Bab12
"Nona, Ibu anda telah dibawa seseorang."
"Apa?" Case sangat terkejut, ketika mendengar ucapan perawat di dalam telepon.
"Maafkan kami," ucap perawat yang memang biasa mengabarkan kondisi Ibu Case melalui sambungan telepon.
"Saya akan kesana." Sambungan telepon Case Mowelas matikan, dan dia pun bergegas keluar kamarnya.
Case terburu-buru, dan berlari ke ruang keluarga, untuk menemui nyonya Sabhira.
"Ada apa?" Nyonya Sabhira memasang wajah datar, ketika melihat wajah panik Case Mowelas.
"Bu, aku meminta izin ke rumah sakit, perawat bilang Ibuku hilang."
"Hilang? Kau pikir orang koma bisa kabur?" Jawab nyonya Sabhira mengejek.
"Bu, tidak mungkin perawat itu berbohong padaku," kata Case berusaha meyakinkan nyonya Sabhira.
"Nggak usah banyak alasan. Ini sudah malam, seharusnya kamu persiapkan tenaga untuk besok. Karena besok, adalah acara ulang tahu Elvina."
Dengan wajah datar, nyonya Sabhira m
Bab13Khan Wilson menatap langit-langit kamarnya, sembari membayangkan wajah sang Ibu, yang meregang nyawa dalam insiden tembak lari.'Suatu saat, pasti akan kutemukan pelakunya,' desis Khan Wilson.________Flashback.Nyaris dua tahun berlalu, Khan Wilson kehilangan Ibunya. Di kota Monarki, saat mereka berjalan-jalan menikmati indahnya kota Monarki yang maju pesat.Seharian mereka menjajal kota, Khan Wilson dan Ibunya memasuki sebuah restoran menengah yang ada di kota Monarki."Bu, pesan lebih dulu, aku ke toilet sebentar," ucap Khan Wilson saat itu.Sang nyonya Wilson mengangguk. Dengan santai, dia mulai memesan beberapa menu.Usai memesan, dia pun melihat wanita yang sangat dia kenali."Aluna Welas ...." Nyonya Wilson berteriak, ketika melihat Aluna Welas berjalan keluar dari restoran tempat dia memesan makan.Aluna Welas yang merasa namanya disebut pun menoleh. Hingga, tiba-tiba seseor
Bab14"Bary Khalid.""Ya tuan," sahut suara yang nampak lemah itu."Apa yang terjadi? Siapa yang menghajarmu?""Saya tidak tahu, Tuan." Suara lelaki itu semakin lemah, dan sambungan telepon pun mati."Bary ...." Khan Wilson berteriak keras. Dia merasa mulai panik dan semakin yakin, sesuatu yang tidak baik sedang terjadi.Teringat akan Case Mowelas, yang juga menuju rumah sakit. Khan Wilson merasa kuatir dan gegas melajukan mobilnya, sembari menyisir pinggir jalan, yang menuju rumah sakit Ibu Case dirawat.________Case Mowelas terus berlari, hingga kedua lelaki berniat jahat itu, menghadang langkahnya."Hallo cantik," ucap lelaki yang mengenakan topi itu, sambil tersenyum nakal kepada Case.Dengan napas tersenggal dan sedikit terkejut, Case menghentikan langkahnya."Ada apa, Tuan? Maafkan aku, aku sedang terburu-buru, bolehkah lain kali saja kita bicara," pinta Case Mowelas dengan suara ya
Bab15Lelaki itu hanya tersenyum kecil, ketika Khan Wilson menyapa nya. Dengan kedua tangan yang dia masukan ke saku celana, Joe menatap lekat wajah gugup Case."Tuan Joe, terimakasih telah menolong Case ...." Ucapan Khan Wilson, membuat hati Joe semakin panas."Ya ...." Dengan berat Joe menjawabnya. "Sudah menjadi kewajiban saya ...." Joe Wilianus melanjutkan ucapannya.Khan Wilson yang semula tersenyum menjadi kaku, mendengar ucapan Joe. "Kewajiban?" Khan Wilson menuntut jawaban."Karena saya pelayan di rumah Tuan Joe, dan saya keluar rumah tanpa izin. Maafkan saya," timpal Case, menengahi obrolan mereka yang mulai tidak nyaman."Oh, iya ...." Khan Wilson merasa lega. "Tuan Joe, anda memang majikan yang baik," puji Khan Wilson dengan tulus.Joe Wilianus tersenyum kecut. Hatinya kini begitu marah dan ingin sekali memarahi wanita yang kini menunduk di bawah sinar bulan itu."Case, ayo kuantar ke rumah sakit,
BWM16Bab16'Dia bahkan tidak mengucapkan terimakasih padaku, dasar sialan,' maki Joe dalam hati, sembari berjalan menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.Di dalam kamar, Joe Wilianus merebahkan dirinya yang teramat lelah.Flashback.Sepulang dari makan malam bersama Mary White, Joe mencari keberadaan Case Mowelas, untuk memberikannya sedikit uang.Karena berkat tanda tangan Case, Joe berhasil mencairkan sejumlah uang.Namun ketika lelaki itu membuka kamar Case. Kamar itu kosong, dengan jendela yang terbuka lebar. Lelaki itu masih berpikiran positif.Joe Wilianus keluar kamar Case, dan menanyakan keberadaan wanita itu pada Ibunya.Nyonya Sabhira tengah asik bersantai duduk menonton tivi. "Bu, dimana Case?" tanya Joe."Di dalam kamarnya mengurung diri, istri sialanmu itu terus merengek meminta izin ke rumah sakit malam-malam begini," adu sang Ibu pada Joe."Memangnya apa yang terjadi? Tidak biasanya
Bab17"Itu ...." Elvina menunjuk kaca jendela yang sedikit gemetaran."Tunggulah nona manis, cepat atau lambat, kami akan menangkapmu!" Joe melihat ke arah Elvina."Apa?" Elvina kebingungan, mendapati tatapan wajah kakaknya."Kamu ada masalah dengan siapa?" tanya Joe balik dengan suara bassnya."Masalah apa?" Lagi-lagi Elvina balik bertanya."Bodoh ...." suara Joe meninggi dengan keras, membuat Elvina dan nyonya Sabhira semakin terkejut mendengarnya."Joe, ada apa? Mengapa kamu membentak adik kamu seperti ini," tegur nyonya Sabhira, yang kebingungan melihat emosi anak lelakinya."Ibu bisa membaca ini ...." Joe menyerahkan pucukan surat itu kepada nyonya Sabhira.Wanita bertubuh tambun itu pun meraihnya. Seketika dia pun langsung terkejut, dengan mata melotot menatap anak perempuannya."Kau ada masalah apa dengan orang, Elvina? Kenapa kamu sampai mendapatkan teror semacam ini?" tanya nyonya Sabhira juga
Bab18'Memangnya apa salahku?' Gumamnya lagi sembari berjalan masuk ke dalam rumah."Ibu harus percaya kepadaku, bahwa aku tidak melakukan apapun dan aku tidak memiliki musuh sama sekali," ucap Elvina Wilianus meyakinkan nyonya Sabhira."Ya, ibu harap itu benar," jawab nyonya Sabhira, masih dengan perasaan gelisah.Joe Wilianus terdiam di dalam kamarnya, sembari mengingat kejadian malam tadi. Hatinya mulai diliputi rasa gelisah, mengingat kedua preman malam itu.________"Apa? Aluna Welas menghilang dari rumah sakit?" Angela sangat terkejut, mendengar informasi dari Keenan Bostilo."Ya, kami sudah mencari tahu. Tapi pihak rumah sakit tidak ada yang mau memberitahukan. Bahkan, anak buah Mantako Jordan, masih berjaga di dalam lingkungan rumah sakit. Jika mereka mencurigai kami, itu akan sangat berbahaya.""Bodoh! Lalu bagaimana? Kenapa kalian bisa kehilangan jejak begini?" bentak Angela frustasi."Kau terus memak
Bab19"Kau bahkan tidak tahu artinya sebuah penyesalan, ditinggalkan dan kehilangan semua harapan." Batin Wiliam.Lelaki itu duduk di depan meja kerjanya dan tercenung. Bayangan wajah Aluna Welas menari dipelupuk matanya.Wanita itu dulunya ceria, percaya diri dan penuh semangat. Bahkan dia selalu memberikan matahari pagi yang indah untuk Wiliam, dan malam yang hangat untuknya.Tetapi karena kabut dendam, Wiliam tidak bisa melihat ketulusan Aluna Welas. Hingga membuat wanita itu benar-benar hancur dalam pertahanannya.Puluhan tahun sudah Wiliam berusaha mencari keberadaannya. Dan kini, wanita kesayangannya itu, ditemukan dalam keadaan koma, bagaimana dia tidak syok dan sangat terpukul? Wiliam bahkan tidak kuasa memandangi wajah cantik Aluna, yang kini telah termakan usia."Maafkan aku, Aluna," desah Wiliam sambil terisak. Begitu banyak rasa penyesalan menggerogoti hatinya kini.Hingga panggilan telepon dari Mantako Jordan,
Bab20"Joe, apa-apaan kamu? Berani sekali kamu membentak keluargamu sendiri," bentak nyonya Sabhira dengan mata melotot."Iya nih, jangan-jangan, kakak sudah jatuh cinta lagi pada si Case.""Elvian ...." Joe sangat marah, mendengar ucapan Elvina.Elvina memutar bola matanya malas, melihat Joe yang nampak kesal padanya."Sudahlah, aku malas sekali sarapan pagi ini," desah Joe."Joe, kamu kekanak-kanakan sekali," ejek nyonya Sabhira."Kata-kata semacam itu, lebih tepatnya untuk Ibu dan Elvina," jawab Joe sembari bangkit dari duduknya.Di depan penggorengan, Case hanya bisa mendengarkan keributan mereka di ruang makan.Entah mengapa, semakin hari kehidupannya semakin kacau, di tambah sikap Joe yang semakin membuatnya gelisah."Dasar, semakin susah saja diatur. Dan semua ini, gara-gara wanita miskin itu," desis nyonya Sabhira."Usir saja wanita itu, Bu!" ucap Elvina, ketika Joe sudah memasuki kamarnya.
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku