"Serius lah Ra ... saya ini beneran mau pulang kampung Ra, mudik gitu lah ..." Gadis cantik dengan rambut panjang itu langsung menatap bossnya dengan tatapan penuh pertanyaan."Pulang ke kampung halaman, Pak? Saya nggak lagi salah dengar kan? Kalau Bapak serius mau pulang ke kampung halaman alias tempat kelahiran bapak yang jauh itu?"Kampung halaman tempat kelahiran Aydan memang jauh, di luar negeri sana.Aydan mengangguk, "iya, kamu nggak salah dengar Ra, saya mau cuti selama sekitar satu atau dua minggu-an. Papa saya sakit."Azzura langsung membulatkan bibirnya sambil manggut-manggut. "Jadi ... nanti, selama saya nggak ada di tempat, kalau bisa kamu yang bertugas untuk melaporkan semua yang terjadi di kantor selama saya nggak ada," titah Aydan yang masih menikmati makan siangnya. "Kamu cuma sekadar melaporkan saja kok, nggak perlu melakukan hal sulit."Sambil menatap ke arah Aydan, Azzura menghela napas, justru 'melaporkan semua' itu tugas yang teramat sulit ..."Nanti, untuk uru
Pagi itu Azzura bangun dengan perasaan senang luar biasa. Namun, entah kenapa justru itu membuat dia sedikit tidak tenang.Feeling Azzura, biasanya setelah perasaan senang luar biasa, seperti yang sedang dia rasakan sekarang ini. Setelah nya akan ada kejadian yang tidak menyenangkan.Semoga saja dugaanku salah. Azzura membatin sembari bersiap untuk turun dan menikmati sarapan pagi.Feeling tidak enak Azzura langsung menguap, begitu dia melihat deretan berbagai menu yang disajikan oleh pihak hotel. Azzura sumringah menikmati sarapan paginya dengan suka cita. Tugasnya mengantar cincin milik Aydan yang ketinggalan sudah beres. Siang nanti waktunya ia pulang kembali ke Indonesia. Kembali ke alam nyata.Rencananya setelah beres sarapan, Azzura ingin mencari oleh-oleh sesuai perintah Aydan, sekalian juga mencari oleh-oleh untuk keponakannya. Sungguh liburan yang tak terduga. Liburan gratis yang sangat mewah. Azzura tersenyum puas melihat piring kosong di hadapannya yang bersih tanpa jejak.
Ini hari kedua setelah tragedi cincin yang tertinggal. Azzura masih belum bisa menemukan jalan keluar untuk menjelaskan pada kedua orangtua nya, bahwa pertunangan dirinya dan Aydan hanya sebuah sandiwara.Bahkan hari ini saja, ketika sedang bekerja, berulang kali, mamanya menelpon hanya untuk memastikan kalau Aydan dan dirinya benar bertunangan.Azzura bisa mendengar nada bahagia milik Mamanya, "Ra, ya ampun ... akhirnya kamu ketemu laki-laki yang baik. Mama berharap kali ini semua berjalan lancar, Nak." Azzura mendesah pelan, bagaimana mungkin dirinya tega membuat Mama kecewa lagi dengan mengatakan bahwa semua cuma sandiwara."Ra, kapan kamu pulang ke rumah. Nginep yang agak lama juga nggak apa-apa. Mama penasaran dengan calon tunangan kamu, Nak. Katanya kalian satu kantor kan?" Mama kembali menelpon Azzura saat dirinya baru saja beres mandi."Maa, please deh ya, sehari ini Mama tuh udah nelpon aku lima kali lebih." dengan satu tangan yang bebas, Azzura meraih kaos bersih dari dalam
Udara sore terasa begitu dingin menembus kulit putih Azzura yang bagai susu. Angin berhembus pelan menerpa wajahnya. Langit tampak murung dari biasanya, seperti bisa ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Azzura. Burung burung kecil beriringan menari nari di atas awan. Sementara di kejauhan, sebentar lagi mentari sedang bersiap menenggelamkan diri. Menyemburkan semburat warna jingga yang cantik, sayang sedikit tertutup oleh barisan awan yang tampaknya ingin ikut serta tampil cantik di sore itu.Azzura menghentikan langkahnya, lalu meletakkan tubuhnya di atas kursi yang berjajar rapi di pinggir taman. "Mimpi apa aku ini ... terlibat masalah besar begini dengan Pak Aydan." Azzura menengadah menatap langit yang perlahan mulai berubah gelap. Telepon seluler miliknya berdering, membuat Azzura buru-buru menjawab panggilan masuk."Hallo?""Ra! Elo di mana?" suara milik Donita langsung menyambut kalimat Azzura."Taman dekat kantor. Kenapa?""Astaga! Elo gimana sih Ra. Kan tadi kita u
Astaga! Bola mata Azzura auto setengah melotot saat melihat ke arah layar telepon seluler miliknya yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas. Setengah tidak yakin, ia kembali memastikan bahwa ia sedang tidak salah lihat nama kontak yang sedang menelponnya.Sebaris nama yang sedang berusaha dihindari oleh nya muncul berpendar pendar di layar telepon. Boss bawel, Aydan."Siapa Ra?"Belum sempat dijawab oleh Azzura, Donita sudah keburu ikut melongok ke arah layar telepon seluler Azzura. "Ngapain tuh si boss, jam segini nelpon kamu?" tanya Donita, sepertinya sedikit heran dan lebih banyak penasaran. "Mana pake video call segala!" Donita meringis.Azzura ikutan meringis Sambil mengendikkan bahunya, otak nya langsung berusaha untuk mencari alasan agar Donita tidak curiga."Eh, Yaa ... nggak tahu juga gue." Jantung Azzura berdetak kencang, takut jika sampai Donita tahu yang sebenarnya. Yang Azzura yakin, sekarang ini pun sebenarnya Donita sudah mulai mencium sesuatu yang janggal."Ya angkat
"Pokoknya gue nggak mau tahu. Elo mesti cerita semuanya sama gue! Awas ya, jangan ada dusta diantara kita berdua!" Donita mengancam Azzura."Posesif amat sih, Ta." Azzura tertawa geli melihat kelakuan Donita. "Iya deh iya, kan gue udah bilang, asalkan elo sanggup dengan persyaratan yang gue bilang. Nggak usah khawatir, gue pasti cerita kok ke elo ... semuanya.""Bener lho, ya! Awas aja kalo sampe bohong!""Ya elah, Ta. Kalo bohong ... ntar hidung gue mancung deh kayak Pinokio!"Donita menatap Azzura sambil memutar bola matanya dan mencebik, "Yee, idung Lo tuh ya, emang udah mancung Ra. Emangnya mau nambah semancung apa coba? Nggak usah ngadi ngadi deh Ra.""Yaa, biar makin mancung gitu. Gimana sih Lo." Azzura tertawa geli."Terserah deh, yang penting cerita semuanya."Setelah makanan dan minuman pesanan mereka berdua diantar ke meja, Azzura buru-buru menyesap latte miliknya. Persiapan sebelum memulai bicara."Jadi gini, Ta ... elo pasti nya masih inget waktu Pak Aydan pulang ke kampun
"Ini rahasia ya Ta, Lo jangan sampai ngebocorin ke siapapun!""Iya, iya Ra. Kan tadi udah janji ke elo, gue nggak akan jadi mulut ember. Tenang aja deh, Ra." Donita mengangkat dua jari tangannya, kembali berjanji. Dia memastikan bahwa semua yang sudah diceritakan oleh Azzura tidak akan bocor."Jadi ... kurang lebih seperti itu masalah besar yang sekarang ini sedang gue adepin Ta." Azzura menghela napasnya sesaat."Ck, sumpah Ra. Gue nggak nyangka bakal jadi kayak begini. Seandainya aja, waktu itu bukan elo yang nganter cincin lamaran Pak Aydan yang ketinggalan. Pasti sekarang nggak bakalan kayak begini nasib Lo."Donita ikut ikutan menghela napasnya. "kalo menurut gue nih ... kayaknya sih nggak ada masalah kalau pura-pura, kan cuma sementara, tapi justru masalah utamanya itu, kasihan nyokap sama bokap Lo, Ra ..."Benar yang dibilang Donita, justru saat ini malah masalah utamanya adalah bagaimana cara untuk menjelaskan bahwa semua ini hanya sebuah sandiwara.Rasanya pikiran Azzura sepe
"Kenapa Ra?" Donita mengernyit menatap Azzura yang terlihat gusar."Gue disuruh ke tempat Pak Aydan sekarang, Ta.""Mau ngapain dia?""Ya ... Mana gue tahu?" Azzura mengendikkan bahunya. Dia sendiri memang benar benar tidak tahu, kenapa juga Aydan mesti menyuruh dia datang ke apartemen, lebih tepatnya, penthouse-nya malam malam begini. "Paling juga mau bahas soal mamanya yang nelpon dia terus-terusan."Donita cuma bisa setuju dengan pendapat Azzura. "Ya udah, kita cabut aja sekarang. Urusan rahasia-rahasia an yang barusan elo cerita. Janji, nggak bakal bocor kemana mana!" Donita kembali menyakinkan Azzura."Thank ya Ta, udah mau nemenin gue dan dengerin semua cerita soal Pak Aydan.""Hmm, itu gunanya elo punya sahabat Ra."Kedua sahabat itu berpisah di tempat parkir. Mobil mereka berdua diparkir bersebelahan. Setelah keduanya naik ke dalam mobil. Mereka saling membunyikan klakson untuk berpamitan. Donita melaju ke arah yang berlawanan dengan mobil yang dikendarai oleh Azzura.Azzura m
Telepon seluler milik Aydan terus menerus berdering. Azzura, yang sedang tertidur dengan cemas berinisiatif untuk mengambil telepon itu.Dering telepon itu mau tak mau membangunkan Azzura. Dia terbangun Setelah beberapa saat. Sepertinya Aydan juga sudah tertidur. Diliriknya jam yang melingkar di tangannya. Hampir pukul setengah tiga pagi.Telepon seluler milik Aydan kembali berbunyi.Apa itu bunyi alarm pengingat waktu, ya? Azzura terlihat ragu. Bunyi dering dari telepon seluler Aydan terus terdengar. Azzura takut jika suara itu mengganggu tidur bossnya dan membuat nya terbangun dari tidur.Ragu-ragu Azzura berjalan menuju ke arah telepon seluler yang sedang diisi daya di atas meja di sebelah ranjang Aydan.Azzura mengulurkan tangannya nya hendak mencoba untuk mematikan bunyi alarm. Ternyata dugaannya keliru. Itu bukan bunyi alarm pengingat, tapi panggilan video masuk dari Mama Aydan! Azzura terlihat panik. Dan yang lebih gawatnya lagi, Azzura tidak sengaja menekan tombol jawab!"Hall
Aydan sudah menghabiskan bubur yang dibuat oleh Azzura. Awalnya Aydan agak sangsi untuk mencicip bubur di hadapannya itu, sepertinya dia sedikit tidak yakin kalau bubur buatan Azzura benar-benar aman untuk dikonsumsi."Ehm, ini beneran kamu yang bikin, Ra?" Aydan menatap mangkuk buburnya yang sudah kosong di atas meja. Ternyata bubur itu rasanya cukup enak.Azzura mengernyit, "maksudnya apa ya, Pak? Apa Pak Aydan pikir saya nggak bisa masak, ya? Jangan salah ya, Pak, masak itu salah satu passion saya, lho." Azzura mencebik.Aydan terbatuk-batuk, "yaa, itu ... saya minta maaf deh ... saya kira kamu itu bukan tipe cewek yang suka berurusan dengan dapur.""Memangnya tipe saya, tipe cewek yang bagaimana, Pak?"Aydan terkekeh, "sejauh saya perhatikan, kamu ini tipe yang suka-suka dan semau gue. Cuek banget dengan urusan penampilan. Jadi ... wajar kan, kalau saya mengira kamu nggak mungkin punya hobi masak.""Dih, nggak nyambung." Azzura mencebik sambil menatap wajah Aydan yang masih terlih
Setelah berhasil mendapatkan izin untuk menggunakan dapur. Azzura segera bergegas untuk membuat makanan untuk bosnya yang sedang sakit.Azzura berjalan ke dapur milik Aydan. Setelah memeriksa isi kulkas dan memastikan bahan untuk membuat bubur tersedia. Azzura lalu Membuat Bubur yang Lembut. Supaya bosnya itu bisa makan dengan mudah.Untung saja, Azzura sudah sering membantu (baca, terpaksa membantu) mamanya masak, jadi dia tidak perlu khawatir, kalau hanya sekadar untuk memasak bubur saja.Aydan duduk bersandar di atas kasur dengan ponsel di tangan. Sepertinya sedang menunggu panggilan dari seseorang."Hari ini semestinya jadwal saya meeting di Bandung, Ra. Dan, mestinya ... malam ini harusnya saya berada di sana untuk menghadiri konferensi bisnis penting, ""Namanya juga sakit, masa iya mau memaksakan diri." Ucap Azzura sambil meletakkan mangkuk bubur di atas meja kecil yang ada di sebelah ranjang. "Pak Aydan pasti belum makan! Tadi siang saya sudah ingatkan bapak untuk makan sandw
Azzura terdiam sesaat begitu panggilan telepon dari Aydan terputus. Dia sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri. Antara menuruti rasa penasaran dirinya sendiri atau menolak permintaan tolong Aydan, yang nampaknya terdengar benar-benar seperti sedang kesakitan.Malam-malam begini, menyuruh datang ke apartemen saja sudah membuat dirinya ketar ketir. Apalagi ditambah disuruh langsung ke kamar mandi! Azzura menghentakkan kakinya. Setelah sekitar lima menit, berdebat dan berargumen seorang diri. Ia akhirnya memutuskan nekat, memberanikan diri untuk mencari Aydan, yang nampaknya ada di dalam kamar mandi.Dengan langkah kaki yang setengah takut-takut, Azzura mulai mencari sosok Aydan.What the! Azzura baru sadar, jika ruang di dalam unit penthouse milik Aydan ini ada banyak! Yang mana menyebabkan pintu di dalamnya juga ada banyak!Pintu pertama yang dia buka ternyata bukan pintu kamar mandi, tapi sebuah ruang tidur berukuran sedang. Tampak rapi, sepertinya belum terpakai. Azzura yakin, itu
"Kenapa Ra?" Donita mengernyit menatap Azzura yang terlihat gusar."Gue disuruh ke tempat Pak Aydan sekarang, Ta.""Mau ngapain dia?""Ya ... Mana gue tahu?" Azzura mengendikkan bahunya. Dia sendiri memang benar benar tidak tahu, kenapa juga Aydan mesti menyuruh dia datang ke apartemen, lebih tepatnya, penthouse-nya malam malam begini. "Paling juga mau bahas soal mamanya yang nelpon dia terus-terusan."Donita cuma bisa setuju dengan pendapat Azzura. "Ya udah, kita cabut aja sekarang. Urusan rahasia-rahasia an yang barusan elo cerita. Janji, nggak bakal bocor kemana mana!" Donita kembali menyakinkan Azzura."Thank ya Ta, udah mau nemenin gue dan dengerin semua cerita soal Pak Aydan.""Hmm, itu gunanya elo punya sahabat Ra."Kedua sahabat itu berpisah di tempat parkir. Mobil mereka berdua diparkir bersebelahan. Setelah keduanya naik ke dalam mobil. Mereka saling membunyikan klakson untuk berpamitan. Donita melaju ke arah yang berlawanan dengan mobil yang dikendarai oleh Azzura.Azzura m
"Ini rahasia ya Ta, Lo jangan sampai ngebocorin ke siapapun!""Iya, iya Ra. Kan tadi udah janji ke elo, gue nggak akan jadi mulut ember. Tenang aja deh, Ra." Donita mengangkat dua jari tangannya, kembali berjanji. Dia memastikan bahwa semua yang sudah diceritakan oleh Azzura tidak akan bocor."Jadi ... kurang lebih seperti itu masalah besar yang sekarang ini sedang gue adepin Ta." Azzura menghela napasnya sesaat."Ck, sumpah Ra. Gue nggak nyangka bakal jadi kayak begini. Seandainya aja, waktu itu bukan elo yang nganter cincin lamaran Pak Aydan yang ketinggalan. Pasti sekarang nggak bakalan kayak begini nasib Lo."Donita ikut ikutan menghela napasnya. "kalo menurut gue nih ... kayaknya sih nggak ada masalah kalau pura-pura, kan cuma sementara, tapi justru masalah utamanya itu, kasihan nyokap sama bokap Lo, Ra ..."Benar yang dibilang Donita, justru saat ini malah masalah utamanya adalah bagaimana cara untuk menjelaskan bahwa semua ini hanya sebuah sandiwara.Rasanya pikiran Azzura sepe
"Pokoknya gue nggak mau tahu. Elo mesti cerita semuanya sama gue! Awas ya, jangan ada dusta diantara kita berdua!" Donita mengancam Azzura."Posesif amat sih, Ta." Azzura tertawa geli melihat kelakuan Donita. "Iya deh iya, kan gue udah bilang, asalkan elo sanggup dengan persyaratan yang gue bilang. Nggak usah khawatir, gue pasti cerita kok ke elo ... semuanya.""Bener lho, ya! Awas aja kalo sampe bohong!""Ya elah, Ta. Kalo bohong ... ntar hidung gue mancung deh kayak Pinokio!"Donita menatap Azzura sambil memutar bola matanya dan mencebik, "Yee, idung Lo tuh ya, emang udah mancung Ra. Emangnya mau nambah semancung apa coba? Nggak usah ngadi ngadi deh Ra.""Yaa, biar makin mancung gitu. Gimana sih Lo." Azzura tertawa geli."Terserah deh, yang penting cerita semuanya."Setelah makanan dan minuman pesanan mereka berdua diantar ke meja, Azzura buru-buru menyesap latte miliknya. Persiapan sebelum memulai bicara."Jadi gini, Ta ... elo pasti nya masih inget waktu Pak Aydan pulang ke kampun
Astaga! Bola mata Azzura auto setengah melotot saat melihat ke arah layar telepon seluler miliknya yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas. Setengah tidak yakin, ia kembali memastikan bahwa ia sedang tidak salah lihat nama kontak yang sedang menelponnya.Sebaris nama yang sedang berusaha dihindari oleh nya muncul berpendar pendar di layar telepon. Boss bawel, Aydan."Siapa Ra?"Belum sempat dijawab oleh Azzura, Donita sudah keburu ikut melongok ke arah layar telepon seluler Azzura. "Ngapain tuh si boss, jam segini nelpon kamu?" tanya Donita, sepertinya sedikit heran dan lebih banyak penasaran. "Mana pake video call segala!" Donita meringis.Azzura ikutan meringis Sambil mengendikkan bahunya, otak nya langsung berusaha untuk mencari alasan agar Donita tidak curiga."Eh, Yaa ... nggak tahu juga gue." Jantung Azzura berdetak kencang, takut jika sampai Donita tahu yang sebenarnya. Yang Azzura yakin, sekarang ini pun sebenarnya Donita sudah mulai mencium sesuatu yang janggal."Ya angkat
Udara sore terasa begitu dingin menembus kulit putih Azzura yang bagai susu. Angin berhembus pelan menerpa wajahnya. Langit tampak murung dari biasanya, seperti bisa ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Azzura. Burung burung kecil beriringan menari nari di atas awan. Sementara di kejauhan, sebentar lagi mentari sedang bersiap menenggelamkan diri. Menyemburkan semburat warna jingga yang cantik, sayang sedikit tertutup oleh barisan awan yang tampaknya ingin ikut serta tampil cantik di sore itu.Azzura menghentikan langkahnya, lalu meletakkan tubuhnya di atas kursi yang berjajar rapi di pinggir taman. "Mimpi apa aku ini ... terlibat masalah besar begini dengan Pak Aydan." Azzura menengadah menatap langit yang perlahan mulai berubah gelap. Telepon seluler miliknya berdering, membuat Azzura buru-buru menjawab panggilan masuk."Hallo?""Ra! Elo di mana?" suara milik Donita langsung menyambut kalimat Azzura."Taman dekat kantor. Kenapa?""Astaga! Elo gimana sih Ra. Kan tadi kita u