Langkah pelan Jingga memasuki sebuah pintu bangunan megah milik keluarga Dirgantara, iris gelapnya membelalak lebar tatkala melihat megahnya bangunan yang ia datangi. Gadis delapan belas tahun itu paham bila orang yang menolongnya berasal dari kalangan atas, tetapi ia tidak menyangka bila Agni dan Ilana lebih dari sekedar kalangan atas biasa.
“Untuk sementara kamu bisa tinggal disini, selama yang kamu inginkan!” ujar Agni“Kak, Mas. Kita nggak salah rumah, kan?” tanya Jingga lugu. Pasalnya keluarga Jingga memang keluarga berada, tetapi rumah yang sekarang ia masuki jelas depuluh kali lebih mewah dari yang Ayahnya miliki.Ilana dan Agni tersenyum mendengar kepolosan Jingga.“Nggak salah, kok. Rumah ini memang milik Agni dan Angkasa,” masih dengan tersenyum Ilana menjawab pertanyaan sang tamu yang mereka undang.“Angkasa?” gadis berusia delapan belas tahun tersebut kembali bertanya lantaran dirinya masih asing dengan nama yang Ilana sebutkan. “Angkasa itu siapa, Kak?”“Oh iya, aku lupa kalau kamu sama Angkasa belum pernah ketemu, bukan belum ketemu, sih. Tapi, pas Angkasa dateng ke rumah sakit, kamu masih nggak sadarkan diri. Jadi dia tahu kamu, cuma kau nggak tahu dia.” jelas Ilana panjang lebar.Agni hanya memandang lembut sang calon istri yang mulai berbicara panjang, pria berparas tampan itu menyukai bagaimana sang pujaan hati ketika mode cerewetnya keluar. Karena, selama ini Ilana hanya berbicara pada dirinya dan Angkasa, membuat sang gadis tidak bisa mengeluarkan naluri rumpinya.“Dari semua yang kamu katakan, tidak satupun yang menjadi jawaban atas pertanyaan Jingga, Sayang.”Ilana nyengir lebar pada sang calon suami tercinta. “Angkasa itu adiknya Mas Agni, usianya hanya berpaut dua tahun dari kamu.” jawabnya setelah kembali menatap Jingga.“Angkasa biasanya jam segini masih di kampus, lebih tepatnya dia memang jarang dirumah. Kalaupun pulang biasanya sudah larut malam, jadi selama di rumah kamu hanya akan berdua Ilana, Bu Fatma dan Pak Agus, lalu beberapa ART lain. Nanti Bu Fatma atau Ilana yang akan memperkenalkan mereka satu-persatu ke kamu.”“Maaf sebelumnya, Mas. Tapi, setelah lihat semua ini, lebih baik aku nggak perlu tinggal disini. Hm... aku akan cari kost murah saja buat tempat tinggal,” kata Jingga sungkan.Gadis manis bersurai ikal gelap kecoklatan tersebut memilih untuk mundur sebelum ia melibatkan orang-orang baik yang telah menolongnya dalam masalah hidupnya. Sekalipun Jakarta adalah kota besar, bukan jaminan bila Jingga tidak akan berjumpa dengan orang yang mengenalnya.“Apa masalahnya? Toh, rumah ini punya banyak kamar kosong yang bisa kamu pakai,” ujar sang pemilik rumah.Jingga tersenyum formal, pada Agni. “Aku nggak sanggup bayar kost di rumah semewah ini,” jawabnya realistis.“Aku nggak minta kamu untuk bayar kost. Lagi pula dengan adanya kamu di rumahku, Ilana jadi punya teman ngobrol. Kamu tahu kalau aku selalu sibuk dan jarang berada di rumah.”Gadis ikal tersebut hanya tersenyum, meski senyumannya tak sampai di mata.“Kurasa Kak Ilana bukan seorang wanita kuper yang kerjaannya hanya berada di dalam rumah, lalu jangan terlalu baik dan percaya pada orang tak dikenal, Mas. Apa lagi sampai memberikan fasilitas mewah seperti menginap tanpa sewa, orang terdekat saja bisa berkhianat, bagaimana dengan orang yang baru dikenal?”Jawaban diplomatis Jingga mengarah pada dua sisi, satu sisi memperingatkan Agni untuk tidak terlalu mudah mempercayai orang. Sedangkan di sisi lain, gadis itu memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak mempercayai orang lain.‘Kepercayaan anak ini jelas rusak karena satu alasan, membuatnya tidak bisa mempercayai orang lain. Tetapi, apa?’ batin Agni bertanya-tanya akan sosok gadis yang lebih muda dari adik semata wayangnya. Manik jelaga Agni bersitatap dengan sang calon istri, Ilana hanya menggeleng masih belum memahami permasalahan yang sebenarnya.Agni yang terbiasa menilai seseorang dari gaya bahasa tubuh dan tatapan, ia bisa dengan mudah mengetahui maksud seseorang. Saat ini dalam pandangan pria dua puluh delapan tahun tersebut, ia melihat adanya penolakan dan ketidakpercayaan dari Jingga.“Dia benar-benar harus dibawa ke psikolog,” bisik Agni di telinga sang tunangan, berusaha berbicara dengan nada serendah mungkin agar tidak didengar oleh orang yang sedang dibicarakan.“Aku psikolog, Mas!” tandas Ilana pelan.“Oh iya, benar juga,” sahut sulung Dirgantara dengan wajah datar seperti tanpa dosa. “Ini sebenarnya dia minta kita untuk nggak sembarangan percaya atau dia meyakinkan diri sendiri untuk nggak percaya orang?” lanjut Agni masih dengan menyembunyikan bibir di surai Ilana.“Nggak paham, Mas. Aku belum tahu seberapa parahnya keadaan dia, mungkin setelah beberapa minggu aku baru bisa memberikan jawaban pasti ke kamu.”“Aku agak khawatir kalau harus ngelepas dia begitu aja seperti yang dia mau, takut kalau dia bunuh diri,” Ilana mengangguki pernyataan Agni mengenai pemikirannya.Pasangan tersebut bersikap seolah-olah mereka tengah bermesraan, menyembunyikan pembicaraan yang mereka lakukan.“Buat sementara, lebih baik kamu disini sampai pulih. Setelah Dokter Lexy dan aku menyatakan kamu benar-benar sudah pulih, kamu bisa pergi kemanapun yang kamu suka. Aku tidak akan melarangnya, dengan catatan kamu seratus persen sudah pulih.”“I was...”“No, you’re not!” belum selesai Jingga menyahut, Ilana lebih dahulu menyelanya. “Selama aku dan Dokter Lexy mengatakan kamu masih dalam pengawasan, artinya kamu belum seratus persen sembuh!” tegas tunangan Agni Kumbara Dirgantara tak mau dibantah.“Kalian membayar semua tagihan rumah sakit, kemudian menyediakan tempat tinggal untukku, lalu kalian masih juga memikirkan keadaan psikisku. Dan yang paling penting, kenapa kalian bisa dengan mudah mempercayaiku, sedangkan kalian tahu kalau sikapku mengatakan kebalikan dari yang kalian lakukan untukku?” Jingga menatap tak percaya pada kedua orang yang telah menolongnya. Bagaimanapun juga, kepercayaan gadis itu terhadap orang lain sudah lenyap karena masa lalunya.“Kamu mungkin nggak percaya pada kami saat ini, tetapi kami sedang berusaha membangun kepercayaan kamu pada kami. Mungkin, kepercayaan kamu sudah hancur hingga tidak bisa memberikan hal tersebut pada orang apa lagi pada orang lain terutama orang baru, hanya saja kami masih punya nurani untuk tidak melepasmu begitu saja tanpa tujuan di kota yang masih baru buat kamu,” jawab Ilana panjang.“Tapi, bagaimana bila aku tetap tidak bisa mempercayai kalian? Meskipun rasa tidak dipercayai tidak akan lebih menyakitkan dari pada dikhianati, namun tetap saja hal itu bukan sesuatu enak untuk dirasakan.”“Tidak penting bagi kami mau kamu nantinya percaya atau tidak, yang kami khawatirkan saat ini hanya kesehatan kamu!” tegas Agni tidak ingin dibantah.Jingga sedikit memahami maksud kalimat tajam pria yang telah menolongnya, sebab gadis yang belum lama lulus sekolah menengah atas tersebut berhenti membantah kata-kata sang tuan rumah.“Hanya sementara kamu disini, jika nantinya kamu nggak kerasan maka kami akan membantu kamu mencari tempat tinggal. Tentunya setelah kamu dianggap sehat betul,” kata Ilana mengalihkan suasana kaku yang terjadi.“Maaf, Kak. Aku hanya belum bisa mempercayai orang lain...,”“Mas Agni, Mbak Lana! Buat apa kalian mempertahankan gadis nggak tahu terima kasih seperti dia!” sergah sebuah suara bariton diikuti beberapa ketukan langkah yang mendekat.Angkasa datang bersama ketiga sahabatnya, Irfan, Sukma dan Karina. Jingga hanya terdiam menatap sosok pria yang belum dikenalnya. Tak ada antusiasme untuk berdebat, ia hanya diam seribu bahasa, enggan menanggapi.“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara. Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group. “Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang
Dari ruang kamar yang di datangi oleh Ilana dan Jingga, keduanya tak lagi mendengar perdebatan diantara kakak-beradik Dirgantara. Namun, Jingga masih bingung bagaimana harus mengambil sikap. “Maaf, ya. Bukan maksud aku melarang kamu untuk mengutarakan pendapat, hanya saja ketika Mas Agni dan Angkasa bertengkar, lebih baik jangan dipotong.”“Kenapa, Kak? Nggak baik yang namanya saudara bertengkar karena orang lain.”“Yang sedang Agni lakukan adalah mendidik adiknya, satu saat Angkasa akan paham alasan mengapa Agni melakukan semua itu.”“Mas Agni memiliki alasan untuk bertengkar dengan adiknya? Aku nggak paham maksudnya, Kak?!” tanya Jingga masih bingung.“Anak laki-laki berbeda dengan perempuan, Jingga. Mereka akan belajar dari sebuah pertengkaran, perselisihan dan perdebatan. Pengalaman memberikan makna tersendiri yang bisa membuat mereka memahami keadaan,” jelas Ilana lembut. “Pengalaman tidak serta merta membuat seseorang berubah menjadi dewasa, Kak. Kenyataannya hidup tidak semuda
Pandangan mata Jingga menatap sendu rintik hujan turun di luar sana. Jemari lentiknya dengan cekatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan menu makanan pagi ini. Bukan tak ada pelayan ataupun asisten rumah tangga yang bisa menyediakan makanan untuknya, Jingga hanya enggan merepotkan lebih dari yang telah ia dapatkan.‘Kenapa malah orang lain yang mempercayaiku tanpa syarat, bahkan sampai rela membawaku kerumah mereka dan memikirkan kesehatan psikologisku?! Harusnya, orang terdekatku yang memberikan kepercayaan, bukan malah orang tak dikenal,’ batin Jingga mengeluh dalam lamunan. “Oh ternyata cocok jadi asisten rumah tangga, toh! Aku kira seperti apa orang yang dipercaya Mas Agni?!” seru suara sinis mengejutkan Jingga yang tengah memotong sayuran.“Damn it!” hardik Jingga pada udara kosong seraya menghisap jarinya yang tergores. “Are you yelling at me?”“Kalau mau makan, kamu bisa duduk! Aku nggak punya waktu untuk melayanimu berdebat,” sahut gadis yang lebih muda dua tahun dari K
Sebulan berlalu sejak Jingga memasuki kediaman Dirgantara, sudah selama itu pula ia memiliki profesi sebagai juru masak di rumah tersebut. “Kamu yakin mau kerja, Jingga?” tanya Agni membuka pembicaraan saat makan malam berlangsung. “Memangnya jadi koki di rumah ini kurang buat kamu?” lanjutnya seraya menyuap makanan.“Jadi koki di rumah ini berbeda dengan bekerja di luar, Mas. Aku ingin pengalaman, bukan zona nyaman. Karena aku nggak mungkin untuk berpangku tangan terus,” sahut Jingga yakin. “Aku nggak terlalu masalah dengan kamu stay di rumah ini, kalau memang kamu perlu gaji aku juga bisa memberikan gaji yang sesuai pekerjaan kamu disini. Bu Fatma juga pasti senang.”“Biar sajalah, Mas. Hitung-hitung sekalian Jingga bergaul di luar, nggak ngeram di rumah. Kalau bisa malah aku maunya dia kuliah,” seloroh Ilana. Angkasa yang mendengar pembicaraan ketiganya hanya memutar mata, jengkel. Bisa-bisanya sang Kakak dan calon Kakak Iparnya lebih memperhatikan keadaan orang lain, tetapi tid
Di kediaman keluarga Baskoro, sosok wanita anggun berparas ayu yang berusia 47 tahun tengah mengeluarkan berkarung-karung mantra dan sumpah serapah yang ditujukan untuk sang suami. “Ayah! Ibu sudah nggak tahu lagi harus cari anak kita kemana, kalau Ayah nggak nemuin dia juga, lebih baik kamu nggak usah pulang kerumah!” ancam sosok keibuan dengan suara tinggi nyaring membentak sang suami yang berwajah kusut karena masih juga belum menemukan sang putri bungsu.“Sabar, Bu. Ayah ini sudah cari kesana kemari, juga sudah minta bantuan beberapa orang, Damar juga sudah Ayah hubungi mana tahu Jingga menyusul dia ke jakarta. Tapi, semua masih nihil. Aku juga sudah lapor polisi dan belum ada kabar lebih lanjut,” jawab Pak Dimas menjabarkan semua yang sudah dia lakukan pada sang istri yang masih tegangan tinggi.“Ini semua gara-gara harga dirimu yang terlalu kamu junjung tinggi itu, Mas! Jingga itu anakmu sendiri, kamu malah bisa-bisanya nggak percaya sama dia?!” cerca Ibu Mia. “Demi Tuhan, Mas!
“Apa sih istimewanya cewek itu sampai Mas Agni bela-belain buat berdebat sama aku?!” gerutu Angkasa.Sukma dan Irfan hanya bisa saling tatap mendengar gerutuan Angkasa, karena semenjak kedatangan Jingga di rumahnya, Angkasa menjadi lebih pemarah dan sering menggerutu.“Mbak Lana saja yang terlalu baik sama orang, karena pengaruh dia juga Mas Agni jadi seperti itu. Gara-gara cewek itu juga, Mas Agni jadi makin antipati ke aku, bikin jengkel!” sahut Karina memanasi Angkasa. Gadis itu tahu bagaimana caranya membuat masalah menjadi semakin runyam ketimbang sebaliknya.“Karin! Kamu nggak berhak menilai keluarga orang lain! Jangan menuang bahan bakar ke dalam api!” tegas Irfan memperingatkan.“Fan, apa yang aku katakan itu benar, Mbak Lana itu terlalu ngontrol Mas Agni. “Rin, bisa nggak kamu nggak jelek-jelekin Mbak Lana! Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi jangan seenaknya ngomong!” Tegur Angkasa. “Sorry,” sahut Karina menggigit bibir.Bagaimanapun juga Ilana adalah orang yang sanga
Jingga kembali ke kediaman Dirgantara dengan wajah sembab, saat memasuki pintu utama rumah besar tersebut gadis itu sama sekali tak membalas sapaan orang. Ia hanya berjalan lurus menuju kamarnya.“Non Jingga, kok sudah pulang?” tanya Bu Fatma selaku kepala pelayan di kediaman Dirgantara. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa, sangat berbeda dari biasa.“Non!” panggil pelayan lain dengan hasil yang sama. “Bu, itu Non Jingga kenapa?” lanjut sang pelayan pada Bu Fatma.“Sejauh ini dari sudut pandang Ibu, Jingga itu anak yang tahu namanya sopan santun, pasti ada sesuatu yang nggak beres yang membuat dia jadi acuh. Coba kamu ke ruangan Non Lana, bilang sama dia kalau Non Jingga pulang sambil nangis!” perintah Bu Fatma.Sesuai perintah sang atasan, pelayan muda tersebut mendatangi Ilana untuk menyampaikan pesan dari Bu Fatma. Sedang, Jingga sudah berada di kamarnya, mengeluarkan tas dan pakaian dari lemari. “Jingga, kok kamu sudah pulang kerja?! Hari ini katanya kamu pulang jam empat?!” Jin
Suara tamparan keras terdengar menggema di seluruh ruang tamu kediaman Dirgantara. Semua mata terpana melihat pemandangan yang baru pertama kali mereka temui yaitu, Agni menampar Angkasa.“Astaga, Mas Agni!” jerit Ilana panik.Irfan, Karina dan Sukma juga terkejut melihat hal itu. Tak ada yang pernah mengira jika Agni akan menampar adik kesayangannya.“Kamu disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk menjadikan kamu sebagai sampah! Demi Tuhan, Angkasa! Mas tidak mendidik kamu untuk memperlakukan orang lain seperti binatang!” hardik Agni marah. “Mas Agni yang sudah nggak waras! Mas nampar aku demi membela wanita seperti dia?! Orang yang nggak jelas asal usulnya, dia bukan wanita baik-baik, Mas. Dia penjaja cinta!”Baru selesai Angkasa mengucapkan penghinaan, bersamaan itu pula Jingga menampar pria tampan berusia dua puluh dua tahun tersebut. Ilana sudah terkejut ketika Agni menampar Angkasa, namun melihat Jingga sendiri yang menampar calon adik iparnya membuat wanita dua puluh lima tahun it
“Hen, harus bagaimana aku bersikap supaya adikku bisa membuka matanya dan melihat kenyataan bila orang yang ia tolong hanya memanfaatkannya?” tanya Agni membuka pembicaraan pada asisten kepercayaannya selain Lukman yang biasa ia tugaskan untuk mendampingi Ilana.“Maksudnya si Karin, Boss?” kata Henry balik bertanya.“Siapa lagi kalau bukan dia. Anak itu sampai rela bertunangan dengan Jingga sesuai perintahku padahal antara dia dan Jingga sama sekali tidak ada rasa.”“Mungkin Angkasa merasa menjaga Karina adalah tanggung jawabnya, seperti Boss menjaga Jingga,” jawab Henry membuka sudut pandang. “Hanya saja, Angkasa mungkin belum bisa melihat apa yang Boss lihat dari seorang Karina. Tetapi, kalau aku boleh tanya, kenapa juga Boss nyuruh Angkasa untuk bertunangan dengan Jingga, apa lagi menilik dari masa lalunya dia yang bisa dikatakan kelam?!” lanjut sang asisten bertanya-tanya.“Karena Karina dan Jingga sangat bertolak belakang. Sampai detik ini Jingga tinggal di rumah, dia nggak pernah
“Cewek sialan! Brengsek! Beraninya nyuruh pelayan buat nendang aku!” umpat Karina geram sambil memegangi perutnya yang baru saja terkena sentuhan manis Dian.“Masih untung Dian yang nendang bukan aku, atau kamu mau kalau aku yang melakukannya? Aku masih punya banyak tenaga untuk itu dan kupastikan juga kamu nggak sadarkan diri setelahnya!” kata Jingga dengan santainya menyilangkan kaki di sofa.“Tunggu sampai Angkasa tahu tentang ini, kamu akan ada dalam masalah!” “Jadi siapa yang bersembunyi di balik siapa? Aku yang bertameng Mas Agni atau kamu yang memanfaatkan keberadaan Angkasa saat ini?” Sarkas gadis berusia delapan belas tahun tersebut.“Dengar, wanita sial! Aku disini bukan menumpang, aku masih bekerja mencari uang, bukan seperti dirimu.”“Kau belum pikun, kan? Apa kau lupa kalau kau yang sudah membuatku dipecat dari pekerjaanku dan setiap tempat yang kudatangi pasti menolak resume-ku.”“Bagus, artinya mereka tahu cara memilih kualitas SDM,” sergah Karina cepat menanggapi kesu
Siang hari yang terik, Jingga berjalan memasuki rumah dengan lunglai. Lagi-lagi resume-nya ditolak semenjak kasusnya dengan Karina waktu itu, nama baiknya hancur berantakan dan tidak satupun tempat yang mau mempekerjakannya. Ia hanya bisa menghela napas panjang meratapi hidup yang tak adil. “Damn!” umpat Jingga sambil menghempaskan surai ikalnya. “Kalau saja aku nggak memikirkan nama baik orang lain, ingin rasanya menjambak rambut panjang Karina. Demi Tuhan, aku sudah lelah tidak dihargai orang lain.” “Lain kali jambak saja, Non!” bisik seseorang dari balik punggung Jingga. “Duh Gusti!” seru Jingga terkejut. “Kalau ngomong jangan dari belakang dong! Jantungku cuma satu, kalau copot nggak ada gantinya!” “Namaku Dian, Non! Bukan Gusti,” protes sang pelayan sambil memanyunkan bibirnya. “Ya nggak gitu juga maksudnya, Diaaaaaan! Kamu tuh ngagetin, bisa nggak kalau bicara dari depan, jangan tahu-tahu ngomong di deket telinga orang!” omel Jingga nyerepet panjang. “Hehehe... maap, Non.
“Selamat atas pertunangan kalian, semoga akur-akur. Jangan kaya anjing dan kucing terus.” Angkasa hanya memutar matanya jengah, sebab Irfan dengan sengaja menggodanya. Sedang Jingga memilih untuk diam tak menyahuti sahabat dari tuangannya.“Fan! Jangan cari masalah!” tegur Angkasa. “Kak Irfan, ngomong-ngomong dimana teman kalian yang perempuan? Bukankah jika ada kalian bertiga pasti ada dia?” tanya Jingga mengalihkan pembicaraan. “Oh, itu... Karina malam ini ada part-time jadi nggak bisa datang, maklumlah keadaan finansialnya dia agak berbeda dari kami,” jawab Irfan hampir benar. Karena kenyataannya Karina sama sekali tidak diterima di acara tersebut, sehingga Angkasa memutuskan untuk tidak memberitahunya.“Hoo... Bukannya dia punya sahabat yang siap jadi dompetnya, Kak?” Sindir Jingga sambil melirik kearah sang tunangan.“Kalau itu aku no comment deh, bisa hancur dunia persilatan kalau aku komentar.” Sahut Irfan mengamankan diri.“Kamu bisa manggil Irfan dengan sebutan ‘kakak’ tap
Ilana berdiri di depan cermin, membantu Jingga menata berdandan dan menata surainya dengan indah. Ia sendiri sudah mengenakan gaun ungu cantik untuk pesta malam ini.Sesuai dengan keinginan Agni, pesta pertunangan antara Angkasa dan Jingga digelar setelah kembalinya sulung Dirgantara dari perjalanan bisnis. “Kak, aku masih tidak yakin dengan perjodohan ini. Apa nggak sebaiknya dibatalkan saja?”“Keputusan Mas Agni sudah bulat, Ngga. Aku sendiri masih belum paham alasannya apa, tetapi Mas masih belum mau jawab pertanyaanku. Terakhir dia cuma mengatakan kalau Angkasa membutuhkan seseorang seperti kamu untuk berada di sampingnya.”“Tetapi, ini beneran nggak rasional, Kak. Dari mana datangnya keteguhan Mas Agni kalau nggak ada alasan.”“Kalau masalah alasannya kamu bisa tanya langsung saja ke Mas Agni, dia malah bilang aku harus nunggu kamu cerita baru dia bisa menjelaskan alasannya, cuma cerita apa aku juga nggak tahu pasti.” “Serius, Kak. Aku bingung dengan penjelasan Kak Lana yang mu
“Ilana, besok siang Mas harus berangkat ke luar pulau buat ngecek bahan mentah yang baru datang sekalian ketemu sama pihak vendor, mungkin sekitar satu sampai dua minggu. Kiranya kamu bisa menangani situasi dirumah atau nggak?” tanya Agni ketika berbicara berdua dengan sang tunangan di ruang kerjanya.“Bisa, Mas. Mas Agni bisa pergi dengan tenang, masalah dirumah biar aku yang handle,” Jawab Ilana yakin. “Memang sih agak rumit, terutama di Jingga yang masih dalam masa pemulihan, ditambah kamu yang bikin masalah baru dengan mencoba menjodohkan dia dengan Angkasa. Tetapi, sejauh ini masih bisa kuatasi.”“Nanti kuminta Lukman dan Bayu untuk stay di rumah selama aku nggak ada. Aku nggak mau kejadian seperti tempo hari dimana Jingga hampir kabur dari rumah.” Ujar Agni sambil meletakkan kaca matanya. “Iya juga, kok aku nggak kepikiran sampai sana.”Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar, menginterupsi pembicaraan mereka. “Mas, ini Angkasa. Boleh aku masuk?”“Masuk!” sahut Agni datar. Se
“Semua ini gara-gara kamu! Kamu pasti sudah mencuci otak Masku sampai dia memiliki ide gila!” ketus Angkasa memulai perdebatan. Namun, sebelum mengucapkan kalimat pedasnya, Angkasa lebih dahulu menilai situasi. Takut-takut bila sang Kakak atau Kakak Ipar ada dirumah. “Sorry lah ya, kamu pikir aku sudi ditunangkan sama cowok bermulut ember seperti kamu?! Otakku belum konslet, sekalipun di dunia ini sisa kamu doang sebagai ‘the last choice' aku ogah!” Sahut Jingga sama sengitnya. “Kalau bukan lalu apa? Sadar diri dong dikit, dari numpang kok malah mau jadi tuan rumah.” “Sudah kubilang kalau aku tidak berminat, tetapi Mas Agni yang memaksaku untuk stay disini, walaupun aku bekerja diluar, ” Jingga menyahut dengan nada tinggi. “Oh ya, masalah pekerjaan, thanks to you! Karena mulut ember temanmu itu aku jadi dikeluarkan dari pekerjaanku!” “Bagus! Artinya Cafe itu tahu caranya menjaga reputasi. Lagi pula kalau memang nggak berminat kenapa juga kamu bikin masalah! Karena kamu, Karina jad
Agni, Ilana dan Lexy kembali berkumpul dalam satu forum, ketiganya bertemu dalam rangka pembahasan masalah Jingga yang masih menjadi tanda tanya, juga pertunangan antara Angkasa dan Jingga yang diputuskan sepihak oleh Agni sendiri.“Hm... rupanya kamu udah jadi gila juga, Ni? Kok ya sempet-sempetnya mikir untuk menunangkan Jingga dan Angkasa, padahal kamu tahu persis kalau mereka itu kalau ketemu mirip anjing dan kucing,” ujar Dokter Lexy membuka pembicaraan.“Aku setuju sama Mas Lexy kalau Mas Agni sudah kehilangan akalnya,” sambung Ilana menyetujui pendapat sang Dokter. “Jingga itu baru saja sembuh, Ni. Panjang lho perjuangan kita buat ngebangun pribadi Jingga yang sekarang. Kamu kok malah bikin semua yang sudah tersusun rapi jadi berantakan lagi?” “Bukan tanpa alasan aku ngambil keputusan ini, cuma mungkin waktunya saja yang kurang pas,” jawab Agni tenang. “Alasannya apa, Mas? Please, cukup Jingga yang bikin aku pusing dengan kalimat-kalimat misteriusnya, kamu nggak usah ikut-ik
“Mas Agni! Sakit! Tolong lepasin, Mas!” hiba Karina. “Angkasa! Tolong aku!” “Keluar! Aku nggak butuh orang bermulut sampah di rumah ini!” hardik Agni sambil menghempas Karina keluar.“Mas! Bisa nggak pelan sedikit, dia itu perempuan!” Tegur Angkasa."Lalu kenapa kalau dia perempuan? Memangnya Jingga bukan perempuan? Mulutmu itu yang mirip mulut perempuan, doyannya ngerumpi!” “Salah aku dimana, Mas Agni? Aku cuma mengatakan kejujuran, kalau perempuan itu bukan perempuan baik-baik!” kata Karina membela diri. Susah payah gadis dua puluh tahun itu bangkit sendiri tanpa ada orang yang membantu.Irfan dan Sukma hanya menonton drama, keduanya enggan terlibat terutama ketika Agni sudah marah. Mereka yang berteman dengan Angkasa semasa masih SMA sudah paham dengan karakter Agni yang tidak bisa diganggu saat marah.“Karina, apa pikirmu itu kamu lebih baik dari Jingga? Apa kamu seorang Athena yang tak tersentuh, seorang gadis suci? Jangan munafik kamu!” cecar Agni pada teman dari sang adik, pe