Lelaki kurus dengan carrier enam puluh lima liter itu mempercepat langkahnya, ia memasuki gapura Stasiun Kereta Api Tangerang, coummuter line yang pagi ini akan ia naiki berangkat pukul 07:00 WIB. Namun, bukan kegusaran karena terlambat naik KRL yang membuatnya nampak terburu-buru, ia telah membuat janji dengan temannya untuk bertemu tepat pukul 6:30WIB, masih ada waktu lima menit lagi sebelum waktu yang disepakati.
Sesampainya di depan stasiun, tepat di depan pembelian loket ia nampak mengawasi keadaan sekitar. Matanya tidak menangkap sosok yang ia kenali, setelah ia membei tiket lantas ia keluarkan gawainya.
“Assalamualaikum, halo pak Fahri,” suaranya mengawali pembicaraan.
“Oia, Mas Alif udah sampe belum, Mas? Saya udah di dalam nih pas banget depan KRL, Mas Alif di mana?” jawab pak Fahri.
“Saya tepat di pintu masuk pak, dekat loket. Ouh gitu okay pak saya masuk kalau gitu, assalamualaikum,” ia menutup percakapan.
Alif lalu menempelkan kartu multi tripnya di gate dan menuju ke tempat pak Fahri. Tak butuh waktu lama ia mengenali pak Fahri dengan potongan rambut cepak tni yang nampak serasi dengan perawakannya.
“Assalamualaikum pak, duuh maaf ni jadi nunggu lama,” suara Alif membuyarkan lamunan pak Fahri.
“Walaikumsalam, eh nggak apa-apa mas saya juga belum lama sampenya,” balas pak Fahri.
“Wah udah kayak mau wajib militer aja pak potongannya hehehehe,” Alif mencoba mencairkan suasana.
“Iya nih hahahaha, eh kita foto dulu yu biasa buat status W*,” pinta pak Fahri.
“Okay pak itu intinya,” Alif membalas seenaknya.
Sesaat kemudian pak Fahri mengeluarkan gawainya lalu mereka berswafoto, ya dua orang yang memang mirip akan wajib militer itu kini nampak asyik mengabadikan diri, bahkan hampir tak ada bedanya dengan para wajib militer di negeri ginseng, walaupun hanya bermodalkan potongan cepak tni.
Suara penyiar commuter line terdengar, menginformasikan keberangkatan armada kereta listrik yang akan dinaiki oleh Alif dan pak Fahri sesaat lagi segera meninggalkan stasiun. Suara itu memandu Alif dan pak Fahri untuk masuk sesegera mungkin. Alif bergegas memperhatikan langkahnya di peron dan masuk di gerbong pertama, ia dan pak Fahri lalu berjalan ke gerbong dua dan seterusnya, sampai di gerbong enam pak Fahri mengajaknya untuk mencari tempat duduk.
“Udah mas sampe gerbong ini aja jalannya, kita cari tempat duduk disini!” suara pak Fahri menghentikan Alif.
“Okay pak, dimana nih enaknya? Saya biasanya kalo untuk dua orang cari tempat duduk di bangku yang pojok itu pak.”
“Nah boleh tuh sip deh,” pak Fahri menyetujui.
Mereka berdua lalu melepaskan tas dan barang bawaan lainnya lalu kemudian duduk.
“Loh, Mas Alif cuma bawa satu ransel aja?” tanya pak Fahri yang baru menyadari barang bawaan Alif.
“Iya pak Fahri, ini juga bisa sampai satu bulan pak,” jawab Alif.
“Emang beda ya kalau udah biasa surveive-mah,” kembali pak Fahri menimpali.
“Nggak kok pak hehehe, kopernya mau ditaro di atas aja pak? Sini biar saya bantu pak.”
Suasana gerbong KRL pagi itu mulai ramai ketika memasuki Stasiun Poris dan Kalideres, segerombolan penumpang mulai memenuhi tiap gerbong. Namun belum berdesakan, bahkan masih bisa dikatakan lumayan berjarak untuk ruang kosong diantara penumpang.
Jam-jam padat penumpang di KRL memang bisa diprediksi. Pasti akan sangat padat di jam pergi dan pulang kantor. Dalam keadaan tersebut jika memang tidak siap untuk saling berdesakan, maka disarankan menunggu aramada lain. Namun untuk orang-orang yang sudah hidup dengan rutinitas pergi dan pulang dengan commuter line, itulah seninya. Bahkan tak jarang di saat pintu KRL akan tutup dan penumpang sudah penuh sesak ada saja seorang yang merangsek masuk.
Dari balik jendela KRL suasana Ibu Kota yang “selalu hidup” sudah menanti kedatangan Alif, terlebih setelah melewati Stasiun Grogol. Padatnya Jakarta pagi itu dipenuhi berbagai kendaraan dan manusia dengan segala aktivitasnya. Alif masih nampak mencoba menikmati perjalanan dengan memasang earphone. Setelah lama perjalanan yang ia lalui, ia dikagetkan dengan tangan yang menepuk pundaknya.
“Iya pak Fahri, maaf tadi lagi dengar musik,” Alif mencoba membaca situasi.
“Mas nanti kita transit di Stasiun Tanah Abang aja ya,” saran pak Fahri.
“Loh, Pak Fahri kenapa emangnya? Bukannya malah padat ya pak di Tanah Abang?”
“Nggak mas, justru kalo kita transit di Stasiun Duri nanti ke Stasiun Manggarai dan Stasiun Jatinegara jam segini lagi rame-ramenya, perkiraan jam 10-an sih kita transitnya,” pak Fahri menjelaskan.
“Ouh gitu, nah nanti kita dari Tanah Abang kemana pak?” Alif kembali bertanya.
“Kita langsung ambil yang ke Jatinegara, tapi yang lewat Angke, Kampung Bandan, Rajawali, terus lanjut Senen sampe Stasiun Jatinegara mas.”
“Ouuuh gitu, saya belum pernah naik rute itu sih pak. Boleh pak, sip deh.”
Alif lantas melanjutkan mendengarkan lagu di earphonenya, untuk sekadar mengisi waktu di KRL memang banyak cara dilakukan penumpang dan mendengarkan lagu dari gawai merupakan yang paling sering dilakukan. Terlebih untuk penumpang yang berdiri dan dalam keadaan berdesakan, pilihan mendengarkan lagu jadi hal yang banyak dijumpai. Entah mendengarkan lagu, main game, ngobrol dengan temannya atau hal lainnya selagi bisa menghilangkan kejenuhan saat menunggu turun di stasiun tujuan pasti dilakukan, termasuk tidur.
Pak Fahri mulai mempersiapkan barang bawaannya, suara announcement sedari tadi sudah terdengar. Namun, Alif masih asyik dengan alunan dari earphonenya, ia baru sadar saat pak Fahri berdiri hendak mengambil koper.
“Eh udah sampai ya pak?” seketika pertanyaan Alif terlontar.
“Iya mas, ayok siap-siap tuh udah mulai keliatan,” pak Fahri menunjuk ke luar jendela. Papan nama Stasiun Tanah Abang telah memanggil.
Mereka dengan hati-hati melangkahi peron, menyusuri peron lainnya dan mencari papan info, membaca arah. Seketika lautan manusia tumpah dari Pasar Tanabang. Alif mengubah posisi carriernya ke depan, disandangnya di dada, begitu pun pak Fahri ia mengubah posisi tas punggungnya ke depan, memegang erat kopernya. Sudah menjadi hal umum bagi penumpang KRL, demi keamanan barang bawaan apalagi dikeramaian.
Alif dan pak Fahri nampak kesulitan mencari info peron arah KRL yang akan mereka tumpangi selanjutnya, karena begitu ramainya orang yang datang dari Pasar Tanah Abang.
Stasiun Tanah Abang sedianya merupakan stasiun yang selalu ramai. Stasiun Tanah Abang sudah berdiri dari masa Hindia Belanda dengan nama Staatsspoorwegen Westerlijnen (SS-WL) pada tanggal 1 Oktober 1899. Kini statusnya sebagai stasiun kereta api kelas besar tipe B yang memiliki 6 jalur, terletak di kelurahan Kampung Bali, kecamatan Tanah Abang, kota Jakarta Pusat.
“Pak maaf KRL arah Angke yang lanjut ke Jatinegara sebelah mana ya?” Alif membuka pertanyaan kepada petugas KRL. Petugas KRL mengarahkan tangannya ke papan peron 2 Duri-Kampung Bandan-Angke-Jatinegara. Setelah mendapat jawaban, ia dan pak Fahri menaiki eskalator dan mencari armada KRL yang ditunjukan si petugas KRL.
“Mas tuh dia keretanya.” pak Fahri menujuk ke arah bawah.
“Oia pak, mau langsung masuk sambil cari tempat duduk atau gimana pak?” Alif menawarkan pilihan.
“Langsung masuk aja mas biar kita bisa santai, tapi biasanya sepi sih.”
Mereka langsung masuk di gerbong ke tiga dan mencari tempat duduk. Merapikan barang bawaan dan duduk santai.
“Wahh iya ya, sepi gini pak saya baru tahu.”
“Iya kan mas, enak nggak perlu desak-desakan. Soalnya, orang yang ke arah sini jarang mas, kebanyakan aktivitas ke arah Tanah Abang dan Duri.”
Alif menikmati perjalanannya dengan santai, memang nampak hanya beberapa orang saja dalam satu gerbong. Bahkan jika semua penumpang duduk di bangku yang ada di tiap gerbong pun masih banyak menyisakan yang kosong. Hari itu adalah perjalanan pertama Alif dengan kereta listrik dengan rute tersebut. Jauh lebih senggang, hanya saja rutenya memutar. Alif kembali memasang earphonenya, matanya menatap lekat ke arah jendela. Enatah apa yang ia pikirkan. Pak Fahri pun demikian, ia sibuk dengan kantuknya sendiri, rupanya sedari tadi ia menahan kantuk dan setelah mendapat tempat yang sepi dan nyaman ia langsung tertidur, lengkap dengan beberapa alunan backsoudnya.
Lambat-lambat Alif kembali mendengar suara announcement, ternyata sudah memasuki Stasiun Kampung Bandan. Stasiun Kampung Bandan merupakan Stasiun Kereta Api yang terbilang cukup lama berdiri, stasiun kelas II yang berbatasan dengan Kelurahan Ancol Jakarta Utara dan Kelurahan Mangga Dua Selatan Jakarta Pusat ini melayani perjalanan kereta api relasi Jakarta-Kota-Tanjung Priuk dan Jatinegara-Duri-Bogor.
*****
Sudut Jakarta lainnya
Mobil Avanza hitam memperlambat kecepatannya saat memasuki jalan kecil. Kaca mobil diturunkan dan nampak seorang pemuda berkacamata yang tengah memperhatikan petunjuk jalan.
“Bener nggak Fiz?” suara gadis berhijab abu-abu dengan kacamata hitam mengagetkannya.
“Kalo di map sih ya ini, tapi kok jalannya cuma muat satu mobil gini ya?” jawab Hafiz, yang menjadi sopir si perempuan muda tersebut.
“Lah emang kenapa kalo jalannya cuma muat satu mobil, iiiih dodol udah buru gas ntar gue telat loh.”
“Maksud gue tempat yang loe tuju itu kan tempat diklat, pikir gue pasti ada di pinggir jalan,” Hafiz tak mau kalah.
“Udah ikutin aja mapnya gih, yang penting gue nggak telat”.
“Iye iye bawel,” jawab Hafiz kesal.
*****
“Pak, pak Fahri udah sampai nih, pak bangun pak.” Alif menepuk pundak pak Fahri pelan.
“Oia ia, aduuh maaf mas saya ketiduran, maklum orang tua.”
Keduanya keluar dari gerbong, pak Fahri meregangkan badannya dengan maksud menghilangkan kantuk, Alif mencari bangku tapi tak dapat, ia jongkok dan mengambil air minum dari sisi carriernya.
“Kita naik yang mana pak?” tanya Alif sambil merapatkan kembali tempat minumnya.
“Nah itu dia mas, kalo disini saya lupa-lupa ingat, pokoknya jurusan ke Bekasi.” Jawab pak Fahri dengan posisi masih mencari-cari papan petunjuk arah.
“Ternyata ke dalam banget ya pak tempatnya,” celetuk Alif ke pak Fahri setelah sampai gerbang di lokasi yang dituju.“Iya mas, inimah di dalem banget,” jawab pak Fahri yang tak kalah dibuat heran.Tempat yang dituju oleh Alif dan pak Fahri adalah Balai Diklat, Alif dan pak Fahri akan menjalani pendidikan dan latihan bagi orang-orang yang baru saja menjadi pegawai negeri.Mereka turun di lobi utama, memastikan informasi di depan pintu masuk dan kemudian keduanya masuk. Di dalam ada beberapa orang yang sudah sampai duluan, ada yang sibuk dengan gawainya, ada yang sibuk dengan orang di sampingnya, ada pula yang sibuk menata barang bawaannya.“Ouuh man, what’s going on. Ada aja yang ketinggalan, mesti balik lagi ke mobil”.Suara gadis dengan wajah tirus mencairkan suasa lobi utama, hijabnya sangat modis namun simpel. Ia berlalu begitu saja seolah seisi ruangan tidak memperhatikannya. Termasuk Alif.
Alif terbangun saat mendengar suara percakapan di kamarnya, ia mendapati dua orang yang baru pertama ia lihat. Ia membetulkan posisi duduknya di atas tempat tidur, mencoba memfokuskan diri dari kantuk yang tersisa.“Weeeh dia kebangun,” ucap seorang lelaki bertubuh berisi dan berkacamata.“Ehh maaf nih kita berisik ya?” seorang lagi menimpali, lelaki kurus dengan stelan yang rapi.“Eh nggak kok, ini tadi emang ketiduran aja, enak adem banget,” jawab Alif.“Oia gue Sandi.” Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan ke Alif dan berkenalan.“Alif, Alif Pramata.” Balas Alif santai.“Saya Bagus bang, bang Alif udah lama datengnya?” giliran lelaki dengan perawakan kurus mengenalkan diri.“Sekitar jam dua belas kurang kayaknya, lagi panas-panasnya tadi cuaca, makanya langsung rebahan deh hehehe,” jawab Alif.“Iye bang panas beud, kaga nahan
Alif, Sandi, dan Bagus kembali ke kamar. Sandi dan Bagus masih sesekali tertawa dengan kejadian yang mereka alami. Sementara Alif jadi bahan ledekan keduanya. Tanpa disadari ketiganya, dalam pertemuan yang masih sangat baru bagi orang yang sama sekali belum kenal, suasa di kamar B.10 menjadi hangat dengan tawa dan keakraban yang tercipta. Sosok Alif yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat, Sandi yang sedikit konyol, dan Bagus yang pendiam dan mampu mengimbangi, menjadikan ketiganya seperti saudara lama yang baru bertemu kembali.Hari pertama mereka di acara diklat hanya sampai pukul 17:30WIB, setelah seremonial dan acara dibuka oleh ketua pelaksana kegiatan, semua peserta diberikan kesempatan untuk kembali ke kamar masing-masing dan istirahat.Alif sempat bertemu dengan pak Fahri saat di aula utama. Namun, selama kegiatan diklat mereka terpisah dalam kelas yang berbeda. Ternyata kelas peserta di kelompokkan berdasarkan gedung. Gedung A untuk kelas A, Gedung B u
BAB 5STALKERSeorang instruktur masuk dan memberikan arahan.“Coba bapak/ibu perwakilan dari kelas ini ke ruang panitia di lantai 1 gedung A, silakan ambil seragam trainingnya setelah itu saya tunggu setengah jam dari sekarang di lapangan dan sudah mengganti pakaiannya dengan seragam training ya!” suara Instruktur menutup pengumuman.“Ayok mas sama saya!” ucap seorang lelaki yang tingginya sama dengan Alif.Alif menyetujui dan langsung keluar kelas. Alif mencari-cari ruang panitia di lantai 1, ia dengan teman barunya nampak ragu untuk masuk. Namun, ada seorang peserta diklat dari kelas lain yang bertemu di depan pintu masuk panitia, mereka sepakat untuk masuk bersama.Di dalam ada dua karung besar yang berisi seragam training, panitia langsung meminta membawakan karung tersebut dan membagikannya ke peserta lain. Di lampirkannya daftar hadir peserta untuk diceklist bagi yang sud
Alif nampak fokus memperhatikan pemateri, namun ia tidak bisa membohongi saat perlahan kantuk menyerangnya, kelopak matanya seperti digelayuti anak timbangan lima gram. Ia menggeser posisi duduknya sedikit ke belakangan agar tidak langsung terlihat pemateri. Bang Sandi yang duduk di samping kirinya menyadari kantuk yang dirasakan Alif, ia memberinya permen. Alif menerimanya, saat suara pemateri sedang meninggi menjelaskan materi, Alif langsung membuka kemasan permennya.Saat menjelang sesi materi pagi selesai, terdengar pengumuman dari speaker di kelas. Panitia menginfokan ada dokter yang akan standby selama jam istirahat siang, peserta yang merasa atau sedang sakit bisa melakukan pemeriksaan.Siang itu Alif membawa daftar hadir kelas ke musala, ia mengirimkan pesan ke grup WA kelas yang baru saja ia buat.-----Kelas B NewsTeman-teman yang mau isi presensi ibadah bisa langsung ke musala ya, presensi saya taro di meja pin
Perhatian Alif seketika tertuju ke pak Firdaus, hatinya tidak tenang.“Eh apa ya pak? Saya belum tahu nih,” jawab Alif sedikit kaget.“Tadi siang kan ada dokter yang disediakan panitia, teman kita Riana check up dan ternyata dia harus istirahat seharian. Makanya dia nggak ikut materi siang ini,” pak Firdus menjelaskan.“Masyaallah, terus gimana pak kondisi terbarunya?” Alif kembali bertanya.“Saya juga dapat infonya dari bu Faidah, panitia yang tadi ngasih info melalui siaran itu. Ternyata teman kita memang kondisinya lagi kurang sehat, mengenai penyakitnya saya juga kurang tahu, tapi memang sepertinya parah dan kalau sampai nanti malam tidak ada perubahan harus dibawa ke rumah sakit mas,” sambung pak Firdaus.“Astagfirullah, ternyata sampai seperti itu, pak maaf nanti saya minta tolong temani ya untuk liat kondisi Riana setelah jam materi selesai!” pinta Alif ke pak Firdaus.
Upacara pagi akan dimulai, hal yang menjadi rutinitas sebelum memulai kegiatan, beberapa peserta masih berlarian untuk masuk dalam barisan. Alif memberikan aba-aba untuk balik kanan, lalu memberikan waktu untuk teman-temannya merapikan seragam sebelum upacara dimulai.Saat barisan sudah rapi, seorang panitia maju ke depan barisan dan mengambil mikrofon. Raut wajahnya nampak tidak bersahabat, bu Nida tampak kesal.“Bapak/ibu sebelum upacara dimulai, yang merasa tidak salat subuh berjamaah di masjid silakan memisahkan diri dan baris di depan. Saya heran dengan bapak/ibu, sudah berhari-hari disini tapi untuk salat saja masih belum tertib, saya cek banyak presensi yang kosong,” suaranya memasuki barisan peserta upacara.Suasana seketika hening, sangat sepi. Ada beberapa peserta yang saling lempar pertanyaan dan saling berpandangan.“Bang loe mau maju nggak?” Sandi yang berada dibarisan depan bertanya kepada Alif.“In
BAB IX Dua hari berlalu sejak diklat berakhir, ada perasaan tak biasa yang dirasakan Alif. Sesekali ia memang membuka percakapan dengan Nurul di pesan W*, namun tetap saja ada perasaan aneh yang mendera. Minggu jam sepuluh pagi, Alif menanyakan kesibukan Nurul, ia hanya hangout dengan teman-temannya. ---- /Aku kesitu boleh? ---- Jemari Alif dengan cepat telah mengirim W*. ---- //Ya kesini aja kalau kamu mau ---- /Sharelock dong Jika kesurupan tapi Alif masih sempat-sempatnya membaca doa saat berangkat, jika konyol tapi Alif dengan mantap memacu sepeda motornya melintasi Jalan Daan Mogot ke arah Serang. Siang itu tanpa ba bi bu Alif mengikuti titik map yang dikirimkan Nurul. Dari arah Jalan Daan Mogot Alif ke ara
Di sepanjang jalan Alif terus-terusan kepikiran, duduknya tak tenang, tangannya berkali-kali melihat gawai. Baru saja Alif merasakan indahnya kebersamaan yang sedang ia bangun dengan Fatimah, tanpa ada angin dan badai tiba-tiba Nurul malah kembali membuka komunikasi dengannya. Alif tentu tidak asing dengan profil WA yang tadi mengirim pesan kepadanya, itu jelas Nurul. Meskipun nomernya sudah ia hapus, tapi tetap mudah ia kenali.Alif tidak membalas pesan yang ia dapat, ia berusaha untuk tetap menjaga rumah tangganya dengan Fatimah. Setelah semua yang ia alami saat dahulu bersama Nurul, rasanya sudah cukup ia merasakan pahitnya dikhianati. Alif hanya bisa mendoakan agar Nurul selalu baik-baik saja, bukan semata karena ia ingin membalas sakit hati yang pernah ia alami, tetapi ia pun sadar jika menyimpan rasa kesal dan sesal yang berkepanjangan hanya akan menjadi penyakit di hatinya.****“Kamu mau kemana lagi?”“Kamu kenapa sih nanya terus? Udah kayak anak kecil aja.”“Eh, aku ini istr
Hari Alif kembali ke Sumur Pandeglang, atas masukan dan dukungan Fatimah, ia akhirnya tidak jadi resign dan masih bekerja seperti biasa. Untungnya Alif masih bisa berangkat bersama dengan Mustafa dan Zulham. Teman-temannya itu lewat Tol Serang-Panimbang, jadi Alif bisa menunggu mereka di pintu keluar tol, di Rangkasbitung. Tol Serang-Panimbang memang belum sepenuhnya selesai, jalan yang sudah selesai baru sampai Rangkasbitung.Alif mendapat kabar jika proyek yang dipegang oleh timnya sudah mendapat izin dari pemerintah setempat dan dinas pariwisata, sehingga objek wisata air Wahangan yang ditugaskan padanya bisa mulai dibuka untuk umum.“Kapan nih makan-makannya, Lif? Ucap Mustafa.“Lah, loe belum makan, Bang?”“Bukannya belum makaaaaan, panjul. Proyek loe kan lancar tuh.”“Hehehe, hayuk. Nyobain ikan nila di Bendungan Cikoncang gimana?”“Dimana tuh?”“Daerah munjul, nanti ambilnya dari arah pasar Panimbang belok kiri.”“Makin jauh dong kita.”“Yah, itu sih penawaran, Kalau mau ya hay
Namun, kali ini saat hal yang sama terjadi, ia hanya diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ada kegetiran dalam hatinya, kini ia tidak lagi merasakan manisnya kata-kata indah dan penuh harap dari suaminya.Udara di kamarnya tak kunjung sejuk, keberadaan AC 2pk ditambah kipas angin seakan percuma. Guratan kecewa nampak jelas di wajahnya, tapi tetap ia coba sembunyikan saat bertemu orang lain.Saat di awal pernikahan, betapa ia merasa diperlakukan bak seorang ratu. Ia yang merupakan anak bungsu dari keluarganya, memang sangat nyaman saat dihadirkan kasih sayang. Belakangan, ia jarang mendapatkannya.Di tengah kepenatan dari sikap suaminya dan untuk menghilangkan rasa suntuknya, ia sengaja membuka gawainya, dengan maksud pikirannya bisa teralihkan. Jemarinya digerakan naik turun, lalu berhenti di salah satu status media sosial seseorang yang ia kenal di instagram.Semula ia hanya melihat kata-kata yang tertera di bawah foto itu, akhirnya ia klik juga dan masuklah ke akun si pemilik fo
/Assalamualaikum, selamata ya Mas. Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Maaf baru ngucapin selamat, aku baru liat foto profil kamu, hehehe.Btw minat maaf lagi baru tiga bulan berselang ngucapinnya.----Manisnya masa-masa awal pernikahan Alif hanya berlangsung tiga bulan, sebelum pesan dari Nurul terdampar di WAnya. Semula, ia tidak menggubrisnya. Tapi, saat pesan yang sama ia dapatkan tiga kali dalam waktu satu hari. Dengan berat hati, Alif membalasnya.----//Walaikumsalam. Terima kasih, ya.----Alif telah sepakat dengan Fatimah, mereka memulai perjalanan keluarga kecilnya tetap tinggal di lingkungan pesantren. Bukan tanpa alasan, Fatimah memang sudah meminta izin kepada Alif untuk bisa tetap dekat dengan Abahnya, yang saat ini sendirian. Sementara Alif, ia sedang mencari cara untuk mutasi ke Lebak atau memutuskan untuk resign dari pegawai negeri.Alasannya untuk mutasi, jelas karena ingin dekat dengan Fatimah dan bisa meluangkan waktu dengannya. Sebagai keluarga yang baru seum
Proyek revitasilasi kawasan wisata yang beberapa bulan lalu disurvei oleh Alif, ternyata harus memenuhi dua dokumen lagi untuk bisa dibuka untuk masyarakat umum. Kawasan wisata yang ia tangani adalah wisata air yang memiliki potensi besar jika bisa dikelola dengan baik, yaitu berupa sungai yang di sisinya berdiri tebing tinggi mirip Grand Canyon. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah “wahangan”. Semula lokasi tersebut luput dari perhatian penduduk sekitar karena memang tempat-tempat sejenis wahangan dianggap sungai biasa yang airnya biasa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Namun, dengan ketelitian dari tim yang dibawahi oleh Alif, masyarakat sekitar akhirnya menemui titik temu untuk sepakat dikelola sebagai objek wisata agar bisa menggerakan roda ekonomi warga.Hanya tinggal menunggu dokumen yang kelengkapan ternyata bisa ditangani oleh rekan kerjanya, Akif memutuskan kembali ke indekost. Besok ada hal besar yang tengah menantinya.Alif menda
“Kenapa sih mas harus selalu menjadikan alasan segala hal di masa lalu kita untuk sulit melangkah ke depan? Memahami dan belajar ilmu agama itu memang penting, wajib malahan. Tapi kalau kita bukan orang yang diberi kesempatan untuk sama dengan orang-orang yang bisa belajar ilmu agama, kenapa nggak menjadi orang yang mencegah diri dari berbuat yang bisa membuat Allah murka.” Alif masih teringat kata-kata Fatimah saat ia berbincang dengannya beberapa hari yang lalu, saat itu Alif dengan sadar mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, ia mengutarakan hal seperti itu karena merasa perlu disampaikan kepada Fatimah, tetapi Fatimah malah memberikan jawaban yang menurut Alif begitu berimbang. Fatimah sepertinya memahami bahwa setiap manusia memiliki perannya masing-masing, tanpa harus mengungkit masa lalu dan mencari-cari alasan mengapa seseorang tidak belajar ilmu agama dengan serius, ia lebih kepada memiliki pemikiran untuk me
Azan subuh belum terdengar, fajar shadiq yang merupakan pertanda datangnya waktu Salat Subuh belum nampak, langit masih pekat. Fajar shadiq menjadi tanda sebagai batas antara akhir waktu malam dengan permulaan waktu pagi. Sayup terdengar suara seseorang yang sedang tadarus dari musala yang terletak di samping bangunan majelis talim.Satu kamar yang berada di rumah utama lingkungan pondok pesantren sudah menyala lampunya. Si pemilik kamar sudah duduk dengan hikmat di atas sajadah, lisannya basah oleh kalimat tasbih.Satu gelas teh hangat berada di meja kamarnya. Saat bangun tidur, rutinitasnya memang memasak air terlebih dahulu, membuat teh manis, satu untuk abahnya yang ia letakan di meja makan dan satu lagi untuknya sendiri. Sejak wafatnya bu nyai, Fatimah sepenuhnya berkhidmat di rumah, menjaga abah yang kesehatannya sedang naik turun.Selepas Salat Subuh, ia melanjutkan aktivitasnya dengan masuk, menyiapkan sarapan untuk abah. Baktinya dengan orang tua, sudah
Hari ini Alif ikut pulang dengan teman-temannya, baik Zulham, Mustafa, Fatma, dan Arini sepakat untuk pulang lewat jalur utama ke alun-alun Pandeglang. Kurang lebih, begitulah rutinitas orang-orang yang bertugas jauh dari rumah. Bagaimanapun kondisinya, jika memungkinkan dan ada kesempatan untuk bertemu keluarga, maka pilihan itulah yang utama. Lika-liku bekerja jauh dari rumah memang masih mereka jalani, ada yang sewaktu-waktu harus pulang lebih awal karena ada keperluan menyangkut keluarga yang amat mendesak, ada pula yang mesti rela tidak pulang hingga beberapa bulan karena banyak pekerjaan atau kondisi kesehatan yang menurun.Walaupun banyak orang-orang yang menyarankan kepada Alif dan teman-temannya untuk menetap di Sumur Ujung Kulon. Namun, tetap saja pada episode ini yang menjadi tokoh utama jelas Alif dan teman-temannya. Terkadang, ketika seseorang memberikan saran, tidak mendalami dan memahami betul kondisi atau pertimbangan mendasar mengapa sampai saat ini Alif dan teman-tem
“Udah nih pakaiannya, pada salin gih.” Pak Nandi memberikan pakaian ganti.“Iya loe bang, sana gih. Mana belum Salat Asar,” Fatma menimpali.“Eh, jam berapa ini ya?”“Udah mau jam lima bang.”Alif menuju kamar mandi yang sekaligus tempat untuk membilas bagi orang-orang yang mandi di pantai. Di Pantai Daplangu disediakan musala panggung yang bersebelahan dengan kamar mandi, tidak jauh dari gerbang pintu masuk.Setelah puas hampir tiga jam Alif bermain air di Pantai Daplangu, mereka sepakat untuk pulang.“Gimana rasanya Lif? Masih penasaran nggak?”“Hahahaha, kalau tahu asyik kayak gini dari kemarin-kemain aja yak nyeburnya.”****Untuk menghilangkan rasa suntuk, Alif sengaja mengupload fotonya saat di pantai.-----/Jalan-jalan terooooos----Satu pesan WA masuk, mengomentari status WA Alif.----//He