Melisa masih menunduk saat Hanan mulai mendekat ke arahnya. Ardan yang melihat Melisa terus menunduk sedikit heran dengan sikap wanita yang baru saja menjadi istrinya itu."Selamat Mas, atas pernikahannya. Semoga Mas Ardan dan istrinya cepat dikaruniai momongan," ucap Hanan pada Ardan membuat hati Melisa berdenyut nyeri.Ardan sedikit tersentak mendengar ucapan Hanan, dia lupa kalau dia tidak menceritakan pada siapapun tentang kondisi Melisa yang sebenarnya. Dia juga tidak mengatakannya pada Widia, ibu kandung Ardan."Terima kasih, doanya," ucapnya menanggapi Hanan. "Oh iya, Mel. Kenalkan dia suami Dara." Ardan beralih berbicara pada Melisa.Melisa hanya diam tidak mampu mengangkat wajahnya, dia masih takut untuk bertemu Hanan. Dia juga takut jika Ardan sampai mengetahui kalau Hanan lah mantan suami Melisa."Mungkin, Kak Melisa malu jika berkenalan dengan orang baru," ucap Dara memecah keheningan karena Melisa tak kunjung mengangkat wajahnya dan berkenalan dengan Hanan.Hanan yang men
Pov Melisa Aku masih mematung setelah mendengar peringatan dari Mas Hanan. Sungguh aku tidak menyangka Mas Hanan akan berubah sedemikian rupa.Sosok yang dulu bisa membuatku jatuh cinta, kini telah berubah seiring berjalannya waktu. Aku seperti tak mengenali lagi sosok Mas Hanan yang dulu mampu membuatku menggilainya.Hatiku berdenyut nyeri kala Mas Hanan memperlakukanku dengan dingin, bahkan dia juga tidak mau mengakui bahwa kami dulu pernah menikah.Seolah semua yang kami lalui dulu adalah mimpi saja dan tidak pernah terjadi. Aku menyesal telah menghancurkan hidupku demi lelaki seperti Mas Hanan, ternyata dia tidak lebih dari seorang pengecut saja.Akan aku buktikan bahwa bukan hanya Mas Hanan saja yang bisa bahagia, aku pun juga bisa bahagia dengan pernikahanku dengan Mas Ardan.Aku tidak akan lagi mau menangisi masa laluku, aku akan hidup dengan bahagia tanpa mengingat lagi penyesalan yang selama ini membuatku menderita.Sudah cukup semua kesedihan yang telah aku tanggung selama
Hari ini adalah hari yang menurut Ratih sangat sial, niat hati ingin mengambil hati Widia atas pernikahan anak Widia, Ardan, kakak tiri dari menantunya. Tapi semua niatnya tidak jadi tercapai karena istri Ardan ternyata adalah mantan menantunya.Ratih tidak menyangka bahwa Melisa lah yang menjadi pengantin dari Ardan. Dia tidak mengira dunia sesempit ini, padahal belum lama ini dia baru saja bertemu dengan Melisa di sebuah pusat perbelanjaan."Ah, sial sekali aku hari ini. Baru saja bertemu dengan kakak Naya, tapi aku sudah bertemu dengan wanita tak berguna itu!" gerutu Ratih sambil menyesap minumannya.Ratih sedang duduk di pojok gedung sambil menikmati hidangan di acara pernikahan Melisa."Aku harus merencanakan sesuatu untuk kehancuran Melisa, dia tidak boleh lebih bahagia dari Hanan. Aku akan membuat kehidupan rumah tangga Melisa bagaikan di neraka. Aku akan membuatnya menyesal karena telah meninggalkan Hanan." Ratih masih terus bergumam sendiri.Ratih menatap sekeliling ruangan b
"Apa Jeng Widia tidak tertarik dengan apa yang aku ketahui tentang menantumu itu?" tambah Ratih lagi.Widia hanya mengernyitkan kening dengan apa yang ingin disampaikan oleh Ratih. Widia sangat hafal betul bagaimana sifat orang seperti Ratih ini. Di mata Widia, Ratih adalah wanita yang tamak dan gila harta. Hingga tidak perlu Widia hiraukan.Widia selalu enggan untuk sekedar berbincang dengan Ratih karena sudah mengetahui sifat Ratih yang sesungguhnya. Tapi Widia juga penasaran dengan menantunya itu, Widia belum terlalu mengenal Melisa, dia hanya mendengar cerita tentang Melisa dari Ardan.Sejauh yang Widia dengar dari Ardan, Melisa adalah wanita yang tepat untuk dijadikan pendamping putranya itu. Tapi Widia merasa kalau pernikahan yang diminta oleh anaknya itu terkesan buru-buru.Ada sesuatu yang mengganjal di hati Widia tentang Melisa, tapi Widia tidak mau membuat kebahagiaan putranya hancur. Widia sudah berjanji akan memberikan kebahagiaan untuk anak semata wayangnya itu.Semenjak
Sudah satu minggu sejak pernikahan anaknya, Widia menjadi semakin pendiam. Dia selalu mengawasi setiap gerak-gerik Melisa. Widia belum sempat menanyakan kebenaran tentang Melisa pada Ardan.Sejujurnya Widia ingin sekali menanyakannya pada Ardan, tapi melihat raut bahagia di wajah anaknya membuat Widia mengurungkan niatnya untuk bertanya pada anaknya itu.Widia ragu, apakah anaknya itu akan tetap mengembangkan senyumnya jika dia menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Widia takut jika Ardan terluka nanti.Selama hidupnya Ardan selalu menjadi anak yang baik bagi Widia, dia sekalipun tidak pernah mengeluhkan tentang ayahnya yang tidak lagi bersama dengan ibunya.Hati Widia kembali terasa nyeri mengingat bagaimana kehidupan rumah tangganya yang hancur karena sahabatnya sendiri yang menjadi duri dalam rumah tangganya.Rudi suami Widia bermain api dengan Mirna, sahabat yang sudah seperti saudara sendiri bagi Widia. Diam-diam Rudi dan Mirna menikah tanpa sepengetahuan Widia.Widia me
Melisa hanya diam saja saat sang mertua bertanya padanya, dia tidak tahu harus menjawab apa pada mertuanya itu. Dalam hati Melisa bertanya-tanya apa Ratih sudah menceritakan semua pada sang mertua."Jadi kamu masih tetap ingin bungkam, Mel?" tanya Widia memperjelas."Ma-af, Ma," cicit Melisa takut."Aku tidak perlu ucapan maafmu, aku hanya ingin kamu jujur padaku saja, Mel," ucap Widia.Melisa bimbang antara ingin jujur atau tetap bungkam saja. Tapi dia yakin sekali kalau sang mertua tidak akan menyerah begitu saja jika dia tetap bungkam."Se-jujurnya, Ibu Ratih adalah mantan mertuaku, Ma," jawab Melisa terbata.Widia nampak terkejut dengan apa yang Melisa ungkapkan tentang Ratih. Mau tak mau Melisa pun harus jujur pada Widia, dia tidak mau jika nanti Ratih menghasut Widia lebih parah lagi tentangnya.Biarlah kini Melisa mengungkapkan semuanya kepada Widia, biar sang mertua nilai sendiri bagaimana Melisa di masa lalu. Karena memang kenyataannya begitu, mau disembunyikan seperti apapun
"Bu, kenapa diam?" Melisa tersadar ketika mendengar suara Alisa.Dia seketika memaksakan senyum menanggapi pertanyaannya, sejak Widia memberinya pilihan, Melisa terus saja kepikiran tentang bagaimana harusnya dia mengambil keputusan."Diam lagi, Bu? Ibu Melisa tidak kangen Alisa ya?" tanya Alisa lagi."Maaf, ibu kangen kok dengan Alisa. Ibu sedang banyak pikiran saja," jawab Melisa sembari mengusap pipi Alisa.Hari ini Melisa meminta Alina untuk mengijinkannya bertemu dengan Alisa dan mengajaknya bermain. Dan kebetulan Alina menyetujuinya. Melisa bersyukur sekali, paling tidak Alisa bisa membuatnya sedikit merasakan ketenangan.Melisa bisa sedikit melupakan kegundahan hatinya jika bersama Alisa. Entah apa yang dimiliki Alisa hingga bisa membuat Melisa seperti itu.Melisa sendiri juga heran bisa setertarik itu dengan Alisa. Jika saja Melisa menjadi Alina tentu dia akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia, tapi dia tidak seberuntung Alina. Melisa hanyalah wanita yang berdosa kar
"Mbak, boleh aku tanya sesuatu lagi padamu? Tapi jangan tersinggung, Mbak." Melisa mulai memberanikan diri bertanya pada Naya."Tanya saja, Mel," jawab Naya.Melisa merasa lega ternyata Naya mau merespon pertanyaannya, dia merasa Naya adalah wanita yang sangat baik sekali. Melisa menyesal dulu sudah menyakiti hati dan juga menghancurkan rumah tangga Naya.Memang pantas Naya sekarang hidup dengan bahagia, karena memang Naya layak mendapatkannya. Melisa selalu iri dengan kebahagiaan orang-orang, tapi dia merasa tidak pantas mendapatkannya karena dia telah tega menyakiti hati wanita sebaik Naya."Kenapa Mbak Naya tidak mau kembali pada Mas Hanan?" tanya Melisa takut membuat Naya tersinggung.Naya ternyata tersenyum mendengar pertanyaan Melisa, padahal Melisa sudah berpikir Naya akan tersinggung lalu pergi meninggalkan Melisa tanpa menjawab pertanyaannya.Nyatanya Naya begitu berhati lapang. Melisa semakin merasa ciut di hadapan Naya."Aku hanya tidak mau terbayang-bayang rasa sakitku, j
"Maaf, saya tidak sengaja." Naya menunduk membantu seorang wanita yang sedang memungut barang belanjaannya yang berserakan."Tidak apa-apa, saya juga tidak melihat jalan dengan benar," sahut Dara, wanita yang ditabrak oleh Naya. Dia masih fokus mengumpulkan barang-barangnya yang jatuh.Setelah selesai mengumpulkan barang-barang tersebut, Naya menyerahkannya kepada Dara yang masih menunduk."Terima kasih banyak." Dara mendongak melihat Naya, netranya langsung membulat begitu melihat Naya lah yang ada di hadapannya. Bibir Dara seolah kelu, dari dulu dia ingin sekali bertemu dengan Naya, akhirnya setelah sekian lama, Dara diberi kesempatan untuk bertemu dengan Naya tanpa terduga-duga."Sama-sama," ucap Naya sembari tersenyum teduh. "Maaf, apakah ada yang terluka?" tanya Naya.Dara masih membeku, dia belum bisa berkata-kata karena terkejut melihat Naya. Dara masih mematung memandang Naya takjub."Maaf, apakah benar ada yang sakit? Kenapa Mbak diam saja?" tanya Naya lagi sembari menggoyang
"Hai, Mel. Apa kabarmu?" tanya Naya sembari tersenyum. Kemudian dia menunduk diam sejenak, kelopak matanya mulai mengembun, dirasakannya usapan lembut di punggungnya.Naya menoleh, melihat Alisa yang sudah beranjak remaja. Tidak terasa lima tahun berlalu begitu cepat sejak kepergian Melisa. Operasi pencangkokan jantung Alina berjalan dengan lancar, Alina sudah sehat kembali dengan jantung baru dari Melisa. Bahkan anak-anaknya sudah tumbuh dengan sehat.Naya dan juga keluarganya tidak bisa melupakan jasa Melisa, mereka rutin mengunjungi makam Melisa di setiap tanggal kepergiannya.Masih teringat dengan jelas betapa sedihnya mereka saat Melisa pergi untuk selamanya dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Alina. Sungguh jasa Melisa sangat berharga untuk semua orang, terlebih untuk Irham dan juga keluarganya.Bahkan Irham sempat menurunkan egonya untuk berterima kasih dan meminta maaf kepada Melisa, Naya yang menyaksikan adegan tersebut menangis terharu atas sikap Irham tersebut. Nay
"Apakah masih belum ada keputusan dari Bang Irham, Nay?" tanya Alan kepada Naya yang sedang bersiap untuk ke rumah sakit.Naya menggeleng lesu menanggapi pertanyaan sang suami. Abangnya itu sangat keras kepala. Padahal Melisa tidak punya waktu banyak, keadaannya sudah semakin memburuk. Jika Abangnya belum juga memberikan keputusan, Naya takut jika Melisa tidak bisa bertahan lagi dan Alina tidak mempunyai donor untuk jantungnya lagi.Sejak sadar pertama kali, Melisa sudah tidak pernah bangun lagi. Kehidupannya hanya bergantung pada alat-alat rumah sakit. Ardan masih ingin mempertahankan nyawa sang istri sampai Irham memberikan keputusannya.Ardan sudah rela jika sang istri memiliki keinginan untuk memberikan jantungnya pada Alina. Dia sudah ikhlas jika memang keinginan terakhir Melisa seperti itu."Kita tunggu saja, Nay. Mungkin Bang Irham masih bimbang," tambah Alan."Mau ditunggu sampai kapan, Mas? Bang Irham itu keras kepala, tidak tahu sampai kapan pikirannya itu akan berubah," sah
Ratih mengerjapkan matanya pelan, netranya bergerak ke sana kemari pelan. Memandang ruangan yang serba putih dengan aroma obat-obatan yang sangat kuat. Ratih melihat Dara yang tertidur dengan posisi membungkuk, tangan Ratih kaku ketika digerakkan untuk meraih Dara yang sedang tertidur di samping ranjangnya.Bibir Ratih bergerak tanpa suara memanggil Dara, tenggorokan Ratih terasa kering, dia ingin meminta minum pada Dara."Ra ... Da ... Ra," panggil Ratih dengan suara lirih.Dara tidak merespon panggilan Ratih, dia masih pulas tertidur. Dara kecapekan karena harus mondar mandir mengurus Ratih dan juga Hanan.Ratih pun menggerakkan tangannya dengan paksa untuk meraih Dara, walaupun tenaganya masih lemah, dia harus membangunkan Dara.Dara yang merasakan pergerakan Ratih akhirnya terbangun, "Ibu ... Ibu sudah bangun?" Dara segera bangkit dari duduknya dengan mata yang berbinar."Mi-num ...," lirih Ratih.Dara bergegas mengambilkan Ratih air putih dan membantu Ratih untuk meminumnya. Dara
"Apa? Apa maksudmu, Nay?" Irham meninggikan suaranya. Dia sedang berbicara dengan Naya di depan ruang rawat Alina."Bang, tolong jangan egois. Abang tahu sendiri kondisi Mbak Alina seperti apa. Sudah lama Mbak Alina belum juga menemukan donor untuk jantungnya, kini setelah ada yang mendonorkan jantungnya untuk Mbak Alina, kenapa Abang menolaknya mentah-mentah?"Naya sudah memberi tahu Irham tentang permintaan Melisa yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Alina. Tetapi Irham terlihat menolak permintaan Melisa."Tapi kenapa harus jantung wanita pelakor itu, Nay? Kenapa tidak dari yang lain saja?" lirih Irham."Kita tidak punya pilihan lain, Bang. Jika saja kita masih mempunyai pilihan lain lagi, tentu Abang bisa memilih sesuka hati Abang," sahut Naya menatap sendu Irham."Aku tidak bisa, Nay. Aku tidak mau Alina memiliki bagian tubuh dari wanita itu. Aku tidak bisa menerimanya, hatiku tidak bisa, Nay." Irham masih bersikeras menolak.Naya menggelengkan kepala melihat sifat keras kepala
Tidak terasa sudah satu minggu semenjak Hanan meninggal, Melisa belum juga sadarkan diri. Ardan selalu berada di samping Melisa, dia tidak pernah meninggalkan Melisa barang sejenak.Naya juga mengunjungi Melisa setiap hari, dia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Melisa walau hanya sebentar saja. Ardan dan juga Naya sudah tak lagi saling berkata tajam, mereka sudah saling bermaafan. Naya yang lebih dulu meminta maaf pada Ardan karena berbicara kasar padanya. Naya hanya ingin Ardan sadar tentang kesalahannya saja, dia tidak bermaksud melukai perasaan Ardan.Dan Ardan pun juga sebaliknya, dia juga meminta maaf atas perilaku tidak menyenangkan yang dilakukannya pada Naya.Hari ini Naya datang lagi menjenguk Melisa, tapi dia tidak sendirian. Alisa ikut bersama dengannya melihat kondisi Melisa. Naya pikir tidak mengapa jika Alisa ingin ikut dengannya, mungkin saja dengan kedatangan Alisa, Melisa bisa sadarkan diri.Naya sangat berharap Melisa bisa membuka matanya lagi. Dia ingin Meli
"Kenapa Bunda menangis? Apa masih ada yang sakit?" tanya Aryan ketika melihat Naya masih menangis menatap sendu Aryan.Naya dan Alan sudah sampai di rumah, mereka langsung menemui Aryan yang sedang bermain bersama dengan Alisa.Naya semakin terisak mendapat pertanyaan dari putranya itu, dia sangat sedih, Aryan belum terlalu mengenal ayah kandungnya tapi ayahnya tersebut sudah tiada.Alan yang melihat Naya hanya bisa menangis pun mulai berjalan mendekati Aryan. Alan mengelus puncak kepala Aryan lembut. Dikecupnya kening putra sambungnya tersebut dengan kasih sayang."Ikut kami yuk, Nak," ucap Alan."Mau kemana, Yah? Terus kenapa Bunda menangis? Apa Bunda masih sakit, Yah? Kalau Bunda masih sakit, kita bawa ke rumah sakit lagi saja." Aryan bertanya bertubi-tubi, dia masih belum mengerti kesedihan sang bunda."Ki-ta pergi untuk melihat ayah Aryan, mau ya, Nak?" bujuk Alan lembut.Aryan mengernyit, "Ayah Aryan kan sudah di sini," jawab Aryan memutar badannya membelakangi Alan.Aryan menun
"Sudah, Nay. Kamu yang sabar, aku lihat suami Melisa sudah sangat menyesal. Jangan lagi kamu tambah lagi penyesalannya," ucap Alan sembari mengelus puncak kepala Naya."Iya, Mas. Maaf, aku terbawa emosi karena melihat suami Melisa. Aku merasa kasihan kepada Melisa, hidupnya terlalu banyak penderitaan," sahut Naya.Alan tersenyum mendengar Naya, istrinya itu mudah sekali instropeksi diri, dia akan mengakui salah jika memang dirinya bersalah. Alan merasa sangat beruntung mendapatkan Naya sebagai istrinya.Kini mereka sedang berada di kamar rawat Naya, sedangkan Dinda pulang ke rumah Naya untuk membantu menjaga anak-anak. Kasihan mereka hanya di rumah bersama seorang pengasuh saja, Irham masih menemani Alina di rumah sakit. Dokter tidak mengijinkan Alina di rawat di rumah, mengingat kondisi Alina bisa berada dalam bahaya kapan saja.Alan tiba-tiba teringat dengan kondisi Hanan yang bertambah kritis, dia harus segera memberitahu Naya tentang kondisi Hanan. Walau bagaimanapun Hanan juga ay
"Antarkan aku melihat kondisi Melisa, Mas," pinta Naya kepada Alan.Alan memberikan lirikan kepada Dinda supaya membujuk Naya, Alan masih khawatir dengan kondisi Naya yang belum terlalu membaik.Dinda seolah mengerti dengan maksud dari lirikan Alan kepadanya."Mbak, nanti saja. Pulihkan dulu kondisimu, baru nanti Mbak bisa melihat kondisi wanita itu," ucap Dinda.Naya memalingkan wajahnya menghadap Dinda, dia menatap tajam kepada Dinda."Siapa yang kau sebut wanita itu, Din? Dia punya nama, dan dialah orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku." Dinda hanya menunduk menanggapi ucapan Naya. Kebencian Dinda kepada Melisa masih mengakar di hatinya. Dinda masih ingat betul bagaimana Melisa menghancurkan hidup Naya di masa lalu.Alan mendesah, dia salah karena meminta Dinda untuk membujuk Naya. Sejenak dia lupa kalau Dinda sangat membenci Melisa. Istrinya itu memang lemah lembut, tetapi jika sudah mempunyai kemauan seperti ini, Alan tidak akan kuasa menolaknya."Baiklah, ak