Home / Romansa / Buncitnya Jenazah Kakakku / Bab 6: Tak Sengaja Mencari Masalah

Share

Bab 6: Tak Sengaja Mencari Masalah

Author: Ngolo_Lol
last update Last Updated: 2023-12-14 20:18:39

Pikiranku seketika melayang ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya setelah sehari dikebumikannya Kak Naila. Aku teringat dengan Zhafran yang datang ke kampung waktu itu. Ada urusan apa ia sampai datang ke kampungku?

"Nilfan, sudah selesai belum?" tanya Bi Inah membuyarkan lamunanku.

Segera aku memberikan sayurannya. "Ini, Bi."

"Lanjutkan, Nil. Masak sayurannya sana!" ucap Bi Inah tanpa menoleh. Dia tetap fokus membuat ayam goreng.

"Bi, emm ...." Ragu-ragu aku berucap.

"Apa?" Bi Inah menoleh, mengahadapku.

"Kak Naila ... punya pacar enggak, Bi?" tanyaku mencoba memancing, kira-kira Kak Naila ada hubungan dengan Zhafran atau tidak.

Seketika raut wajah Bi Inah berubah. Tadinya wajah itu terlihat santai, tetapi sekarang berubah tegang.

Mataku menatapnya tajam, menyelisik wajah Bi Inah. Melihatku yang menatapnya tajam, wanita itu langsung melirik kiri-kanan, seperti orang yang sedang berusaha mencari sebuah alasan.

"Bi!" ucapku setengah membentak.

"Ah, iya, enggak ada, Nil. Kamu tau sendiri, 'kan, Naila itu gadis pemalu. Mana mungkin dia berani pacaran." Bi Inah menjawab seraya membelakangiku, dia kembali menggoreng ayam.

Jawaban yang diberikan Bi Inah, sangat tidak memuaskanku!

Bukan jawaban itu yang kucari. Entah kenapa, aku merasa Bi Inah tahu sesuatu tentang di balik kematian Kak Naila. Dia juga seperti menyembunyikan banyak hal dariku.

"Bagaimana bisa, Kak Naila kecelakaan?" tanyaku lagi.

"Ya, kan, waktu itu Bibi sudah bilang di telepon, Nil. Naila hari itu sedang pergi ke pasar seperti biasanya, buat beli bahan-bahan di dapur. Naasnya, kemalangan menimpanya, Na-Na ...." Bi Inah tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, dia terisak.

Tidak bisa dipungkiri, mereka berdua sudah begitu dekat selama Kak Naila menjadi partner kerjanya. Apalagi Bi Inah tidak mempunyai anak. Pasti Bi Inah sudah menganggap Kak Naila sebagai anaknya sendiri.

Aku mengembuskan napas kasar, kesal tidak mendapat jawaban. Sempat kupikir, Bi Inah bersengkongkol dengan si pelaku, tetapi apa untungnya? Dan apa motifnya? Ah, spekulasi yang buruk.

"Terus, si penabrak itu gimana, Bi?" Aku kembali melemparkan pertanyaan.

Bi Inah juga sudah menghentikan tangisnya. Dia kembali memandangku.

"Buat apa kamu tanya-tanya hal itu, Nil? Apa kamu belum mengikhlaskan kepergian kakakmu?" tanya Bi Inah balik.

"Kita semua hanya manusia biasa. Tidak ada yang tau, kapan maut akan menghampiri kita. Yang terjadi sama Naila itu kecelakaan. Kamu harus mengikhlaskannya! Jangan sampai arwahnya tidak tenang karena kamu yang masih belum mengikhlaskannya," lanjut Bi Inah berceramah.

'Saya sudah mengikhlaskan kepergian Kak Naila, jauh dari sebelum Bibi mengatakan hal itu. Tapi, saya tidak mengikhlaskan pelaku yang melenyapkan Kak Naila berkeliaran bebas di luar sana!' batinku menatap tajam wajan yang berisi sayuran. Emosi tiba-tiba mengendalikanku.

"Astaga ... Nil!" pekik Bi Inah.

Sontak aku menatapnya dengan kebingunan.

Gegas Bi Inah mengangkat tumis sayuranku yang sudah gosong.

Astaga, aku lupa menuangkannya air!

"Kamu kenapa ceroboh sekali, Nil?" Bi Inah berdecak, menatapku kesal.

"Maaf."

Setelah mengucapkan hal itu, aku memilih keluar dari dapur. Meninggalkan Bi Inah yang masih sibuik dengan beberapa masakan. Jika aku masih tetap berada di dapur, kemungkinan besar emosiku akan meledak sebab tidak mendapatkan apa yang kucari.

Entah kenapa, aku perhatikan Bi Inah seperti menyembunyikan sesuatu. Sangat terlihat jelas dari wajahnya yang berubah tegang tadi. Aku juga merasa Bi Inah mencoba mengalihkan pembicaraan ketika aku bertanya tentang orang yang menabrak Kak Naila. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja?

Aku mengembuskan napas kasar. Langkah kaki membawaku ke taman depan rumah. Melihat ada kerikil di hadapan, aku menendangnya keras sebagai wakil kekesalan karena tidak menemukan jawaban yang kuinginkan.

"Aooww!"

Tidak lama setelah melayangnya kerikil yang kutendang tadi, suara seseorang berseru kesakitan terdengar. Suaranya terdengar familier.

Oh, tidak, Jangan-jangan itu dia?

Gegas aku berjinjit, mencoba mencari si korban dari kerikil yang kutendang.

Di depan sana, di balik beberapa tanaman bunga mawar, terlihat kepala Zhafran menyembul berdiri. Bersamaan dengan terlihatnya kepala Zhafran, aku bergegas menunduk, berjongkok.

"Astaga ... bagaimana ini? Dia pasti akan sangat marah sekali denganku. Ini sudah kedua kalinya saya membuatnya kesakitan. Tiga kali dengan beberapa minggu yang lalu. Eh, tapi, kan, waktu itu dia yang salah."

Aku bergumam, berbicara sendiri sembari melangkahkan kaki dalam keadaan berjongkok menuju ke tanaman lidah mertua. Bersembunyi di sana.

"Ya Allah, saya harap itu berandalan enggak nemuin saya," mohonku menengadahkan tangan di atas.

Di saat menengadahkan tangan dan wajahku mendongak ke atas, wajah Zhafran terlihat dari balik tanaman lidah mertua.

Oh, tidak, aku ketahuan!

"Lo ngapain di situ?" tanyanya penuh penekanan. Matanya menatapku tajam. Sesekali dia menyapu-nyapu kepala bagian kirinya.

Perlahan aku bangkit dari berjongkok, cengar-cengir tidak jelas. Mencoba menetralkan perasaan yang ketakutan. Aku tidak akan takut, jika tidak bersalah. Namun, kali ini aku memang bersalah. Tidak seharusnya aku menendang kerikil sembarangan.

"Siapa yang ngelemparin gue pake batu tadi?" tanya Zhafran seraya bertolak pinggang. Matanya semakin menajam. Ibarat anak panah yang siap dilemparkan.

Aku menelan saliva susah payah, menggaruk kepala yang tidak gatal. Mencoba mencari alasan.

"Siapa?!" bentaknya yang langsung membuatku terlonjak kaget.

Sontak mataku membulat dibuatnya, jantung langsung berdebar kencang. Entah kenapa, aku ketakutan. Baru kali ini aku dibentak oleh seorang pria. Suara bariton-nya begitu besar, hingga menggetarkan jantung.

"Maaf ...," cicitku menatapnya lekat.

"Lo bilang maaf?" Dia bertanya dengan wajah mengejek.

"Maaf, saya enggak sengaja." Lagi, aku mengucapkan kata maaf. Harusnya itu sudah lebih dari cukup. Seorang Nilfan sangat jarang meminta maaf kepada seorang cowok.

"Lo udah tiga kali kurang ajar sama gue, dan gue sama sekali belum balas perbuatan lo itu." Dia berucap penuh penekanan. Wajahnya dimajukan mendekat denganku.

Aku menarik kepala sedikit ke belakang, merasa risi sedekat itu dengan wajahnya.

"Jangan lo pikir gue diam aja, terus lo bisa bertindak seenaknya?" lanjut Zhafran.

Aku menggeleng cepat mendengar perkataannya.

"Sungguh, saya benar-benar enggak sengaja. Lagipula saya sudah minta maaf. Kepalamu juga nggak kenapa-napa. Masih utuh, 'kan?" Aku berucap cepat dan asal bicara.

'Ah, Nilfan, dasar bodoh, kau bicara apa, sih? Kau mencari masalah baru saja!' rutukku dalam hati.

Mendengar perkataanku yang asal, mata Zhafran berubah nyalang menatapku. Terlihat rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal erat.

"Lo benaran songong, yah, anaknya. Udah salah, malah nyolot lagi!" geramnya. "Lo enggak takut sama gue? Hmm!" Dia maju mendekat. Sangat dekat.

Aku mundur dan dia terusan maju mendekat. Sekarang, punggungku terbentur tiang rumah yang menjulang tinggi.

Oh, tidak, aku terjebak!

"I-ibuku pernah bilang, 'takut itu hanya kepada Allah, bukan kepada berandalan', ops!" Gegas aku menutup mulut, kala tidak sengaja mengucapkan kata berandalan.

Haish, susah kalau punya mulut terlalu jujur!

Lagi pula, aku heran dengan penampilan cowok itu yang seperti berandalan, sedangkan dia tinggal di istana.

"Huh, sepertinya kau benar-benar ingin diberi pelajaran." Zhafran menyeringai, lalu mencekal erat lenganku.

Aku memukuk tangannya, tetapi dia malah menarikku masuk ke dalam rumah.

"Lepas!" seruku, tetapi Zhafran bergeming dan terus menarikku ke suatu ruangan.

Kini, kami sudah melewati tangga, naik ke lantai atas.

"Lepas! Kau mau membawaku ke mana?" seruku sembari terus memukul keras lengannya. Namun, pemuda itu seperti kebal dengan pukulanku.

Sembari mencekal lenganku erat, dia membuka pintu di hadapannya. Lantas, kembali menarik tanganku masuk ke dalam kamar.

Astaga ... pelajaran apa yang akan dia berikan?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
tuch kan tuch kan... seenaknya aja mau maen geblak ceblok... kakak nya aja sampe Gembol kecebong mulai zhafran... dach Gito kamu metongin pula... gitu ya kalo beruang.... berkuasa...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 7: Hukuman dari Zhafran

    Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya. Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya? Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku. Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih! Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata. Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar! Zhafran terus mend

    Last Updated : 2023-12-15
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 8: Jatuh dari Balkon

    Tangan kanan yang menjadi pegangan terlepas. Membuat kedua kakiku juga tergelincir. Aku terjatuh."Kyaaak!"Sempat kulihat Zhafran berlari ke arahku dengan ekspresi tegang, sesaat sebelum aku menutup mata. Tidak berani melihat akan seperti apa tubuhku nanti terhantam oleh tanah. Pasti akan sangat menyakitkan dengan tulang-tulangku yang akan patah.Puluhan detik berlalu, belum juga kurasakan tubuhku menghantam tanah atau kesakitan. Aku masih sama, menutup mata dengan tubuh menegang. Belum berani untuk membuka mata. "Naila ...."Suara lembut seseorang menyapa telingaku. Perlahan, aku membuka mata. Menampilkan pria berwajah oval, alis tebal, hidung mancung, serta berahang tegas. Mata cokelatnya dinaungi oleh bulu mata yang tebal. Untuk sesaat, aku merasa nyaman berlama-lama memandang mata teduhnya. Mata itu juga memandangku penuh binar, entah kenapa? Aku beralih memandang ke atas, tempat di mana aku terja

    Last Updated : 2023-12-16
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 9: Siapa Pelakunya?

    Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan. Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini? Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai. 'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya. Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian. "Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan. Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini. Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan. "Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dari

    Last Updated : 2023-12-17
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 10: Ketahuan Menguping

    Aku ingin sekali melihat keadaan di dalam. Namun, celah pintu ini begitu kecil, aku tidak bisa melihat siapa pun di dalam sana. Hanya bisa mendengar suara mereka berdua. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menepuk pundak. Karena masih sibuk menguping pembicaraan di dalam, aku hanya menempelkan telunjuk di bibir seraya berkata, "shuut!" Tanpa menoleh untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Orang itu kembali menepuk pundakku, bertambah keras. Aku kesal padanya yang menganggu acara mengupingku. Segera aku berbalik dengan ekspresi kesal. "Apa s---" Aku menggantung kalimat dengan mata membulat, melihat Zhafran yang berada di belakangku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Sangat malu karena ketahuan sedang menguping, sedangkan Zhafran seperti biasa, menatapku datar. "Lo ngap---"Belum sempat Zhafran menyelesaikan kalimatnya, gegas aku berjinjit dan membekap mulutnya. Menempelkan kepalanya ke dinding. "Pliss, shuutt, diam." Mata elang Zhafran membulat mendapat serangan ti

    Last Updated : 2023-12-18
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 11: Saatnya Balas Dendam

    Setelah mengucapkan hal tersebut, pria berambut putih itu, pergi begitu saja. Meninggalkan aku dengan berbagai pertanyaan di kepala. Gegas aku mencekal tangan pria tua itu. "Maksud Bapak, apa, yah?" Alisku bertaut. Mata tuanya itu menatapku dalam, seakan-akan mengasihani diri ini. "Di dalam rum---"'Beep!'Suara klakson mobil, membuat perkataan bapak pemulung itu terpotong. Aku berbalik, melihat si penimbul suara. Terlihat tuan dan nyonya rumah besar ini, bersiap-siap keluar rumah setelah pintu gerbang di buka lebar-lebar oleh satpam. Aku hanya menatap diam mobil sedan berwarna putih itu melaju menjauh. "Oh, iya, Pak, ada apa dengan rumah it---"Ketika berbalik, menanyai bapak pemulung tadi. Namun, ia sudah tidak ada. Pergi entah ke mana. "Siapa orang tua tadi? Tahu apa dia tentang orang-orang rumah ini? Kenapa dia menyuruhku berhati-hati?" Pikiranku kembali dipenuhi tanda tanya.

    Last Updated : 2023-12-19
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 12: Hukuman dari Zhafran ll

    Lewat ekor mata, aku melihat Zhafran terhenti di ambang pintu. Aku tetap melanjutkan salat, tanpa peduli dengan kehadirannya. Ya, rencanaku ialah, ketika Zhafran marah dengan apa yang kulakukan, aku akan berpura-pura salat. Ralat, aku memang belum melaksanakan salat isya malam ini. Berharap ketika melihatku salat, Zhafran tidak jadi menghukumku. "Sial!" Zhafran memukul pintu hingga berdentam. Napasku tertahan di tenggorokan, merasa terkejut dengan suara yang timbul. Namun, tetap berpura-pura fokus dengan gerakan salat-ku. Zhafran belum juga pergi dari ambang pintu, sedangkan gerakan salatku sudah masuk rakaat kedua. Aku sengaja berlama-lama membaca bacaan, agar salatku lebih lama selesainya. Setidaknya, sampai Zhafran lelah berdiri di ambang pintu kamarku dan amarahnya mulai padam. Bi Inah tidak terlihat ikutan datang kemari. Entah dia tidak mau ikut campur dalam masalah ini atau dia takut untuk ikut campur. Ya, sadar, kali ini aku y

    Last Updated : 2023-12-20
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 13: di Kamar Berdua

    Seluruh tubuhku tenggelam. Tanganku meraih-raih, sedangkan kaki menendang-nendang, berusaha mencari pijakan. Aku meneguk dan menghirup air dalam jumlah yang besar. Membuat dada terasa sesak, hidungku pun perih. "Tol-looong ...!" Aku berusaha berteriak. Berharap ada yang datang menyelamatkanku. Perlahan pandangan mulai memburam, lalu aku kehilangan kesadaran. "Bangun!"Samar-samar terdengar suara pria berseru, pipi ini ditepuknya. Ingin membuka mata, tetapi rasanya begitu berat. Aku juga merasa tubuh ini sangat lemas. Terasa juga ada seseorang yang menekan dadaku. Lantas, orang tersebut mengatur kepalaku, mengangkat dagu dan memencet hidungku. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Samar-samar terlihat wajah pemuda berandalan itu datang mendekat ke wajahku. Bahkan, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Mataku membulat sempurna melihat perlakuannya yang kurang ajar itu. Aku terbatuk mengeluarkan air dari mulut. Dengan marah, aku mend

    Last Updated : 2023-12-21
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 14: Barang Bukti si Pelaku

    Mendengarku bertanya, Zhafran sedikit terkejut. Mungkin dia tidak menyadari, jika aku juga menyimak dan mendengar suaranya yang pelan tadi. Dia menatapku sekilas. Aku lihat, pandangannya seperti sedikit mengasihaniku. Namun kenapa? Atau mungkin aku yang salah tanggap? "Hantu. Di kolam renang sana, ada penunggunya." Zhafran menjawab malas. Lantas, pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan penuh tanda tanya. Aku tahu, Zhafran hanya menjawab asal pertanyaanku tadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya, tetapi apa? Selepas kepergian Zhafran dari kamar ini, aku berusaha berdiri mengambil pakaian di dalam koper. Sudah beberapa hari aku di kota. Namun, belum memindahkan pakaianku ke lemari. Selain malas, lemarinya juga dikunci. Aku belum melihat barang-barang peninggalan Kak Naila di dalam sana. Aku lupa menanyakan kunci lemari itu pada Bi Inah. "Apa benar yang mendorongku tadi hantu?" gumamku sambil memakai sweater hijau. Aku meng

    Last Updated : 2023-12-22

Latest chapter

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 112: Sebuah Perasaan

    Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 111: Ungkapan Rasa

    Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 110: Iblis itu Kembali

    Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 109: Tanggapan Orang-orang

    Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 108: Putar Haluan

    Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 107: Dilema

    "Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 106: Masalah Beruntun

    Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 105: Berubah

    Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 104: Dua Polisi yang Bekerja Sama

    Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status