“Apa Mama yakin neneknya Cahaya adalah Bu Asih, tetangga waktu kita tinggal di kontrakan dulu?” tanya dr.Hasan pada istrinya dengan wajah serius. “Iya, Pa. Awalnya tadi Mama nggak begitu inget, tapi setelah Bu Asih sendiri yang ngomong, Mama baru inget dan kami saling mengenang masa lalu.” Bu Salma menceritakan pertemuannya dengan tetangga lama mereka dengan perasaan haru. “Ah, tapi sayang banget ya, Pa. Karena Cahaya udah pisah dari anaknya Bu Lastri, jadi kita nggak bisa ketemu lagi sama Bu Asih.” “Mama tahu enggak, nama desa tempat tinggal mereka saat ini?” tanya dr. Hasan lagi yang ditanggapi gelengan kepala oleh istrinya.“Mama nggak tahu, Pa. Coba tanya sama Mbok Sri, mungkin aja Mbok Sri tahu.”Tanpa permisi, dr.Hasan bangkit dari sofa dan melangkah menuju dapur untuk menemui ART mereka yang sedang mencuci piring bekas makan siang. Karena wanita itu cukup mengenal Cahaya, dr.Hasan berharap pembantunya mengetahui di mana tempat tinggal Cahaya dan neneknya.“Mbok, bisa bicara s
“Nadia! Ibu tahu kalau kamu udah bangun dari tadi, jangan cuman males-malesan di kasur! Cepetan ke sini!” teriak Bu Lastri pada menantunya. Tepat sekali ucapan Bu Lastri, karena kenyataannya; saat ini Nadia masih sangat malas untuk bangkit dari tempat tidur. Mendengar teriakan sang mertua bukannya bergegas bangkit dari tempat tidur, tetapi Nadia mendengus kesal sambil menarik selimut menutup seluruh badan. “Mas, ibumu itu kenapa cerewet banget, sih? Aku kan sekarang menantu satu-satunya, sedang hamil lagi, masa nggak bisa sih manggil dengan sedikit lembut.” “Biasalah ... emang ibu orangnya gitu. Nggak cuman sama kamu, kan? Lebih parah lagi sama Cahaya. Mulai hari ini, kamu harus ngertiin ibu ya? Mas harap kamu bisa akur dan nurut sama ibu seperti Cahaya selama ini.” Adam menjawab perkataan istrinya dengan santai.“Mas, aku ini membahas sikap ibumu, kenapa malah nyebut-nyebut nama gadis desa itu? Apa kamu nyesel dia pergi?” Nadia memasang wajah kesal.“Bukan begitu maksud Mas, Sayan
“Tuan, ini Non Cahaya!” seru Mbok Sri dengan bahagia memberikan gawai pipihnya kepada dr.Hasan. Pria berkaca mata itu segera meraih benda pipih yang telah tersambung pada Cahaya dengan jantung berdebar. “Cahaya ...,” panggilnya penuh haru. Tak terasa air mata menetes deras seketika membasahi pipi. “Iya, ada apa, Pak Hasan?” tanya Cahaya dari seberang telepon. Mendengar suara dr.Hasan yang memanggilnya dengan terisak membuat gadis itu bingung. “Putri Papp-’’ Pria itu menghentikan ucapannya.Bagaimanapun bahagianya dr.Hasan saat ini, tetapi dia menyimpan rasa kekhawatiran tentang bagaimana reaksi Cahaya nanti jika gadis itu tahu jati diri mereka. Kekhawatiran itu menyebabkan suaranya tertahan, pilu. Dia tidak bisa mengatakan kebenaran sebesar itu hanya melalui sambungan telepon. Akan lebih baik jika mereka bertemu dan memberi tahunya secara langsung. “Maaf, Pak Hasan, ada apa?” tanya Cahaya lagi karena pria yang di seberang teleponnya menghentikan pembicaraan seketika. “Pa ...,”
“Innalillahi wainna ilaihi rojiun ... Nenek ...!” Dunia Cahaya seketika runtuh saat melihat keadaan tubuh neneknya yang sudah tidak bernyawa. Kepergian Nenek Asih yang tiba-tiba seperti pukulan yang begitu dahsyat menerpa kehidupan Cahaya setelah keputusan perceraian yang dia terima sehari sebelumnya.“’Nenek! Kenapa Nenek pergi tinggalin Cahaya sendiri?” Tangisan Cahaya semakin pecah, membuat beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu merasa iba. Termasuk dokter muda yang menangani pemeriksaan Nenek Asih yang bernama Farel Hendrawan. Pemuda yang baru bertugas beberapa bulan sebagai dokter umum di rumah sakit daerah Banyuwangi itu berjalan perlahan menghampiri Cahaya. “Yang sabar, Mbak. Ikhlaskan kepergian Nenek Asih agar beliau bisa pergi dengan tenang.” “Nggak bisa, Dok. Aya masih tidak bisa menerima hal ini terjadi. Bagaimana bisa nenek pergi tanpa sepatah kata pun. Sebelum pingsan, nenek cuman diam, nggak ada omongan apa pun sama Aya. Tapi, kenapa nenek malah pergi ninggalin
Alangkah terkejutnya Mbok Sri ketika mendapat kabar dari Maemunah tentang Nenek Asih yang meninggal kemarin dan saat ini masih di rumah sakit karena kondisi Cahaya tidak memungkinkan untuk segera pulang. “Ada apa, Mbok?” tanya Bu Salma yang berjalan menghampiri ART-nya. Wanita itu sudah sangat tidak sabar untuk bertemu sang putri tanpa dia sadari bahwa putrinya sedang mengalami kenyataan pahit dan saat ini terbaring lemah di rumah sakit. “Mbok, kenapa diem aja? Apa kata wanita tadi??” tanya Bu Salma lagi seraya menunjuk ke arah Maemunah yang sudah berjalan menjauhi mereka. “Nyah ....” Mbok Sri menoleh ke arah majikannya dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. “Nenek Asih meninggal, Nyah.” “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun .... Yang bener, Mbok? Kapan meninggalnya Nenek Asih? Terus sekarang Cahaya ada di mana??” berondong Bu Salma dengan penuh kepanikan.Mbok Sri pun menjawab pertanyaan Bu Salma sesuai dengan apa yang disampaikan Maemunah tadi. Dengan serta merta, Bu Salma
“Pak Hasan, Bu Salma, untuk saat ini Aya belum bisa berpikir jernih. Aya cuman pengen Nenek dimakamkan dengan layak terlebih dahulu.” Cahaya berucap dengan memasang wajah bingung. Bagaimana tidak? Pasalnya, kejadian demi kejadian besar menghampiri gadis itu secara terus menerus. Mulai dari perceraiannya, kematian Nenek Asih yang mendadak, hingga kedatangan Bu Salma dan dr. Hasan dengan pengakuan mengejutkan dari mereka. Cahaya benar-benar tidak bisa berpikir dengan tenang sekarang. “Iya, Nak. Mama sama Papa paham,” balas Bu Salma dengan cepat. “Pa, Papa selesaikan administrasi rumah sakit, Pa. Biar jenazah Bu Asih bisa kita bawa pulang dan dimakamkan,” imbuhnya seraya menoleh ke arah dr. Hasan. dr. Hasan pun mengangguk paham dan segera keluar ruangan menuju ke arah di mana para penjaga administrasi bertugas. Di tengah-tengah perjalanan, langkah pria itu terhenti ketika seseorang memanggil namanya dari kejauhan. “dr. Hasan!” Seorang pemuda berjas putih setengah berlari menghampir
“Cahaya mau kan ngelanjutin sekolah?” tanya Bu Salma dengan memasang wajah penuh harap. “Kalau mau, nanti Papa akan daftarin sekolah kedokteran. Papa dan Mama pengen banget Cahaya jadi dokter sukses seperti Papa.”Medengar rencana sang ayah dan ibu untuk kakak perempuan mereka, Satrio dan Satria langsung menyahut, “Iya, Mbak. Kami setuju. Nanti kami pasti akan jaga Mbak Cahaya kalau ada yang macem-macem!” Ucapan dua adik kembarnya yang peredaaan usia di antara mereka hanya tertaut beberapa tahun itu mampu membuat Cahaya tersenyum bahagia. “ Memangnya kalian sudah semester berapa?” “Masih lama lulusnya, Mbak. seiktar dua tahunan lagi. Jadi ... kami bisa tiap hari jagain Mbak Cahaya nanti. Pokoknya, Mbak Cahaya nggak perlu sedih dan takut sendirian.” “Seneng banget yang punya kakak perempuan.” dr. Hasan menyahut menggoda dua putra kembarnya yang sedang antusias mengajak ngobrol Cahaya. “Ya iyalah, Pa. Kami beneran nggak nyangka ternyata selama ini kami punya kakak perempuan. Pasti
Malam berlalu dan hari pun berganti. Sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, pagi-pagi sekali Cahaya bersama dua adik laki-lakinya berangkat menuju kampus. Satria duduk di kursi pengemudi mobil mewah berwarna merah itu, sementara Satrio memilih duduk di kursi belakang dan mempersilakan kakak perempuannya untuk duduk di kursi depan, tepat di samping kursi pengemudi. “Mbak, Mbak tenang aja, ya. Nanti sampai kampus kami bakalan kasih tahu kelasnya. Terus, kalau ada yang macem-macem sama Mbak, Mbak tinggal telepon kami aja,” ucap Satria seraya menoleh ke arah Cahaya. “Memangnya siapa yang mau macam-macam sama gadis jelek kayak Mbak ini, Dek. Nggak mungkin ada.” Cahaya menjawab dengan ekspresi mencebik.“Kata siapa Mbak Cahaya jelek? Cantik, kok.” Satria tersenyum menggoda kakaknya. Satrio yang duduk di kursi belakang pun ikut berkomentar. “Emangnya siapa yang ngomong Mbak Cahaya jelek? Sini, Mbak kasih tahu aja sama kita. Kita bakalan bikin perhitungan sama dia!” Ucapan Satria dan
“Maksud Dokter apa?” tanya Cahaya dengan wajah serius. “Jangan bercanda kayak gitulah, Dok. Enggak lucu.” Detik ini, ketika Farel mendapat kesempatan duduk berdua dengan Cahaya, ingin sekali pemuda itu bersorak dan mengungkap isi hatinya. Akan tetapi, entah mengapa nyalinya tiba-tiba menciut. Keberanian untuk berterus terang dan menyatakan cintanya tidak sebesar nyalinya ketika menantang Adam beberapa menit yang lalu.Pemuda itu terkekeh. “Hehe, enggak lucu ya? Padahal itu sudah sangat lucu buat saya.” “Nggak lucu, Dokter.”“Hehehe.” Cahaya tertegun. Dia baru ingat bagaimana bisa dokter muda itu datang tepat di saat dia membutuhkan bantuan. Mengingat jarak rumah sakit tempat bekerja pemuda itu sangat jauh karena berbeda kota. “Dok, tadi kok bisa pas gitu? Bagaimana Dokter tahu kalau Aya sedang dalam masalah karena Mas Adam tadi? Kan rumah sakit tempat Dokter kerja jauh. Apa Dokter Farel pas kebetulan lewat aja atau bagaimana??” tanya Cahaya dengan memberondong pertanyaan demi pert
Setelah hampir 30 menit Cahaya akhirnya memantapkan hati untuk keluar. Sebenarnya dia sangat malas jika harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu, tetapi tidak mungkin juga dia tidak pulang hanya karena menghindari Adam yang saat ini sedang menunggunya di gerbang depan.Benar saja, dengan penuh sabar Adam menunggu Cahaya keluar sejak beberapa jam yang lalu. Setelah dilihatnya mobil mungil milik Cahaya yang perlahan berjalan menuju gerbang, Adam segera menyalakan mesin mobilnya untuk menghadang jalan Cahaya. Cahaya yang melihat kehadiran mobil Adam segera menghentikan mobilnya. Dengan perasaan kesal, wanita muda itu keluar dari mobil seraya memegang satu buket bunga di tangan. Cahaya akan mengembalikan buket itu kepada si pengirim. “Assalamualaikum, Cahaya.” Adam menyapa dengan meyunggingkan senyuman tanpa sedikit pun merasa malu atau merasa sungkan.Bruk!Cahaya melempar satu buket bunga tepat di bawah kaki Adam. “Ini! Ambil kembalikan! Karena aku nggak sudi menerima apa pun da
Pagi hari di kampus tempat Cahaya berkuliah. Setelah tiba di kampus Cahaya menemui dua sahabatnya Lisa dan Paula di kantin. Sebelum berangkat mereka bertiga memang sudah janjian untuk bertemu di kantin kampus dan sarapan bersama. Beberapa hari yang lalu ketika Lisa dan Paula mengetahui status janda Cahaya keduanya merasa dibohongi sehingga berniat memutuskan persahabatan mereka. Akan tetapi, kedekatan yang sudah terjalin di antara mereka cukup kental sehingga mampu mengalahkan kekesalan mereka. Dua gadis yang awalnya hanya mendekati Cahaya karena status Cahaya yang putri seorang dokter terkenal itu kini perlahan mulai merasakan hal yang berbeda. Apa lagi setelah mendengar pengakuan Cahaya sendiri tentang status jandanya, bukannya benci dan menjauhi, tetapi Lisa dan Paula malah semakin salut dan simpatik kepada Cahaya. Dan hari ini adalah hari di mana mereka kembali bersatu setelah beberapa hari yang lalu di antara mereka bertiga terjadi kerenggangan. Tiba di kantin, Cahaya disambut
“Cahaya, tolong beri waktu sebentar aja. Aku pengen banget ngomong sama kamu,” pinta Adam pada wanita cantik yang berdiri di samping mobil. Wanita itu menghentikan gerakan tangannya yang ingin membuka pintu mobil.“Enggak ada yang perlu diomongkan lagi, Mas. Sudah, Aya buru-buru.” “Jangan pergi dulu, Cahaya. Plis ... kasih aku waktu sebentar aja,” pinta Adam lagi dengan wajah memelas membuat Cahaya pun mengurungkan niat untuk pergi. “Memangnya ada apa?” Cahaya kembali membalas tanpa menatap ke arah sang mantan suami. “Emm ... aku minta maaf,” ucap Adam dengan wajah tertunduk.Kening Cahaya mengerut. “Maaf? Untuk apa??” Adam menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Pria itu mendongak dan menatap Cahaya dengan memasang wajah sendu penuh penyesalan. “Maaf karena sudah menyak itimu dulu. Maaf karena telah mengabaikan cintamu dulu. Dan maaf karena sudah mengkhianatimu.” Kenapa bisa segampang itu Adam mengatakan maaf setelah melakukan hal menyakitkan kepada Cahaya? Mesk
“Bagaimana Abang tahu kalau gua suka Cahaya?” tanya Raka kepada kakaknya dengan spontan karena dia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang perasaannya. “Yah, Abang cuman tahu aja. Emangnya kamu beneran suka Cahaya atau cuman suka-suka biasa?” Farel bertanya pada sang adik dengan tatapan tajam hingga membuat Raka merasa tidak nyaman.“Abang ini kenapa sih?” Pemuda yang sedari tadi berbaring itu kini mengubah posisi menjadi duduk.Sementara itu, masih dengan posisi berdiri, Farel semakin menatap sang adik dengan penuh keseriusan. “Abang cuman ngingetin aja. Kalau perasaanmu pada Cahaya hanya cuman sekadar suka, lebih baik jangan diteruskan. Jangan main-main dengan perasaan perempuan.”Mendengar ucapan kakaknya membuat Raka kesal. “Siapa juga yang main-main? Lagian, gua juga nggak ada nembak Cahaya. Dia juga nggak tahu perasaan gua. Jadi, gua ada salah apa-apa dong?” “Oh, jadi kalian belum jadian?” Farel malah dibuat penasaran dengan ucapan Raka. “Bukannya kalian sudah sering j
atap mantan mertuanya dengan penuh keberanian, kemudian gadis itu mengangguk pelan. “Iya, Bu. Aku Cahaya, mantan menantu yang kau sia-siakan dulu.” Mendengar ucapan Cahaya yang terkesan menantang, Bu Lastri hanya bereaksi tersenyum, malu-malu. “Ah, jangan berlebihan seperti itu, Cahaya. Ibu tidak pernah berniat menyia-nyiakanmu dulu. Ibu cuman mengajarimu cara menjadi istri yang baik. Gitu aja. Tapi, Ibu penasaran banget, kenapa kamu tiba-tiba jadi putri dari Dokter Hasan? Apa mungkin cerita nenekmu dulu tentang orang tua kandung yang membuangmu waktu bayi itu beneran Dokter Hasan?” Cahaya hanya diam, tetapi ibunyalah yang langsung memasang diri untuk berhadapan dengan sang mantan besan. “Iya, Cahaya benar-benar anak kami. Emangnya kenapa, Bu Lastri? Ada yang salah?” Bu Salma balik bertanya dengan penuh emosi. Beberapa orang yang berada di sekitar mereka termasuk Dokter Hasan sampai mendengar ucapan istrinya. “Ma, sudah, Ma.” Dokter Hasan paham betul dengan perasaan istrinya saat
“Dam, kamu lihat putri Dokter Hasan itu? Kenapa dia mirip sekali dengan Cahaya?” tanya Bu Lastri pada Adam dengan tatapan terus tertuju pada sosok gadis cantik yang berdiri di hadapan mereka. “Kayaknya iya, tapi aku nggak yakin sih, Bu. Karena Ibu kan tahu kalau Cahaya dan neneknya sudah balik ke desa. Dan coba aja perhatikan wajah gadis itu, sangat cantik, Bu. Beda jauh dari Cahaya yang kita kenal dulu.” Adam menjawab, datar. Berusaha menepis kenyataan yang mengejutkan dengan semua hal yang ingin dia yakini selama ini. “Tapi, Dam. Kamu denger sendiri kan tadi Dokter Hasan memperkenalkan putrinya itu dengan nama Cahaya?” Bu Lastri bertanya lagi. Wanita paruh baya dengan dandanan menor itu sangat yakin bahwa gadis yang berdiri di hadapan mereka saat ini adalah menantunya dulu.Akan tetapi, Adam kembali mengelak dan berdalih, “Nama Cahaya bukan cuman punya gadis kampung itu aja, Bu. Adam yakin dia bukan Cahaya yang kita kenal dulu.” “Aku sependapat sama Ibu,” sahut Nadia memberikan k
Dua jam sebelum menghadiri undangan pesta peresmian rumah sakit baru milik tetangga terkaya di komplek ini, Adam terlihat sudah siap mengenakan setelan jas berwarna hitam mengkilap yang membuatnya tampak lebih gagah dan tampan dari biasanya. Sementara itu, sang ibu juga sudah siap dengan memakai kebaya mewah yang baru dibelinya kemarin. Setelah perdebatan panjang, demi bisa ikut hadir di acara tetangga kayanya, Bu Lastri tidak punya pilihan selain menyetujui keinginan Nadia untuk menyewa baby sitter khusus untuk menjaga putrinya hari ini. Pagi-pagi sekali si penjaga bayi yang dipesan Nadia sudah datang karena kebetulan gadis muda itu tinggal di sekitar rumah mereka. Sama seperti Bu Lastri yang sudah siap dengan kebayanya, Nadia pun sudah siap dengan gaun merah marun indah berbahan satin yang dia beli beberapa hari yang lalu. Keduanya sudah siap dengan pakaian mereka. Akan tetapi, belum dengan riasan wajah dan rambut mereka, karena keduanya akan singgah di salon langganan untuk mempe
Hari ini tepat satu hari sebelum acara besar yang akan diselenggarakan di salah satu aula hotel bintang lima di tengah kota. Hampir seluruh persiapan sudah selesai mulai dari persiapan dekorasi, pembuatan undangan khusus untuk para tamu, hingga pemesanan kue ulang tahun berukuran besar untuk si kembar yang ulang tahun dan pemesanan beberapa menu catering untuk perjamuan tamu. Bukan hanya persiapan tempat dan hidangan acara, tetapi persiapan gaun dan setelan jas dan kemeja untuk keluarga Dokter Hasan ini pun telah siap semua. Tas dan sepatu dari sahabat Bu Salma yang tinggal di Korea pun sudah tiba di rumah beberapa hari yang lalu. Ya, sang perancang sepatu sendiri yang membawakannya sampai rumah karena perempuan bernama Tiara itu juga ingin menghadiri acara besar sahabatnya sekaligus dia ingin bertemu dengan Cahaya, putri sulung dari Bu Salma yang dulu telah dinyatakan meninggal dunia. Hari ini, Cahaya kembali melakukan perawatan kulit seluruh wajah dan tub uhnya di salah satu klin