Home / Romansa / Buncitnya Jenazah Kakakku / Bab 77: Kelakuan Zhafran

Share

Bab 77: Kelakuan Zhafran

Author: Ngolo_Lol
last update Last Updated: 2024-02-10 20:36:41

Aku menggeliat kala merasakan terik mentari menyapa wajah. Membuatku terganggu dengan sinarnya yang menembus kelopak mata. Aku menarik selimut, menutupi seluruh kepala. Berusaha untuk tidur lagi. Namun, pikiranku malah berkelana, menyusuri memori semalam.

'Kakak tolong!'

Tiba-tiba saja aku tersentak bangun ketika bayangan Aisyah berteriak minta tolong terlintas di pikiran.

"Aowww!" Aku meringis sembari memegang tengkuk yang terasa berat dan sakit.

Aku mendongak, lalu mematahkan leher ke kiri dan ke kanan sampai terdengar bunyi tulang mengkriuk. Berharap hal itu bisa membuat sakit di kepalaku sedikit mereda.

Aku mengusap wajah berkali-kali, lalu memijit pelipis yang terasa berkedut. Mencoba mengumpulkan kepingan memori semalam. Rasanya masih buram dan sekilas-sekilas mampir di pikiran.

"Astaga, pakaian gue!" Mataku melotot.

Daster putih milik Kak Naila yang sedang membungkus tubuh ini. Alisku mengernyit, a
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
dia ga sebejat penampilannya...
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
bener tuch kata si dito nilfan... achhh... kamu lemot siiii
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 78: Ingin Bertemu

    Aku mondar-mandir di taman depan klub. Di bawah pohon angsana, aku sibuk berpikir bagaimana caranya untuk bisa bertemu dengan pria berandalan itu. Tidak mungkin aku langsung datang ke rumahnya. Lagi pula, belum tentu Zhafran berada di rumah. Bagaimana jika aku malah bertemu dengan Nyonya Arelia dan menagih utangku padanya. "Apa gue nelpon Bryan aja, yah? Minta nomor Zhafran sama dia." Aku mengetuk-ngetuk dagu seraya berpikir. "Ah, tidak! Petugas kepolisian itu pasti bakal nge-interogasi gue nanti."Kira-kira bagaimana reaksi Bryan jika tahu adiknya suka membeli gadis di bawah umur? Apakah Bryan akan marah dan memenjarakan adiknya tersebut? Atau mungkin malah dia menutup kuping dan seolah-olah tidak mau tahu soal hal itu? Entahlah! Aku tidak yakin dengan hal itu. Bryan bisa saja melepaskan Zhafran karena adiknya, tetapi Bryan juga bisa memenjarakan Zhafran untuk menaikkan kariernya sebagai polisi yang baik dengan menangkap predator anak di bawah

    Last Updated : 2024-02-10
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 79: Pria Paling Menyebalkan

    Aku memekik seraya menutup mata dan mundur beberapa langkah dari kaca mobil itu. Tidak disangka, kakiku yang terbungkus oleh sepatu boots malah menginjak batu hingga membuat diri ini terjatuh. "Awww!" Aku kembali memekik kala bokong mendarat dengan keras di aspal. Selesai mengaduh, aku melemparkan tatapan tajam ke pemilik mobil tersebut. Terlihat sang pemilik mobil sedikit membulatkan matanya ketika melihatku yang terjatuh tadi. Namun, setelah itu, dia kembali memasang tampang datarnya. "Zhafraaaan ...!" Aku berteriak geram. Memungut batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang menyebabkanku terjatuh tadi, hendak melemparkannya ke Zhafran yang masih menatapku datar. "Eh, eh, lo mau ngapain, hah?!" Zhafran memasang raut waspada. "Turunin enggak itu! Mobil gue baru, kalau sampai lecet gimana?""Bodoh amat!" Aku bangkit sembari mengangkat tinggi-tinggi batu itu. Namun, aku kembali terjatuh kala merasakan pergelangan kaki yang

    Last Updated : 2024-02-11
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 80: Linglung

    Zhafran melirikku sekilas dengan ekor matanya. Tanpa berniat menoleh sedikit pun ke arahku. Dia tetap fokus mengendarai sambil menatap lurus ke depan. Membelah hujan yang sangat deras. "Zhafran, gue tanya sama lo!" teriakku, "ke mana gadis kecil yang lo beli itu?" Kembali aku menanyakan hal yang sama. Namun, Zhafran tetap bungkam. Seakan-akan tidak mendengar sedikit pun apa yang kubicarakan. "Lo dengarin gue enggak, sih, Zhaf?!" Aku menggoyangkan dan menarik lengannya yang sedang memegang kemudi. Tanpa sadar, mobil yang dikendarai malah serong ke kiri. "Minggir!" Zhafran mengempaskan tanganku, lalu memperbaiki arah laju kendaraan. "Dasar bodoh!" umpatnya menatapku kesal. Aku tidak peduli dengan dirinya yang kesal. Tetap ingin menanyakan di mana keberadaan Aisyah. "Jawab dulu pertanyaan gue, Zhaf!" pekikku. "Lo enggak perlu tau!" Zhafran menyahut singkat sambil tetap fokus mengemudi. "Lo bilang, gue nggak

    Last Updated : 2024-02-11
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 81: Ajakkan Dinner

    Sontak Zhafran menghentikan langkahnya. Kami serentak langsung memandang ke asal suara. Berdiri di sana seorang pria yang mengenakan celana joger loreng serta kaus oblong hitam dan di balut oleh jaket kulit berwarna senada. Sang pria menatap kami saling bergantian dengan dahi mengerut dan tatapan penuh selidik. "Turunin gue!" Kembali aku meminta hal itu seraya memukul dada Zhafran yang terbungkus oleh kaus oblong yang sudah basah kuyup. Membuat dada bidang sang pria tercetak jelas. "Kebetulan banget lo ada di sini, Bry. Tolongin nih anak! Kakinya terkilir tadi. Lo 'kan, jago dalam hal pijit memijit."Bukannya mendengarkan permintaanku, Zhafran malah memerintah Bryan untuk memijit kakiku yang keseleo. Lantas, dia berjalan ke arah jam tiga. Menuju ke sofa yang biasanya digunakan orang di ruang tunggu. Zhafran mendudukanku di sofa tersebut. "Bagaimana ceritanya sampai terkilir, Nil?" Bryan mengikuti langkah Zhafran dan bertanya

    Last Updated : 2024-02-12
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 82: Chips GPS

    Di saat duduk di mobil Zhafran tadi, aku sengaja menyelipkan chips GPS di jok mobilnya. Sudah aku prediksi, Zhafran tidak akan mudah begitu saja memberitahukanku di mana dia menyembunyikan Aisyah. Maka dari itu, aku sengaja menyelipkan chips GPS di mobilnya agar aku bisa tahu ke mana Zhafran pergi dan di mana lokasi basecamp-nya. Kemungkinan Aisyah, Zhafran bawa di basecamp-nya. Kalaupun Zhafran tidak membawa Aisyah di sana, aku masih bisa mencari bukti-bukti kejahatan Zhafran dengan tau lokasi basecamp tersebut. Kejahatan dan perkumpulan Zhafran harus dihentikan, sebelum ada Aisyah dan korban penganiayaan lagi dari pria berandalan itu. "Sialan, dia main nyambar bibir gue tadi!" gerutuku sambil menyentuh bibir. Serasa masih ada bekas bibir Zhafran di sini. "Tapi, kecupan di kening itu ...?" Aku mengingat kecupan itu. Begitu dalam dan mampu membuat tubuhku menghangat. Seperti kecupan sayang dari almarhum Ayah dulu. "Apa mungkin, Zhafran cinta s

    Last Updated : 2024-02-12
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 83: Kekasih Istimewa

    "Kenapa?" Alisku mengernyit dengan permintaan Zhafran yang tiba-tiba itu. "Intinya, gue mau lo batalin aja dinner itu!" Zhafran mendengkus kasar. "Iya, tapi masalah lo itu apa?" Aku menarik lengan dari cekalan Zhafran. Zhafran terlihat salah tingkah. Dia mengusap tengkuk dan pandangannya lari ke mana-mana. Membuatku bingung dengan tingkah sang pria. Dia bangkit berdiri. Menghadap dan kembali menggenggam tanganku. Membuatku sedikit mendongak untuk menatap wajahnya yang lebih tinggi dariku. "Nilfan ...." Zhafran menggantung kalimatnya. Pandangan pria berandalan itu lari ke mana-mana lagi. "Apa?" Aku melemparkan tatapan penuh selidik. "Gue nggak suka lo dekat sama Bryan!" ucap Zhafran dengan kecepatan 5G."Hah? Emang kenapa?" tanyaku bingung. "Intinya, gue nggak suka. Gue mau lo jauhin dia!" tegas Zhafran menatapku tajam. "Emang lo siapa ngatur-ngatur hidup gue?" Aku menarik tangan d

    Last Updated : 2024-02-13
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 84: Seolah Sang Kekasih yang Cemburu

    Tiba-tiba ada sebuah mobil sedan berwarna hitam menyalip mobil Bryan. Membuat Bryan menginjak rem secara mendadak, hingga terdengar bunyi decitan pada aspal. Keningku hampir saja membentur dashboard akibat hal tersebut. Bryan sontak membunyikan klakson dengan nyaring, meminta pengemudi mobil itu agar pindah. Aku memicing, merasa familier dengan mobil di hadapan itu. "Zhafran." Aku berucap lirih sembari melirik Bryan yang turun dari mobil menghampiri mobil Zhafran. "Kamu apa-apaan, sih, Zhaf?" tanya Bryan kesal, "minggirin mobilmu!"Bukannya menyingkirkan mobilnya dari hadapan mobil Bryan, Zhafran malah keluar dari mobil. Menyenggol bahu Bryan dan berjalan ke arah pintu mobil di sampingku."Buka!" pinta Zhafran ketika dia hendak membuka pintu mobil, tetapi tidak bisa. Matanya menatapku nyalang. Aku memilih tetap bergeming. "Kamu apa-apaan, Zhaf?" Bryan menarik lengan Zhafran seraya berucap geram.

    Last Updated : 2024-02-13
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 85: Melontarkan Spekulasi

    Bola mata Bryan langsung membulat kala mendengar pertanyaanku yang to the point tadi. Dia menatapku dalam. Tatapan yang tadinya berbinar, sekarang jadi meredup. Aku tetap menatap tajam Bryan dengan tampang datar. Tanganku yang berada di bawah meja terkepal kuat menahan amarah di dada. "Atau lo yang udah ngehamilin Kak Naila?" Secara langsung kuucapkan hal itu. Aku juga tidak lagi menyebut Bryan dengan embel-embel 'Kak' dan bahasa yang kugunakan sekarang terdengar kasar. Aku muak terus-terusan bersikap sopan di depan petugas kepolisian berwajah palsu itu. Mata Bryan tambah melebar mendengar perkataanku. Lantas, disusul dengan dahinya yang mengkerut. Terlihat mata Bryan menatapku sendu. "Kamu ngomong apa, Nilfan? Aku nggak ngerti sama apa yang kamu omongin." Terdengar nada resah darinya. "Enggak usah bohong, Bryan!" seruku seraya bangkit berdiri. Tatapan tajam terus kulayangkan padanya. Bryan ikutan berdiri. Dia men

    Last Updated : 2024-02-14

Latest chapter

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 112: Sebuah Perasaan

    Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 111: Ungkapan Rasa

    Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 110: Iblis itu Kembali

    Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 109: Tanggapan Orang-orang

    Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 108: Putar Haluan

    Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 107: Dilema

    "Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 106: Masalah Beruntun

    Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 105: Berubah

    Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 104: Dua Polisi yang Bekerja Sama

    Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m

DMCA.com Protection Status