Home / Romansa / Buncitnya Jenazah Kakakku / Bab 5: Dia, Pemuda yang Sama

Share

Bab 5: Dia, Pemuda yang Sama

Author: Ngolo_Lol
last update Last Updated: 2023-11-15 06:04:50

Mataku melotot melihat wajah si pemuda. Kepalan yang tadinya hendak kudaratkan di wajahnya, terhenti di udara. Pemuda itu menatapku dengan nyalang serta rahang yang mengeras. Hidung mancungnya itu, kembali meleleh cairan kental kemerahan.

"Ada apa ini?"

Suara seorang wanita dari arah belakangku, mengalihkan keterpakuan di antara kami berdua. Sontak aku melepaskan cengkeraman dari lengan si pemuda. Menjauh darinya, sedangkan dia masih menatapku penuh amarah.

Dia, pemuda yang sudah menabrak Ibu beberapa minggu yang lalu.

"Di mana pencurinya?" Lagi, wanita itu bersuara. Bertanya kepadaku.

Aku menghadapnya, terlihat seorang wanita seumuran ibuku berdiri di hadapan dengan mengenakan piama berwarna ungu. Di samping wanita itu, berdiri seorang pria yang sedikit memiliki uban di pelipis.

Mereka berdua memandangku dengan alis bertaut. Di belakang mereka sana, Bi Inah tergopoh datang kemari.

"Astaga ... Zhafran! Kamu nggak apa-apa, Nak?" Wanita itu memegang dagu si pemuda yang kupukul tadi. Wajahnya menampilkan raut khawatir.

"Kamu kenapa mukul anak saya?" tanyanya kepadaku dengan suara sedikit memekik.

Anak? Astaga! Ternyata aku bekerja di rumahnya seorang pemuda yang telah menabrak Ibu. Lebih lucunya lagi ialah, ibu pemuda itu yang membayar biaya operasi Ibu. Padahal putranya sendiri yang menyebabkan kecelakaan tersebut.

Bagaimana bisa pemuda itu bisa bebas dari penjara secepat ini? Ah, aku lupa, mereka orang yang berada. Pasti sangat gampang untuk menyogok para petugas polisi di desa untuk membebaskannya.

Untung saja Ibu sudah baik-baik saja. Jika tidak, pasti akan kubuat pemuda itu membusuk di penjara, bagaimanapun caranya!

"Nil, kamu kenapa mukulin Den Zhafran?" Bi Inah menepuk pundak ini, membuatku tersadar dari lamunan.

Aku menatap pemuda yang bernama Zhafran tersebut. Dia terlihat sedang menyeka darah yang keluar dari hidungnya, tetapi mata elang si pemuda selalu menatapku tajam. Seakan-akan belati yang hendak dilemparkannya kepadaku.

"Saya pikir pencuri," ucapku menatap kedua orang tua si pemuda.

"Jadi, kamu adiknya Nayla?" Sang ibu bertanya, sedangkan sang suami di sampingnya terlihat mengulum senyum.

Aku mengangguk.

"Beda jauh sekali dengan Nayla yang lemah lembut." Ibu sang pemuda berujar dengan sinis.

"Ayo, Nilfan, minta maaf sama Den Zhafran!" perintah Bi Inah.

Aku kembali menatap pemuda itu, begitu pun sebaliknya. Pandang mata kami saling beradu beberapa saat.

"Maaf," ucapku datar seraya membuang muka. Tidak sudi untuk meminta maaf kepada orang yang sudah menabrak Ibu.

"Enggak usah minta maaf kalau terpaksa!" dengkusnya berlalu pergi.

Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh. Pemuda itu masih sama saja penampilannya seperti berandalan. Celana jeans yang robek-robek, telinga, bibir bawah, dan alis yang diantingin, serta memakai kalung rantai. Raut wajahnya juga sangat dingin, seperti mayat hidup.

Kedua majikan pun berlalu dari hadapan, menuju ke lantai atas.

"Maafin Nilfan nggak bantuin Bibi di dapur tadi. Nilfan enggak nyangka akan tidur selama itu," ucapku.

"Ya, nggak apa-apa, mungkin kamu kecapean. Tapi, jangan diulangi lagi," tandas Bi Inah.

"Baik, Bi." Aku mengangguk.

"Kamu lapar, enggak?" tanya Bi Inah.

Aku mengangguk cepat. Rasanya perutku sudah menempel dengan punggung.

"Ya, sudah, sana. Makanannya ada di dalam lemari." Bi Inah menunjuk lemari pendingin. "Bibi tinggal dulu, yah. Ngantuk," lanjutnya, lalu pergi dari dapur.

Hanya tinggal aku sekarang di dapur. Aku membuka pintu lemari, melihat ada banyak sekali jenis lauk yang ada di dalamnya. Aku menelan ludah berkali-kali, melihat paha ayam goreng. Makanan kesukaanku. Sangat jarang di desa untuk menyantap makanan se-enak itu.

"Apakah saya bisa memakan ayam itu?" gumamku bertanya pada kulkas, lalu celingukan. Takut tidak diperbolehkan. "Sudahlah, pasti bisa. Lagi pula, nggak ada tanda dilarang di sini." Aku langsung mengambilnya, memakan paha ayam itu dengan lahap. Sangat nikmat.

****

Pukul 07.30, aku sudah selesai menyiram dan merapikan seluruh bunga-bunga yang ada di taman. Sekarang, tugasku mengepel seluruh lantai.

"Huft, menyebalkan!" Aku mengeluh seraya mengepel lantai. Gagang pel, aku maju mundurkan dengan malas.

Terdengar siulan dari arah tangga, mendekat ke arahku. Pemuda berandalan yang bernama Zhafran itu berjalan sembari memakai headset dan mengetik-ngetik layar ponsel.

Dia fokus menunduk, memperhatikan layar ponselnya. Terlihat dia akan melewati lantai yang basah, bahkan ada sedikit genangan air di sana, sebab aku asal mengpelnya tadi.

"Awas, lantainya basah!" cegahku. Namun, Zhafran tidak mendengarkan. Kupingnya disumpal oleh headset.

"Aow!" Kaki kanan Zhafran langsung terpeleset. Bokongnya mendarat keras di lantai. Ponsel yang ia pegang juga terhantam oleh keramik.

Aku mematung di tempat seraya memeluk gagang pel. Tidak ada niat membantu atau apa pun. Hanya memandang dia dalam diam. Salahnya sendiri tidak mendengar perkataanku.

Selesai mengaduh, Zhafran meliriku tajam. Tangannya terkepal erat. Dari baju kaus tipis yang ia kenakan, terlihat dadanya naik turun.

"Sialan! Lo bisa ngepel nggak, sih?" geramnya dengan rahang mengeras.

Dia bangun seraya melepaskan headset-nya. Menghampiriku dengan amarah, tetapi baru dua langkah, pemuda itu kembali terpeleset. Dia kembali terduduk di lantai.

"Pfft, hahahaha!" Aku tertawa lepas melihat dia yang berulang kali jatuh.

Zhafran berusaha lagi berdiri dengan marah. "Tertawalah sepuasnya, nanti nasib lo akan sama seperti kakak lo itu!" ujarnya dingin.

Sontak aku menghentikan tawa. Dengan alis mengernyit, aku mencerna ucapan Zhafran. Apa maksud ucapan pemuda itu?

Di saat hendak menanyakan apa maksud ucapannya, tetapi Zhafran terlebih dahulu pergi dari hadapan, sesaat sebelum menendang ember yang berisi air pel.

Kurang ajar!

Aku segera melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, tetapi pikiran tidak henti-henti bertanya apa maksud ucapan Zhafran tadi.

Nasib yang akan sama seperti Kak Nayla? Apa sebenarnya yang terjadi pada Kak Nayla? Kenapa Kak Nayla tidak pernah cerita tentang masalah besar dalam hidupnya selama ia bekerja di kota? Padahal kami seringkali melakukan panggilan telepon. Baik, voice call ataupun video call.

****

"Bi, Kak Nayla dekat dengan siapa saja selama di kota?"

Selesai mengepel, aku membantu Bi Inah memotong sayuran di dapur. Aku melemparkan pertanyaan kepadanya.

"Ah, Nayla, mah, semuanya juga dekat. Kamu pasti tau sendiri, kan, kakakmu itu baik, santun, supel, dan selalu lemah lembut kepada siapa saja. Jadi, dia gampang dan dekat sama semua orang di sini. Bahkan, dia juga dekat sama tetangga komplek dan juga abang penjual sayuran." Bi Inah menjawab seraya terlihat memaksakan senyum.

"Jadi rindu Nayla, biasanya dia suka sekali membuatkan teh jahe buat Bibi," lanjutnya terdengar sedih.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. Aku juga merindukan Kak Nayla.

"Maksud saya Bi, Kak Nayla paling dekat dan sering terlihat sama siapa saja beberapa bulan sebelum ia kecelakaan?" tanyaku lagi.

Bi Inah terlihat menerawang, mungkin mencoba mengingat-ingat.

"Siapa, Bi?" Aku mendesak tidak sabaran. Siapa tahu saja, orang itu bisa menjadi jembatan untuk aku menyelidiki kasus Kak Nayla.

"Den Zhafran."

"Zhafran?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
tuch kan paling dia yg hamili.. tampang e kan kaya brandal tuch... mikir ku dia mabok terus nidurin Nayla... jadilah kecebong nya bayi... makane buncit perut e... tapi ga mau tanggung jawab... main kekerasan di metongin tuch sama si Zafran... halu tingkat dewa...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 6: Tak Sengaja Mencari Masalah

    Pikiranku seketika melayang ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya setelah sehari dikebumikannya Kak Naila. Aku teringat dengan Zhafran yang datang ke kampung waktu itu. Ada urusan apa ia sampai datang ke kampungku? "Nilfan, sudah selesai belum?" tanya Bi Inah membuyarkan lamunanku. Segera aku memberikan sayurannya. "Ini, Bi.""Lanjutkan, Nil. Masak sayurannya sana!" ucap Bi Inah tanpa menoleh. Dia tetap fokus membuat ayam goreng. "Bi, emm ...." Ragu-ragu aku berucap. "Apa?" Bi Inah menoleh, mengahadapku. "Kak Naila ... punya pacar enggak, Bi?" tanyaku mencoba memancing, kira-kira Kak Naila ada hubungan dengan Zhafran atau tidak. Seketika raut wajah Bi Inah berubah. Tadinya wajah itu terlihat santai, tetapi sekarang berubah tegang. Mataku menatapnya tajam, menyelisik wajah Bi Inah. Melihatku yang menatapnya tajam, wanita itu langsung melirik kiri-kanan, seperti orang yang sedang berusaha mencari sebu

    Last Updated : 2023-12-14
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 7: Hukuman dari Zhafran

    Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya. Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya? Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku. Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih! Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata. Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar! Zhafran terus mend

    Last Updated : 2023-12-15
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 8: Jatuh dari Balkon

    Tangan kanan yang menjadi pegangan terlepas. Membuat kedua kakiku juga tergelincir. Aku terjatuh."Kyaaak!"Sempat kulihat Zhafran berlari ke arahku dengan ekspresi tegang, sesaat sebelum aku menutup mata. Tidak berani melihat akan seperti apa tubuhku nanti terhantam oleh tanah. Pasti akan sangat menyakitkan dengan tulang-tulangku yang akan patah.Puluhan detik berlalu, belum juga kurasakan tubuhku menghantam tanah atau kesakitan. Aku masih sama, menutup mata dengan tubuh menegang. Belum berani untuk membuka mata. "Naila ...."Suara lembut seseorang menyapa telingaku. Perlahan, aku membuka mata. Menampilkan pria berwajah oval, alis tebal, hidung mancung, serta berahang tegas. Mata cokelatnya dinaungi oleh bulu mata yang tebal. Untuk sesaat, aku merasa nyaman berlama-lama memandang mata teduhnya. Mata itu juga memandangku penuh binar, entah kenapa? Aku beralih memandang ke atas, tempat di mana aku terja

    Last Updated : 2023-12-16
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 9: Siapa Pelakunya?

    Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan. Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini? Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai. 'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya. Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian. "Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan. Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini. Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan. "Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dari

    Last Updated : 2023-12-17
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 10: Ketahuan Menguping

    Aku ingin sekali melihat keadaan di dalam. Namun, celah pintu ini begitu kecil, aku tidak bisa melihat siapa pun di dalam sana. Hanya bisa mendengar suara mereka berdua. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menepuk pundak. Karena masih sibuk menguping pembicaraan di dalam, aku hanya menempelkan telunjuk di bibir seraya berkata, "shuut!" Tanpa menoleh untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Orang itu kembali menepuk pundakku, bertambah keras. Aku kesal padanya yang menganggu acara mengupingku. Segera aku berbalik dengan ekspresi kesal. "Apa s---" Aku menggantung kalimat dengan mata membulat, melihat Zhafran yang berada di belakangku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Sangat malu karena ketahuan sedang menguping, sedangkan Zhafran seperti biasa, menatapku datar. "Lo ngap---"Belum sempat Zhafran menyelesaikan kalimatnya, gegas aku berjinjit dan membekap mulutnya. Menempelkan kepalanya ke dinding. "Pliss, shuutt, diam." Mata elang Zhafran membulat mendapat serangan ti

    Last Updated : 2023-12-18
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 11: Saatnya Balas Dendam

    Setelah mengucapkan hal tersebut, pria berambut putih itu, pergi begitu saja. Meninggalkan aku dengan berbagai pertanyaan di kepala. Gegas aku mencekal tangan pria tua itu. "Maksud Bapak, apa, yah?" Alisku bertaut. Mata tuanya itu menatapku dalam, seakan-akan mengasihani diri ini. "Di dalam rum---"'Beep!'Suara klakson mobil, membuat perkataan bapak pemulung itu terpotong. Aku berbalik, melihat si penimbul suara. Terlihat tuan dan nyonya rumah besar ini, bersiap-siap keluar rumah setelah pintu gerbang di buka lebar-lebar oleh satpam. Aku hanya menatap diam mobil sedan berwarna putih itu melaju menjauh. "Oh, iya, Pak, ada apa dengan rumah it---"Ketika berbalik, menanyai bapak pemulung tadi. Namun, ia sudah tidak ada. Pergi entah ke mana. "Siapa orang tua tadi? Tahu apa dia tentang orang-orang rumah ini? Kenapa dia menyuruhku berhati-hati?" Pikiranku kembali dipenuhi tanda tanya.

    Last Updated : 2023-12-19
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 12: Hukuman dari Zhafran ll

    Lewat ekor mata, aku melihat Zhafran terhenti di ambang pintu. Aku tetap melanjutkan salat, tanpa peduli dengan kehadirannya. Ya, rencanaku ialah, ketika Zhafran marah dengan apa yang kulakukan, aku akan berpura-pura salat. Ralat, aku memang belum melaksanakan salat isya malam ini. Berharap ketika melihatku salat, Zhafran tidak jadi menghukumku. "Sial!" Zhafran memukul pintu hingga berdentam. Napasku tertahan di tenggorokan, merasa terkejut dengan suara yang timbul. Namun, tetap berpura-pura fokus dengan gerakan salat-ku. Zhafran belum juga pergi dari ambang pintu, sedangkan gerakan salatku sudah masuk rakaat kedua. Aku sengaja berlama-lama membaca bacaan, agar salatku lebih lama selesainya. Setidaknya, sampai Zhafran lelah berdiri di ambang pintu kamarku dan amarahnya mulai padam. Bi Inah tidak terlihat ikutan datang kemari. Entah dia tidak mau ikut campur dalam masalah ini atau dia takut untuk ikut campur. Ya, sadar, kali ini aku y

    Last Updated : 2023-12-20
  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 13: di Kamar Berdua

    Seluruh tubuhku tenggelam. Tanganku meraih-raih, sedangkan kaki menendang-nendang, berusaha mencari pijakan. Aku meneguk dan menghirup air dalam jumlah yang besar. Membuat dada terasa sesak, hidungku pun perih. "Tol-looong ...!" Aku berusaha berteriak. Berharap ada yang datang menyelamatkanku. Perlahan pandangan mulai memburam, lalu aku kehilangan kesadaran. "Bangun!"Samar-samar terdengar suara pria berseru, pipi ini ditepuknya. Ingin membuka mata, tetapi rasanya begitu berat. Aku juga merasa tubuh ini sangat lemas. Terasa juga ada seseorang yang menekan dadaku. Lantas, orang tersebut mengatur kepalaku, mengangkat dagu dan memencet hidungku. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Samar-samar terlihat wajah pemuda berandalan itu datang mendekat ke wajahku. Bahkan, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Mataku membulat sempurna melihat perlakuannya yang kurang ajar itu. Aku terbatuk mengeluarkan air dari mulut. Dengan marah, aku mend

    Last Updated : 2023-12-21

Latest chapter

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 112: Sebuah Perasaan

    Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 111: Ungkapan Rasa

    Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 110: Iblis itu Kembali

    Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 109: Tanggapan Orang-orang

    Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 108: Putar Haluan

    Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 107: Dilema

    "Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 106: Masalah Beruntun

    Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 105: Berubah

    Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 104: Dua Polisi yang Bekerja Sama

    Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m

DMCA.com Protection Status