Bryan memulangkanku kembali ke apartemen setelah acara amal dan jajannya selesai. Kami menghabiskan waktu dengan gembira selama di panti asuhan tadi. "Mau mampir dulu, Kak?" tawarku setelah turun dari mobil Bryan. Petugas kepolisian itu terlihat menimang-nimang sesaat sebelum menjawab. "Lain kali, deh, Nil. Aku ada urusan yang harus segera diselesaikan," jawabnya. "Baik, Kak. Hati-hati, yah!" Aku merentangkan jari-jari tangan, lalu mengayunkan ke kiri dan kanan. "Bye!""Bye, Nil!" seru Bryan. Lantas, mulai melajukan mobilnya pergi dari hadapan. Aku mulai mengayunkan kaki menuju lantai kamar apartemen-ku. Ketika keluar baru keluar dari lift dan menyusuri koridor, aku merasa seperti ada seseorang yang mengintaiku dari belakang. Segera aku membalikkan badan, memastikan apa yang kurasakan. Kosong. Tidak ada siapa pun di sepanjang koridor ini. "Hmm, aneh! Apa perasaan gue aja, yah?" Aku mengetuk-ngetuk dagu se
Tangan besar si bouncer itu menarik dengan kasar lengan gadis kecil yang berada di belakangku. "Enggak! Aku nggak mau! Lepasin aku!" Gadis kecil bermata sipit itu memberontak, memukul-mukul lengan besar sang bouncer. Dalam sekerlip, gadis kecil itu menggigit lengan si bouncer. "Arrggh!" erang si bouncer melepaskan cengkeraman pada tangan gadis itu. Dia menatap gadis itu dengan nyalang, sedangkan si gadis kembali berlari ke belakangku bersembunyi. Tangannya memeluk erat pinggangku. Sangat terasa tangan gadis itu gemetar, bahkan aku juga bisa merasakan degup jantungnya yang kencang. "Kurang ajar, berani-beraninya lo!" Bouncer itu kembali menarik kasar lengan gadis kecil itu. Bahkan, tangan si bouncer terangkat tinggi ke udara hendak melayangakan tamparan ke wajah gadis itu. Aku tidak bisa tinggal diam lagi melihat ketidakmanusiaan di hadapan ini, segera aku mengangkat kaki dan menendang keras perut bouncer itu. Memb
Aku mundur beberapa langkah seraya menatap tajam pria tua itu. Ingin sekali rasanya aku melayangkan bogem mentah di wajahnya yang selalu memindaiku aneh. "Gimana? Kamu mau menggantikan gadis kecil tadi?" Pak Hengky kembali menanyakan pertanyaan yang sama dengan raut santai. Seakan-akan pekerjaan yang ditawarkankannya itu pekerjaan yang halal dan sangat menguntungkankanku. Aku mundur beberapa langkah sembari mengepalkan tangan hingga bergetar. Pikiranku rasanya mendadak tumpul. Bingung harus melakukan apa untuk bisa membebaskan gadis kecil yang bernama Aisyah tadi. "Kamu masih perawan, 'kan?" Pak Hengky bertanya lagi dengan seringai menjijikan. "Kalau kamu masih perawan, kamu bisa menggantikan posisi gadis kecil tadi.""Enggak, Pak, teman kami yang satu ini udah lama jebol, kok!" Angel tiba-tiba bersuara dan merangkul pundakku. "Maafin teman kami, yah, Pak. Kami akan pastikan anak ini nggak bakalan mengganggu bisnis Pak Hengky lagi!"
Bukan hanya Kesya, aku pun juga ikutan tertegun dengan mata membulat sempurna. Tidak pernah menyangka, jika Zhafran yang dimaksud oleh Kesya itu adalah Zhafran yang sama dengan pria berandalan itu. Tidak pernah menyangka, jika Zhafran-lah yang suka membeli perawan gadis belia. Penampilan Zhafran pada malam ini, sangat jauh berbeda dengan penampilan Zhafran kemarin yang seperti pria berandalan. Dia memang masih mengenakan anting-anting jelek itu, tetapi dia tidak mengenakkan pakaiannya yang robek-robek. Zhafran tampil dengan balutan kemeja hitam mengkilap lengkap dengan dasi panjangnya. Tidak bisa dipungkiri, hatiku terasa sakit sekaligus sesak mengetahui kebenaran ini. Napas pun rasanya tercekat di tenggorokan. Aku tidak habis pikir jika Zhafran semenjijikan itu orangnya. Tega sekali dia menjadikan gadis di bawah umur sebagai pemuas nafsu setannya. "Eh, dia mau kemari, mau kemari, mau kemari, tuh!" Kesya kembali berseru heboh kala melihat lang
Baru saja dua langkah masuk ke ruang lelang, bouncer yang berjaga di dalam berseru menghentikan kami. Serentak kami membalikkan badan, menghadap bouncer tersebut. "Ada apa, Om?" tanya Kesya dengan nada manja. Bouncer dengan tampang cambang tebal itu mengayunkan kaki mendekat pada kami bertiga. Dia menatap diri ini dengan tajam. Membuatku sedikit gugup. "Tuangin minuman buat gue! Haus banget." Bouncer itu mengusap-usap tenggorokannya. Aku mengganguk singkat, lalu segera menuangkan alkohol yang berwarna pekat itu dan memberikannya ke bouncer. Dia kembali ke tempatnya setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Aku mengembuskan napas lega, sempat berpikir bouncer itu mengenaliku. Pasalnya, dia bouncer yang sempat berduel denganku tadi. "Dasar bodoh, bagaimana dia bisa ngenalin lo Nilfan? Sedangkan lo sendiri makai topeng dansa ini!" gumamku merutuki kebodohan diri sendiri. "Ayo." Kesya menyenggol pelan lenganku. Kami melanjutkan langkah masuk ke ruang lelang lebih dalam lagi. Ruang l
"Baik, baik. Tapi setelah ini, lepasin saya, yah, Tuan!" pintaku masih tetap mempertahankan suara yang diberat-beratkan. "Hm!" Zhafran mengedikan sebelah alisnya singkat sambil menarik wajahnya menjauh. Aku segera meninum minuman keras itu. "Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk!" Baru saja sekali teguk, aku sudah tersedak dengan rasa minumannya yang begitu pedis, pahit, dan mencakar tenggorokan. Air mataku langsung luruh kala meneguknya. Minuman keras ini berbeda dengan minuman keras yang biasanya aku minum bersama Angel dan Kesya. Rasa minuman ini jauh lebih keras dan berat dibanding minuman yang biasanya aku minum. "Kenapa? Menyerah? Lo nggak bisa bangkit dari pangkuan gue sebelum ngehabisin itu minuman!" Zhafran berujar dengan raut dingin. Aku kembali memaksa untuk minum minuman keras itu. "Uhuk, uhuk!" Walaupun terbatuk, aku terus memaksa untuk meminumnya sampai tandas. "Sudah, Tuan," ucapku lirih. "Tuang lagi!" perintah Zhafran kembali. Aku pun menurutinya. "Minum!" "Hah? Tapi, Tuan
Aku menggeliat kala merasakan terik mentari menyapa wajah. Membuatku terganggu dengan sinarnya yang menembus kelopak mata. Aku menarik selimut, menutupi seluruh kepala. Berusaha untuk tidur lagi. Namun, pikiranku malah berkelana, menyusuri memori semalam. 'Kakak tolong!'Tiba-tiba saja aku tersentak bangun ketika bayangan Aisyah berteriak minta tolong terlintas di pikiran. "Aowww!" Aku meringis sembari memegang tengkuk yang terasa berat dan sakit. Aku mendongak, lalu mematahkan leher ke kiri dan ke kanan sampai terdengar bunyi tulang mengkriuk. Berharap hal itu bisa membuat sakit di kepalaku sedikit mereda. Aku mengusap wajah berkali-kali, lalu memijit pelipis yang terasa berkedut. Mencoba mengumpulkan kepingan memori semalam. Rasanya masih buram dan sekilas-sekilas mampir di pikiran. "Astaga, pakaian gue!" Mataku melotot. Daster putih milik Kak Naila yang sedang membungkus tubuh ini. Alisku mengernyit, a
Aku mondar-mandir di taman depan klub. Di bawah pohon angsana, aku sibuk berpikir bagaimana caranya untuk bisa bertemu dengan pria berandalan itu. Tidak mungkin aku langsung datang ke rumahnya. Lagi pula, belum tentu Zhafran berada di rumah. Bagaimana jika aku malah bertemu dengan Nyonya Arelia dan menagih utangku padanya. "Apa gue nelpon Bryan aja, yah? Minta nomor Zhafran sama dia." Aku mengetuk-ngetuk dagu seraya berpikir. "Ah, tidak! Petugas kepolisian itu pasti bakal nge-interogasi gue nanti."Kira-kira bagaimana reaksi Bryan jika tahu adiknya suka membeli gadis di bawah umur? Apakah Bryan akan marah dan memenjarakan adiknya tersebut? Atau mungkin malah dia menutup kuping dan seolah-olah tidak mau tahu soal hal itu? Entahlah! Aku tidak yakin dengan hal itu. Bryan bisa saja melepaskan Zhafran karena adiknya, tetapi Bryan juga bisa memenjarakan Zhafran untuk menaikkan kariernya sebagai polisi yang baik dengan menangkap predator anak di bawah
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m