Tahun berganti, tepatnya dua tahun kemudian. Bukan sekedar omong kosong, Ardan semakin bersinar pada bidang yang ia sukai hingga harus berangkat ke Bangkok untuk pertandingan tingkat Asia, membawa nama harum bangsa, ia menjadi point guard andalan tim.Rizal, Imel dan Araska berlari buru-buru karena sebentar lagi pertandingan dimulai tapi mereka bangun kesiangan. Hotel tempat mereka menginap dekat dengan hall basket yang menjadi lokasi pertandingan."Ibu!" teriak Sahila yang melambai sambil lompat-lompat."Ila!" teriak Imel juga. Sahila bisa berbahasa inggris, jadilah Imel tak perlu repot belajar bicara bahasa Thailand.Dari kejauhan, tampak Dewa berjalan dengan gagahnya, kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Dewa sudah lulus kuliah, dan ia bekerja di perusahaan maskapai besar di negara singa.Dewa tersenyum, menyapa orang tuanya juga Araska yang sudah kelas empat SD. Sahila berjalan riang, menyapa semua anggota keluarga Rizal. Dewa mencubit pelan pipi Sahila gemas. Sahila ca
Benarkah ada yang PDKT? Jawabanya, jelas tidak. Ardan akhirnya sadar jika komunikasi jarak jauh tak sanggup ia jalani seperti kakaknya–Dewa–saat masih menjalin kasih dengan Tisya. “Bu, Ardan berangkat,” pamitnya seraya mencium pipi Imel. Tahun berganti, Dewa yang sudah lulus kuliah dan bekerja di Singapura, perlahan bisa bangkit dari patah hatinya, jika dilihat dari luar, tak tau dengan hatinya. “Dek…! Eh… Ardan, ini bekalnya!” teriak Imelda yang sering diprotes Ardan karena masih betah memanggilnya ‘Adek’ atau ‘dek’, jelas-jelas ada si bungsu Araska yang lebih pantas dipanggil begitu. “Maaf lupa, Bu,” cengirnya. “Ayah! Nebeng!” teriak Ardan yang biasanya naik motor, tapi kali ini ia malas dan mendadak bilang ke Rizal saat ia hampir tancap gas meninggalkan rumah. “Bilang dari tadi, kek, kamu yang nyetir.” dumal Rizal. Ardan mengangguk. “Ibu!” suara teriakan Araskan terdengar. Bocah yang kini kelas enam SD itu tampak rapi tapi wajahnya merengut. “Apa… ganteng,” sahut Imel yang sib
Dewa berjalan keliling Jakarta, random, tak ada tujuan setelah sebelumnya ia mengantarkan Araska sekolah. Adiknya itu manja jika dirinya ada di rumah, jadilah Dewa menuruti kemauan sang adik. Ia menunggu antrian lampu merah di persimpangan dekat mal besar. Tujuannya ke sana, sekedar mau lihat-lihat baju di toko yang biasa ia sambangi. Jam masih menunjukan pukul delapan pagi, matahari juga begitu terasa terik. Sebelum ke mal, ia akan duduk santai sambil membaca buku dan minum kopi di kedai kopi langganannya tak jauh dari sana. Suara sirine ambulance yang ada di belakangnya, membuat ia menggeser posisi motornya parkir. Ia memberi jalan supaya ambulance bisa lewat. Kaca ambulance yang buram, entah mengapa justru terlihat jelas oleh Dewa siapa yang ada di dalamnya. “Tisya,” lirihnya tanpa suara.Kedua mata menatap ke label nama rumah sakit yang tertempel di body mobil ambulance. Dewa tersenyum, ia tau jika mantan pacarnya itu memang ingin bekerja di rumah sakit itu jika sudah menjadi dok
Dewa melempar kantong belanjaannya ke atas sofa bed tempat ia tidur selama kembali pulang ke rumah orang tuanya. Akhir pekan nanti, ia akan kembali ke Singapura, merapikan beberapa barang lainnya yang masih tertinggal di apartemen dan ia akan kirim ke Jakarta. Ia tak sendiri, akan mengajak Imel dan Rizal juga. Tubuhnya ia rebahkan, cukup lelah dengan hari itu, lelah hati dan fisik, tapi ada satu hal yang bisa membuatnya sedikit menyunggingkan senyuman saat mengingat pertemuannya dengan perempuan bernama Gadis. “Bang, kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Imel saat melihat kelakuan anaknya setelah ia selesai merapikan baju yang sudah disetrika asisten rumah tangga ke dalam lemari pakaian Araska. “Bu… sini, deh,” panggilnya sambil menepuk soda bed. Imel mendekat, duduk di sebelah Dewa tapi, tangannya meraih kantong belanja yang putranya bawa. “Beli baju nggak ajak Ibu,” sindir Imel. Dewa hanya tertawa pelan. “Bu… tadi Abang ketemu cewek, nggak sengaja, sih… namanya Gadis.”“Terus?” tole
Suara musik khas asal daerah keluarga Tisya menggema di ballroom hotel megah nan mewah itu. Sejak beberapa menit lalu, acara resepsi berlangsung dan tampak kedua pengantin begitu serasi. Dewa berdiri di belakang kedua orang tuanya yang berdiri di depan supaya bisa melihat jelas saat pengantin melangkah masuk ke ruang resepsi. Gadis bisa merasa telapak tangan Dewa yang dingin, raut wajah Dewa juga menunjukan ekspresi yang mengarah ke kesedihan. Gadis mengusap jemari tangan Dewa, mencoba membuatnya sadar jika ia ada di sana bersamanya. Dewa menunduk, menatap ke Gadis yang tersenyum. “Semua akan baik-baik aja, Bang,” ucapnya pelan. Dewa tak mau menatap sang mantan pacar lagi. Ia mengajak Gadis berjalan keluar area resepsi, tetap saja rasanya menyesakkan. Keduanya duduk di area parkir, Gadis masih terus menggenggam jemari tangan Dewa yang terus menundukan kepala. “Udah tau nggak kuat lepasin mantan, masih nekat dateng, jadinya ya gini, Bang,” sindir dan goda Gadis. Dewa menghela napas,
Dewa, Imel dan Rizal sudah kembali dari negara singa, mereka sudah mengosongkan apartemen yang disewa putranya di sana. Dewa akan bersiap mulai bekerja di Jakarta. Kesibukannya beralih untuk mencari kosan yang akan ia tempati, tak mau terus berada di rumah orang tuanya juga. “Kosan di mana, Bang?” Imel letakkan bolu ketan hitam di atas meja teras. Hari itu, tepatnya jumat sore, Dewa baru pulang medical check up untuk persyaratan sebelum hari senin mulai masuk kerja. “Di deket kosan Gadis ada, Bu, katanya,” jawab Dewa sembari merapikan sepatu ke tempat yang sudah Imel sediakan. “Aman, nggak?” Imel menyodorkan kopi untuk putranya itu. “Aman, karena kosan karyawan. Nanti Dewa mau ke sana, mau survey. Nggak mungkin juga terus tinggal di sini, harus mulai mandiri. Udah waktunya, ‘kan, Bu,” cengir Dewa sambil menyesap kopi buatan ibunya. “Bang, untuk rencana nikah, kamu udah bayangan kapan mau–”“Calon aja belum ada, Bu. Kerja dulu, cicil rumah dulu, baru deh mikirin ke arah sana.” Dew
Ada yang bilang, cinta pada pandangan pertama itu tidak ada, tapi tidak sedikit yang bilang ada. Tergantung pendapat masing-masing orang. Dewa pulang ke rumah membawa hawa baru bagi diri juga hatinya. Beberapa kali Rizal mendapati putranya senyum-senyum sendiri, bahkan saat Dewa berada di dapur untuk masak karena Imel sedang pergi bersama Kara. “Bang, udah dapat kosannya?” “Udah, Yah. Besok pindahan,” ujarnya sambil mengaduk tumisan buncis dan jagung muda. “Ibu belum pulang?” Dewa menatap ke jam dinding di dapur, sudah di angka sembilan malam. “Belum, biarkanlah, Bang, lagi kumpul sama teman sekolah. Teman Ayah juga, sih,” lanjutnya. “Oh..,” sahutnya. “Ayah udah makan?” Ia meraih piring saji, lalu menuangkan makanan ke atasnya. “Udah, tadi sama Araska. Ardan juga belum pulang, Bang.” Rizal kembali duduk di sofa ruang TV, membiarkan anaknya berkutat di dapur seorang diri. Dewa menghela napas, ia belum sempat mengajak adiknya bicara tentang lowongan pekerjaan untuk masa depan Ardan
Sebagai seorang ibu, Imelda begitu menjaga keharmonisan hubungan anak-anaknya dengan siapapun, termasuk perkara asmara. Ia akan begitu selektif memilih calon pendamping anak-anaknya. Dewa sebagai si sulung, menjadi yang pertama mendapat perhatian dirinya. Gagal melangkah ke jenjang serius dengan Tisya, membuat wanita itu menjadi lebih mewanti-wanti Dewa supaya tidak gegabah. Dewa sudah mulai bekerja, sejak pagi Imel sudah melakukan sambungan panggilan video, memastikan putranya tak kesiangan, lupa sarapan dan tertinggal sesuatu. Dewa tidak risih, memang semakin ke sini, ibunya akan semakin bawel kepadanya. Namanya juga orang tua. “Bang, udah sarapan, ‘kan?” Imel memastikan lagi saat Dewa sedang memakai sepatu kerjanya. “Udah, Bu, semalam udah masak nasi di rice cooker, sama manasin rendang buatan Ibu di plastikin dulu terus taruh di dalam rice cooker pas nasi udah mateng. Aman, Ibu…,” jawab Dewa sambil tersenyum ke arah ponsel. “Yaudah, hati-hati, jangan ngebut naik motornya. Gadi
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda