“Hentikan! Jangan!” rintih Jingga dengan mata yang masih terpejam, kristal bening keluar dari ujung matanya. Lagi-lagi, Jingga bermimpi buruk.
Rintih ketakutan Jingga dalam tidurnya kontan membuat panik pria yang duduk tak jauh dari tempat Jingga berbaring. Pria tersebut mendekat, mengguncang tubuh remaja tanggung yang tidur diatas ranjang rumah sakit, berharap ia segera bangun dari mimpi buruknya.
“Hei! Bangun!” panggil pria berwajah tampan, mencoba membangunkan Jingga yang masih terjebak dalam tidurnya.
Jingga yang memiliki ketakutan akan kontak fisik kontan terkesiap kaget.
“Dimana ini?” tanyanya pada diri sendiri setelah melayangkan pandang melihat seisi ruangan, memastikan bila ia tidak berada di tempat yang tidak semestinya. Jingga belum menyadari jika ada orang lain di sekitarnya. “Aduh!” Manik jelaganya langsung tertuju pada selang IV di tangan kiri setelah merasakan cubitan rasa sakit di sana.
“Kau sudah sadar? Sekarang kamu ada di rumah sakit, apa kau baik-baik saja?” tanya suara bariton berat terdengar, membuat gadis itu terlonjak kaget. Tatapan Jingga berpaling menuju sosok pria yang berada di samping dan sedang memegang bahunya.
Seketika itu pula Jingga langsung menepis tangan pria yang sama sekali tidak ia ketahui dan menarik diri menjauh.
“Siapa kau?” pekik gadis delapan belas tahun tersebut, nyaring setengah menjerit. Jantungnya yang baru saja tenang kembali berdetak kencang, nafasnya tersenggal, tubuhnya mulai bergetar dan mengeluarkan keringat dingin.
“Namaku, Agni.” jawab sang pria lembut, kedua tangannya terangkat berharap bisa menenangkan keterkejutan Jingga yang baru saja sadar. Tetapi, melihat penolakannya membuat pria itu mundur beberapa langkah.
“Agni?! Aku nggak kenal kamu!” cicit Jingga ketakutan.
Hanya dengan melihat, pria itu tahu jika Jingga takut akan dirinya.
“Jangan takut! Tunanganku, Ilana kemarin menemukanmu seperti orang gila di tepi jalan, berteriak-teriak tak jelas kemudian tak sadarkan diri. Jadi kami memutuskan untuk membawamu ke rumah sakit,” jelas sang pria.
“Ru... rumah sakit?” koor Jingga ragu, matanya bolak balik menatap sekeliling memastikan dirinya benar ada di rumah sakit. Tetapi, meski ia telah menyadari dimana ia berada, Jingga tak juga menurunkan pertahanan.
Manik kelam Agni menatap aneh pada gadis yang ia tolong. Pasalnya Jingga sama sekali tak merespon jawabannya dengan baik, malah terlihat seperti orang yang sedang melihat hantu.
“Hei, tenang!” pintanya. “Aku bukan hantu atau penjahat, jadi kau tidak perlu takut!” Ujar sang pria sambil kembali maju beberapa langkah, lalu menilai respon remaja yang masih meringkuk ketakutan di atas ranjang rumah sakit.
“J-jangan mendekat! Kumohon! Menjauh dariku!” pinta Jingga yang gemetaran, giginya bergemelutuk menggigil.
“Ada apa denganmu! Tenang!” Agni bingung melihat reaksi Jingga yang tidak biasa. “Hei, Nona! aku tidak melakukan apa-apa padamu, jadi kau tidak perlu panik seperti ini! aku tidak akan berjalan selangkahpun untuk mendekat, jadi tenang!” pinta pria tersebut, tetapi Jingga sama sekali tidak bisa fokus mendengarkan, seperti tubuh dan fikirannya berada di tempat yang berbeda pada saat bersamaan.
‘Astaga, anak ini pasti mengalami sesuatu yang buruk sampai reaksinya kacau begini. Sikapnya mengingatkanku padaku dan adikku ketika kami kehilangan orang tua kami dahulu,’ batin Agni prihatin.
Pria tampan bertubuh tegap itu tidak mengetahui alasan apa yang membuat gadis di hadapannya sampai bertindak bak kehilangan akal sehat. Jadi, ia berusah menenangkan diri agar tidak ikutan gila.
Memang, ketika ia dan tunangannya menemukan Jingga, ia dalam keadaan menjerit-jerit di tepi jalan. Awalnya mereka mengira bila gadis yang mereka tolong mungkin sedang dalam keadaan stres. Namun, melihat Jingga saat ini, kondisi mental remaja delapan belas tahun itu jauh dari sekedar stres.
“Mas! Jingganya sudah sadar belum?” tanya seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat inap tempat Jingga berada, tangan kanannya memegang tas belanja berisikan makanan yang baru saja ia beli di kantin rumah sakit. “Dia kenapa, Mas? What are you doing?” kembali wanita tersebut bertanya, manik kelamnya menatap tajam sang calon suami dan Agni langsung buru-buru menggeleng.
“Mana kutahu, Na! Aku saja lagi bingung melihat tingkahnya. Dia bangun terus kusapa, malah jadi begitu, mirip orang yang ngeliat demit. Masa iya aku mirip demit?” sahut Agni asal menjawab pertanyaan wanita yang sudah menjadi tunangannya sejak setahun yang lalu.
“Mas!” tegur sang tunangan, gemas. “Ada-ada saja kamu, Mas! Orang sedang sakit kok malah kamu jahili!”
“Aku serius, Ilana sayang! Mas sendiri nggak tau apa yang terjadi padanya,” jawab Agni dengan nada mendayu, menggoda sang tunangan. “Kalau Mas tahu alasannya, Mas juga nggak akan kebingungan. Aku ini sudah mundur beberapa langkah dari dia, lho!” lanjut pria berusia dua puluh delapan tahun dengan jabatan DirUt.
Tiba-tiba Jingga menubruk Ilana, meminta perlindungan. Ilana hampir terjatuh dibuatnya, beruntung wanita berusia dua puluh lima tahun itu bisa menyeimbangkan diri.
Wanita berparas ayu itu bingung sendiri melihat gadis cantik yang ia tolong kemarin dalam keadaan aneh. ‘Dia nggak mengalami gangguan jiwa, ‘kan?’ batin Ilana.
“Kak! Tolong aku, Kak! Aku takut!” pinta Jingga dengan suara bergetar, ia benar-benar ketakutan. Tetapi, Ilana maupun Agni tidak tahu alasan kenapa gadis yang mereka tolong sampai bersikap seperti sekarang.
“Kamu kenapa? Ada apa?” tanya Ilana panik. Siapa juga yang tidak panik jika tahu-tahu langsung ditubruk tanpa aba-aba? apa lagi yang menubruk dalam keadaan gemetar ketakutan seperti yang terjadi saat ini.
Jingga hanya diam tak menjawan, gadis itu malah mulai menangis sesenggukan dan semakin membenamkan diri dalam pelukan Ilana. “Kak, please! Help me!” Bisiknya pelan.
“Mas?” kembali Ilana bertanya pada sang tunangan, tetapi Agni mengangkat bahu, benar-benar tidak mengetahui alasan mengapa gadis pemilik nama Jingga tersebut bersikap aneh.
“Kalau Mas tahu, mas juga tidak akan mundur beberapa langkah darinya, Sayang! Saat dia ngeliat aku, reaksinya langsung begitu, tapi kok ya sama kamu nggak ada masalah,” jelas Agni. “Mungkin dia punya gangguan jiwa,” lanjut Agni pada sang tunangan hanya dengan mulut yang bergerak tanpa suara, yang langsung dijawab dengan tatapan membunuh khas Ilana.
“Jingga! Nama kamu Jingga, kan?” tanya Ilana yang dijawab dengan anggukan. “Kamu kenapa? Ada masalah dengan Agni tunanganku?”
Kembali Jingga menggeleng, namun gadis itu masih bersembunyi di belakang Ilana. Tangannya memeluk erat lengan wanita cantik tersebut.
“Lalu kenapa kamu ketakutan seperti ini? Kalau kamu diam saja, kami nggak akan tahu apa yang terjadi pada...”
Belum selesai Ilana berbicara, ia merasakan tangannya basah oleh sesuatu, kemudian pandangannya tertuju pada noda di lantai yang juga menarik perhatian karena memiliki warna yang tak jauh berbeda dengan cairan yang membasahi tangannya.
“Astaga, Mas! Panggil dokter!” Seru Ilana panik.
“No! Please, Kak! Tolong aku!” Jerit Jingga ketakutan saat seorang dokter dan beberapa perawat mendekatinya. “Mereka cuma mau memeriksa keadaan kamu, Jingga. Itu tangan kamu berdarah dan mesti diobati!” Ilana sama paniknya dengan orang yang ngumpet di balik tubuhnya. “Ta...tapi...”“Jingga!” bentak Agni kesal, anehnya ia berhasil mengambil atensi Jingga. “Nggak pakai kata ‘tapi’! Kamu butuh perawatan dan mereka ada disini untuk merawatmu, bukan untuk menyeretmu kepenjara!”Jingga yang semula bersembunyi di balik tubuh Ilana, perlahan memperlihatkan diri meski dengan tubuh yang gemetar. “Nama kamu Jingga?” tanya pria bersurai coklat terang dengan stetoskop terkalung dilehernya. “Aku Dokter Lexy, aku adalah orang yang menjadi dokter kamu semenjak kamu masuk ke rumah sakit beberapa hari ini. Kami tidak akan berbuat hal buruk, jadi kamu nggak perlu takut,” lanjut sang dokter membujuk dengan suara lembut. Tetapi, Agni dan Ilana yang mendengar tutur kata sang dokter malah memutar mata, m
“Kalau kalian berdua tidak bisa serius, aku dengan senang hati mencukur leher kalian!”“Ampun, nyonyaaaaaah!” sahut dua pria tersebut, bukan takut tapi menjengkelkan.Sepertinya dua pria yang saat ini berada bersama Ilana adalah tipe manusia yang senang mencampur adukan antara masalah serius dan selera humor. Mereka lebih cocok jadi komedian dibanding pengusaha dan dokter. Namun, hal itu hanya terjadi ketika mereka berada bersama orang-orang terdekat. Ketika kedua pria tersebut di hadapkan pada forum formal, mereka akan kembali menjadi sosok penuh kharisma dan wibawa.“Ya, logika saja, Agni. Kalau kamu yang ada di posisi dia, lalu kamu ditanya tentang masa lalu yang bikin kamu trauma. Bagaimana tanggapan kamu?” tanya Lexy. “Atau begini. Angkasa, adikmu itu pernah trauma karena kecelakaan yang menewaskan mendiang orang tua kalian, dia melihat semua kejadian tersebut sampai dia nggak mau makan dan kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Apa kamu tega nyuruh dia untuk cerita tentang kron
Ilana Mutia, gadis cantik tunangan sang direktur muda Dirgantara Group, Agni Kumbara Dirgantara. Gadis periang yang selalu tersenyum, satu-satunya orang yang mampu membawa Agni bangkit dari keterpurukan karena kehilangan orang tua. Orang yang mendampingi sang kekasih untuk bersabar menghadapi kelakuan sang adik yang juga depresi berat.“Hm, aku mau bertanya sesuatu, tetapi kamu nggak perlu jawab kalau memang menurut kamu pertanyaan aku terlalu sensitif,” ujar Ilana membuka pembicaraan, memecah keheningan yang terjadi diantara dirinya dan gadis belia yang terbaring diatas ranjang rumah sakit. “Sure,” sahut Jingga mempersilahkan.“Kamu ke Jakarta karena kabur dari rumah?” Jingga menganggung menanggapi pertanyaan Ilana.“Kamu pasti punya alasan tentang hal itu. Kalau boleh tahu....” Ilana terhenti tatkala melihat wajah murung Jingga saat mendengar pertanyaannya. “Kamu nggak perlu jawab, kok!” sergah Ilana cepat, tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Terbersit rasa bersalah dalam hati tun
Langkah pelan Jingga memasuki sebuah pintu bangunan megah milik keluarga Dirgantara, iris gelapnya membelalak lebar tatkala melihat megahnya bangunan yang ia datangi. Gadis delapan belas tahun itu paham bila orang yang menolongnya berasal dari kalangan atas, tetapi ia tidak menyangka bila Agni dan Ilana lebih dari sekedar kalangan atas biasa.“Untuk sementara kamu bisa tinggal disini, selama yang kamu inginkan!” ujar Agni “Kak, Mas. Kita nggak salah rumah, kan?” tanya Jingga lugu. Pasalnya keluarga Jingga memang keluarga berada, tetapi rumah yang sekarang ia masuki jelas depuluh kali lebih mewah dari yang Ayahnya miliki.Ilana dan Agni tersenyum mendengar kepolosan Jingga. “Nggak salah, kok. Rumah ini memang milik Agni dan Angkasa,” masih dengan tersenyum Ilana menjawab pertanyaan sang tamu yang mereka undang.“Angkasa?” gadis berusia delapan belas tahun tersebut kembali bertanya lantaran dirinya masih asing dengan nama yang Ilana sebutkan. “Angkasa itu siapa, Kak?”“Oh iya, aku lupa
“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara. Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group. “Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang
Dari ruang kamar yang di datangi oleh Ilana dan Jingga, keduanya tak lagi mendengar perdebatan diantara kakak-beradik Dirgantara. Namun, Jingga masih bingung bagaimana harus mengambil sikap. “Maaf, ya. Bukan maksud aku melarang kamu untuk mengutarakan pendapat, hanya saja ketika Mas Agni dan Angkasa bertengkar, lebih baik jangan dipotong.”“Kenapa, Kak? Nggak baik yang namanya saudara bertengkar karena orang lain.”“Yang sedang Agni lakukan adalah mendidik adiknya, satu saat Angkasa akan paham alasan mengapa Agni melakukan semua itu.”“Mas Agni memiliki alasan untuk bertengkar dengan adiknya? Aku nggak paham maksudnya, Kak?!” tanya Jingga masih bingung.“Anak laki-laki berbeda dengan perempuan, Jingga. Mereka akan belajar dari sebuah pertengkaran, perselisihan dan perdebatan. Pengalaman memberikan makna tersendiri yang bisa membuat mereka memahami keadaan,” jelas Ilana lembut. “Pengalaman tidak serta merta membuat seseorang berubah menjadi dewasa, Kak. Kenyataannya hidup tidak semuda
Pandangan mata Jingga menatap sendu rintik hujan turun di luar sana. Jemari lentiknya dengan cekatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan menu makanan pagi ini. Bukan tak ada pelayan ataupun asisten rumah tangga yang bisa menyediakan makanan untuknya, Jingga hanya enggan merepotkan lebih dari yang telah ia dapatkan.‘Kenapa malah orang lain yang mempercayaiku tanpa syarat, bahkan sampai rela membawaku kerumah mereka dan memikirkan kesehatan psikologisku?! Harusnya, orang terdekatku yang memberikan kepercayaan, bukan malah orang tak dikenal,’ batin Jingga mengeluh dalam lamunan. “Oh ternyata cocok jadi asisten rumah tangga, toh! Aku kira seperti apa orang yang dipercaya Mas Agni?!” seru suara sinis mengejutkan Jingga yang tengah memotong sayuran.“Damn it!” hardik Jingga pada udara kosong seraya menghisap jarinya yang tergores. “Are you yelling at me?”“Kalau mau makan, kamu bisa duduk! Aku nggak punya waktu untuk melayanimu berdebat,” sahut gadis yang lebih muda dua tahun dari K
Sebulan berlalu sejak Jingga memasuki kediaman Dirgantara, sudah selama itu pula ia memiliki profesi sebagai juru masak di rumah tersebut. “Kamu yakin mau kerja, Jingga?” tanya Agni membuka pembicaraan saat makan malam berlangsung. “Memangnya jadi koki di rumah ini kurang buat kamu?” lanjutnya seraya menyuap makanan.“Jadi koki di rumah ini berbeda dengan bekerja di luar, Mas. Aku ingin pengalaman, bukan zona nyaman. Karena aku nggak mungkin untuk berpangku tangan terus,” sahut Jingga yakin. “Aku nggak terlalu masalah dengan kamu stay di rumah ini, kalau memang kamu perlu gaji aku juga bisa memberikan gaji yang sesuai pekerjaan kamu disini. Bu Fatma juga pasti senang.”“Biar sajalah, Mas. Hitung-hitung sekalian Jingga bergaul di luar, nggak ngeram di rumah. Kalau bisa malah aku maunya dia kuliah,” seloroh Ilana. Angkasa yang mendengar pembicaraan ketiganya hanya memutar mata, jengkel. Bisa-bisanya sang Kakak dan calon Kakak Iparnya lebih memperhatikan keadaan orang lain, tetapi tid
“Hen, harus bagaimana aku bersikap supaya adikku bisa membuka matanya dan melihat kenyataan bila orang yang ia tolong hanya memanfaatkannya?” tanya Agni membuka pembicaraan pada asisten kepercayaannya selain Lukman yang biasa ia tugaskan untuk mendampingi Ilana.“Maksudnya si Karin, Boss?” kata Henry balik bertanya.“Siapa lagi kalau bukan dia. Anak itu sampai rela bertunangan dengan Jingga sesuai perintahku padahal antara dia dan Jingga sama sekali tidak ada rasa.”“Mungkin Angkasa merasa menjaga Karina adalah tanggung jawabnya, seperti Boss menjaga Jingga,” jawab Henry membuka sudut pandang. “Hanya saja, Angkasa mungkin belum bisa melihat apa yang Boss lihat dari seorang Karina. Tetapi, kalau aku boleh tanya, kenapa juga Boss nyuruh Angkasa untuk bertunangan dengan Jingga, apa lagi menilik dari masa lalunya dia yang bisa dikatakan kelam?!” lanjut sang asisten bertanya-tanya.“Karena Karina dan Jingga sangat bertolak belakang. Sampai detik ini Jingga tinggal di rumah, dia nggak pernah
“Cewek sialan! Brengsek! Beraninya nyuruh pelayan buat nendang aku!” umpat Karina geram sambil memegangi perutnya yang baru saja terkena sentuhan manis Dian.“Masih untung Dian yang nendang bukan aku, atau kamu mau kalau aku yang melakukannya? Aku masih punya banyak tenaga untuk itu dan kupastikan juga kamu nggak sadarkan diri setelahnya!” kata Jingga dengan santainya menyilangkan kaki di sofa.“Tunggu sampai Angkasa tahu tentang ini, kamu akan ada dalam masalah!” “Jadi siapa yang bersembunyi di balik siapa? Aku yang bertameng Mas Agni atau kamu yang memanfaatkan keberadaan Angkasa saat ini?” Sarkas gadis berusia delapan belas tahun tersebut.“Dengar, wanita sial! Aku disini bukan menumpang, aku masih bekerja mencari uang, bukan seperti dirimu.”“Kau belum pikun, kan? Apa kau lupa kalau kau yang sudah membuatku dipecat dari pekerjaanku dan setiap tempat yang kudatangi pasti menolak resume-ku.”“Bagus, artinya mereka tahu cara memilih kualitas SDM,” sergah Karina cepat menanggapi kesu
Siang hari yang terik, Jingga berjalan memasuki rumah dengan lunglai. Lagi-lagi resume-nya ditolak semenjak kasusnya dengan Karina waktu itu, nama baiknya hancur berantakan dan tidak satupun tempat yang mau mempekerjakannya. Ia hanya bisa menghela napas panjang meratapi hidup yang tak adil. “Damn!” umpat Jingga sambil menghempaskan surai ikalnya. “Kalau saja aku nggak memikirkan nama baik orang lain, ingin rasanya menjambak rambut panjang Karina. Demi Tuhan, aku sudah lelah tidak dihargai orang lain.” “Lain kali jambak saja, Non!” bisik seseorang dari balik punggung Jingga. “Duh Gusti!” seru Jingga terkejut. “Kalau ngomong jangan dari belakang dong! Jantungku cuma satu, kalau copot nggak ada gantinya!” “Namaku Dian, Non! Bukan Gusti,” protes sang pelayan sambil memanyunkan bibirnya. “Ya nggak gitu juga maksudnya, Diaaaaaan! Kamu tuh ngagetin, bisa nggak kalau bicara dari depan, jangan tahu-tahu ngomong di deket telinga orang!” omel Jingga nyerepet panjang. “Hehehe... maap, Non.
“Selamat atas pertunangan kalian, semoga akur-akur. Jangan kaya anjing dan kucing terus.” Angkasa hanya memutar matanya jengah, sebab Irfan dengan sengaja menggodanya. Sedang Jingga memilih untuk diam tak menyahuti sahabat dari tuangannya.“Fan! Jangan cari masalah!” tegur Angkasa. “Kak Irfan, ngomong-ngomong dimana teman kalian yang perempuan? Bukankah jika ada kalian bertiga pasti ada dia?” tanya Jingga mengalihkan pembicaraan. “Oh, itu... Karina malam ini ada part-time jadi nggak bisa datang, maklumlah keadaan finansialnya dia agak berbeda dari kami,” jawab Irfan hampir benar. Karena kenyataannya Karina sama sekali tidak diterima di acara tersebut, sehingga Angkasa memutuskan untuk tidak memberitahunya.“Hoo... Bukannya dia punya sahabat yang siap jadi dompetnya, Kak?” Sindir Jingga sambil melirik kearah sang tunangan.“Kalau itu aku no comment deh, bisa hancur dunia persilatan kalau aku komentar.” Sahut Irfan mengamankan diri.“Kamu bisa manggil Irfan dengan sebutan ‘kakak’ tap
Ilana berdiri di depan cermin, membantu Jingga menata berdandan dan menata surainya dengan indah. Ia sendiri sudah mengenakan gaun ungu cantik untuk pesta malam ini.Sesuai dengan keinginan Agni, pesta pertunangan antara Angkasa dan Jingga digelar setelah kembalinya sulung Dirgantara dari perjalanan bisnis. “Kak, aku masih tidak yakin dengan perjodohan ini. Apa nggak sebaiknya dibatalkan saja?”“Keputusan Mas Agni sudah bulat, Ngga. Aku sendiri masih belum paham alasannya apa, tetapi Mas masih belum mau jawab pertanyaanku. Terakhir dia cuma mengatakan kalau Angkasa membutuhkan seseorang seperti kamu untuk berada di sampingnya.”“Tetapi, ini beneran nggak rasional, Kak. Dari mana datangnya keteguhan Mas Agni kalau nggak ada alasan.”“Kalau masalah alasannya kamu bisa tanya langsung saja ke Mas Agni, dia malah bilang aku harus nunggu kamu cerita baru dia bisa menjelaskan alasannya, cuma cerita apa aku juga nggak tahu pasti.” “Serius, Kak. Aku bingung dengan penjelasan Kak Lana yang mu
“Ilana, besok siang Mas harus berangkat ke luar pulau buat ngecek bahan mentah yang baru datang sekalian ketemu sama pihak vendor, mungkin sekitar satu sampai dua minggu. Kiranya kamu bisa menangani situasi dirumah atau nggak?” tanya Agni ketika berbicara berdua dengan sang tunangan di ruang kerjanya.“Bisa, Mas. Mas Agni bisa pergi dengan tenang, masalah dirumah biar aku yang handle,” Jawab Ilana yakin. “Memang sih agak rumit, terutama di Jingga yang masih dalam masa pemulihan, ditambah kamu yang bikin masalah baru dengan mencoba menjodohkan dia dengan Angkasa. Tetapi, sejauh ini masih bisa kuatasi.”“Nanti kuminta Lukman dan Bayu untuk stay di rumah selama aku nggak ada. Aku nggak mau kejadian seperti tempo hari dimana Jingga hampir kabur dari rumah.” Ujar Agni sambil meletakkan kaca matanya. “Iya juga, kok aku nggak kepikiran sampai sana.”Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar, menginterupsi pembicaraan mereka. “Mas, ini Angkasa. Boleh aku masuk?”“Masuk!” sahut Agni datar. Se
“Semua ini gara-gara kamu! Kamu pasti sudah mencuci otak Masku sampai dia memiliki ide gila!” ketus Angkasa memulai perdebatan. Namun, sebelum mengucapkan kalimat pedasnya, Angkasa lebih dahulu menilai situasi. Takut-takut bila sang Kakak atau Kakak Ipar ada dirumah. “Sorry lah ya, kamu pikir aku sudi ditunangkan sama cowok bermulut ember seperti kamu?! Otakku belum konslet, sekalipun di dunia ini sisa kamu doang sebagai ‘the last choice' aku ogah!” Sahut Jingga sama sengitnya. “Kalau bukan lalu apa? Sadar diri dong dikit, dari numpang kok malah mau jadi tuan rumah.” “Sudah kubilang kalau aku tidak berminat, tetapi Mas Agni yang memaksaku untuk stay disini, walaupun aku bekerja diluar, ” Jingga menyahut dengan nada tinggi. “Oh ya, masalah pekerjaan, thanks to you! Karena mulut ember temanmu itu aku jadi dikeluarkan dari pekerjaanku!” “Bagus! Artinya Cafe itu tahu caranya menjaga reputasi. Lagi pula kalau memang nggak berminat kenapa juga kamu bikin masalah! Karena kamu, Karina jad
Agni, Ilana dan Lexy kembali berkumpul dalam satu forum, ketiganya bertemu dalam rangka pembahasan masalah Jingga yang masih menjadi tanda tanya, juga pertunangan antara Angkasa dan Jingga yang diputuskan sepihak oleh Agni sendiri.“Hm... rupanya kamu udah jadi gila juga, Ni? Kok ya sempet-sempetnya mikir untuk menunangkan Jingga dan Angkasa, padahal kamu tahu persis kalau mereka itu kalau ketemu mirip anjing dan kucing,” ujar Dokter Lexy membuka pembicaraan.“Aku setuju sama Mas Lexy kalau Mas Agni sudah kehilangan akalnya,” sambung Ilana menyetujui pendapat sang Dokter. “Jingga itu baru saja sembuh, Ni. Panjang lho perjuangan kita buat ngebangun pribadi Jingga yang sekarang. Kamu kok malah bikin semua yang sudah tersusun rapi jadi berantakan lagi?” “Bukan tanpa alasan aku ngambil keputusan ini, cuma mungkin waktunya saja yang kurang pas,” jawab Agni tenang. “Alasannya apa, Mas? Please, cukup Jingga yang bikin aku pusing dengan kalimat-kalimat misteriusnya, kamu nggak usah ikut-ik
“Mas Agni! Sakit! Tolong lepasin, Mas!” hiba Karina. “Angkasa! Tolong aku!” “Keluar! Aku nggak butuh orang bermulut sampah di rumah ini!” hardik Agni sambil menghempas Karina keluar.“Mas! Bisa nggak pelan sedikit, dia itu perempuan!” Tegur Angkasa."Lalu kenapa kalau dia perempuan? Memangnya Jingga bukan perempuan? Mulutmu itu yang mirip mulut perempuan, doyannya ngerumpi!” “Salah aku dimana, Mas Agni? Aku cuma mengatakan kejujuran, kalau perempuan itu bukan perempuan baik-baik!” kata Karina membela diri. Susah payah gadis dua puluh tahun itu bangkit sendiri tanpa ada orang yang membantu.Irfan dan Sukma hanya menonton drama, keduanya enggan terlibat terutama ketika Agni sudah marah. Mereka yang berteman dengan Angkasa semasa masih SMA sudah paham dengan karakter Agni yang tidak bisa diganggu saat marah.“Karina, apa pikirmu itu kamu lebih baik dari Jingga? Apa kamu seorang Athena yang tak tersentuh, seorang gadis suci? Jangan munafik kamu!” cecar Agni pada teman dari sang adik, pe