Bab2
"Elvina," tegur Joe, menatap tak suka dengan ucapan Elvina.
Elvina mendengkus dan membuang pandang dari Joe.
"Joe, kamu itu lelaki yang memiliki jabatan hebat di perusahaan itu. Apakah kamu tidak malu, membawa dia? Seluruh kota akan tahu, bahwa seorang Manager Giant Company Group, memiliki istri bodoh dan tidak berpendidikan seperti dia."
Perkataan nyonya Sabhira semakin tajam dan kejam. Wanita nyentrik itu sangat membenci Case, semenjak Aluna Welas dan Case Mowelas dibawa Tuan Bastara Wilianus ke rumah mereka.
"Kalau bukan karena ayahku, tidak akan sudi kuambil kau sebagai menantu."
Case hanya terdiam, dan berusaha menyabarkan diri, melapangkan dadanya sebisa mungkin. Case bertahan demi Ibunya, yang kini terbaring koma di rumah sakit.
Biaya sepenuhnya ditanggung keluarga Joe, begitulah permintaan terakhir Tuan Bastara pada Joe.
Hal itu pula, yang membuat Nyonya Sabhira, hingga saat ini, semakin murka pada Case.
"Kalian selalu saja ribut," keluh Joe mulai jengah dengan keadaan rumah.
"Siapa suruh dia mau jadi menantuku! Tidak sudi aku memiliki menantu miskin sepertinya."
"Ini murni permintaan Kakek. Lagi pula, aku dan Case hanya menghormati permintaan kakek."
"Mikirlah, Case dan kita itu berbeda. Sudahlah, kamu dan mendiang kakekmu sama saja."
"Iya, wanita miskin terus dibela." Elvina menimpali. "Yakin saja, dia hanya akan menjadi bahan olokan yang memalukan," lanjut Elvina.
*********
"Tidak usah tersinggung dengan mereka! Itulah konsekuensinya, terlalu percaya diri, untuk menjadi bagian dari keluarga Wilianus."
"Sudah biasa," jawab Case dingin.
"Seharusnya kamu menolak tegas dari awal. Hal semacam ini, tidak akan terus terjadi."
Perkataan semacam ini, nyaris setiap hari Case dengar. Hatinya teramat sakit, jika Joe sudah mengeluarkan kata-kata dinginnya semacam ini.
"Maafkan aku," lirih Case Mowales.
"Apa boleh buat. Kalau bukan karena warisan itu, mungkin aku pun tidak akan setuju menikahi kamu. Lagi pula, wanita sepertimu, sangat tidak menarik di mataku."
Case hanya menunduk, menahan rasa sakit yang selalu datang menyakitinya setiap hari.
"Aku tidak ingin datang."
"Kau harus datang," jawab Joe.
"Aku malu, dan tidak memiliki gaun."
"Aku sudah menyiapkannya. Kalau bukan sebuah kewajiban, aku pun enggan membawamu ke acara itu."
Case menghela napas berat.
"Jangan coba menyalahkanku, jika nanti aku membuatmu malu."
Joe hanya mendengkus, dan berjalan menuju keluar kamar.
Sementara di luar kamar, tepatnya di ruang keluarga. Nyonya Sabhira dan Elvina sedang berbincang.
"Kamu akan datang?" tanya Nyonya Sabhira pada Elvina.
"Tentu saja, aku diajak Mary dan Kakaknya."
"Mary, mantan kekasih Joe?"
Elvina menangguk. "Ya. Kami sudah menyusun rencana, untuk mengerjai Case," bisik Elvina, disambut kekehan pelan dari Nyonya Sabhira.
"Biar kakak malu sekalian, punya istri bodoh dan miskin itu."
"Ya, kamu benar. Kalau dia malu, dia akan secepatnya menceraikan wanita sialan itu," desis Nyonya Sabhira geram.
Elvina tersenyum jahat, membayangkan rencana kejamnya pada Case diacara perjamuan itu.
"Kamu harus bisa merayu lelaki kaya di tempat itu."
"Oh tentu saja. Terutama Tuan muda Jeremy, kabarnya lelaki itu bersikap dingin dan kasar."
"Tau dari mana?"
"Dari Mary. Kan, tunangan kakaknya."
"Tunangan Deslim?" Nyonya Sabhira sangat terkejut.
"Ya, Bu. Aku kalah cepat. Tapi, ini bukan masalah. Mereka belum menikah."
"Memangnya kakaknya Mary ada di Monarki?"
"Umm, iya. Baru balik seminggu yang lalu."
"Dari mana kenal Tuan muda itu?"
"Kurang tau." Elvina merasa kesal, karena sedari tadi menjawab pertanyaan dari ibunya terus.
******
Malam perjamuan pun tiba. "Kamu mau kemana?" tanya Nyonya Sabhira, ketika melihat Elvina sudah rapi, cantik dan berpenampilan begitu heboh.
"Kan perjamuannya malam ini."
"Ah, Ibu lupa. Kakakmu sudah pergi?"
"Sudah dari tadi. Bersama wanita miskin itu," jawab Elvina.
"Aku akan membuatnya menyesal malam ini," desis Elvina penuh kebencian.
"Ya, harus," jawab Nyonya Sabhira memberi semangat.
Istana kediaman Tuan muda Jeremy, di penuhi berbagai mobil-mobil mewah. Mata Elvina takjub, memandangi keramaian dan mobil-mobil mewah yang terparkir rapi itu.
"Mary, apakah jamuan malam ini, khusus orang-orang kaya?"
"Tentu saja. Semua yang datang malam ini, adalah orang penting semua. Jangan sia-siakan kesempatan ini, agar kamu tidak jomblo semasa hidup," ejek Mary terkekeh.
"Aku cantik, aku yakin banyak yang suka padaku," jawab Elvina percaya diri.
"Hahaha, baiklah," sahut Mary tertawa keras bernada ejekkan. Elvina bersikap bodo amat, dan keluar mobil dengan gaya layaknya orang penting.
Pandangannya menyapu takjub, seluruh pemandangan yang ditangkap mata Elvina.
"Andai aku nyonya istana ini, aku yakin, hidupku akan sangat indah." Elvina bergumam.
"Ayo jalan! Jangan terlalu memandangi seperti itu," tegur Mary. "Kamu bisa membuatku malu," bisiknya.
"Ah, maaf," sesal Elvina. Mereka pun berjalan, menuju tempat acara perjamuan.
Tempat yang teramat mewah, dan menampilkan para tamu, yang bukan dari kalangan orang biasa.
Elvina sangat merasa beruntung, bisa datang ke tempat semewah ini.Acara penyambutan pun telah dimulai. Nama-nama karyawan berprestasi pun mulai disebutkan, juga para karyawan yang mendapatkan promosi jabatan pun tidak tertinggal.
Hingga nama Joe pun disebutkan, membuat lelaki itu tersenyum, dan berjalan menaiki panggung.
Dan Case pun berjalan menuju kolam renang, untuk menikmati keindahannya. Sementara menunggu Joe dengan berbagai pidatonya.
"El," senggol Mary.
"Ah, ya," sahut Elvina.
"Tuh, wanita sialan itu," kata Mary, menunjuk Case, yang sedang menikmati pemandangan di depan kolam renang.
"Dorong," lanjut Mary.
Elvina mengernyitkan dahi. "Yakin? Akan menjadi gaduh tempat ini," jawab Elvina.
"Biarkan saja."
"Bukankah diakhir acara, Tuan muda akan mengumumkan, rencana pertunangannya."
"Ya aku tahu. Tapi nggak apa-apalah, yang penting wanita itu menikmati rasa malu dan dinginnya kolam renang malam ini," ucap Mary penuh dendam.
"Baiklah." Elvina merasa ragu sebenarnya, tapi dia pun tidak begitu berani menolak permintaan Mary.
Pelan langkah Elvina, menuju ke arah Case. Dengan hati-hati, Elvina menyonggol Case, hingga membuat wanita itu terkejut dan hilang keseimbangan diri.
Bunyi gemercik air kolam renang yang begitu keras, menandakan sesuatu yang masuk ke dalamnya, membuat pasang mata para tamu, melihat ke arah kolam renang.
"Seseorang terjatuh ke kolam renang," kata Elvina tanpa dosa.
Joe yang berada di atas panggung pun, hanya melihat sesaat ke arah sana sesekali. Beberapa orang mendekat ke arah kolam renang itu.
Case Mowales yang tidak bisa berenang pun, hanya mampu berusaha untuk tidak tenggelam.
Hingga seorang lelaki tegap berpakaian toxedo berwarna putih, senada dengan celananya, tanpa berpikir panjang, masuk ke dalam kolam, membantu menyelamatkan Case.
Beberapa orang lainnya, membantu lelaki itu, menaikan Case dari kolam renang. Wanita itu nyaris pingsan, namun dia tetap bisa melihat, senyuman sinis dan mengejek dari wajah Elvina.
"Suatu saat, aku pasti akan membuatmu menyesal," batin Case.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya lelaki tampan itu pada Case. Wajah yang terpahat sangat sempurna, dan memiliki garis ketampanan seorang lelaki berkharismatik.
Case Mowales berusaha membuka mata. "Ya, aku baik-baik saja," jawab Case Mowales lemah.
"Khan, ada apa?" Lelaki berperawakan tinggi, dengan bobot badan sedikit ramping itu mendekat ke arah kerumunan.
Lelaki yang sekilas mirip dengan Case itu, menatap ke arah mereka.
"Wanita ini terjatuh ke kolam renang," jawab Khan.
"Oh. Bawa dia ke dalam, dan minta Bibi Sena membantu wanita ini berganti pakaian," titah lelaki itu.
"Saya tidak memiliki pakaian ganti," jawab Case Mowales lemah.
Suara wanita itu, membuat getaran di hati lelaki kurus itu. Ia menatap Case Mowales dengan seksama. Namun, wanita itu, seolah menyembunyikan wajahnya dengan beberapa helai rambut basah, yang menempel di depan wajahnya.
"Kenakan pakaian bi Sena, katakan perintahku," tegas lelaki itu. Khan menangguk, dan membimbing wanita itu, menuju ke dalam rumah.
Joe berdiri dari kejauhan, dan menatap kesal pada Case.
"Dasar ceroboh," gumam Joe. Lelaki itu tidak perduli sedikitpun dengan Case, bahkan dia bersikap seolah-olah, tidak mengenali wanitanya itu.
"Joe," sapa Mary, tersenyum manis pada Joe. Begitu juga dengan Joe.
"Selamat, sudah mendapat penghargaan malam ini." Mary memeluk lengan Joe.
"Terimakasih," jawab Joe seadanya.
"Malam ini, kakaku akan bertunangan dengan pewaris Giant Company Group ini," bisik Mary.
"Oh ya?" Joe terkejut. "Siapa kakak kamu?" Joe selama ini, memang tidak begitu mengenali saudara Mary yang lainnya.
"Nah, itu dia," tunjuk Mary. Ke arah wanita, yang mengenakan dress putih polos, dengan make up sederhana.
Wanita cantik, dengan tampilan yang elegan itu, berjalan anggun, menuju lelaki jakung yang berdiri tadi.
"Jeremy ...."
Lelaki itu pun menoleh. "Ah, kamu sudah datang," seru Jeremy, tersenyum manis ke arah wanita cantik itu.
"Cantik sekali kakakmu," gumam Joe, menatap kagum pada wanita itu.
"Apa? Jangan coba-coba menyukainya, Joe." Mary memberi peringatan. "Mereka itu sepasang kekasih, yang sudah lama terpisah jarak."
Joe mengabaikan Mary. Ia fokus, mengagumi sosok wanita di depannya itu, yang begitu sempurna di pandangan mata.
"Joe," panggil Mary. Joe menoleh ke arah Mary.
"Apa?"
"Istrimu," tunjuk Mary ke arah Case Mowales. "Wanita itu, memang terlahir sebagai wanita miskin yang menyedihkan. Bahkan saat di bawa ke acara penting semacam ini, malah mengeluarkan aura babunya di tempat ini. Apakah kamu tidak merasa malu," kekeh Mary, melihat penampilan Case yang menyedihkan.
Joe pun merasa kesal, dan melepaskan tangan Mary dari lengannya. Dengan sedikit perasaan tersulut emosi, Joe mendekati Case, yang berdiri di kerumunan para tamu.
"Case, baju siapa yang kamu kenakan ini?"
Case terkejut, melihat Joe yang nampak begitu marah padanya.
"Maafkan aku, tadi aku tercebur ke kolam renang. Gaunku basah, jadi bi Sena meminjamkanku baju ini."
"Memalukan sekali," desis Joe.
"Hahaha, dasar pembantu. Mau bagaimana pun kamu dipoles cantik, aura babumu itu sangat jelas," kekeh Mary, yang ternyata berjalan mendekati Joe.
Elvina mengamati mereka dari kejauhan.
"Lebih baik kamu pulang," kata Joe pada Case.
"Bagaimana aku pulang? Aku bahkan tidak memiliki uang," ungkap Case.
"Tidak punya uang? Miskin kok bisa banyak gaya," cibir Mary semakin kejam.
"Mary, ada apa?" tanya sang kakak, yang mendekati mereka, bersama lelaki itu.
"Tuan Jeremy," sapa Joe menunduk hormat.
Jeremy hanya mengulas senyum.
"Kak, ini dia, wanita yang merebut kekasihku," bisik Mary pada sang kakak.
"Jeremy, apakah kamu mengundang wanita seperti ini ke acara perjamuan besar ini?" tanya wanita itu, pada calon tunangannya.
"Bukan. Aku tidak tahu, dan tidak kenal?" Jawab Jeremy, sembari memandang lekat wajah wanita, yang menunduk di depannya itu.
"Maaf Tuan, saya yang membawanya ke acara ini, hanya sebagai teman. Dia, pengasuh Mama saya," sahut Joe.
Hati Case Mowales bagaikan teriris sembilu, mendengar ucapan Joe pada Jeremy.
"Oh. Lain kali, bawalah wanita yang berkelas dan sesuai dengan kelebihanmu," timpal tunangannya Jeremy itu.
Case hanya terdiam, menerima perkataan-perkataan tajam mereka dengan lapang dada.
"Baik, Nona," sahut Joe mantap, sembari tersenyum manis pada wanita cantik itu.
Fokus Jeremy memandangi dalam, kepada Case Mowales. Membuat Case merasa sedikit canggung dan gugup. Ia sangat gugup, mendapati tatapan penuh selidik, yang Jeremy layangkan padanya.
"Halo," sapa Jeremy. "Apakah kita saling mengenal?" tanya Jeremy pada Case Mowales. Membuat debaran jantung Case melaju cepat.
"Bagaimana mungkin anda mengenalnya Tuan. Ini kali pertama, saya membawanya keluar rumah. Biasanya, setiap harinya selalu di rumah saja," sela Joe, menjawab pertanyaan Jeremy pada Case.
Jeremy berusaha percaya, meskipun rasa penasarannya, terus menuntutnya, untuk menatap wajah Case semakin dalam.
Bab3"Maafkan saya, saya sudah membuat kegaduhan di acara Tuan." Masih dengan posisi menunduk, Case memberanikan diri bersuara."Joe, bawalah dia pulang," titah Jeremy."Baik, Tuan." Joe menjawab dengan berat hati sebenarnya, sebab dia, belum sempat menikmati acara dan berbincang dengan orang-orang penting lainnya.Apalagi di acara besar ini, banyak di hadiri, para tetua dan pemegang saham lainnya. Sangat di sayangkan sekali, jika Joe pulang lebih awal, tanpa sempat menjual wajahnya ke beberapa orang penting di jamuan malam ini."Ketua," desah tunangan Jeremy.Jeremy pun menoleh, sang ayah pun mendekat dengan senyuman di wajahnya dengan wanita cantik di samping lengannya. Diikuti Khan, yang sudah berganti pakaian."Halo cantik," sapa pemilik Giant Company Group itu, pada tunangan Jeremy."Jeremy, apakah acara pertunangannya masih lama? Mama akan membawa Papa untuk beristirahat."Wanita yang menyebut dirinya M
Bab4"Hei, Joe, baru pulang?" tanya Mary. Ia pun bangkit, dan berniat memeluk lelaki itu.Namun Joe, menghindari Mary."Joe?" Alis Mary bertaut, menatap heran pada sikap Joe."Mary, bukan di sini tempatnya.""Apa masalahnya? Bukankah kita sudah sepakat, untuk berdamai? Apa kamu takut, wanita miskin itu akan cemburu?" Mary membrondong Joe dengan beragam pertanyaan, disertai dengan tuduhan."Mary, duduklah, aku mau membersihkan diri dulu," pinta Joe. Mary sebenarnya teramat kesal, namun dia pun tidak ingin membuat kesalahan lagi.Dia baru kembali ke kehidupan Mary, setelah sebulan lamanya, mereka memutuskan untuk break. Mary memang tidak banyak menuntut lagi, dia berusaha untuk mengerti.Namun kebenciannya pada Case Mowales, itu sangatlah besar."Dasar perempuan penggoda, jika aku tidak tahan lagi, akan kubunuh dia dengan tanganku," batin Mary.Mary berusaha tenang, dan memberikan senyuman penuh pengertian. "Oke Joe,
Bab5"Sudahlah, aku sudah kenyang," ucap Joe sambil berdiri dari duduknya.Mary menelan saliva, dia sadar akan kesalahannya kini, terlalu terbawa perasaan, sehingga memaksakan kehendak dan berakhir menuduh Joe seenaknya.Melihat aura dingin yang Joe tampilkan, Mary tahu, lelaki itu sangat marah kepadanya."Maaf," lirih Mary. Tapi Joe hanya mendengkus, dan meninggalkan meja makan.Elvina terdiam, dia pun tahu Kakaknya begitu marah. Karena meninggalkan makanannya tanpa di habiskan sama sekali."Mary, biarkan Joe tenang dulu," ucap nyonya Sabhira. Mary menoleh ke arah nyonya Sabhira, dengan wajah mengiba, memohon pertolongan."Sabar dulu," lanjut nyonya Sabhira.Usai masuk ke dalam kamar, Joe tercenung sesaat. Bagaimana keadaan Case sekarang ini? Dia keluar dengan panik di malam hari begini.Pikiran Joe mendadak kalut, dia pun akhirnya meraih jaket, dan juga kunci mobil. Biar bagaimana pun juga, Case adalah istr
Bab6Joe dan Case Mowelas berjalan menuju mobil. Case Mowelas tidak berani beradu pandang dengan Joe, dia hanya menunduk, dan berjalan di belakang lelaki itu.Case Mowelas berniat membuka pintu mobil tengah. Ini kali pertama, dia menaiki mobil Joe, setelah 6 bulan pernikahan."Mau ngapain? Kamu pikir aku supirmu?" tanya Joe, sembari menatap dingin wajah Case Mowelas."Maaf," lirih Case. Wanita itu pun bergegas, membuka pintu samping kemudi.Keduanya memasuki mobil, masih dalam suasana hening. Hingga mobil melaju, meninggalkan parkiran rumah sakit."Sejak kapan, kamu begitu dekat dengan Tuan Khan?" tanya Joe membuka percakapan."Barusan," jawab Case Mowelas singkat."Jangan coba membohongiku, Case. Aku melihat kalian begitu akrab dan juga dekat. Bahkan, lelaki itu nampak menaruh perhatian khusus," kata Joe dengan suara dingin."Aku berkata apa adanya," jawab Case."CASE ...." Joe berteriak. "Jangan memancingku! Kam
Bab7Joe tersenyum nakal, ketika merasakan tubuh Case gemetaran. "Kau ketakutan padaku? Bukankah kita suami istri," goda Joe, membuat Case semakin panik."Ini sungguh tidak lucu," ungkap Case dengan wajah tegang.Joe Wilianus terkekeh. "Kau sangat percaya diri, kau pikir aku akan menyentuhmu? Oh Nona yang tidak jelas asal-usulnya, cepatlah bantu aku membersihkan punggung dengan segera! Sebab aku merasa kotor terlalu lama di dekatmu," ejek Joe Wilianus, membuat Case Mowelas menarik napas dalam.Kata-kata seperti ini, memang sering Joe Wilianus dan keluarganya katakan pada Case. Case hanya bisa terus menyabarkan diri, dan mematuhi ucapan Joe layaknya seorang tuan."Apakah kamu menyukai Khan?" tanya Joe tiba-tiba, kala Case Mowelas dengab cekatan menggosok pelan punggung kekar lelaki di depannya."Biasa saja, aku tidak begitu mudah menyukai orang.""Oh ya? Kesannya harga dirimu begitu tinggi," ejek Joe, sembari terkekeh.
Bab8Melihat Case Mowelas yang sedang menyantap sarapannya dengan santi, membuat emosi nyonya Sabhira memuncak."Dasar pembawa sial," teriak nyonya Sabhira, sembari meraih piring dari tangan Case, dan memukulkannya ke kepala wanita itu."Aawwwww ...." Case Mowelas menjerit kesakitan."Dasar pembawa sial," teriak nyonya Sabhira. Wanita tambun itu berniat memukul kembali, namun Elvina bergegas meraih tangan Ibunya."Bu, jangan lakukan itu," kata Elvina. "Nanti kita akan bermasalah," lanjutnya dengan memegang erat tangan nyonya Sabhira."Lepaskan! Biarkan kubunuh saja wanita sialan ini. Dia dan Ibunya sama saja, hanya menjadi benalu di rumah ini, dasar miskin," teriak nyonya Sabhira dengan emosi meledak-ledak."Jangan kotori tangan Ibu! Untuk apa semarah ini," ucap Elvina menenangkan. "Sudah tau dia bodoh, mau Ibu pukuli seperti apapun, dia tidak akan bercerai dari kakak. Karena apa? Hidupnya hanya akan menjadi pengemis jalanan, da
Bab9Panik, Angela Alexander sekarang panik. Bahkan melihat suaminya begitu antusias dengan kabar ditemukannya Aluna Welas, membuat hati Angela Alexander terasa sakit."Istriku," seru Wiliam Alexander, ketika menoleh ke arah Angela, yang sedang menyisir rambutnya di depan meja rias."Hhmmm ...." suara Angela terdengar berat."Apakah tidak masalah, jika aku keluar sebentar?""Untuk menemui masa lalumu?" tembak Angela tanpa basa-basi. Wanita itu masih sibuk dengan rambutnya di depan cermin."Hhmm, kupikir kamu sudah mendengar dengan jelas tadi. Baiklah, aku akan membawa beberapa anak buah, untuk menemuinya, apakah kamu ingin ikut?""Tidak.""Kenapa? Bukankah dia kerabatmu?"Angela menghela napas berat, dan meletakkan sisirnya di atas meja. Wanita itu, mengalihkan pandangannya dari cermin, dan menghadap Wiliam Mose, yang duduk di atas ranjang, dan menyandarkan dirinya di dipan."Suamiku, kamu pikir aku wanita k
Bab10"Aluna ...." Wiliam terkejut.Lelaki itu menggenggam erat tangan Aluna, berharap wanita yang teramat dia rindukan itu mau bangun dan melihatnya."Percepat laju mobilnya, aku ingin segera lekas sampai," teriak Wiliam. Mata lelaki itu berbinar bahagia, diliputi sejuta harapan, akan kesembuhan Aluna Welas dari koma.Anak buahnya pun melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Hingga mereka sampai di rumah sakit tujuan, yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap, dengan beberapa orang dokter yang telah diakui keahliannya di bagiannya masing-masing."Siapkan fasilitas terbaik di rumah sakit ini, aku ingin Nyonya ini segera sembuh!" titah Mantako Jordan kepada para perawat dan dokter rumah sakit tersebut.Semua perawatan dan fasilitas terbaik mereka kerahkan. Wiliam Alexander begitu berharap penuh, untuk kesembuhan Aluna Welas."Jordan, kau harus memastikan, bahwa Nyonya Welas mendapatkan penanganan terbaik, oke!" tegas Wiliam pada
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku