"Memang kami semalaman di dalam kamar hotel yang sama. Tapi, tidak pernah sedikit pun terlintas di pikiranku untuk merusak Naila! Dia wanita pertama yang aku cintai setelah Mamah. Aku mencintainya, mengangguminya, menghormatinya, mana mungkin aku tega merusak gadis lugu itu!" terang Bryan dengan penuh penekanan. Tidak bisa dipungkiri, hatiku sedikit terenyuh dengan kata-kata penuh perasaan si petugas kepolisian berwajah teduh itu. Namun sesaat kemudian, aku menepis kedua tangan Bryan yang masih menempel pada kedua bahuku. "Halah! Mana mungkin dua sejoli di dalam satu kamar semalaman, tapi nggak terjadi apa-apa," seruku menampik semua yang diucapkan pria itu. Tidak akan semudah itu percaya dengan apa yang dikatakanya. Bryan malah tersenyum smirk tipis merespons perkataanku, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia mengejekku. "Bukankah kamu juga pernah semalaman pergi dengan Zhafran? Pasti kalian menginap di kamar yang sama, 'kan?
"Kematian Naila juga terkesan masih sangat janggal. Pasalnya, pengendara mobil yang menabraknya ... aku, 'kan, memenjarakan orang itu, tapi semalam setelah berada dalam penjara, dia ditemukan tewas dengan busa memenuhi mulutnya. Dia bunuh diri dengan meneguk racun yang disembunyikannya dalam pakaian. Entah kenapa dia melakukan hal itu." Bryan masih terus menerangkan kejadian per kejadian. Alisku mengernyit mendengar kebenaran terbaru tersebut. Berarti benar dugaanku, kematian Kak Naila bukan serta-merta hanya murni kecelakaan, tetapi memang disengaja. "Maka dari itu, saat kemarin melihatmu untuk yang pertama kalinya di rumah, aku bertanya 'kau kemari untuk bekerja, atau ingin menyelidiki kematian kakakmu?' Naila pernah bercerita, kalau adiknya ingin sekali menjadi seorang polisi. Seseorang dengan jiwa yang menyukai hukum pasti tidak akan melewati begitu saja kejadian yang jika menurutnya janggal.""Jadi, kemarin aku sempat menduga kalau kedatanganmu
Aku baru tersadar kalau di saat masuk kamar apartemen tadi, pintunya tidak dikunci. Dikarenakan sibuk berpikir, aku tidak terlalu memedulikan hal aneh tersebut. "Bagaimana lo bisa masuk kemari, Zhafran?" seruku bertanya. Zhafran berdiri diam sambil menyandarkan lengan dan kepalanya di dinding ambang balkon dengan tatapan nanar kepadaku. Baju kaus putih lengan pendek yang ia kenakan terlihat kusut, sekusut rambutnya. Aku segera menghampiri Zhafran, menarik tangannya agar dia keluar dari apartemen-ku. "Keluar dari apartemen gue, Zhafran!" usirku kasar sembari menarik lengan kekar Zhafran. Dia berjalan terseok-seok kala aku menarik lengannya keluar. Namun, sekitar tiga langkah lagi dari pintu apartemen, Zhafran menahan langkahnya. Aku kesusahan untuk menarik dirinya agar keluar. "Apa-apaan lo, Zhaf? Gue bilang, keluar dari apartemen ini sekarang!" seruku marahku. "Kenapa?" tanya Zhafran lirih dengan tatapan sayu
Terdengar gebrakan keras pada pintu apartemen, lalu disusul suara seseorang berteriak geram. Zhafran masih melancarkan aksinya mencumbu area leher, pipi, dan bibir ini, sedangkan aku terus meronta-ronta dengan emosi yang memuncak. Tidak lama kemudian, tubuh Zhafran ditarik menjauh oleh seseorang. Lantas, sebuah bogem mentah mendarat di tulang pipi Zhafran. Membuat pria yang sedang dikuasai nafsu itu terempas ke samping dengan tubuh menghantam meja kaca hinggap pecah. "Kak Bryan," lirihku menatap Bryan yang sedang bersiap menghajar Zhafran lagi. Aku segera bangkit dari ranjang dengan napas tersengal-sengal dan emosi yang membara. Namun, bersamaan dengan itu hatiku juga terasa pilu dengan ulah Zhafran barusan. "Kurang ajar!" Bryan langsung menendang rahang Zhafran. Membuat sang adik kembali terempas ke lantai dengan terlentang. "Argghh!" Zhafran hanya mengerang kesakitan. Lengannya berdarah akibat terhantam meja kaca tadi.
Hari-hari aku lewati hanya berada dalam apartemen, melamun dan merenung di pojok balkon sambil memandang kosong gedung-gedung pencakar langit di depan sana. Setelah kejadian malam itu, sudah tiga hari lamanya aku mengurung diri di apartemen. Tidak ada niat untuk keluar dari sini. Rasanya semua hal saat ini begitu memuakkan untuk kujalani. Perilaku yang Zhafran lakukan terhadapku, memang sedikit memengaruhi mentalku, terlebih lagi pelakunya adalah dirinya. Aku benar-benar kecewa dengan Zhafran. Mungkinkah aku sudah terlanjur mempercayai perkataan Dito yang mengatakan tentang pria dan cinta sejati yang tidak akan berani merusak gadis yang dicintainya? Apakah aku sudah terlanjur mengira bahwa Zhafran benar-benar mencintaiku? Atau apakah aku yang sudah terlanjur mencintai Zhafran hingga kekecewaan ini begitu mendalam kurasakan? "Argghhh!" Aku menyugar rambut secara kasar. Membuang semua pertanyaan yang membombardir pikiran. Belum lagi tentang
Melihat Zhafran yang sedang menuju ke arahku, gegas saja aku bangkit dari bangku hendak melangkah pergi. "Nilfan, tunggu!"Baru saja dua langkah menjauh, Zhafran sudah memalang langkahku dengan langkahnya yang lebar. Menghalangi jalanku dengan tubuh tegapnya. Aku mendongak, menatap wajah Zhafran yang terdapat beberapa bekas luka di pipi, sedangkan sang pria hanya menatapku dengan raut datar. Namun, aku menangkap sedikit kesenduan di mata elang itu. "Gue pengen bicara sama lo," ucap Zhafran. Aku memilih membuang muka, lalu membalikkan badan. Tetap ingin pergi dari hadapannya. Kaki kuayunkan, tetapi baru melangkah, Zhafran mencekal lenganku yang terbungkus oleh kaus pekerja cleaning service. Tanpa sepatah kata, aku mencoba melepaskan jari-jari Zhafran yang menggenggam lenganku, tetapi Zhafran malah menambah kuat cekalannya sampai-sampai aku merasa sedikit kesakitan pada lengan ini. "Lepas!" pintaku penuh pe
"Saya butuh lokasi basecamp Zhafran di mana. Dengan basecamp Zhafran, kita bisa mengetahui semua kelakuan kriminal pria itu. Saya akan merekam semua aktivitas kekerasan yang ada di sana. Kita bisa menggunakan hal itu dan membagikannya ke sosial media. Memviralkannya untuk merusak karier Bryan yang melindungi kriminal di rumahnya!" Aku mulai menyusun rencana. Angel dan Kesya menyimak dengan baik. "Bagus, tuh. Cocok banget, Kesya punya ratusan ribu followers di Tektok, kita bisa viralin lewat sana!" usul Angel antusias. "Tapi sayangnya, saya nggak tau di mana letak basecamp Zhafran itu." Aku mengembuskan napas kasar. "Terus, kamu tau dari mana Ayang Zhafran punya basecamp?" Alis Kesya bertaut. "Saya pernah ke sana dua kali. Tapi, saya nggak tau pasti ada di bagian mana." Aku menerawang jauh. "Yang saya tau pasti, basecamp Zhafran itu tampak seperti bangunan terbengkalai di bagian luarnya, tapi di bagian dalamnya mereka renova
Malam ini, kami meninggalkan semua pekerjaan di klub malam pada Dito. Biarlah sesekali dia yang mengurus semua pekerjaan. Lagi pula, ketika sudah menjelang tengah malam begini, pekerjaan tidak terlalu banyak. Saat ini, aku, Angel, Kesya, dan Kelly---temannya Kesya sedang berada dalam satu mobil. Tujuan kami ialah, rumah bordil di wilayah Sarakiya.Ya, cara kami untuk bisa masuk ke wilayah sana, ialah dengan melalui temannya Kesya, si Kelly. Kami berpura-pura akan bekerja di rumah bordil tempat Kelly bekerja. Memang sangat berisiko dan rawan tersesat dengan tindakan yang kulakukan ini, tetapi hanya cara inilah untuk aku bisa masuk ke wilayah itu. Kebetulan sekali kata Kelly, di rumah bordil itu akan ada pertemuan antar ketua mafia. Mereka sering kali bertransaksi di tempat tersebut, lalu berpesta sepanjang malam. "Masih jauh nggak, tempatnya?" tanya Angel memecah keheningan. "Iya, lima menit lagi." Wanita dengan rambut di-cat mera
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m