“Ada yang harus aku obrolin sama Papa,” ujar David tetap mencoba mendial nomor Pak Ruslan meski Adelia melarang.
“Nggak usah, Vid. Nanti kalian ribut. Aku tadi pergi gitu aja, pasti Papa masih emosi. Kamu malah nanti bisa memperkeruh suasana,” cegah Adelia.
David menghentikan usahanya. Jika benar apa yang dikatakan istrinya, sepertinya tak ada pilihan lain selain pura-pura tak paham apa yang terjadi. Boleh lah ia anggap permasalahan ini hanyalah antara seorang ayah dan putrinya. Dia tak perlu muncul, dia hanya anak bawang. Meski sebenarnya inti dari masalah ini adalah dirinya.
“Makasih, Vid, udah mau ngerti. Percaya deh, aku nggak apa.”
Adelia menatap wajah suaminya dengan penuh harap. Harap untuk pengertian David tak akan pernah habis untuknya. Sekaligus berharap agar David mampu menyerap pancaran cinta yang menggebu dari dirinya. Ia menyadari bahwa pandangan miring Papanya kepada David adalah buah dari sandiwara besar
Adelia masih meringis, tangan kirinya memegangi perut dan tangan kanannya mencengkeram lengan suaminya. David yang tak mengerti berusaha untuk menyandarkan tubuh Adelia padanya. Adelia memang tengah haid, setahu David dia selalu merasakan kram perut. Tapi tidak pernah separah ini. Sekarang ia bahkan tak mampu untuk berkata-kata, merintih pun tidak. David menjadi begitu panik.Perlahan cengkraman Adelia di lengan David mengendur. Ia masih memejamkan mata namun tak lagi meringis. Napasnya juga berangsur-angsur teratur. Ia buka kedua matanya, rasa sakit sepertinya sudah mulai mereda.“Kenapa, Sayang?” tanya David sambil membelai wajah Adelia.“Perutku sakit, Vid.”“Kram haid ya?”“Bukan, rasanya beda. Ini jauh lebih sakit,” jawab Adelia.“Sekarang apa sudah berkurang sakitnya?” Adelia mengangguk. Perlahan ia bangkit dibantu dengan David yang menjadi tumpuan. “Kamu duduk aja deh,
Pukul dua lima puluh pagi, Adelia membuka matanya. Ia mengusap kedua matanya di tengah cahaya redup lampu tidur karakter anak ayam milik David. Suara kipas angin yang menderu terdengar begitu keras di tengah keheningan dini hari. Di sisinya, David masih terlelap dengan mulut terbuka. Suara napas suaminya itu begitu teratur beriring dengan deru kipas angin di bawah stop kontak ruang tengah. David pasti begitu lelah.Setelah makan pecel lele semalam, mereka tak jadi untuk mencari alas tidur karena David sudah lelah, sedang Adelia kadang masih merasakan nyeri di perutnya. Hasilnya mereka tidur beralaskan selimut dan separuh tubuh bagian atas terbaring di bean bag David. Tapi tak ada nestapa, mereka berdua justru tidur nyenyak. Adelia terbangun karena ingin buang air kecil.Adelia bangkit, ia singkirkan perlahan lengan David yang menimpa bahunya. Suaminya itu hanya bergerak sedikit lalu kembali terlelap. Sama seperti di rumah mertuanya, untuk ke kamar kecil Adelia
David menghambur dan buru-buru masuk ke dalam dapur. Cepat-cepat ia kunci pintu dan mematikan lampu. Jantungnya berdetak tak beraturan. Pantas saja tadi Adelia sampai berteriak histeris. Sebenarnya tak ada yang dilihat, tapi perasaan diawasi dan diintimidasi begitu kental di sana. Sekelebat bayangan yang lewat, bisa jadi semacam burung atau kelelawar langsung bisa meruntuhkan tembok keberanian.“Sudah? Kok kayanya tadi mangil aku?” tanya Adelia melihat suaminya sudah kembali.“He’eh. Oh, tadi ada yang mau aku tunjukin. Tapi nanti kamu takut,” kilah David. Ia tentu tak ingin mengakui ia juga baru saja diserang rasa takut yang hebat.“Nunjukin apa?” Adelia penasaran.“Itu ... tadi juga ada yang lewat di belakangku. Tapi kayanya kelelawar deh. Mungkin tadi kamu juga tuh, kelelawar atau burung yang lewat,” terang David. Ia segera merebahkan tubuhnya di samping Adelia.“Kok kamu deg-degan?&rdqu
“Sayang ... dulu kamu ada motor kan?” tanya Adelia tiba-tiba saat David baru saja sampai di rumah.“Oh iya, ada. Masih di bengkel kawannya Andra. Kenapa, Sayang?” tanya David. Ia bersiap untuk mandi, sudah melingkarkan handuk di lehernya.“Ini, aku susah kalo ada perlu apa-apa. Kalo ada motor kan aku bisa pake motornya, jadi nggak nunggu kamu pulang,” terang Adelia sambil meneguk segelas air dingin dari lemari es baru mereka.“Oh, ya sudah nanti aku telpon si Andra. Kemaren dia udah bawain list sparepart motor yang perlu dibeli. Aku simpan di belakang hape kayanya,” sahut David.“Ya sudah, mandi dulu sana!”David bergegas dan segera menghilang di balik pintu kamar mandi. Terlihat dari kaca bening jendela di samping pintu belakang yang cukup besar. Setelah mandi biasanya mereka akan menekuni aktivitas sebagai anak senja amatir di halaman belakang. Menikmati senggurat langi
“Coba lihat! Astagfirullah....” David menepuk dahinya sendiri.David teringat saat Andra datang ke kostnya dan tak sengaja ia menemukan lipatan kertas berisi sepasang benda yang Andra sebut Bulu Perindu. Tapi mengapa sekarang ada di David? Memori David kembali ke masa saat dua gadis memintanya untuk kembali, lalu Melisa yang menyatakan cinta dan siap menjadi yang kedua.Ia tatap wajah istrinya yang masih terpaku menunggu jawaban darinya. Apakah dua gadis itu terpengaruh benda yang kini dipegang istrinya? Lalu apa Adelia juga terpengaruh? David kembali teringat peristiwa besar saat Adelia memutuskan pertunangannya dengan cara tak biasa. Sampai harus rela berbohong bahkan merendahkan dirinya sendiri.“Sayang ... memangnya ini apa?”“Hah? Itu punya Andra, salah kasih dia berarti. Harusnya yang dia kasih catatan sparepart. Kenapa barang ini?” jawab David sedikit ragu. Ia khawatir istrinya akan curiga.&ldquo
Melihat remaja-remaja putri itu merengek dan bercanda dengan suaminya membuat Adelia kesal. Meski tak sampai cemburu, suasana hatinya sudah kacau. Sungguh tidak nyaman duduk diam menunggu David membimbing beberapa kegiatan ekstrakurikuler. Sesekali David tampak memandang ke arahnya. Melihat raut wajah istrinya yang masam, David jadi terlihat rikuh dan tak selepas sebelumnya.David berjalan menghampiri istrinya. Adelia pura-pura sibuk dengan gawainya. Remaja-remaja putri itu terdengar bersorak menggoda suaminya. David senyum-senyum saja, ia memang terkenal dekat dengan murid-muridnya.“Ayok!” ajak David, lalu ia duduk di sisi istrinya. Meneguk air dalam tumbler yang Adelia bawa.“Udah selesai? Anak-anak itu gimana?” tanya Adelia, ia berusaha untuk tak menunjukkan kekesalannya.“Biar aja mereka mah, kalau ada aku malah nggak keluar kreativitasnya. Besok senin baru aku terima laporan aja,” jawab David. “Tapi si Andra
“Mmm ... Ini, Pak, kawan-kawan udah selesai, apa Bapak mau kasih pengarahan lagi? Kalau tidak, kami mau istirahat dulu.” Remaja putri itu tampak ragu-ragu. Ia tak berani melihat ke arah Adelia.“Oh, iya, Putri. Silahkan, Bapak sudah mau pulang. Kalian silahkan lanjutkan kegiatan ya,” jawab David masih dengan kikuk.“Baik, Pak. Permisi....” Remaja putri itu langsung berlalu tanpa menunggu kata-kata dari David.“Tuh, kan ... malu kan jadinya,” protes David. Adelia menunduk dan menyadari kesalahannya.“Maaf, Sayang....”“Ya sudah, ayo! Dokumennya udah ketemu!” David menarik begitu saja tangan Adelia yang masih membelakanginya.Sepanjang perjalanan dari ruang guru sampai parkiran mobil, David masih terus meracau. Menasihati istrinya agar tak bertindak seperti tadi di tempat umum. Meski situasi tengah sepi, namun risikonya selalu ada. Adelia hanya menunduk tanpa kata. Sesekal
“Nih!” David menyodorkan lipatan kertas berisi dua helai benda yang katanya berkhasiat.“Apaan? Catetan sparepart motor Lu kan sama gue.” Andra berkilah.“Ini kan punya Lu!” David memaksa. Andra mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga David.“Lu mau bini Lu nggak cinta lagi sama Lu? Lu mau jomblo lagi? Hah?” bisik Andra.“Wuih, sampe sebegitunya, Ndra?” tanya David panik.“Teorinya sih gitu,” jawab Andra. Ia sebenarnya tak begitu yakin dengan jawabannya.David tak lagi berargumen. Ia pandangi lipatan kertas putih di tangannya. Apa yang dikatakan sahabatnya ini mungkin ada benarnya. Tentu ia tak ingin kehilangan istrinya. Apa lagi ia tengah dalam masa-masa paling manis hidup bersama. Ia alihkan pandangannya ke mobil yang parkir di sisi depan bengkel. Senggurat awajah cantik istrinya tengah fokus pada gawai terefleksi dari kaca mobil yang terpapar matahari.
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi