Bab3
"Maafkan saya, saya sudah membuat kegaduhan di acara Tuan." Masih dengan posisi menunduk, Case memberanikan diri bersuara.
"Joe, bawalah dia pulang," titah Jeremy.
"Baik, Tuan." Joe menjawab dengan berat hati sebenarnya, sebab dia, belum sempat menikmati acara dan berbincang dengan orang-orang penting lainnya.
Apalagi di acara besar ini, banyak di hadiri, para tetua dan pemegang saham lainnya. Sangat di sayangkan sekali, jika Joe pulang lebih awal, tanpa sempat menjual wajahnya ke beberapa orang penting di jamuan malam ini.
"Ketua," desah tunangan Jeremy.
Jeremy pun menoleh, sang ayah pun mendekat dengan senyuman di wajahnya dengan wanita cantik di samping lengannya. Diikuti Khan, yang sudah berganti pakaian.
"Halo cantik," sapa pemilik Giant Company Group itu, pada tunangan Jeremy.
"Jeremy, apakah acara pertunangannya masih lama? Mama akan membawa Papa untuk beristirahat."
Wanita yang menyebut dirinya Mama itu, membuat Case Mowales mendongakkan wajahnya.
"Wanita itu," gumam Case dalam hati. Tangannya mengepal tinju, menahan gejolak amarah di dalam dadanya kini.
"Belum, sebentar lagi."
"Tunggulah saat Ibuku benar-benar sudah sadar, kamu tidak akan kuampuni," teriak Case, masih dalam hati. Wanita itu tidak memiliki keberanian, untuk berteriak lantang di depan lawannya.
Mereka semua berjalan menuju tempat duduk vip. Sembari menunggu sesi yang di tentukan, untuk pengumuman, acara pertunangan Jeremy.
Dikejauhan, Case memandangi pilu, melihat tawa lebar keluarga kaya itu. Sedangkan dirinya, harus menahan perih setiap harinya.
Hinaan dan cacian, bagaikan makanan sehari-hari Case Mowales.
"Tunggu apalagi? Ayo keluar duluan! Aku malu, jika harus berjalan beriringan sama kamu," tekan Joe, dengan tatapan marah.
Case Mowales pun mengangguk pasrah. Dengan langkah terseok, dia berjalan menuju pintu keluar. Pikirannya mengembara tidak karuan.
Bahkan di dalam mobil pun, Case dan Joe saling diam. Mereka, terbaui dengan pikirannya masing-masing.
____Case yang memasuki istana besar Wiliam pun menyisir seluruh ruangan dengan lekat.
"Bagaimana bisa, kamu melompat ke kolam itu? Sedangkan kamu tidak bisa berenang?" Lelaki yang bernama Khan itu bertanya.
"Aku disenggol seseorang."
"Kamu terlalu ceroboh," desis lelaki itu.
Wanita itu menghela napas berat.
"Apakah semua lelaki sama? Pandainya hanya menyalahkan orang saja," keluh Case dengan suara pelan.
Lelaki itu memanggil bi Sena, dan meminta bi Sena mengurus keperluan Case.
"Pinjamkan saya baju sederhana saja, Bi."
"Tapi Nona, baju anda terlihat mahal."
"Tidak masalah."
"Turun," bentak Joe. Membuyarkan lamunan Case.
"Iya," sahut Case dengan suara lemah. Mereka pun keluar mobil, dengan wajah Joe yang nampak tidak bahagia malam ini.
"Kau sudah pulang?" tanya Nyonya Sabhira, ketika melihat Joe dan Case Mowales, memasuki rumah.
"Ya," sahut Joe malas.
"Kenapa wanita ini, berpakaian babu begitu?" tanya Nyonya Sabhira lagi, menatap heran pada Case, yang berpakaian biasa.
"Tanyakanlah pada orangnya, Joe capek!" sahut Joe malas, dan bergegas menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamarnya.
Case pun berniat menaiki anak tangga. Namun teriakkan nyonya Sabhira, menghentikkan langkahnya.
"Heh wanita miskin, apa yang terjadi di acara itu? Apakah kamu mengacaukan acara anakku?"
"Maafkan saya, Ibu." Hanya kata-kata itu, yang bisa Case ucapkan.
"Dasar memalukan! Sampai kapan, kamu akan mengacaukan keluargaku ini?" geram nyonya Sabhira, yang sangat murka pada Case.
Case hanya menunduk menahan perih di dalam dadanya. Jika bukan karena Tuan Bastara, mungkin Case pun tidak akan berani mengambil keputusan, menikah dengan Joe.
Meskipun ada perasaan kagum pada sosok lelaki itu. Tapi Case sadar diri, dia hanyalah wanita hina di mata mereka.
Ingin rasanya Case mengatakan identitas dirinya yang sebenarnya. Namun, mengingat pesan sang Ibu, Case harus menelan pahitnya buah dari kebohongan.
"Kita sudah dilupakan! Dan semua ini, berkat keputusan Ibu yang memang salah. Jadi, maafkanlah Ibu, Nak. Berusahalah, lupakan asal-usul kita, demi Ibu," pinta Aluna Welas saat itu.
Bahkan, dia telah mengganti nama Case Welas, menjadi Case Mowelas.
Lelaki berperawakan ramping itu, berdiri di balkon, memandangi indahnya kota Monarki dari ketinggian.
Lingkaran tangan seorang wanita, bergerak lembuat, memeluk erat tubuh Jeremy dari belakang.
"Deslim," seru lelaki itu.
"Huu'uumm ...." Deslim membenamkan wajahnya, di tengkuk leher jenjang milik Jeremy.
"Pemandangan yang indah," lirih wanita itu.
"Iya. Kamu senang?" Jeremy membalikkan tubuhnya, dan memegangi kedua pipi chuby milik Deslim.
"Tentu saja. Menjalani hubungan jarak jauh itu, tentu sangat tidak menyenangkan," ungkap Deslim.
"Ah, kamu benar."
"Jeremy, mengapa kamu sering tercenung? Apakah begitu banyak pekerjaan di kantor?"
Deslim bersikap begitu perhatian. Dan hal itu pulalah, yang membuat Jeremy menyukainya.
"Aku rindu Ibu," lirih Jeremy. "Juga saudara kembarku."
"Aku mengerti. Cobalah tenangkan dulu pikiranmu, dan bayangkan semua yang baik tentang mereka."
"Sudah 16 tahun, Ibu pergi tanpa alasan jelas. Bahkan, Papa sendiri, telah berusaha keras mencari keberadaannya. Tapi Ibu dan saudara kembarku, tidak kunjung bisa di temukan. Hanya saja, wanita yang diacara pertunangan kita malam itu, aku seperti melihat diriku sendiri."
"Maksud kamu?" Deslim menuntut penjelasan yang jelas.
"Wanita itu, garis wajahnya, nyaris mirip denganku. Hanya saja, dia selalu menyembunyikan wajahnya."
"Wanita beraura pembantu itu?"
Jeremy mengangguk, membenarkan tebakan Deslim.
"Kuharap dia bukan saudara perempuanmu. Memalukan sekali penampilannya malam itu," kata Deslim, membayangkan dengan tingkah jijik pada pikirannya sendiri.
"Tidak perlu berlebihan," tegur Jeremy malas berdebat.
___________
Case Mowelas memasuki ruang rawat inap sang Ibu. Di perhatikannya wajah cantik Aluna Welas, yang kini terbaring koma, di ranjang perawatan.
Case Mowelas meraih kursi, dan mulai berbicara pada Ibunya yang masih koma.
"Aku melihat jelas, raut wajah Papa, juga Jeremy yang nampak bahagia, juga baik- baik saja tanpa kita. Aku merasa iri rasanya, Bu."
Sembari memeluk lengan Aluna Welas, Case Mowelas menangis tersedu-sedu.
"Mengapa hidup ini tidak adil pada kita? Apa yang membuat Ibu, meninggalkan Papa begitu saja?"
Meskipun tidak kunjung mendapatkan respon pada orang yang koma. Case Mowelas selalu setia setiap hari, menceritakan tentang hidupnya pada sang Ibu.
Perjuangannya bertahan kuat, meskipun cacian dan makian, nyaris setiap hari Case Mowelas panen.
Dia tetap mengukir senyum dan harapan di wajahnya setiap pagi.
Case Mowelas berusaha yakin dan percaya diri, bahwa dibalik semua rasa sakit yang dia jalani kini, akan berbuah kebahagiaan nantinya.Seperti biasa, Case Mowelas akan pulang, ketika hari sudah mulai memasuki magrib.
Meskipun dengan berat hati, dia tetap menjalani ketentuan keluarga Wilianus dengan lapang dada.
"Mama sih setuju saja, jika Joe memilih kamu," ucap nyonya Sabhira.
Mendengar perkataan nyonya Sabhira, langkah Case Mowelas menuju daun pintu utama rumah Wilianus terhenti. Mencerna dan berusaha mengenali, dengan jelas pembicaraan mereka dari luar.
"Siapa yang di rumah?" batin Case. Ia melihat high heels cantik di depan rumah mertuanya itu.
"Sepertinya wanita itu datang lagi ke rumah ini," gumam Case pelan. Dia pun mengayun langkah, dan memasuki rumah.
"Case, sini!" pinta nyonya Sabhira.
Case pun mengangguk hormat, dan berjalan ke arah nyonya dengan lemah.
"Kau lihat dia," tunjuk nyonya Sabhira pada Mary. "Dia cantik, berpendidikan, juga dari keluarga kaya. Harusnya dia yang menjadi menantuku, bukan kamu," cibir nyonya Sabhira, di sambut kekehan keras dari Elvina.
"Nasib sial kak Joe, punya istri buluk begini," ejek Elvina, sembari tertawa keras.
Case Mowales menahan perih dihatinya lagi. Ingin sekali sebenarnya dia marah, tapi dia merasa tidak mampu melakukan hal itu. Demi Ibu yang masih butuh perawatan, dia harus rela menahan pahitnya cibiran dan hinaan.
"Tante sayang, jangan risau. Lagi pula, dengan adanya wanita ini, kalian tidak perlu menyewa pembantu lagi, ada dia," tunjuk Mary sembari tersenyum mengejek.
"Hahaha, ah betul juga," timpal Elvina.
Mereka bertiga tertawa terbahak, hanya Case Mowales yang terus berusaha kuat menahan diri.
"Apalagi Ibunya itu, hidup segan, mati tak mau," kata nyonya Sabhira lagi.
Membuat Case Mowales memilin ujung bajunya. Hatinya panas, sangat panas rasanya. Ibu kecintaannya, dihina-hina nyonya Sabhira. Dan dia sendiri, tidak mampu melawannya.
"Sudah sana kebelakang, muak saya melihat mukamu itu," bentak nyonya Sabhira.
Dengan langkah terseok, diiringi hati yang luka, Case Mowelas pergi menuju dapur.
"Mengapa mereka begitu ringan menghinaku," desah Case Mowelas. "Kemiskinan ini, membuat mereka seenaknya," lirih Case Mowelas, sembari berjalan menuju timpukkan piring.
"Kapan kamu akan meninggalkan Joe?" tanya Mary, membuat Case Mowelas tersentak. Ia yang sedari tadi sibuk mencuci piring pun menoleh ke belakang.
Mary menyandarkan tubuhnya ke dinding, sembari menyilangkan kedua tangan, dengan tatapan jijik mengarah Case Mowelas.
Case Mowales menghela napas berat, dan melanjutkan pekerjaannya.
"Kapanpun Joe mau, aku tidak keberatan. Kau tanyakan dulu padanya, apakah dia mau, menceraikan aku?" Case Mowales menjawab tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Angkuh sekali jawabanmu ini, seakan akan, Joe yang mau pernikahan ini."
Case Mowales menghentikan aktivitasnya. Dan menoleh ke arah Mary, yang terus mengoceh, mengganggu kerjaan Case.
"Ini fakta," tekan Case, kemudian dia tersenyum tipis, dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
Mary menghentakkan kaki dengan kesal. "Wanita gila," desis Mary, kemudian wanita berambut pirang itu pun pergi meninggalkan dapur, dengan amarah yang bergemuruh di dadanya.
"Kenapa?" tanya Elvina, ketika melihat wajah masam Mary.
"Iparmu itu sudah berani menyombongkan diri padaku."
"Menyombongkan diri? Yang benar saja. Apa kamu nggak bisa lihat? Dia sangat tidak sempurna dalam segala hal. Jadi, apa yang bisa dia sombongkan pada kamu?"
"Aku memintanya untuk melepaskan Joe. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu."
"Terus."
"Dia suruh aku tanyakan hal itu pada Joe. Seolah-olah, Joe yang tidak bisa pisah dengannya, menjijikan sekali, jika harus bersaing dengan wanita itu," desah Mary frustasi.
"Kenapa kamu ada di sini?" Suara bariton itu terdengar.
Bab4"Hei, Joe, baru pulang?" tanya Mary. Ia pun bangkit, dan berniat memeluk lelaki itu.Namun Joe, menghindari Mary."Joe?" Alis Mary bertaut, menatap heran pada sikap Joe."Mary, bukan di sini tempatnya.""Apa masalahnya? Bukankah kita sudah sepakat, untuk berdamai? Apa kamu takut, wanita miskin itu akan cemburu?" Mary membrondong Joe dengan beragam pertanyaan, disertai dengan tuduhan."Mary, duduklah, aku mau membersihkan diri dulu," pinta Joe. Mary sebenarnya teramat kesal, namun dia pun tidak ingin membuat kesalahan lagi.Dia baru kembali ke kehidupan Mary, setelah sebulan lamanya, mereka memutuskan untuk break. Mary memang tidak banyak menuntut lagi, dia berusaha untuk mengerti.Namun kebenciannya pada Case Mowales, itu sangatlah besar."Dasar perempuan penggoda, jika aku tidak tahan lagi, akan kubunuh dia dengan tanganku," batin Mary.Mary berusaha tenang, dan memberikan senyuman penuh pengertian. "Oke Joe,
Bab5"Sudahlah, aku sudah kenyang," ucap Joe sambil berdiri dari duduknya.Mary menelan saliva, dia sadar akan kesalahannya kini, terlalu terbawa perasaan, sehingga memaksakan kehendak dan berakhir menuduh Joe seenaknya.Melihat aura dingin yang Joe tampilkan, Mary tahu, lelaki itu sangat marah kepadanya."Maaf," lirih Mary. Tapi Joe hanya mendengkus, dan meninggalkan meja makan.Elvina terdiam, dia pun tahu Kakaknya begitu marah. Karena meninggalkan makanannya tanpa di habiskan sama sekali."Mary, biarkan Joe tenang dulu," ucap nyonya Sabhira. Mary menoleh ke arah nyonya Sabhira, dengan wajah mengiba, memohon pertolongan."Sabar dulu," lanjut nyonya Sabhira.Usai masuk ke dalam kamar, Joe tercenung sesaat. Bagaimana keadaan Case sekarang ini? Dia keluar dengan panik di malam hari begini.Pikiran Joe mendadak kalut, dia pun akhirnya meraih jaket, dan juga kunci mobil. Biar bagaimana pun juga, Case adalah istr
Bab6Joe dan Case Mowelas berjalan menuju mobil. Case Mowelas tidak berani beradu pandang dengan Joe, dia hanya menunduk, dan berjalan di belakang lelaki itu.Case Mowelas berniat membuka pintu mobil tengah. Ini kali pertama, dia menaiki mobil Joe, setelah 6 bulan pernikahan."Mau ngapain? Kamu pikir aku supirmu?" tanya Joe, sembari menatap dingin wajah Case Mowelas."Maaf," lirih Case. Wanita itu pun bergegas, membuka pintu samping kemudi.Keduanya memasuki mobil, masih dalam suasana hening. Hingga mobil melaju, meninggalkan parkiran rumah sakit."Sejak kapan, kamu begitu dekat dengan Tuan Khan?" tanya Joe membuka percakapan."Barusan," jawab Case Mowelas singkat."Jangan coba membohongiku, Case. Aku melihat kalian begitu akrab dan juga dekat. Bahkan, lelaki itu nampak menaruh perhatian khusus," kata Joe dengan suara dingin."Aku berkata apa adanya," jawab Case."CASE ...." Joe berteriak. "Jangan memancingku! Kam
Bab7Joe tersenyum nakal, ketika merasakan tubuh Case gemetaran. "Kau ketakutan padaku? Bukankah kita suami istri," goda Joe, membuat Case semakin panik."Ini sungguh tidak lucu," ungkap Case dengan wajah tegang.Joe Wilianus terkekeh. "Kau sangat percaya diri, kau pikir aku akan menyentuhmu? Oh Nona yang tidak jelas asal-usulnya, cepatlah bantu aku membersihkan punggung dengan segera! Sebab aku merasa kotor terlalu lama di dekatmu," ejek Joe Wilianus, membuat Case Mowelas menarik napas dalam.Kata-kata seperti ini, memang sering Joe Wilianus dan keluarganya katakan pada Case. Case hanya bisa terus menyabarkan diri, dan mematuhi ucapan Joe layaknya seorang tuan."Apakah kamu menyukai Khan?" tanya Joe tiba-tiba, kala Case Mowelas dengab cekatan menggosok pelan punggung kekar lelaki di depannya."Biasa saja, aku tidak begitu mudah menyukai orang.""Oh ya? Kesannya harga dirimu begitu tinggi," ejek Joe, sembari terkekeh.
Bab8Melihat Case Mowelas yang sedang menyantap sarapannya dengan santi, membuat emosi nyonya Sabhira memuncak."Dasar pembawa sial," teriak nyonya Sabhira, sembari meraih piring dari tangan Case, dan memukulkannya ke kepala wanita itu."Aawwwww ...." Case Mowelas menjerit kesakitan."Dasar pembawa sial," teriak nyonya Sabhira. Wanita tambun itu berniat memukul kembali, namun Elvina bergegas meraih tangan Ibunya."Bu, jangan lakukan itu," kata Elvina. "Nanti kita akan bermasalah," lanjutnya dengan memegang erat tangan nyonya Sabhira."Lepaskan! Biarkan kubunuh saja wanita sialan ini. Dia dan Ibunya sama saja, hanya menjadi benalu di rumah ini, dasar miskin," teriak nyonya Sabhira dengan emosi meledak-ledak."Jangan kotori tangan Ibu! Untuk apa semarah ini," ucap Elvina menenangkan. "Sudah tau dia bodoh, mau Ibu pukuli seperti apapun, dia tidak akan bercerai dari kakak. Karena apa? Hidupnya hanya akan menjadi pengemis jalanan, da
Bab9Panik, Angela Alexander sekarang panik. Bahkan melihat suaminya begitu antusias dengan kabar ditemukannya Aluna Welas, membuat hati Angela Alexander terasa sakit."Istriku," seru Wiliam Alexander, ketika menoleh ke arah Angela, yang sedang menyisir rambutnya di depan meja rias."Hhmmm ...." suara Angela terdengar berat."Apakah tidak masalah, jika aku keluar sebentar?""Untuk menemui masa lalumu?" tembak Angela tanpa basa-basi. Wanita itu masih sibuk dengan rambutnya di depan cermin."Hhmm, kupikir kamu sudah mendengar dengan jelas tadi. Baiklah, aku akan membawa beberapa anak buah, untuk menemuinya, apakah kamu ingin ikut?""Tidak.""Kenapa? Bukankah dia kerabatmu?"Angela menghela napas berat, dan meletakkan sisirnya di atas meja. Wanita itu, mengalihkan pandangannya dari cermin, dan menghadap Wiliam Mose, yang duduk di atas ranjang, dan menyandarkan dirinya di dipan."Suamiku, kamu pikir aku wanita k
Bab10"Aluna ...." Wiliam terkejut.Lelaki itu menggenggam erat tangan Aluna, berharap wanita yang teramat dia rindukan itu mau bangun dan melihatnya."Percepat laju mobilnya, aku ingin segera lekas sampai," teriak Wiliam. Mata lelaki itu berbinar bahagia, diliputi sejuta harapan, akan kesembuhan Aluna Welas dari koma.Anak buahnya pun melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Hingga mereka sampai di rumah sakit tujuan, yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap, dengan beberapa orang dokter yang telah diakui keahliannya di bagiannya masing-masing."Siapkan fasilitas terbaik di rumah sakit ini, aku ingin Nyonya ini segera sembuh!" titah Mantako Jordan kepada para perawat dan dokter rumah sakit tersebut.Semua perawatan dan fasilitas terbaik mereka kerahkan. Wiliam Alexander begitu berharap penuh, untuk kesembuhan Aluna Welas."Jordan, kau harus memastikan, bahwa Nyonya Welas mendapatkan penanganan terbaik, oke!" tegas Wiliam pada
BMW11Bab11Angela merasa ketakutan saat ini, pikirannya benar-benar tidak tenang."Bagaimana jika wanita itu benar-benar bersama Wiliam? Apakah posisiku akan tergeser? Dan kisah kelamku akan terbongkar? Wiliam bisa saja menghabisiku dengan cara yang lebih kejam," batin Angela."Dengar Keenan Bostilo, jika wanita itu sampai sadar dari koma, dan bertemu dengan Wiliam, maka tamatlah riwayat kita berdua," desis Angela."Tenang my baby. Tidak semudah itu, membuat orang koma menjadi sadar. Lagi pula, anaknya masih ada di keluarga Wilianus.""Anaknya? Case Welas?" Nyonya Alexander ini begitu terkejut, ketika mendengar informasi dari Keenan Bostilo."Yaa ...." Keenan menjawab dengan santai. "Tapi nama wanita itu telah berubah. Case Mowelas," lanjut Keenan Bostilo."Kenapa?""Kurang tau. Tapi aku yakin, dia adalah saudara kembar Jeremy.""Pastikan dulu, jika benar dia saudara kembar Jeremy. Maka, kamu tahu buk
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku