Bab133Rebecca mengernyit."Benar dengan nona Rebecca?" "Hhmm, ya. Siapa? Sepertinya saya tidak mengenal Anda," kata Rebecca pelan. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Zacob White.Rebecca mengangguk pelan. Lelaki itu pun duduk, sembari tersenyum.Zacob berusaha menebarkan pesonanya. Lelaki itu lumayan tampan, hanya saja begitu angkuh."Kamu terlihat sedih," gumam Zacob, membut Rebecca mengalihkan pandangannya dari Jeremy dan Desca yang sedang duduk di singgasana pelaminan mereka.Rebecca menoleh ke arah Zacob. "Apakah Tuan sedari tadi memperhatikan saya?" tanya Rebecca dengan tatapan datar."Tidak, hanya saja penasaran! Kamu nampak cantik. Tapi sayangnya, matamu terlihat banyak anak air menggenang.""Dari mana Tuan tahu nama saya?" Rebecca terus melayangkan pertanyaan."Hhmm, kamu asistennya Jeremy kan?" Bukannya menjawab, Zacob malah balik bertanya."Ya." Rebecca menjawab singkat."Tentu saja saya tahu nama kamu! Siapapun yang mengenal Jeremy, pasti juga mengenal kamu."Sungguh tida
Bab134Di kamar pengantin, Desca terdiam, ketika sosok Jeremy memasuki kamar."Kenapa belum mandi?" tanya Jeremy, kepada Desca yang masih duduk menghadap meja riasnya."Aku ingin bicara serius!" sahut Desca, kemudian wanita itu berbalik badan, menghadap ke arah Jeremy.Lelaki itu pun mengambil posisi duduk di atas ranjang pengantin mereka."Hhmmm, ada apa?"Desca menatap lekat wajah tampan Jeremy. Rasanya sangat sulit, jika dia harus jujur dengan keadaannya yang sudah berbadan dua.Tapi jika kelak Jeremy tahu bagaimana? Desca merasakan dilema sangat mengganggunya."Apakah kamu baik- baik saja dengan pernikahan ini? Aku butuh jawaban jujur," kata Desca.Jeremy tersenyum. "Untuk apa di bahas lagi, kita sudah sah menikah. Jalani saja, hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini."Desca menarik napas berat. "Maaf, aku telah membuatmu seperti ini. Aku pun tidak paham jalan pikiran Momy, yang begitu kekeuh menikahkan kita.""Ya, mau bagaimana lagi. Cepatlah mandi, agar kamu bisa fresh. Setela
Bab135Panggilan telepon pertama tidak terjawab, kedua hingga ketiga, barulah suara parau di sebrang telepon terdengar."Ya, Tuan." Suara itu tampak lemah dan terdengar kecil sekali."Rebecca, bagaimana perkembangan kantor?""Semua sudah saya laporkan melalui email, Tuan." Suara Rebecca dan bahasanya terdengar kaku."Rebecca, apakah kamu baik- baik saja?""Menurut Tuan bagaimana? Apakah saya sedang dalam keadaan sekarat?""Mengapa bahasamu seperti itu?""Diluar jam kerja, Anda bukan bos saya.""Saya rindu," lirih Jeremy."Rindu? Bulshit.""Serius.""Terserah! Jika tidak ada hal yang begitu penting, jangan hubungi saya lagi. Nikmatilah malam pengantin Anda dengan baik, biarkan wanita bodoh seperti saya meratapi nasib yang terluka meski tak berdarah.""Maaf," lirih Jeremy hingga sambungan telepon Rebecca matikan."Brengsek!! Kamu jahat Tuan, jahat ...." Rebecca meraung sembari menghamburkan seluruh isi kamarnya."Ibu, ini rasanya sakit sekali, bahkan membayangkannya saja, aku nyaris keh
Bab136"Nggak apa- apa, hanya masalah pekerjaan."Desca meletakkan rantang bawaannya."Makan bareng yuk," ajak Desca ramah. Jeremy menatap wajah istrinya itu, wanita yang baru tiga hari ini menjadi istrinya.Bahkan, Jeremy belum menyentuhnya sama sekali. Dia masih merasa enggan, untuk melakukannya. Desca pun nampak berusaha mengerti dan tidak pernah menanyakan apapun pada Jeremy. Hanya saja, dia pernah menceritakan hal ini pada sang Ibu."Apa? Desca, kamu harus tidur dengannya. Jika tidak, anak dalam kandunganmu itu, akan ketahuan bukan anaknya.""Jadi bagaimana My. Jeremy selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kalau Desca yang ngajak duluan kan tidak mungkin," sahut wanita itu."Kamu harus ambil hatinya. Jeremy itu kalau Ibu lihat lelaki yang baik dan pengertian, dia juga bukan laki- laki arogan yang sulit untuk diambil hatinya. Hanya saja, mungkin dia segan untuk memulai.""Kasih saran yang benar lah, My. Mana mau Desca minta duluan," seru wanita itu lagi."Kamu pakai pakaian seksi dong
Bab137"Saudara kembar?" Nyonya Jovanka terkejut."Benar, Mom. Dia lama menghilang, setelah kejadian beberapa tahun lalu, perusahaan keluarga mengalami kebangkrutan. Saya hanya punya dia dan Zaki sebagai keluarga. Tapi saat saya pergi keluar kota, mereka di bantai pembunuh, yang sampai sekarang kasusnya tidak jelas. Semua anggota yang ada di rumah di bantai habis. Hanya Case dan anaknya yang menghilang."Jeremy mengusap wajahnya. "Saya nyaris frustasi mencari jejak mereka. Setiap malam saya menangis dan memohon maaf kepada mendiang Ibu saya, atas segala kelalaian dalam menjaga Case. Tapi hari ini, saya melihat dia hidup dengan baik, tanpa berniat menemui saya sama sekali, mendadak perasaan ini begitu emosi.""Oh kasus pembunuhan keluarga Welas itu, bukan?""Benar, Mom." "Oh Tuhan, jadi itu keluargamu?""Iya, Mom. Sebagai laki- laki, aku merasa gagal melindungi kakak dan ponakanku."Nyonya Jovanka menghela napas berat. "Jadi kasusnya menguap begitu saja?"Jeremy mengangguk lemah. "Tid
Bab138"Maaf," lirih Desca, 1 tetesan air mata jatuh di pipinya. Desca berniat berbalik namun Jeremy meraih tangan wanita itu."Aku masih perlu waktu," kata Jeremy membuat Desca menarik tangannya dan berlari ke atas ranjangnya.Desca memasukan dirinya ke dalam selimut. Wanita itu menangis sesegukan, menahan rasa malu karena penolakan Jeremy.Bukan hanya perasaan malu, tapi juga perasaan kuatir dengan keadaan perutnya kini yang sudah berusia 1 bulan lebih.Jeremy kembali merasa bersalah. Mau berapa orang wanita lagi, yang akan dia kecewakan.Desca dan nyonya Jovanka begitu baik kepadanya, akan sangat tidak tahu malu, jika dia malah menyakiti hati Desca.Lelaki itu pun mendekati Desca, yang masih menangis dalam selimut. "Desca," lirih Jeremy.Namun wanita itu mengabaikannya, dan masih saja terus menangis. Jeremy menarik pelan selimut itu, hingga terlihat wajah Desca yang memerah dan juga basah air mata.Jeremy tersenyum dan naik ke atas ranjang.Dengan perlahan, Jeremy membalikkan tubu
Bab139"Tidak." Rebecca menggeleng."Jadi mengapa wajahmu pucat begini? Dan bolak- balik kamar mandi?"Rebecca menarik napas, sembari menahan perasaan mualnya."Saya mengundurkan diri, nanti berkasnya akan saya serahkan besok," sahut Rebecca pelan."Rebecca! Jangan memancingku. Ada apa sih sama kamu? Mengapa sikapmu masih seperti ini," bentak Jeremy. Rebecca mendongakkan wajah. "Hak saya bukan, untuk mengundurkan diri?" Rebecca berkata dengan suara dan bibir bergetar.Mata wanita itu kini berkaca- kaca. Dia sudah bertekad untuk kembali ke Negaranya. Dari pada di Negeri Fantasy, dia nyaris gila dalam bertahan.Patah hati sukses membuatnya hidup segan mati tak mau."Ya, kamu benar itu hak kamu! Setidaknya berikan saya alasan yang jelas, apa yang membuat kamu ingin mengundurkan diri? Apakah kamu membenci saya?""Saya tidak mungkin membenci, lelaki yang mencuri hati saya.""Lalu mengapa kamu berniat meninggalkan aku?" Jeremy bertanya, sembari menggenggam kedua tangan Rebecca."Lepas, kit
Bab140Jeremy melajukan mobilnya dengan terburu- buru, menuju apartemen Rebecca. Dadanya berdebar- debar, seakan sanga takut tidak bisa bertemu dengan wanita itu lagi.Perasaan kuatir mendominasi hatinya kini. Jeremy kini sangat ketakutan, jika Rebecca pergi dan menghilang dari hidupnya.Bagi Jeremy, Rebecca adalah penyemangatnya selama ini. Bukan hanya penyemangatnya, tapi Rebecca juga berjasa dalam memajukan perusahaannya. Sesampainya di parkiran apartemen, Jeremy keluar dari mobil dengan tergesa, berlari menuju pintu apartemen wanita itu. Jeremy membunyikan bel beberapa kali, sampai pintu terbuka. Sosok Rebecca telah rapi, tidak lagi mengenakan pakaian kantor."Ada apa, Tuan." Jeremy menatap lekat wanita di depannya dan mendorong kasar ke dalam.Jeremy menutup pintu apartemen itu, dan menguncinya. Rebecca terdiam, melihat tingkah Jeremy. Lelaki itu memasuki kamar, dan di sambut dua koper besar telah siap, di sisi tempat tidur Rebecca."Kamu mau kemana? Kenapa kamu seperti ini kep
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku