Aku terus mengayunkan kaki lurus ke depan, mengikuti langkah Mamy Dora, sedangkan pandanganku fokus ke arah jam tiga, di dinding transparan. Di mana ada beberapa pria sedang duduk berhadapan di depan meja lingkar yang terdapat dua koper. Satu berisi uang dan satunya lagi berisi sabu-sabu. Zhafran mengembuskan asap rokoknya sembari menatap tajam lawan bicaranya. Entah mereka sedang membicarakan apa, aku tidak mendengar apa yang diucapkannya dikarenakan dinding kaca transparan yang menghalangi. "Ayo, cepat!" Mamy Dora menarik lenganku kasar menuju ke depan. Kami kembali memasuki sebuah ruangan yang lumayan luas. Di sini, aku melihat Kesya, Angel, dan Kelly sedang menari di depan para mata-mata lapar. Di kelilingi oleh para pria, sedangankan mereka menari dengan pakaian yang kekurangan bahan. "Kamu duduk di sana!" Mamy Dora menunjuk kursi di pojokkan. "Setelah urusannya, aku akan melelangmu di depan tamu VVIP-ku itu!"Aku menelan lu
Zhafran mengempaskanku dengan kasar ke dalam mobil. Menutup pintunya dengan keras, lalu menguncinya. Terlihat Zhafran buru-buru memutari mobil dan ikutan masuk ke dalam. Aku menatapnya tajam, tidak suka diperlakukan semaunya. Zhafran ikutan melirikku tajam. Tidak, bukan hanya tajam, tetapi sengit, bengis, seolah-olah aku sehabis melenyapkan nyawa seseorang yang sangat berarti di dalam hidupnya. Detik berikutnya, pria berandalan itu langsung menghidupkan mesin mobil dan melajukannya dengan sangat-sangat kencang. "Zhafran, apa-apaan kamu?!" teriakku panik saat mobil Zhafran melesat secepat kilat. Menabrak tong sampah, pot, bahkan kendaraan beroda dua yang berada di pekarangan rumah bordil Mamy Dora. Zhafran benar-benar mengendarai dalam ugal-ugalan. Dia membelokkan mobilnya ke kiri dan ke kanan secara cepat, lalu menginjak gas sedalam mungkin. "Zhafran ... hentikan!" teriakku panik ketika mobil Zhafran berpapasan dengan mobil truk
Pria yang berada di atasku itu mulai melancarkan aksinya. Dia mendekatkan wajahnya yang dipenuhi oleh cambang dengan disoraki oleh teman-temannya. Aku menggeleng-geleng keras dengan derai air mata. Berusaha meronta-ronta, tetapi anggota gerakku semua digenggam erat oleh para binatang itu. "Jadilah kucing yang penurut, Say---"'DOR!'Belum sempat pria di atasku itu menyelesaikan kalimatnya dan membelai pipiku, sebuah letupan senjata api terdengar. "Argghhh ...!"Lantas disusul oleh erangan kesakitan seorang pria yang memegang lengan sebelah kananku. 'DOR!'"Argghhh!"Pria yang ada di atasku juga mengerang kesakitan sambil memegang lengannya yang bocor. Dia turun dari tubuhku. Mereka semua sontak panik dan menoleh ke arah si penembak. Melepaskan cekalannya pada anggota gerakku. Aku juga bangun dan langsung menoleh ke arah jam tiga. Terlihat seorang pria dengan kemeja hita
"Nilfan!" Zhafran berseru di depan sana, membuyarkan pikiranku. Langkahnya menuju ke rumah kecil di bawah pohon kelapa. Ya, rumah itu juga ada di dalam foto Kak Naila dan Zhafran yang Aku lihat di galeri ponsel Zhafran. Walaupun suasana sekarang malam, sedangkan di foto itu siang, tetapi aku yakin tempatnya sama. Mereka berfoto di sini, di pantai ini dengan latar pantai juga perumahan di bawah kelapa itu. Berarti, Zhafran juga pernah mengajak Kak Naila ke sini. Aku mengayunkan kaki pelan seraya memandang Zhafran dengan perasaan gamang. Baru saja pikiran negatif tentang pria itu menguar, tetapi sekarang kembali lagi. Aku kembali lagi mencurigainya. Zhafran membuka pintu rumah kecil itu. Ada dinding kaca di bagian ruang tengahnya. Membuat seseorang bisa bersantai sambil menikmati pemandangan pantai dari dalam sana. "Kemarilah!"Melihatku yang masih diam di ambang pintu, Zhafran langsung menarik lenganku untuk masuk k
Zhafran kembali menoleh kepadaku. Menatap diri ini dalam-dalam. Begitu lama. Mata elangnya itu yang terbiasa menatap dengan tajam, sekarang berubah menjadi tatapan lekat. "Apa yang lo pikirin tentang gue?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Zhafran malah bertanya balik. "Lo pikir, gue ngapain kakak lo aja?" lanjutnya bertanya. Mendapat pertanyaan seperti itu, membuatku bingung harus menjawab apa. Jujur saja, perasaanku mengatakan Zhafran tidak ada hubungannya dengan kehamilan Kak Naila, tetapi pikiranku menyangkal keras hal itu. "Apa lo pikir, gue bawa Naila kemari buat ngapa-apain dia? Begitu yang ada di pikiran lo? Hmm ...," ucap Zhafran dengan nada rendah seraya mendekat. "Emm ...." Aku bingung harus menjawab apa. Terlebih lagi ketika melihat Zhafran yang makin mendekat. Membuatku kehabisan kata dan kikuk. "Apa lo pikir, gue maksa dia nurutin kemauan gue? Merkosa gadis lembut dan lugu kayak dia? Begitu yang ada di pikiran l
Mataku membulat sempurna, wajah pria berandalan itu memenuhi indra penglihatan. "Zhaf--Zhaf---" Aku tergeragap. "Ta-tadi ... hantu ....""Hantu pala lo! Minggir!" Dia mendorong tubuhku agar bangkit dari tubuhnya. Sialnya, ketika bangkit dari tubuhnya, dua kancing kemejaku bagian atasnya malah terlepas. Astaga! Sontak saja aku menyilangkan tangan di dada. "Tutup matamu!" bentakku pada Zhafran, pria itu terlihat melongo sambil menatap ke bagian tengah badanku. Dasar! Zhafran hanya membuang pandangan sekilas, terlihat dia tersenyum tipis. Aku buru-buru memperbaiki kancing bajuku kembali. Merasa sangat malu. "Buat apa malu? Gue udah liat juga semuanya."Mendengar ucapan Zhafran, seketika saja mataku membulat sempurna. "Hah?!"Pria tersebut melemparkan senyuman nakal. "Mulus juga," komentarnya yang membuat kepalaku panas. Dia bangkit berdiri. "Kapan?" Aku ikutan berdiri sambil meme
'Dor!'Tiba-tiba saja sebuah letupan senjata melayang dan mengenai batang kelapa di sampingku. Sontak saja hal itu membuat aku dan Zhafran sama-sama terkejut dengan mata membulat sempurna. Terlebihnya aku yang impulsif memekik kaget seraya menutup telinga dengan jantung berdebar. 'Dor!''Dor!''Dor!'Lagi-lagi tembakkan itu terdengar. Melesatkan butir pelurunya ke arah kami. "Sial!" umpat Zhafran langsung menarik pergelangan tanganku bersembunyi di balik perumahan. Aku masih setengah menutup mata ketakutan. Berpikir suara letupan itu akan menembus tubuhku dan membuatnya banjir darah. "Gimana caranya mereka tau tempat ini?" dengkus Zhafran sembari mengintip di seberang sana. Aku menatapnya dengan ketakutan. 'Dor!''Dor!'Lagi, suara tembakkan terdengar. Zhafran menarik kepalanya, bersembunyi kembali. "Sialan! Mana pistol gue di mobil sana lagi!" umpat Zhafr
Alis mengernyit, kelopak mata perlahan kubuka. Silau langsung menyentil mataku. Kembali aku menutup mata. Kurasakan kepala begitu terasa berat dan sakit. Beberapa detik kemudian, aku kembali membuka mata dan mengedarkan pandangan. Sebuah ruangan asing. Aku sedang terbaring di ranjang. Sebuah kamar sederhana dengan beberapa ranjang di sekitarnya. Di dinding penuh dengan aksesoris islami. Terdengar suara orang-orang mengaji di luar sana. Begitu sangat merdu. "Awww!" ringisku kala berusaha bangun. Aku memegang kepala. Terasa ada sesuatu yang membalut keningku. "Saya di mana?" Aku bertanya-tanya seraya berusaha bangkit berdiri. "Sakit!" ringisku kembali terduduk. Aku melihat pergelangan kakiku memerah. Pasti terkilir akibat kecelakaan tadi. Terdengar derap langkah dan suara seseorang mendekat. Lantas, disusul terbukanya pintu di arah kanan. Menampilkan beberapa gadis berpakaian gamis lengkap dengan hijabnya. Terlihat
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m