Selena duduk di meja belajarnya, berbicara dengan Nicholas di telepon. Dia menceritakan serangkaian kejadian lucu dan seru yang terjadi selama ujian sekolah, sementara Nicholas hanya terkekeh mendengarnya. Namun, Selena tak menceritakan tentang ketegangan yang dia alami saat kerasukan pagi tadi."Jadi bentar lagi kamu bakal jadi mahasiswi, ya? Udah ada pilihan universitas belum, dek?" tanya Nicholas, penasaran."Hmmm... mana ya? Menurut abang, yang bagus yang mana?" jawab Selena."Di kampus abang aja, dek. Kampus abang kan bagus meskipun dalam negeri," ujar Nicholas."Yaahh... susah, syarat masuknya itu loh, bang. Aku nggak sepintar abang," keluh Selena dengan wajah murung."Jangan sedih gitu dong... Abang yakin kamu pasti keterima. Adek abang kan pintar," Nicholas mencoba menghibur Selena."Yaudah, ntar deh aku coba. Abang nggak ada kelas?" tanya Selena, berpindah topik."Ada, ntar siangan. Papa belum pulang, dek?" tanya Nicholas, penasaran.Selena menggelengkan kepala, menandakan ba
Akhirnya, ayah Nicholas memutuskan untuk menunda perjalanannya ke rumah sakit. Rasa penasaran membuatnya memilih mendengarkan cerita Selena terlebih dahulu. Dengan wajah serius, Selena mulai menceritakan kejadian mengejutkan yang dialaminya kemarin pagi di sekolah. Saat sedang fokus mengerjakan ujian, tiba-tiba datang kiriman teluh yang mengacaukan suasana.“Awalnya aku mencoba melawan sosok itu, Pa. Tapi dia terlalu kuat. Aku sampai muntah darah... dan tiba-tiba, ada sesuatu dari dalam diriku yang bangkit,” ujar Selena, suaranya bergetar.Ayah Nicholas memperhatikan dengan cermat, sedangkan Rangga yang duduk di dekatnya tampak tegang mendengarkan.“Makhluk itu, Pa... dia muncul dan memakan sosok kiriman teluh itu. Bentuknya seperti binatang. Buas... sangat buas,” Selena menggantung kalimatnya, ketakutan masih membekas di wajahnya.Ayah Nicholas mengangguk pelan sebelum akhirnya berkata, “Harimau. Harimau pendampingmu akhirnya bangun.”“Harimau?” Selena dan Rangga serempak berseru. Ka
“Namaku Egi Mahardika. Adikku, Ryan Mahardika," sosok remaja itu memulai perkenalannya melalui hati Selena.Selena mendengarkan dengan seksama, memilih untuk tidak berbicara langsung agar tak menarik perhatian orang-orang di sekitar. Di dalam hatinya, Egi mulai bercerita, membawa Selena menyelami kisah penuh luka yang ia alami."Aku ikut ibuku setelah orang tua kami bercerai, sementara Ryan tinggal bersama ayah. Saat itu, aku baru lima belas tahun, dan Ryan masih sembilan. Aku masih ingat wajahnya yang menangis, memohon agar aku tidak pergi."Kesedihan yang dalam terpancar dari cerita Egi. Selena dapat merasakan penyesalan yang membebani sosok itu, penyesalan karena meninggalkan adiknya, dan karena memilih pergi bersama ibunya."Mengapa kalian berpisah?" tanya Selena, suaranya lembut dan penuh perhatian.Egi menghela nafas panjang. "Ayahku sebenarnya masih sangat mencintai ibu. Tapi ibu... dia jatuh cinta pada pria lain. Ayahku memutuskan untuk melepaskannya, berharap dia bisa bahagia
Selena, Linggar, dan Rangga kini berada di sebuah restoran mewah. Selena telah memesan ruang makan pribadi agar suasana lebih tenang untuk pertemuan penting malam itu. Mereka akan membahas sesuatu yang sangat sensitif bersama Ryan, yang telah setuju untuk datang.Sekitar pukul tujuh malam, Ryan tiba. Ia datang sendiri, tanpa membawa istri atau anaknya. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran dan sedikit kecemasan."Kalian cuma bertiga? Dimana kakak saya?" tanyanya langsung, pandangannya menyapu ruangan seolah mencari seseorang.Selena melirik sekilas ke arah Egi, yang berdiri di dekat Ryan dengan tatapan penuh harap."Silahkan duduk dulu, Om," ujar Selena lembut, mencoba menenangkan suasana.Ryan mengikuti arahan Selena dan duduk di salah satu kursi di meja bulat itu. Mereka semua duduk berhadapan, masing-masing terlihat serius."Selena, tolong kasih tahu dia kalau aku ada disini," desak Egi, suaranya penuh emosi.Selena menatap Ryan dengan hati-hati sebelum membuka pembicaraan. "Om, maaf
Selena sedang duduk di ruang kerja Ayah Nicholas, meskipun sudah larut malam. Namun, ia tak bisa menahan keinginannya untuk segera menceritakan temuannya siang tadi bersama Rangga dan Linggar yaitu sosok Egi. Ayah Nicholas, yang dikenal penuh perhatian, turut merasakan kepedihan atas nasib Egi, yang seandainya masih hidup, mungkin sudah sebaya dengannya."Jadi, besok kamu benar-benar ingin pergi ke rumah ayah tirinya sosok bernama Egi itu?" tanya Ayah Nicholas dengan tatapan cemas.Selena mengangguk dengan mantap."Iya, Pa. Boleh, kan?" tanyanya, berharap mendapat izin dari ayahnya.Ayah Nicholas tampak berpikir sejenak, pertimbangannya berat. Jika kasus ini terungkap ke publik, tentu akan menjadi sebuah tragedi besar. Namun, dia mengenal Selena dengan baik gadis ini memiliki rasa peduli yang luar biasa, dan dia tahu betapa sedihnya Selena jika ia melarangnya."Boleh, tapi Papa akan minta orang untuk jaga kamu, oke?" ucap Ayah Nicholas akhirnya."Okay, Pa," sahut Selena, tidak keberat
Selena, Rangga, dan Ayah Nicholas sedang menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Tak lama setelah selesai, Ayah Nicholas masih terlihat gelisah memikirkan keputusan Selena untuk membantu sosok bernama Egi. Kekhawatirannya begitu besar hingga ia mendatangkan dua pria untuk memastikan keselamatan Selena jika hal buruk terjadi.Sebagai seorang dokter, Ayah Nicholas tidak memiliki kebebasan waktu untuk selalu mendampingi Selena. Apalagi, setiap hari banyak kiriman yang datang untuk Selena, menambah beban pikirannya."Hati-hati ya, Nak," ujar Ayah Nicholas, memberikan pesan penuh waspada."Iya, Papa. Jangan khawatir, aku pasti baik-baik saja," jawab Selena lembut, memahami kecemasan ayahnya.Tak lama, suara mesin mobil terdengar dari luar. Salah satu pelayan rumah menghampiri Ayah Nicholas."Pak, ada yang mencari Non Selena," lapor pelayan itu."Siapa, Bi?" tanya Ayah Nicholas penasaran."Namanya Pak Ryan," jawab si pelayan.Mendengar nama itu, Selena langsung bangkit dari tempat dud
Ayah tiri Egi melangkah turun dari lantai atas, senyum tipis menghiasi wajahnya ketika melihat Ryan berdiri di ruang tamu. Namun, Ryan tidak lagi anak kecil yang akan membalas senyuman dengan polos.Sejak awal, Ryan tak pernah menyukai ayah tirinya. Dia hanya menghormati keputusan ibunya, sebagaimana ayah kandungnya menghormati keputusan sang istri yang memilih pria lain untuk mendampingi hidupnya."Ryan, apa kabar, Nak?" tanya ayah tirinya dengan nada ramah yang terdengar dipaksakan.Ryan langsung menjawab, tanpa basa-basi. "Cukup dengan kemunafikannya. Aku datang bukan untuk melayani kepalsuanmu." Suaranya tajam, mencerminkan respek yang telah lama hilang terhadap pria yang kini telah menjadi bagian dari keluarganya selama puluhan tahun."Astaghfirullah, Ryan! Kenapa bicaramu begitu? Kamu sudah semakin dewasa, tapi malah semakin kurang ajar terhadap papamu!" tegur ibunya, terkejut dengan sikap Ryan.Ryan menatap ibunya dengan mata penuh ketegasan. "Ma, aku nggak pernah menganggap di
Tim forensik didatangkan, dan pilar beton yang menjadi tempat Egi ditemukan diangkat untuk dibawa ke rumah sakit guna dilakukan autopsi. Meski Ryan yakin itu adalah Egi, prosedur penyelidikan tetap dijalankan demi memastikan keadilan bagi almarhum dan menghukum pelaku dengan setimpal.Ambulans meninggalkan rumah itu, membawa beton berisi sisa-sisa tubuh Egi. Sementara itu, ayah tiri Ryan, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, digiring ke kantor polisi. Di ruang tamu, ibu Ryan yang terus-menerus menangis kini terbaring pingsan di sofa."Om, semoga setelah ini, Egi bisa beristirahat dengan tenang," ujar Selena kepada Ryan yang sibuk memijat kaki ibunya."Iya, apa abang saya ada di sini sekarang?" tanya Ryan, menatap Selena dengan wajah penuh harap."Ya, Egi duduk di sebelah kepala oma," jawab Selena sambil tersenyum kecil, merujuk pada ibu Ryan yang disebut "oma."Ryan menoleh ke arah tempat Selena menunjuk. "Bang, maafkan kami karena tubuhmu harus dibawa ke rumah sakit. Tapi in
Sepupu Linggar sudah sadar, dan kini mereka semua berada di dalam mobil. Seharusnya mereka segera pergi dari rumah itu, tapi Selena masih berat meninggalkan dua anak kecil yang dilihatnya di dalam.Di luar, Linggar sibuk bertanya kepada warga sekitar tentang rumah kosong itu. Salah satu yang bersedia berbicara adalah seorang tukang kebun yang tinggal di sebelahnya."Setelah tahun 2011, pemilik rumah ini pergi entah ke mana. Tiba-tiba aja kosong. Beberapa bulan kemudian, ada plang ‘Rumah Dijual’ dipasang," ujar si tukang kebun.Linggar mengangguk, mendengarkan dengan saksama."Setiap malam ada suara-suara aneh," lanjut pria itu. "Kadang suara perempuan teriak, kadang kayak orang berantem sambil banting-banting barang. Padahal nggak ada yang tinggal di situ. Pernah juga ada maling yang masuk, malah dia sendiri yang teriak minta tolong. Katanya lihat kuntilanak!"Linggar merinding. "Jadi rumah ini memang angker, ya, Pak?" tanyanya.Tukang kebun itu mengangguk mantap. "Angker banget. Stra
Selena tiba di sebuah perumahan yang tampak sepi, bayangan pohon menari-nari di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di depan sebuah rumah kosong, Linggar sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu melihat mobil Selena berhenti, ia langsung berlari menghampiri, nafasnya tersengal."Selena, tolongin sepupuku!" serunya panik.Selena turun dari mobil, ekspresinya berubah tajam. "Dimana dia? Jangan bilang kamu tinggalin dia sendirian!?""Enggak! Abangnya ada di atas, jagain dia," jawab Linggar cepat. Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah, langkah kaki mereka menggema di lorong gelap menuju lantai atas.Begitu mencapai lantai dua, suara teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Selena merasakan hawa yang begitu berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya."Deon!" Linggar menerobos masuk, melihat sepupunya yang tengah mengamuk.Di tengah ruangan yang berantakan, Deon meronta-ronta, tubuhnya dipeluk erat oleh kakaknya yang sudah kelelahan menahannya. M
KEESOKAN HARINYASelena duduk di meja belajarnya, pena menari di atas halaman sebuah buku bersampul biru muda, buku diary miliknya. Senyum manis menghiasi wajahnya, membuat siapapun yang melihatnya tahu betapa bahagianya ia saat ini.Dari sudut ruangan, ibunya memperhatikan putrinya dengan penuh kasih. Kebahagiaan Selena seolah menular padanya.“Apa yang bikin kamu bahagia, sayang?” suara lembut ibunya menyapa.Selena tersentak, hampir lupa bahwa ibunya tak bisa ia sentuh lagi. Refleks, ia hampir saja memeluk sosok yang begitu dirindukannya."Hmm, sepertinya Bunda tahu," lanjut ibunya dengan senyum penuh arti. "Anak Bunda lagi kasmaran, ya?"Selena tersipu. “Hehe... Bunda.”"Menurut Bunda, Bang Nicholas gimana?" tanyanya, ragu-ragu tapi penuh harap."Nicholas?" sang ibu tersenyum. "Dia anak yang baik. Saleh, sopan santun, dan penyayang."Selena semakin tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah."Bunda, Selena udah jadi pacarnya Bang Nicholas," bisiknya dengan nada bahagia.Ya, pacarn
Nicholas menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengambil obat untuk Selena. Tapi sejak tadi, senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Berkali-kali ia berdehem, berusaha menetralisir kegugupannya."Ehem!" deheman kecil itu terdengar lagi. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ketakutannya ternyata tak menjadi kenyataan."Astaghfirullah…" gumamnya, masih tak percaya.Siapa sangka, saat ia mengajak ayahnya bicara di ruang kerja, reaksinya justru di luar dugaan. Ia mengira akan dimarahi, atau setidaknya mendapat teguran keras. Namun yang terjadi malah sebaliknya, ayahnya ikut bahagia.[Flashback Nicholas, On..]Setelah Nicholas mengungkapkan perasaannya pada ayahnya, lelaki paruh baya itu terkejut bukan kepalang."Astaghfirullah, Abang! Akhirnya!" seru ayahnya, nyaris bersorak.Nicholas mengernyit. Ia sudah siap menghadapi kemarahan, atau paling buruk, tamparan. Tapi senyum lebar malah menghiasi wajah ayahnya."Papa nggak marah?" tanyanya ragu."Marah? Enggak lah! Papa malah seneng. Pap
Selena terbangun dengan mata yang tajam, menyapu sekeliling dengan cepat. Suara itu masih menggema di telinganya, dan saat ia menoleh, sebuah sosok berdiri di kejauhan, tersenyum sinis dengan tatapan penuh tipu daya.Makhluk itu bukan sembarang sosok, ia adalah penghasut, yang senang mengajak manusia yang tengah terpuruk dalam masalah untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, ia berbisik pelan di telinga, merayap masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menguasai tubuh manusia hingga mereka tak sadar melakukan tindakan yang tak seharusnya.'Ayo, mati... Ikutlah aku.'"Kamu menghasutku?" Selena menatap tajam.'Lihat, dia di sini. Kamu nggak mau ikut dengan dia?' Sosok itu berubah rupa menjadi Raka, wajah yang dikenal Selena.Selena merasa perih di hati, namun ia tahu itu bukan Raka. Dengan cepat, Selena membaca doa, dan sosok itu menghilang begitu saja. Ia bukanlah jenis makhluk yang dikirimkan, melainkan jiwa yang pernah terperangkap dalam keputusasaan hingga memilih jalan tragis, lalu berusah
Selena melangkah mendekati Sagara, langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Sagara dan menatapnya dalam-dalam."Mbak Marry... Aku akan mengizinkan Mbak masuk ke dalam tubuhku. Katakan sendiri apa yang ingin Mbak sampaikan ke Bang Sagara... Tapi jangan melewati batas," ujar Selena dengan suara tegas.Sejak tadi, sosok Marry terus berusaha meraih Sagara, tangannya yang tak kasat mata berkali-kali ingin memeluk lelaki itu.Linggar segera berdiri di belakang Selena, bersiap berjaga. Nicholas yang menyaksikan kejadian itu ikut maju, menepuk pundak Linggar."Gue aja," katanya.Linggar menatap Nicholas sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya melepaskan Selena. Begitu Marry masuk ke tubuhnya, Selena tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu air matanya tumpah tanpa bisa dibendung."Mas Sagara..." suara lirih itu keluar dari bibirnya, tetapi itu bukan lagi suara Selena. Itu suara Marry.Tubuhnya bergerak, tangann
Selena dan Nicholas sedang dalam perjalanan. Biasanya, Selena tak pernah kehabisan cerita, tapi kali ini ia hanya diam, menatap keluar jendela. Nicholas pun tak banyak bicara, pikirannya tampak jauh, seakan ada sesuatu yang membebani.Selena mencoba bersikap biasa, namun sejak mereka keluar dari rumah, suasana hati Nicholas terasa berbeda. Akhirnya, ia memilih memperhatikan jalanan, mengamati manusia dan yang bukan manusia. Sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat oleh orang biasa berlalu-lalang di antara mereka, seolah masih hidup.Nicholas melirik Selena yang terus menatap ke luar. Tiba-tiba, ia menepikan mobil di dekat sebuah danau buatan yang sedang ramai dengan orang-orang. Selena menoleh, heran.“Kita mau turun di sini, Bang?” tanyanya.“Iya. Di sini ada festival jajanan. Kamu pasti betah,” jawab Nicholas dengan senyum tipis.Selena tertawa kecil. “Hehe, tau aja aku tukang jajan. Ya udah, yuk!”Ia melepas sabuk pengaman dan hendak turun, tapi Nicholas menahan tangannya.“Dek,” p
Nicholas tiba di rumah, tetapi bayangan Selena tak tampak di mana pun. Ia bertanya pada bibi di rumah, dan mereka mengatakan bahwa Selena sedang berkeliling dengan sepedanya. Tanpa banyak berpikir, Nicholas langsung menuju kamarnya untuk mandi.Namun, baru beberapa anak tangga ia tapaki, suara roda sepeda yang memasuki halaman membuatnya berhenti. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, lalu ia berbalik dan turun kembali.Di depan matanya, Selena berdiri dengan napas tersengal, meneguk air dari botolnya dengan rakus."Astaghfirullah, capek banget," gumamnya sambil mengelap keringat di pelipisnya.Tiba-tiba, sebuah handuk kecil jatuh di atas kepalanya. Selena mendongak, dan di sana, Nicholas berdiri dengan senyum khasnya."Abang? Abang udah pulang?" tanyanya, terkejut."Hm, ada seseorang yang di-chat tapi balesnya jutek. Jadi abang pulang aja," sahut Nicholas santai.Selena mengerutkan kening. "Hm? Temen abang?"Nicholas terkekeh. Gadis ini memang tidak pernah peka.Tanpa berkata apa-ap
Selena kini duduk sendiri di kamarnya. Malam semakin larut, namun tidur seakan menjauh dari matanya. Pikirannya terus terjaga, terperangkap dalam kejadian yang membuatnya merasa sangat memalukan tadi."Bisa-bisanya aku pingsan, coba. Apa jangan-jangan aku beneran sakit jantung ya?" gumam Selena pelan, merasa cemas dengan perasaan yang tak biasa ia alami.Setelah sadar, Selena berkata bahwa dia merasa kelelahan agar Nicholas dan ayahnya meninggalkan kamarnya, sebab dia terlalu gugup untuk menghadapi kenyataan. Namun, kini, meski kamar terasa begitu sunyi, tidur tetap tak bisa menyapa matanya. Ia terus berguling, mencari posisi nyaman, tapi tetap tak berhasil.Akhirnya, Selena bangkit dan duduk di meja belajarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari arti dari gejala yang sedang ia rasakan. Ia takut jika itu adalah gejala penyakit jantung sungguhan, padahal usianya masih muda dan seharusnya tidak ada masalah seperti itu. Namun, setelah membaca hasilnya