Tak ada yang bisa dilakukan Imel apalagi Rizal. Mereka hanya bisa duduk sambil menatap Araska yang tertidur pulas, padahal masih jam 7 malam. Bocah itu tampak kelelahan.Isak tangis Imel terdengar, ia menutup wajahnya dengan tangan, tak tega mengingat Araska sama sekali tak ingat wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Rizal menggeser posisi duduknya, ia membawa Imel ke dalam pelukannya. Wanita itu menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Rizal.Bagaimana bisa, Winola benar-benar pergi dan tega membiarkan Araska hingga tak tau ibu kandungnya. Rizal tak ingin mengambil kesempatan untuk membujuk Imel, ia membiarkan wanita itu meluapkan kesedihannya.Tangis Imel reda, seiring dengan Dewa yang pulang bersama Tisya. Rizal dan Imel berjalan keluar kamar, tampak Dewa terkejut, ia menghampiri Imelda."Bu, Ibu nangis?" Dewa menatap Imel lalu Rizal bergantian."Duduk, Bang," ucap Imel setelah Tisya menyalim tangannya juga Rizal. Ardan yang sudah tau hanya bisa duduk menyimak. Imel menceritaka
"Kar... tiga hari aja cukup," rengek Imel di telpon sambil melirik Rizal yang masih tertidur di dalam kamarnya. Araska juga sama, bocah itu ikutan tidak ke daycare karena Imel diberikan cuti lima hari terhitung dari kemarin saat hari pernikahannya dengan Rizal."Hari rabu minggu depan kamu masuknya, Mel, udah... nikmatin waktu berdua sama suami baru stok lama," goda Kara yang begitu tertawa puas. Imel mendengkus. Ia akhirnya mengakhiri pembicaraannya di telpon dengan Kara. Dua anaknya sudah berangkat ke sekolah, Imel mau mengantar, namun dilarang, kedua anaknya memutuskan berangkat ke sekolah dengan busway.Imel mendesah pasrah, akhirnya ia memilih membuat pancake selai nutella dengan potongan buah strawbery untuk sarapan. Imel mendengar gemericik air dari kamar mandi, karena posisinya membelakangi pintu kamar, ia tak tau siapa yang sudah bangun diantara ayah dan anak itu.Imel berjengkit, ia terkejut. Rizal memeluk leher Imel, lalu mencium pipi istrinya itu. Tubuh Imel menegang, suda
"Bang, udah masuk semua kopernya?" Rizal mengecek bagasi mobil."Udah, Yah," jawab Dewa yang sudah membuka pintu penumpang bagian depan. Imel datang ke parkiran apartemen belakangan, sejam lalu, sofa bed pesanan Rizal tiba, ia harus menggeser beberapa barang bersama petugas pengirim barang, juga mampir ke minimarket untuk membeli cemilan serta minuman, biasa, ibu-ibu akan selalu mempersiapkan hal itu. Ardan sibuk menelpon pelatihnya, ingat pertandingan basket yang seharusnya, Imel dan Rizal datang saat final? Hal itu batal karena Ardan cedera pada lututnya, yang menyebabkan sekolahnya kalah."Siap coach, minggu depan udah bisa turun ke lapangan lagi, saya bisa total main," ujarnya. Imel melirik, Ardan memasukan ponsel ke sling bag hitam miliknya."Udah aman emangnya lututmu, Dek?" Imel mendadak khawatir."Udah, Bu, cedera ringan aja," jawab Ardan. Ia masuk ke dalam mobil SUV besar dengan pintu geser otomatis warna hitam itu. Mobil pajero sport dijual Rizal bulan lalu, dan ganti menjad
Rizal dan Imel masih ada sisa cuti dua hari. Sepulang dari puncak, mereka sibuk merapikan isi apartemen yang acak-acakkan karena Rizal memindahkan beberapa barang kebutuhannya ke sana. Sisa barang lainnya ia pindahkan ke rumah ibunya."Dek! Ambilin sprei di lemari kamu, dong," perintah Imel. Ardan segera menjalankan perintah. Sofa bed baru itu warna abu-abu, berbahan beludru halus, sayang kalau tidak dialasi sprei. Prinsip ibu-ibu 'Eman' pun muncul. Araska asik mewarnai sambil duduk di kursi meja makan. Dewa menata rak sepatu milik Rizal. Semua kerja bakti menata kembali ruang tengan yang kecil itu supaya tak makin sempit."Bu... laper," keluh Ardan. Imel segera ke dapur, memanaskan sayur dan lauk yang siang tadi ia masak. Mumpung Rizal cuti, tugas mengantar jemput Dewa dan Ardan, dilimpahkan ke suaminya. Araska ikut serta, supaya tak bosan."Dek, cewek tadi siapa? Kok marah-marahin kamu," tanya Rizal sambil memasang sprei yang diberikan Ardan."Oh... mantan gagal move on," jawab Arda
Rizal tersenyum, menatap wanita yang berhasil memporak porandakan hidupnya, wanita yang menerima kembali dirinya setelah kekacauan yang terjadi. Imel terlelap, ia letih setelah digempur Rizal yang sadar jika Imel sudah tak palang merah lagi, tepat di hari Jumat malam. Ketiga anaknya diungsikan ke rumah Oma, dengan alasan Oma meminta ketiganya menginap. Ibunda Rizal sudah dihubungi putranya lebih dulu. Ia ingin membuat kejutan romantis untuk Imel, mendewikan istrinya begitu spesial. Hal itu pun terjadi, Rizal dan Imel sama-sama saling memuja, membuat Rizal meledak berkali-kali. Ia memeluk Imel, menyelimuti tubuh polos istrinya yang meringkuk ke dalam pelukannya. Tak ada kata yang dapat mewakili Rizal selain bahagia.Pagi hari, Imel membuka matanya, ia menoleh ke belakang, tak ada siapa pun, namun terdengar suara berisik di dapur. Ia beranjak, menyambar kaos juga celana panjang tidur miliknya. Keduanya bertemu muka, Rizal tersenyum, ia sedang membuat sarapan untuk permaisurinya sementar
Suara sorakan penonton memenuhi hall basket indoor di pusat kota. Araska melonjak tinggi melihat kakaknya berhasil mencetak three point sehingga menjadi penentuan kemenangan kampus yang diwakilkan bertanding di kancah perbasketan nasional.Pemuda dengan gigi yang dipasang behel itu, tampak manis saat tersenyum. Ia berpelukan dengan teman satu timnya. Lalu berlari menghampiri Araska, bocah kelas dua SD itu melompat girang. Rizal dan Imel tak kalah heboh."Kakak hebat!" sorak Araska. Ardan mengusak kepala adiknya. Tak lama, Ardan berdiri di tengah lapangan, ia juga dinobatkan sebagai MVP pada event itu. Araska terus dirangkul tubuh tinggi tegap Ardan, peluh juga napasnya yang tersengal, tak membuat ia susah menjawab pertanyaan media yang meliputnya, pun, saat ia menerima medali juga piala MVP.Ardan dan Araska saling menatap, kakak beradik itu saling melempar tawa."Ardan! Hadiah MVP ini, lima belas juta, mau dikasih siapa?" tanya pewawancara. Ardan mengatur napasnya."Orang tua saya. A
Tahun berganti, tepatnya dua tahun kemudian. Bukan sekedar omong kosong, Ardan semakin bersinar pada bidang yang ia sukai hingga harus berangkat ke Bangkok untuk pertandingan tingkat Asia, membawa nama harum bangsa, ia menjadi point guard andalan tim.Rizal, Imel dan Araska berlari buru-buru karena sebentar lagi pertandingan dimulai tapi mereka bangun kesiangan. Hotel tempat mereka menginap dekat dengan hall basket yang menjadi lokasi pertandingan."Ibu!" teriak Sahila yang melambai sambil lompat-lompat."Ila!" teriak Imel juga. Sahila bisa berbahasa inggris, jadilah Imel tak perlu repot belajar bicara bahasa Thailand.Dari kejauhan, tampak Dewa berjalan dengan gagahnya, kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Dewa sudah lulus kuliah, dan ia bekerja di perusahaan maskapai besar di negara singa.Dewa tersenyum, menyapa orang tuanya juga Araska yang sudah kelas empat SD. Sahila berjalan riang, menyapa semua anggota keluarga Rizal. Dewa mencubit pelan pipi Sahila gemas. Sahila ca
Benarkah ada yang PDKT? Jawabanya, jelas tidak. Ardan akhirnya sadar jika komunikasi jarak jauh tak sanggup ia jalani seperti kakaknya–Dewa–saat masih menjalin kasih dengan Tisya. “Bu, Ardan berangkat,” pamitnya seraya mencium pipi Imel. Tahun berganti, Dewa yang sudah lulus kuliah dan bekerja di Singapura, perlahan bisa bangkit dari patah hatinya, jika dilihat dari luar, tak tau dengan hatinya. “Dek…! Eh… Ardan, ini bekalnya!” teriak Imelda yang sering diprotes Ardan karena masih betah memanggilnya ‘Adek’ atau ‘dek’, jelas-jelas ada si bungsu Araska yang lebih pantas dipanggil begitu. “Maaf lupa, Bu,” cengirnya. “Ayah! Nebeng!” teriak Ardan yang biasanya naik motor, tapi kali ini ia malas dan mendadak bilang ke Rizal saat ia hampir tancap gas meninggalkan rumah. “Bilang dari tadi, kek, kamu yang nyetir.” dumal Rizal. Ardan mengangguk. “Ibu!” suara teriakan Araskan terdengar. Bocah yang kini kelas enam SD itu tampak rapi tapi wajahnya merengut. “Apa… ganteng,” sahut Imel yang sib
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda