Suara musik khas asal daerah keluarga Tisya menggema di ballroom hotel megah nan mewah itu. Sejak beberapa menit lalu, acara resepsi berlangsung dan tampak kedua pengantin begitu serasi. Dewa berdiri di belakang kedua orang tuanya yang berdiri di depan supaya bisa melihat jelas saat pengantin melangkah masuk ke ruang resepsi. Gadis bisa merasa telapak tangan Dewa yang dingin, raut wajah Dewa juga menunjukan ekspresi yang mengarah ke kesedihan. Gadis mengusap jemari tangan Dewa, mencoba membuatnya sadar jika ia ada di sana bersamanya. Dewa menunduk, menatap ke Gadis yang tersenyum. “Semua akan baik-baik aja, Bang,” ucapnya pelan. Dewa tak mau menatap sang mantan pacar lagi. Ia mengajak Gadis berjalan keluar area resepsi, tetap saja rasanya menyesakkan. Keduanya duduk di area parkir, Gadis masih terus menggenggam jemari tangan Dewa yang terus menundukan kepala. “Udah tau nggak kuat lepasin mantan, masih nekat dateng, jadinya ya gini, Bang,” sindir dan goda Gadis. Dewa menghela napas,
Dewa, Imel dan Rizal sudah kembali dari negara singa, mereka sudah mengosongkan apartemen yang disewa putranya di sana. Dewa akan bersiap mulai bekerja di Jakarta. Kesibukannya beralih untuk mencari kosan yang akan ia tempati, tak mau terus berada di rumah orang tuanya juga. “Kosan di mana, Bang?” Imel letakkan bolu ketan hitam di atas meja teras. Hari itu, tepatnya jumat sore, Dewa baru pulang medical check up untuk persyaratan sebelum hari senin mulai masuk kerja. “Di deket kosan Gadis ada, Bu, katanya,” jawab Dewa sembari merapikan sepatu ke tempat yang sudah Imel sediakan. “Aman, nggak?” Imel menyodorkan kopi untuk putranya itu. “Aman, karena kosan karyawan. Nanti Dewa mau ke sana, mau survey. Nggak mungkin juga terus tinggal di sini, harus mulai mandiri. Udah waktunya, ‘kan, Bu,” cengir Dewa sambil menyesap kopi buatan ibunya. “Bang, untuk rencana nikah, kamu udah bayangan kapan mau–”“Calon aja belum ada, Bu. Kerja dulu, cicil rumah dulu, baru deh mikirin ke arah sana.” Dew
Ada yang bilang, cinta pada pandangan pertama itu tidak ada, tapi tidak sedikit yang bilang ada. Tergantung pendapat masing-masing orang. Dewa pulang ke rumah membawa hawa baru bagi diri juga hatinya. Beberapa kali Rizal mendapati putranya senyum-senyum sendiri, bahkan saat Dewa berada di dapur untuk masak karena Imel sedang pergi bersama Kara. “Bang, udah dapat kosannya?” “Udah, Yah. Besok pindahan,” ujarnya sambil mengaduk tumisan buncis dan jagung muda. “Ibu belum pulang?” Dewa menatap ke jam dinding di dapur, sudah di angka sembilan malam. “Belum, biarkanlah, Bang, lagi kumpul sama teman sekolah. Teman Ayah juga, sih,” lanjutnya. “Oh..,” sahutnya. “Ayah udah makan?” Ia meraih piring saji, lalu menuangkan makanan ke atasnya. “Udah, tadi sama Araska. Ardan juga belum pulang, Bang.” Rizal kembali duduk di sofa ruang TV, membiarkan anaknya berkutat di dapur seorang diri. Dewa menghela napas, ia belum sempat mengajak adiknya bicara tentang lowongan pekerjaan untuk masa depan Ardan
Sebagai seorang ibu, Imelda begitu menjaga keharmonisan hubungan anak-anaknya dengan siapapun, termasuk perkara asmara. Ia akan begitu selektif memilih calon pendamping anak-anaknya. Dewa sebagai si sulung, menjadi yang pertama mendapat perhatian dirinya. Gagal melangkah ke jenjang serius dengan Tisya, membuat wanita itu menjadi lebih mewanti-wanti Dewa supaya tidak gegabah. Dewa sudah mulai bekerja, sejak pagi Imel sudah melakukan sambungan panggilan video, memastikan putranya tak kesiangan, lupa sarapan dan tertinggal sesuatu. Dewa tidak risih, memang semakin ke sini, ibunya akan semakin bawel kepadanya. Namanya juga orang tua. “Bang, udah sarapan, ‘kan?” Imel memastikan lagi saat Dewa sedang memakai sepatu kerjanya. “Udah, Bu, semalam udah masak nasi di rice cooker, sama manasin rendang buatan Ibu di plastikin dulu terus taruh di dalam rice cooker pas nasi udah mateng. Aman, Ibu…,” jawab Dewa sambil tersenyum ke arah ponsel. “Yaudah, hati-hati, jangan ngebut naik motornya. Gadi
Satu minggu berlalu, Dewa begitu fokus bekerja hingga ia lupa jika pernah mengucapkan kalimat yang membuat Gadis kepikiran. Namun, Gadis yang berpikiran dewasa, memaklumi jika lelaki itu sibuk dengan pekerjaan barunya. Gadis baru saja selesai merapikan dagangannya di area bazar yang diadakan di salah satu area perkantoran, senyumnya merekah mana kala ia melihat sisa stok pakaian anak yang ia miliki menipis, cukup banyak yang beli padahal baru hari ke dua, masih ada tiga hari lagi ia akan berjualan di sana. “Hai,” suara seseorang membuatnya menghentikan kegiatannya memasang terpal untuk menutupi dagangannya lalu memutar tubuh menghadap ke wanita yang ia tau siapa. Tisya, dokter cantik itu menyapanya. “Hai, Kak… ada yang bisa saya bantu?” jawab Gadis pura-pura tak mengenal wanita di hadapannya, ya… karena mereka memang belum diperkenalkan secara langsung oleh Dewa. “Aku Tisya.” Tangan wanita itu terulur. “Gadis,” jawabnya. Tisya tersenyum, ia lalu mengajak Gadis bicara di tempat la
Dewa sudah memikirkan tentang semua rencana masa depan, usianya sudah cukup matang untuk membina rumah tangga. Setelah pulang dari kosan Gadis, ia langsung menemui Imelda yang sudah berada di kamar. “Bu,” sapa Dewa sembari duduk di tepi ranjang. “Hm, apa, Bang?” sahut Imelda yang sedang membaca buku. Rizal tak lama muncul dari arah kamar mandi. “Udah pulang, Bang?” tanyanya. Dewa mengangguk. “Ayah, Ibu. Dewa mau minta izin untuk jalani hubungan serius sama Gadis dan… tiga bulan lagi mau nikah.” Siapa yang tak terkejut dengan hal itu, bahkan Rizal langsung melongo tak percaya dengan keseriusan anaknya. “Nikah bukan perkara mudah, lho, Bang. Kamu udah siap sama semuanya?” Imelda menutup buku, melepas kaca mata baca lalu meletakkan di atas nakas. “Untuk punya rumah atau harta benda memang belum. Dewa punya keyakinan kalau Gadis orang yang tepat.” “Nggak mau jalani pacaran dulu?” lanjut Rizal. Dewa tersenyum, “bukannya… kalau udah ada kesiapan lahir dan batin untuk menikah, harus
Ada kalanya, saat hati kita dihadapkan dengan situasi mendadak, maka mau tidak mau harus menyiapkan diri untuk menghadapi hal itu. Gadis membuka buku lusuh miliknya yang terselip tiga lembar foto saat ia bersama keluarganya–ayah dan ibu. Senyum tipis diiringi tetesan air mata membasahi wajahnya. Buru-buru ia hapus, tak mau Dewa yang sedang membantunya merapikan beberapa barang karena mereka akan menempati rumah kontrakan yang di sewa lelaki itu, melihatnya dan merasa ikut haru. Namun, bukan Dewa jika tak menyadari ada yang aneh dengan sikap calon istrinya. “Sedih?” tanyanya sambil ikut duduk di lantai. Ia meraih lembaran foto yang ada di tangan Gadis. “Sedikit,” jawabnya sambil menarik air hidungnya lalu tersenyum tipis. “Kamu nggak akan sendiri lagi, Dis, jangan khawatir.” Dewa kembali memberikan lembar foto itu, ia mengecup pipi Gadis sebelum beranjak untuk membawa dus berisi baju dagangan Gadis. “Udah semua, Bang?” tanya Ardan yang juga ikut membantu. Gadis beranjak cepat, ia m
Tata sibuk mengawasi Gadis yang sedang didandani dengan pakaian adat jawa tengah, kebaya putih dengan sanggul yang terselip bunga mawar merah, membuat dirinya tampil manglingi, ia hanya membawa dirinya sendiri, tanpa ada keluarga yang mendampingi. “Cantik banget keponakanku,” lirih Tata sambil menatap Gadis dari pantulan cermin. “Tante seneng jadi wakil keluarga mu, dampingi kamu, Dis. Om Bima juga seneng banget.” “Iya, Tante, terima kasih. Gadis masih nggak sangka kalau bisa ketemu jodoh secepat ini,” ucapnya begitu lemah lembut. Tata tersenyum. Ia menepuk kedua bahu Gadis, mereka saling menatap dari pantulan cermin. “Keluarga kita, tidak ada yang memandang manusia berdasarkan kasta dan latar belakangnya hanya karena harta. Kami semua hanya percaya kebaikan dan keburukan. Keluarga Gadis sederhana, pekerja keras, bukan pencuri atau memakan yang bukan haknya, jadi … Gadis jangan minder lagi, ya. Kita semua keluarga kamu.” Tata tersenyum, Gadis menganggukan kepala. Anggota wedding or
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda