"Bu, kenapa diam?" Melisa tersadar ketika mendengar suara Alisa.Dia seketika memaksakan senyum menanggapi pertanyaannya, sejak Widia memberinya pilihan, Melisa terus saja kepikiran tentang bagaimana harusnya dia mengambil keputusan."Diam lagi, Bu? Ibu Melisa tidak kangen Alisa ya?" tanya Alisa lagi."Maaf, ibu kangen kok dengan Alisa. Ibu sedang banyak pikiran saja," jawab Melisa sembari mengusap pipi Alisa.Hari ini Melisa meminta Alina untuk mengijinkannya bertemu dengan Alisa dan mengajaknya bermain. Dan kebetulan Alina menyetujuinya. Melisa bersyukur sekali, paling tidak Alisa bisa membuatnya sedikit merasakan ketenangan.Melisa bisa sedikit melupakan kegundahan hatinya jika bersama Alisa. Entah apa yang dimiliki Alisa hingga bisa membuat Melisa seperti itu.Melisa sendiri juga heran bisa setertarik itu dengan Alisa. Jika saja Melisa menjadi Alina tentu dia akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia, tapi dia tidak seberuntung Alina. Melisa hanyalah wanita yang berdosa kar
"Mbak, boleh aku tanya sesuatu lagi padamu? Tapi jangan tersinggung, Mbak." Melisa mulai memberanikan diri bertanya pada Naya."Tanya saja, Mel," jawab Naya.Melisa merasa lega ternyata Naya mau merespon pertanyaannya, dia merasa Naya adalah wanita yang sangat baik sekali. Melisa menyesal dulu sudah menyakiti hati dan juga menghancurkan rumah tangga Naya.Memang pantas Naya sekarang hidup dengan bahagia, karena memang Naya layak mendapatkannya. Melisa selalu iri dengan kebahagiaan orang-orang, tapi dia merasa tidak pantas mendapatkannya karena dia telah tega menyakiti hati wanita sebaik Naya."Kenapa Mbak Naya tidak mau kembali pada Mas Hanan?" tanya Melisa takut membuat Naya tersinggung.Naya ternyata tersenyum mendengar pertanyaan Melisa, padahal Melisa sudah berpikir Naya akan tersinggung lalu pergi meninggalkan Melisa tanpa menjawab pertanyaannya.Nyatanya Naya begitu berhati lapang. Melisa semakin merasa ciut di hadapan Naya."Aku hanya tidak mau terbayang-bayang rasa sakitku, j
"Dari mana saja kamu, Mel?" tanya Widia dingin pada Melisa.Melisa yang baru saja membuka pintu langsung terkejut dibuatnya. Dia baru saja tiba di rumah setelah pertemuannya dengan Naya."Assalamu'alaikum, Ma," salam Melisa pada Widia."Wa'alaikumsalam. Jawab saja pertanyaanku, Mel!" tegas Widia setelah menjawab salam Melisa."Aku baru saja bertemu dengan teman, Ma," jawab Melisa.Widia sedang duduk di sofa ruang tamu sambil memainkan ponselnya segera mendongak pada Melisa setelah mendengar jawaban darinya."Teman seperti apa yang bisa membuat wajahmu ceria, Mel? Jangan bilang kamu bertemu dengan mantan suamimu itu," tuduh Widia pada sang menantu.Widia sudah berburuk sangka pada Melisa, padahal mana mungkin Melisa bertemu dengan Hanan di saat dia sudah menikah dengan Ardan. Lagi pula Melisa sudah tidak ada urusan lagi dengan Hanan."Jangan berburuk sangka, Ma. Aku memang bertemu dengan temanku, jika tidak percaya aku bisa menelfonnya dan menjelaskan semuanya pada Mama," jelas Melisa
Pov Hanan.Aku masih terpaku setelah Melisa berani menjawabku, dan dari mana sebenarnya dia tahu tentang anakku. Aku saja yang ayahnya hanya melihatnya sekilas.Aku harus mencari informasi dari mana Melisa tahu tentang putraku. Sudah lama sekali aku mencarinya tapi tidak pernah bertemu kembali sejak dua tahun lalu. Padahal aku sudah mendatangi restoran Naya lagi tapi tidak menemukannya kembali.Harusnya dulu saat melihatnya, aku memberanikan diri untuk menemui putraku, bukan malah pergi seperti pengecut.Aku dulu belum siap bertemu dengan Naya dan suami barunya. Andai saja Naya tidak sedang bersama suaminya, aku pasti akan memberanikan diri mendekatinya. Kini aku hanya bisa menyesal dan memendam kerinduan mendalam.Jika aku diberi kesempatan sekali lagi untuk bertemu dengan Naya dan putraku, aku pasti tidak akan menyianyiakannya. Akan aku genggam kembali Naya beserta putraku.Aku sudah pernah kehilangan segalanya, maka aku tidak akan takut melakukan sesuatu untuk membuat Naya kembali
"Om ngapain? Masih nggak rela sepatunya buat bundaku?" tanya Aryan memecahkan keheningan.Hanan hanya bisa menatap Aryan sendu, dia tidak menyangka hari ini bisa bertemu dengan putra yang sangat dia rindukan."Apa kabar, Mas?" Naya akhirnya mampu tersadar dari keterkejutannya bertemu dengan Hanan."Ba-ik, Nay. A-pa dia putraku?" Tangan Hanan gemetar menunjuk pada Aryan yang sedang memandangnya dengan penuh tanya.Naya mengangguk dan segera menarik lengan Aryan untuk berdiri di sampingnya. Jujur ada rasa takut jika sampai Hanan merebut Aryan darinya, tapi Naya juga tidak boleh egois hingga Aryan tidak mengenal siapa ayah kandungnya.Netra Hanan berkaca-kaca melihat Aryan, putra semata wayangnya kini telah berada di hadapannya. Secara tak sadar Hanan melangkah mendekat hendak memeluk Aryan, tapi Naya buru-buru memundurkan langkahnya memegang erat lengan Aryan."Jangan terburu-buru, Mas. Aku butuh waktu menjelaskan pada Aryan siapa kamu sebenarnya," ucap Naya membuat hati Hanan sakit."A
Melisa tersenyum senang bisa membuat Hanan tidak bisa lagi mengancamnya, ternyata tidak sia-sia dia bisa bertemu dengan Naya tanpa sengaja."Kamu kenapa, Mel? Aku perhatikan dari tadi kamu selalu senyum-senyum sendiri. Memangnya ada apa?" tanya Ardan saat mereka sedang berada di kamar."Tidak ada apa-apa kok, Mas. Oh iya, mulai minggu depan aku boleh mengajar lagi, Mas?"Melisa berharap dijinkan oleh Ardan untuk mengajar lagi. Jika di rumah terus dia merasa jenuh dan kesepian, apalagi Melisa tidak bisa mengakrabkan diri dengan Widia."Kenapa buru-buru ingin mengajar, Mel?" Ardan nampak mengernyitkan keningnya."Aku jenuh Mas di rumah terus, aku juga rindu dengan para muridku," jawab Melisa.Ardan terdiam memikirkan bagaimana baiknya, sejujurnya dia ingin sekali istrinya itu hanya di rumah saja, biar dia saja yang bekerja. Tapi Ardan juga tidak kuasa menolak permintaan Melisa."Baiklah, kamu sudah boleh mengajar minggu depan," ucap Ardan."Benarkah, terima kasih banyak, Mas," sahut Mel
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Melisa sudah mulai mengajar lagi. Senyumnya dari tadi tidak pernah hilang dari bibirnya saat mengajar para muridnya."Aura pengantin baru memang beda sekali, dari tadi senyum-senyum sendiri," goda Dita yang telah duduk di samping Melisa.Melisa hanya menanggapinya dengan senyuman, Melisa tersenyum sejak tadi bukan karena menjadi pengantin baru, tetapi dia senang karena bisa kembali melihat Alisa setiap hari.Waktu sudah beranjak siang, mereka sedang bersiap-siap untuk pulang setelah selesai mengajar. Hanya tinggal menunggu bel pulang dibunyikan mereka bisa pulang.Hari ini Melisa berencana akan mengajak Alisa bermain lagi setelah pulang sekolah, akan tetapi pesan WA yang dikirimkannya pada Alina belum dibalas sama sekali. Padahal Melisa sudah lama mengirimkannya.Setiap saat Melisa mengecek ponselnya, adakah pesan dari Alina atau tidak. Ingin menelfon tapi Melisa takut jika nanti yang menerimanya Irham, nyalinya masih saja ciut jika berhada
[Pastikan nanti kamu datang pukul delapan pagi, nanti Bang Irham akan pergi ke kantornya untuk menandatangi berkas-berkas.]Melisa membaca pesan dari Naya dengan mata berbinar, dia tidak menyangka setelah dua hari lalu pertemuannya dengan Naya, akhirnya dia bisa menjenguk Alina di rumah sakit.Buru-buru Melisa mengetik pesan dan mengirimkan balasannya kepada Naya.[Baik, Mbak. Terima kasih banyak, aku pasti akan datang tepat waktu, Mbak.]Melisa meminta ijin pada sang suami untuk menjenguk Alina, sebagai istri tentu saja Melisa tidak akan pergi tanpa ijin suaminya."Mas, bolehkan aku nanti pergi menjenguk Mbak Alina?" tanya Melisa sambil merapikan tempat tidur."Tentu boleh, Mel. Mau aku antar?" Ardan menawarkan diri untuk mengantar Melisa.Melisa segera menghentikan kegiatannya dan menatap Ardan, Melisa masih ragu untuk jujur pada Ardan tentang keluarga Alina, termasuk Naya, wanita yang dulu pernah dihancurkan rumah tangganya."Emm ... tidak usah, Mas. Mas kan harus ke sekolah? Aku c
"Maaf, saya tidak sengaja." Naya menunduk membantu seorang wanita yang sedang memungut barang belanjaannya yang berserakan."Tidak apa-apa, saya juga tidak melihat jalan dengan benar," sahut Dara, wanita yang ditabrak oleh Naya. Dia masih fokus mengumpulkan barang-barangnya yang jatuh.Setelah selesai mengumpulkan barang-barang tersebut, Naya menyerahkannya kepada Dara yang masih menunduk."Terima kasih banyak." Dara mendongak melihat Naya, netranya langsung membulat begitu melihat Naya lah yang ada di hadapannya. Bibir Dara seolah kelu, dari dulu dia ingin sekali bertemu dengan Naya, akhirnya setelah sekian lama, Dara diberi kesempatan untuk bertemu dengan Naya tanpa terduga-duga."Sama-sama," ucap Naya sembari tersenyum teduh. "Maaf, apakah ada yang terluka?" tanya Naya.Dara masih membeku, dia belum bisa berkata-kata karena terkejut melihat Naya. Dara masih mematung memandang Naya takjub."Maaf, apakah benar ada yang sakit? Kenapa Mbak diam saja?" tanya Naya lagi sembari menggoyang
"Hai, Mel. Apa kabarmu?" tanya Naya sembari tersenyum. Kemudian dia menunduk diam sejenak, kelopak matanya mulai mengembun, dirasakannya usapan lembut di punggungnya.Naya menoleh, melihat Alisa yang sudah beranjak remaja. Tidak terasa lima tahun berlalu begitu cepat sejak kepergian Melisa. Operasi pencangkokan jantung Alina berjalan dengan lancar, Alina sudah sehat kembali dengan jantung baru dari Melisa. Bahkan anak-anaknya sudah tumbuh dengan sehat.Naya dan juga keluarganya tidak bisa melupakan jasa Melisa, mereka rutin mengunjungi makam Melisa di setiap tanggal kepergiannya.Masih teringat dengan jelas betapa sedihnya mereka saat Melisa pergi untuk selamanya dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Alina. Sungguh jasa Melisa sangat berharga untuk semua orang, terlebih untuk Irham dan juga keluarganya.Bahkan Irham sempat menurunkan egonya untuk berterima kasih dan meminta maaf kepada Melisa, Naya yang menyaksikan adegan tersebut menangis terharu atas sikap Irham tersebut. Nay
"Apakah masih belum ada keputusan dari Bang Irham, Nay?" tanya Alan kepada Naya yang sedang bersiap untuk ke rumah sakit.Naya menggeleng lesu menanggapi pertanyaan sang suami. Abangnya itu sangat keras kepala. Padahal Melisa tidak punya waktu banyak, keadaannya sudah semakin memburuk. Jika Abangnya belum juga memberikan keputusan, Naya takut jika Melisa tidak bisa bertahan lagi dan Alina tidak mempunyai donor untuk jantungnya lagi.Sejak sadar pertama kali, Melisa sudah tidak pernah bangun lagi. Kehidupannya hanya bergantung pada alat-alat rumah sakit. Ardan masih ingin mempertahankan nyawa sang istri sampai Irham memberikan keputusannya.Ardan sudah rela jika sang istri memiliki keinginan untuk memberikan jantungnya pada Alina. Dia sudah ikhlas jika memang keinginan terakhir Melisa seperti itu."Kita tunggu saja, Nay. Mungkin Bang Irham masih bimbang," tambah Alan."Mau ditunggu sampai kapan, Mas? Bang Irham itu keras kepala, tidak tahu sampai kapan pikirannya itu akan berubah," sah
Ratih mengerjapkan matanya pelan, netranya bergerak ke sana kemari pelan. Memandang ruangan yang serba putih dengan aroma obat-obatan yang sangat kuat. Ratih melihat Dara yang tertidur dengan posisi membungkuk, tangan Ratih kaku ketika digerakkan untuk meraih Dara yang sedang tertidur di samping ranjangnya.Bibir Ratih bergerak tanpa suara memanggil Dara, tenggorokan Ratih terasa kering, dia ingin meminta minum pada Dara."Ra ... Da ... Ra," panggil Ratih dengan suara lirih.Dara tidak merespon panggilan Ratih, dia masih pulas tertidur. Dara kecapekan karena harus mondar mandir mengurus Ratih dan juga Hanan.Ratih pun menggerakkan tangannya dengan paksa untuk meraih Dara, walaupun tenaganya masih lemah, dia harus membangunkan Dara.Dara yang merasakan pergerakan Ratih akhirnya terbangun, "Ibu ... Ibu sudah bangun?" Dara segera bangkit dari duduknya dengan mata yang berbinar."Mi-num ...," lirih Ratih.Dara bergegas mengambilkan Ratih air putih dan membantu Ratih untuk meminumnya. Dara
"Apa? Apa maksudmu, Nay?" Irham meninggikan suaranya. Dia sedang berbicara dengan Naya di depan ruang rawat Alina."Bang, tolong jangan egois. Abang tahu sendiri kondisi Mbak Alina seperti apa. Sudah lama Mbak Alina belum juga menemukan donor untuk jantungnya, kini setelah ada yang mendonorkan jantungnya untuk Mbak Alina, kenapa Abang menolaknya mentah-mentah?"Naya sudah memberi tahu Irham tentang permintaan Melisa yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Alina. Tetapi Irham terlihat menolak permintaan Melisa."Tapi kenapa harus jantung wanita pelakor itu, Nay? Kenapa tidak dari yang lain saja?" lirih Irham."Kita tidak punya pilihan lain, Bang. Jika saja kita masih mempunyai pilihan lain lagi, tentu Abang bisa memilih sesuka hati Abang," sahut Naya menatap sendu Irham."Aku tidak bisa, Nay. Aku tidak mau Alina memiliki bagian tubuh dari wanita itu. Aku tidak bisa menerimanya, hatiku tidak bisa, Nay." Irham masih bersikeras menolak.Naya menggelengkan kepala melihat sifat keras kepala
Tidak terasa sudah satu minggu semenjak Hanan meninggal, Melisa belum juga sadarkan diri. Ardan selalu berada di samping Melisa, dia tidak pernah meninggalkan Melisa barang sejenak.Naya juga mengunjungi Melisa setiap hari, dia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Melisa walau hanya sebentar saja. Ardan dan juga Naya sudah tak lagi saling berkata tajam, mereka sudah saling bermaafan. Naya yang lebih dulu meminta maaf pada Ardan karena berbicara kasar padanya. Naya hanya ingin Ardan sadar tentang kesalahannya saja, dia tidak bermaksud melukai perasaan Ardan.Dan Ardan pun juga sebaliknya, dia juga meminta maaf atas perilaku tidak menyenangkan yang dilakukannya pada Naya.Hari ini Naya datang lagi menjenguk Melisa, tapi dia tidak sendirian. Alisa ikut bersama dengannya melihat kondisi Melisa. Naya pikir tidak mengapa jika Alisa ingin ikut dengannya, mungkin saja dengan kedatangan Alisa, Melisa bisa sadarkan diri.Naya sangat berharap Melisa bisa membuka matanya lagi. Dia ingin Meli
"Kenapa Bunda menangis? Apa masih ada yang sakit?" tanya Aryan ketika melihat Naya masih menangis menatap sendu Aryan.Naya dan Alan sudah sampai di rumah, mereka langsung menemui Aryan yang sedang bermain bersama dengan Alisa.Naya semakin terisak mendapat pertanyaan dari putranya itu, dia sangat sedih, Aryan belum terlalu mengenal ayah kandungnya tapi ayahnya tersebut sudah tiada.Alan yang melihat Naya hanya bisa menangis pun mulai berjalan mendekati Aryan. Alan mengelus puncak kepala Aryan lembut. Dikecupnya kening putra sambungnya tersebut dengan kasih sayang."Ikut kami yuk, Nak," ucap Alan."Mau kemana, Yah? Terus kenapa Bunda menangis? Apa Bunda masih sakit, Yah? Kalau Bunda masih sakit, kita bawa ke rumah sakit lagi saja." Aryan bertanya bertubi-tubi, dia masih belum mengerti kesedihan sang bunda."Ki-ta pergi untuk melihat ayah Aryan, mau ya, Nak?" bujuk Alan lembut.Aryan mengernyit, "Ayah Aryan kan sudah di sini," jawab Aryan memutar badannya membelakangi Alan.Aryan menun
"Sudah, Nay. Kamu yang sabar, aku lihat suami Melisa sudah sangat menyesal. Jangan lagi kamu tambah lagi penyesalannya," ucap Alan sembari mengelus puncak kepala Naya."Iya, Mas. Maaf, aku terbawa emosi karena melihat suami Melisa. Aku merasa kasihan kepada Melisa, hidupnya terlalu banyak penderitaan," sahut Naya.Alan tersenyum mendengar Naya, istrinya itu mudah sekali instropeksi diri, dia akan mengakui salah jika memang dirinya bersalah. Alan merasa sangat beruntung mendapatkan Naya sebagai istrinya.Kini mereka sedang berada di kamar rawat Naya, sedangkan Dinda pulang ke rumah Naya untuk membantu menjaga anak-anak. Kasihan mereka hanya di rumah bersama seorang pengasuh saja, Irham masih menemani Alina di rumah sakit. Dokter tidak mengijinkan Alina di rawat di rumah, mengingat kondisi Alina bisa berada dalam bahaya kapan saja.Alan tiba-tiba teringat dengan kondisi Hanan yang bertambah kritis, dia harus segera memberitahu Naya tentang kondisi Hanan. Walau bagaimanapun Hanan juga ay
"Antarkan aku melihat kondisi Melisa, Mas," pinta Naya kepada Alan.Alan memberikan lirikan kepada Dinda supaya membujuk Naya, Alan masih khawatir dengan kondisi Naya yang belum terlalu membaik.Dinda seolah mengerti dengan maksud dari lirikan Alan kepadanya."Mbak, nanti saja. Pulihkan dulu kondisimu, baru nanti Mbak bisa melihat kondisi wanita itu," ucap Dinda.Naya memalingkan wajahnya menghadap Dinda, dia menatap tajam kepada Dinda."Siapa yang kau sebut wanita itu, Din? Dia punya nama, dan dialah orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku." Dinda hanya menunduk menanggapi ucapan Naya. Kebencian Dinda kepada Melisa masih mengakar di hatinya. Dinda masih ingat betul bagaimana Melisa menghancurkan hidup Naya di masa lalu.Alan mendesah, dia salah karena meminta Dinda untuk membujuk Naya. Sejenak dia lupa kalau Dinda sangat membenci Melisa. Istrinya itu memang lemah lembut, tetapi jika sudah mempunyai kemauan seperti ini, Alan tidak akan kuasa menolaknya."Baiklah, ak