*Happy Reading*
"Astaga! Mama?!" seru Sean lantang, saat melihat kondisi Mamanya.
Pria itu pun bergerak cepat ke arah tombol, dan memencetnya dengan tak sabaran.
"Suster! Tolong Mama saya?!" teriaknya lagi, entah pada siapa.
Dia melakukannya berkali-kali, dan seperti orang kesetanan seraya melirik Mamanya.
Ya, Tuhan. Apa yang terjadi?
Ina yang memang tidak mengerti apapun hanya bisa terdiam di tempatnya. Seperti orang linglung dan bingung harus melakukan apa.
Untungnya, tak lama setelahnya seorang Dokter dan beberapa perawat pun masuk. Lalu segera menyuruh Ina dan Sean keluar Ruangan segera.
Awalnya, Sean tentu saja tidak mau menuruti titah tersebut. Karena pria itu ingin menunggui dan memastikan kondisi Mamanya.
Perlu beberapa perawat menghadang Sean, kemudian memaksanya keluar dari Ruangan tersebut meski dengan wajah kalut sekali.
"Oh, Gosh!" geramnya kesal, sambil menyugar rambutnya dengan kasar
*Happy Reading* "Menikah hari ini?" beo Ina cepat. Saat akhirnya Sean memberitahukan apa yang diucapkan Mamanya. Setelah berada di luar Ruang rawat sang Mama. Sean mengangguk dengan pelan setelah menghela napas pendek. Ina lalu menggaruk belakang lehernya tanpa sadar, karena menurutnya permintaan ini aneh sekali. Kenapa harus hari ini, sih? Di Rumah sakit pula? Kayak gak ada hari esok dan ... "Oh, Tuhan! Jangan-jangan ini pertanda!" Seketika batin Ina pun berseru seakan memberikan sebuah kecurigaan. Demi apa? Ina jadi takut jika hal ini benar-benar pertanda dari Nyonya Sulis dan memang permintaan terakhirnya. Lalu, harus bagaimana Ina sekarang? "Bagaimana? Kamu setuju, kan?" tanya Sean lagi, karena tak segera mendapat jawaban dari Ina. Namun Ina tetap belum memberikan jawaban dengan segera. Gadis itu malah memilih melirik kaca besar yang menampilkan kondisi Nyonya Sulis, yang masih terbaring
*Happy Reading* Sean kacau! Sean kalut! Sean pilu! Saat akhirnya dokter menyatakan, jika Mamanya tidak bisa di selamatkan, dan sudah dinyatakan meninggal dunia. Sean bahkan meraung tanpa tahu malu di depan semua orang, dan menangis pilu tanpa perduli apapun. Rasanya, separuh jiwanya ikut mati dengan kepergian sang Mama. Hatinya patah, jiwanya gelisah mengetahui sang Mama tak akan bisa menemaninya lagi. Benar kata orang, kematian orang tua, adalah patah hati terbesar untuk seorang anak. Karena orang tua adalah cinta pertama semua anak. Bukankah, cinta pertama itu tak akan pernah tergantikan? Karenanya, saat ini Sean merasa hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Bahkan, rasanya lebih hancur dari kehilangan hak asuh Keandra, juga kehilangan Audy, istri kesayangannya di masa lalu. Bumi yang di pijaknya terasa goyah, dan seluruh tulang seakan ikut terenggut dari tubuhnya. Mama! Sean harus bagaimana menja
*Happy Reading* "Aku menikahinya demi Mama. Karena sekarang Mama sudah tidak ada. Maka ... kamu boleh pergi sekarang, Ina. Saya sudah tak membutuhkanmu lagi." Degh! Tubuh Ina seketika membeku mendengar penuturan Sean barusan. Khususnya kalimat terakhir, yang sukses membuat hatinya hancur lebur seketika. Padahal, Ina tahu itu benar adanya. Tetapi, kenapa rasanya sesakit ini ya, saat mendengarnya langsung? "Apa maksud Kakak?" Bukan Ina yang membalas ucapan Sean, tapi Rara yang ikut merasa terkejut dan seakan bisa merasakan luka Ina yang tidak bisa di sampaikan gadis itu. "Ya ... Maksud saya, karena kini Mama sudah tidak ada. Maka saya sudah tidak membutuhkannya dan akan segera menalak--" Plak! Belum sempat Sean menyelesaikan ucapannya. Sebuah tamparan keras sudah melayang ke arah wajahnya, membuat cetak merah di salah satu pipi Sean. Pelakunya adalah Rara, yang begitu murka mendengar ucapan mantan suaminya
*Happy Reading* "Kami pulang duluan, ya, bro! Rara tidak boleh terlalu lama ada di sini," ucap Ken, berpamitan saat melihat orang di pemakaman sore itu sudah semakin sepi. Acara pemakaman memang sudah selesai semua sejak beberapa menit lalu. Namun Sean yang masih berduka enggan beranjak dari makam sang Mama, tanpa memperdulikan apapun lagi. Bahkan, saat semua pelayat berpamitan dan pergi satu persatu, Sean tetap diam dan mengabaikan semuanya. Hanya Mbok Darmi dan Ina yang mengucapkan terima kasih, sebagai basa basi semata. Tanpa persetujuan Sean, Rara dan Ken memang sudah mengenalkan status Ina pada semua tamu yang datang. Karena toh, keberadaannya di sana lumayan asing, dan tentu saja menimbulkan tanya dari orang-orang yang mengenal keluarga Abdilla. "Kakak juga jangan lama-lama di sini. Langitnya sudah mendung dan sepertinya akan segera hujan." Rara pun ikut menimp
*Happy Reading* Sean menggeram kesal seraya mengepalkan tangan dengan erat. Setelah itu, menyugar rambutnya kasar dan .... "Menyebalkan!" umpatnya kemudian, sebelum melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Ina di pusara sang Mama. Awalnya, Ina hanya mengerjap bingung melihat itu. Terdiam seraya mengikuti langkah Sean dengan ekor matanya. Namun, saat Melihat Sean tiba-tiba berhenti melangkah, dan meliriknya cepat. Glek! Tanpa sadar, Ina pun menelan salivanya kelat. Bersiap menerima makian apapun yang akan dimuntahkan pria itu lagi. "Mau sampai kapan kamu di sana? Katanya mau pulang?" tanya Sean dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Kembali, Ina mengerjap bingung di tempatnya, sebelum kemudian tersenyum manis saat mengerti maksud Sean. "I-iya, Pak," sahut Ina dengan riang. Seraya melangkah mengikuti Sean. Melihat Ina sudah melangkah menghampiri, Sean pun meneruskan langkah dengan tegap dan cepat. Benar
*Happy Reading*"Pagi, Den.""Pagi," sahut Sean dengan ramah, seraya menghampiri pembantu senior di Rumahnya, yang sedang menata sarapan pagi ini di meja makan.Saat baru saja sampai, mata Sean tiba-tiba melirik ke dapur, tepatnya ke kursi bar, tempat di mana Ina biasa duduk sambil menemani Mbok Darmi memasak.Anehnya, hari ini kursi itu kosong, dan .... kemana gadis itu?"Non Ina sepertinya tidak bisa menemani aden sarapan pagi ini." Mengerti akan apa yang dicari sang majikan muda. Mbok Darmi pun menjelaskan tanpa harus ditanya terlebih dahulu."Kenapa?" tanya Sean, entah sadar atau tidak, seperti sangat penasaran dengan keterangan Mbok Darmi barusan."Non Ina sakit, Tuan.""Sakit?" Beo Sean, lebih cepat dari yang dia sadari."Iya, badannya panas sekali tadi pas saya cek. Menggigil juga meski sudah pakai selimut tebal. Sepertinya Non Ina demam karena kehujanan kemarin. Makanya tadi setelah minum obat, saya suruh a
*Happy Reading*Entah sudah berapa lama Ina tak sadarkan diri akibat pengaruh obat, yang di berikan Mbok Darmi tadi pagi. Yang jelas, akhirnya Ina pun terbangun saat hari sudah terang, meski masih dalam keadaan pusing bukan main.Ina merasa seperti berada di sebuah kapal, yang lantainya terus bergoyang saat dipijak. Pokoknya pusing sekali.Ina pun memijat kepalanya sejenak, mencoba meredakan rasa sakit kepala yang dideritanya.Bukan apa-apa, saat ini Ina sedang haus sekali, dan dia tidak akan bisa pergi ke dapur jika pusing ini tidak hilang.Setelah di rasa pusingnya sudah sedikit reda. Ina pun mencoba turun dari tempat tidurnya, dan meraih kerudung bergo yang biasa sengaja dia sampirkan di kepala ranjang."Mau kemana?"Degh!Belum sempat Ina memakai hijabnya, suara itu begitu saja menginterupsinya. Membuat tubuh Ina membeku, dan menoleh perlahan pada sumber suara.Itu Sean!Ya ampun, sedang apa pria itu di
*Happy Reading*Sean kembali lima menit setelahnya. Membawa air putih pesanan Ina, beserta bubur dan obat-obatan yang di sediakan Mbok Darmi tadi.Ini udah siang, waktunya Ina minum obat kembali. Kebetulan gadis itu sudah bangun, jadi sekalian saja suruh makan dan minum obat.Biar cepat sembuh.Ina mengerjap pelan melihat apa yang Sean bawa. Melempar pandangannya pada Sean sejenak, sebelum kembali pada baki yang dibawa pria itu."Pak--""Sekalian makan dan minum obat," jawab Sean singkat, padat dan jelas. Mengerti akan tatapan kebingungan dari Ina.Ina pun mengurungkan tanya yang sudah menggantung di tenggorokan. Sebelum kemudian menggaruk belakang leher sejenak dan mengangguk.Ina malu, tapi juga lapar. Jadi ya ...."Mau makan di mana? Di tempat tidur atau di sofa?" tawar Sean lagi. Membuat Ina kembali meliriknya."Uhm ... di lantai aja, boleh?" jawab Ina kikuk.Kening Sean kembali berlipat sam
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy Reading* "Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap. "Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur. "Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis. "Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya." Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali. "Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi." Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
Byp Extra part 2*Happy Reading*Sean menggeleng tak habis pikir di tempatnya. Saat menyaksikan Ina begitu antusias memakan cilok yang baru saja Mira bawakan beberapa menit lalu.Oh, tenang saja. Sean tidak jadi membeli cilok sebanyak 200 ribu, kok. Karena untungnya, pas tadi Mira beli cilok si mamang tinggal 50rb saja. Jadi, hanya segitu yang Mira bawakan. Itu pun tetap membuat Sean terperangah saat melihat jumlahnya.Namun berbeda dengan Sean yang melongo terkejut melihat jumlah cilok yang dibawa Mira bersama seorang OB yang membantunya. Ina sendiri malah bersorak riang melihatnya. Karena, kapan lagi dia bisa makan cemilan gurih itu, selain saat Sean kecolongan seperti ini?Maklum, sejak Ina hamil, Sean memang lumayan rewel terhadap asupan gizi yang istrinya konsumsi. Hingga tak jarang, Ina pun harus putar otak, agar bisa mendapat semua camilan yang sangat dia idamkan itu. Bahkan tak jarang, Ina harus bekerja sama dengan Mbok Darmi, demi bisa men
*Happy Reading*"Selamat siang, Bu." Sambut seorang wanita muda seraya berdiri dari duduknya, saat Ina baru saja memasuki lobby kantor suaminya."Siang, Mbak. Pak Sean, ada?""Ada, Bu. Silahkan. Perlu saya antar?""Ah, tidak usah. Terima kasih, ya?" ucap Ina diiringi senyum manis, sebelum sebelum meninggalkan gadis yang di kenalnya sebagai resepsionis kantor ini, untuk menuju lift yang tak jauh dari sana, untuk menemui suaminya.Sang Recepsionis itu pun membalas senyum Ina tak kalah manis, di balut rasa kagum pada sosok istri bos, yang tidak pernah berubah sejak awal diperkenalkan di kantor ini.Dari dulu, setiap kali datang ke kantor ini. Alih-alih menelpon Suaminya, Ina malah selalu menghampiri meja receptionis, dan memastikan keberadaan suaminya pada resepsionis. Tak lupa, setelahnya Ina akan berterima kasih dan memberikan senyum ramahnya pada siapapun yang menyapanya."Siang, Bu." Seorang karyawati di sana menyapa Ina
*Happy Reading*Mengutip permintaan Ina. Sean pun akhirnya mengadakan pesta sederhana di sebuah rooftop sebuah hotel, yang di sulap seperti pesta kebun.Orang-orang yang di undang pun tidak banyak. Hanya Rara dan keluarga kecilnya, Kairo dan istrinya, juga beberapa rekan bisnis yang lumayan dekat dengan Sean.Tidak lupa, semua pelayan Rumahnya pun, khususnya Mbok Darmi, Sean undang juga. Sebab meski bagi Sean, mereka semua hanya pembantu di Rumahnya, jelas itu berbeda dengan Ina. Bahkan bisa dibilang, mereka adalah teman-teman Ina. Maka dari itu, bagi Ina mereka wajib di undang."Pepet terus! Jangan sampai lepas. Hati-hati! Tikungan di depan banyak, kawan!"Sean langsung mendengkus kesal, Saat mendengar seruan lantang itu. Pelakunya tentu saja Ken, Si Dokter Obygn jahil sekaligus masih Sean jadikan musuh.Sudah dibilang, kan? Mengundang Ken itu bukan alasan ya bagus. Lihat saja kelakuannya, baru datang saja sudah bikin hebo
*Happy Reading*"Mas? Mas? Mas?"Sean melenguh pelan. saat rungunya menangkap panggilan itu, beserta guncangan pelan di lengan atasnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Sean pun membuka mata yang sebenarnya masih sangat perih.Netranya langsung menangkap keberadaan Ina yang tengah duduk di sampingnya, dengan tampilan yang sudah segar dan rapi. Aroma sabun mandi bahkan masih tercium dari tubuh istrinya itu."Hai," sapa Sean sambil tersenyum hangat, seraya mengusap pipi Ina, dan membawa kepala gadis itu mendekat ke arah bibir untuk di kecupnya pelan. Ina pun tersipu malu."Pagi, Sayang. Ada apa?" lanjut Sean, mengusap kembali pipi Ina yang tampak merona. Entah karena ciumannya atau karena panggilan sayang darinya."Pagi, Mas. Maaf ganggu tidur, Mas. Ina cuma mau ijin bantu Bi Darmi di dapur. Boleh, kan? Kata Mas kemaren. Ina harus ijin meski pergi ke dapur," terang Ina.Sean mengingat perintah itu, dan tentu saja, kembali mengu
*Happy Reading* Setelah mengetahui kenyataan itu dari Mbok Darmi, Sean pun berderap cepat ke arah kamar mandi, demi untuk menemukan keberadaan Ina yang masih membasuh wajah, hingga hijab dan gamisnya mulai ikut basah. "Ina, sudah!" Sean mencekal tangan Ina, agar gadis itu berhenti membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. "Tapi ini masih keluar air matanya, Pak. Ina--" Grep! Sean pun dengan cepat memeluk Ina, membenamkan wajahnya pada dada bidangnya. Lalu mendekap erat tubuh rapuh Ina. "Tidak apa-apa Ina. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan di tahan." Sean mempererat rengkuhannya. Ina hanya terdiam, menikmati rasa hangat pelukan yang Sean tawarkan. "Tapi setelah itu, saya mohon jangan menangis lagi, dan dengarkan saya baik-baik. Saya sudah mencintai kamu Ina, meski entah sejak kapan tepatnya." Sean mencoba jujur pada Ina. Ina ingin percaya. Namun, kepercayaan itu mahal harganya. "Terima kasih, Pak. M
*Happy Reading*"Maukah kamu menua bersama saya?"Hah?!Ina sontak mengangkat wajahnya ke arah Sean, dan langsung menemukan wajah pria itu tersenyum hangat ke arahnya."Ma-maksud Bapak?""Mas, Ina. Bukan Bapak." Sean pun mencebik kesal"Eh, iya, Mas. Maksudnya apa, ya?" Ina pun seketika meralat panggilannya. Agar Sean tidak kembali marah."Maksud saya jelas. Saya ingin membuat pernikahan kita, menjadi pernikahan sesungguhnya dan untuk selamanya."Degh!Ini ... mungkinkah?"Bagimana? Kamu mau, kan, hidup menua bersama saya? Menemani saya dalam suka dan duka. Selamanya bersama sampai maut memisahkan. Kamu, bersedia, kan, Ina?" Sean mempertegas permintaanya, agar Ina paham maksud dan tujuannya.Sean sedang melamar Ina. Harusnya gadis itu memahami hal ini dan terharu pada yang Sean lakukan. Karena itu berarti, ada harapan untuk pernikahannya yang terlanjur terjadi.Namun alih-alih terse
*Happy Reading*Sean terus memperhatikan Ina dalam diam, yang saat ini tengah berada dihadapannya, sedang mengerjakan tugas sekolah dengan senyum manis yang belum juga luntur dari bibir gadis itu.Sesenang itu ya dia bisa sekolah lagi?"Ina itu sebenarnya anak yang pintar, Kak. Dia cepat paham pada pelajaran dan tidak pernah kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah mana pun. Apa Kakak tahu, apa cita-citanya sejak dulu?"Sean tiba-tiba teringat ucapan Rara, sebelum pamit pergi dari rumahnya."Dia ingin jadi Dokter dan mempunyai klinik sendiri. Soalnya, orang tuanya pernah ada di keadaan, terpaksa menahan lapar, demi bisa membeli obat untuknya."Sean sepertinya pernah mendengar cerita itu."Sayangnya, kondisi ekonomi Ina menghambat cita-citanya. Dan malah mengharuskannya dewasa sebelum waktunya. Bagi Ina, saat ini bisa kembali sekolah saja sudah membuatnya bahagia. Karena dia sadar, kondisinya sudah tidak seperti dulu