita tercantik malam ini, tentu kau harus berdiri dengan tegak saat ka
"Kau… Hendrick? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Evelyn, terkejut.Evelyn sedang membersihkan mulut putranya, Raizel, dari cream kue yang menempel pun terkejut melihat Hendrick, mantan kekasihnya yang dulu pernah tega berselingkuh dengan bibinya.Hendrick memandang Evelyn dengan pandangan sinis. "Evelyn, Walaupun kamu sekarang akan menjadi istri dari seorang milyuner, kamu hanya seorang wanita kampung yang menyedihkan. Kamu itu tidak pantas menjadi pendamping dari seorang presdir seperti Ethan," cibir Hendrick.Evelyn yang tidak terima dihina di depan anaknya pun berdiri saat dirinya masih berjongkok. "Ck, tong kosong nyaring bunyinya, orang iri, nyaring bicaranya! Hendrick, kau itu hanya pria pecundang yang hanya ingin menjatuhkan orang lain karena kau tidak mampu menggapai semua mimpimu. Sebab apa? Hatimu benar-benar buruk!" ketus Evelyn.Raizel yang melihat Ibunya dihina segera berdiri di depan tubuh Evelyn sambil merentangkan kedua tangannya. Mencoba menjadi tameng untuk Evel
Ethan sedari tadi berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dia menatap ke arah Raizel dan Evelyn dengan tatapan hangat. Tak ada yang bisa menghubungkan lagi antara anak dan mantan istrinya selain Raizel. Anak mereka yang selalu jadi perekat diantara mereka semua.Anak kecil dengan wajah bulat dan lucu itu tengah merintih ketika air sabun mengenai matanya. Evelyn dengan sigap menangkap Raizel bergelayut erat pada tubuhnya. Sedangkan Ethan tetap dalam posisi diam, memandangi kebahagian itu dengan mata yang berkaca-kaca."Ayo kita mandi bersama!" Seru Ethan. Evelyn memutar kepalanya ke arah ambang pintu kamar mandi. Di pintu itu, Ethan sudah berdiri dengan senyuman di bibirnya."Mandi bersama? Apa yang kau pikiran, Ethan?" kaget Evelyn mendengar permintaan Ethan.Raizel meraih selang shower, mulut selang itu dia arahkan ke arah Evelyn. "Ayo, Mama! Kita bersenang-senang! Rai ingin mandi bertiga!" Seru Raizel begitu bersemangat saat dia menyemprotkan air ke arah Evelyn. "Aw… Rai, Sayang! Mam
“Nyonya…!”Evelyn terperanjat kaget saat mendengar suara ketukan pintu kamar disertai orang yang memanggil namanya. Tidak terasa, hari ini sudah hampir satu bulan setelah insiden pengadilan. “Hmmm… sudah jam berapa?” Evelyn mengeram sambil melihat jam di dinding. “Jam 9 pagi,” ucapnya. “Haah! Jam 9 pagi?!” kaget Evelyn yang segera turun dari ranjang. Evelyn berlari dengan tergesa-gesa ke arah pintu kamar. Dia membuka pintu itu. Evelyn tentu tahu jika pelayan tersebut pasti datang untuk membangunkannya karena perintah Ethan.Krek!pintu dihadapan Evelyn pun terbuka. Seorang pelayan telah berdiri dengan sebuah kotak besar gold. “Nyonya, tuan memintaku untuk memberikan ini. Tuan berpesan, jika Nyonya sudah selesai mandi, Nyonya segera menemui tuan di ruangan kerjanya,” ucap pelayan itu, dia menyerahkan kotak yang dia bawa kepada Evelyn.Evelyn menerima kotak itu dengan keheranan. “Hah, baik. Aku akan menyusul Ethan ke ruang kerjanya,” Jawab Evelyn.“Kalau begitu, aku permisi, Nyonya
"Ethan, kita mau kemana?" tanya Evelyn saat mobil itu melaju melewati beberapa kawasan hutan yang masih asri dan terjaga. Ethan yang sedang menyetir pun satu tangannya menggenggam tangan Evelyn. "Kau pasti akan tau kita akan kemana. Aku ingin melewati hari ini bersamamu," ucap Ethan. Evelyn tersenyum menanggapi ucapan Ethan. Sorot matanya kembali memperhatikan jalanan yang mereka lalui. Dalam hati Evelyn ber berkata jika jalan yang mereka tuju mengarah ke pegunungan Rocky. 'Kenapa harus ke pegunungan? Apakah ada sesuatu di sana?' pikir Evelyn. Ujung ekor mata Ethan melirik ke arah Evelyn. Ethan tersenyum penuh maksud karena melihat kegelisahan Evelyn. 'Ada sebuah kejutan di sana, Evelyn,' batin Ethan penuh semangat untuk memperlihatkan sesuatu kepada Evelyn. ****Alice menangis sejadi-jadinya saat kandungannya semakin membesar. Satu bulan di dalam sel tahanan membuat keadaannya begitu kacau. Namun, Alice seharus beruntung karena tidak di tempatkan di dalam sel tahanan bersama nar
"Dokter, bagaimana dengan kondisi wanita yang aku bawa, Dok?" tanya Rully saat Dokter yang memeriksa keadaan wanita yang ditabrak itu keluar dari ruangan UGD. "Dia hanya syok. Jadi anda tidak perlu khawatir. Jika anda ingin melihatnya, silahkan. Kebetulan, pasien sudah sadar." "Terima kasih, Dok," jawab Rully. Rully bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut. Di dalam sana, seorang wanita dudung menyandarkan punggungnya. Sambil sorot matanya menatap ke arah jendela kaca transparan. "Hei, apakah kau baik-baik saja?" tanya Rully dengan sangat hati-hati. Dia tidak ingin wanita itu tiba-tiba menyalahkannya. Wanita yang duduk di atas ranjang pasien itu menoleh. Kedua matanya menyipit, seakan-akan dia memperhatikan Rully seperti memikirkan sesuatu. Rully merasa khawatir saat wanita itu menatapnya dengan sedemikian rupa. Rully melambaikan tangannya di depan wajah wanita itu. "Hei, kau tidak apa-apa, kan? Tolong jangan melihatku seperti itu. Katakan sesuatu jika kau merasakan sakit atau h
"Apa kamu yakin, ini rumahmu?" tanya Rully saat mengantar Amelia. Gadis yang tidak sengaja ditabraknya. "Aku tidak yakin," jawab Amelia ragu-ragu. Setelah memastikan kondisi Amelia baik-baik saja, Rully memutuskan untuk mengantar Amelia kembali. Namun, ada hal yang aneh pada wanita ini. Amelia selalu saja melupakan apa yang telah terjadi di dalam dirinya. "Mengapa kau tidak yakin? Ayo, kita turun!" ajak Rully. Mereka berdua pun turun dan menuju ke arah rumah sederhana bergaya minimalis. Pagar kayu putih sepinggang dengan halaman tertata oleh taman hias yang rapi. Di depan sana, rumah bercat putih itu terlihat tampak nyaman. "Spada! Permisi!" seru Rully saat berada di depan pintu rumah itu sambil menekan bel. Amelia berdiri dengan gelisah. Dia tampak meremas kedua tangannya. Memperhatikan jika dirinya tidak nyaman. Klek!Pintu di hadapan Rully terbuka. Seorang pria kekar berotot muncul di ambang pintu itu. Rully menelan Salivanya saat menatap pria dengan perawakan mirip atlet an