Bab121Jeremy melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, sembari melacak keberadaan Rebecca. Matanya sesaat terus melirik ke ponselnya, melacak titik lokasi keberadaan Rebecca."Tengah hutan?" Jeremy mengernyit, ketika titik merah telah muncul, menunjukkan titik lokasi wanita tersebut.Hati Jeremy seketika di penuhi kekhawatiran. _______Di dalam sebuah gedung tua bertingkat dua, di tengah hutan lebat, Rebecca terikat disebuah kursi kayu.Wanita itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, dengan wajah lebam dan kening terkena goresan luka benda tumpul.Keberadaan wanita itu di lantai 1, dengan suasana ruangan yang lembab, di temani beberapa serpihan pelafon yang sudah rusak berjatuhan di lantai semen yang tidak berkeramik itu.Ponsel Rebecca tersimpan di dalam sepatunya. Wanita itu masih tidak sadarkan diri, setelah mendapat penganiayaan keras.Malam itu.Rebecca mendapat panggilan telepon."Kau harus mau!!""Tidak, aku sudah sangat jijik padamu.""Arnold White, tidak pernah suka dengan
Bab122Tubuh Rebecca seketika bergetar hebat, wajahnya memucat dengan tatapan mata ketakutan."Becca, ada apa? Mengapa menatapku seperti itu?" tanya Jeremy melembut. Lelaki itu sadar, tidak seharusnya dia membentak Rebecca seperti tadi.Air mata meluncur seketika, tapi wanita itu tetap diam menatap Jeremy."Rebecca, aku minta maaf." "Mengapa aku tidak mati saja," lirih Rebecca, membuat Jeremy menghentikan laju mobilnya, tepat di halaman parkiran club tersebut."Bukan kamu yang akan mati, tapi aku, atau Arnold mantan kekasihmu itu," tegas Jeremy, sambil melepas sabuk pengamannya.Rebecca memeluk lengan Jeremy dengan cepat. "Kumohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku," pinta Rebecca.Jeremy merasakan ketakutan di dalam diri asisten nya itu. Perlahan, Jeremy melepaskan pelukan tangan Rebecca kepada lengannya. Lelaki itu menangkupkan kedua telapak tangannya, ke wajah Rebecca yang penuh luka lebam."Aku tidak akan meninggalkan kamu! Mulai hari ini, aku berjanji, aku akan menjaga kamu."
Bab123"Kau ...." Arnold mengeram, sembari melotot menatap Jeremy dengan tatapan marah."Pergilah dan cari wanita sialan itu! Aku yakin, dia sedang meratapi nasibnya yang akan terkubur di gedung tua itu.""Jadi kamu tahu keberadaanya?""Tentu saja, aku tidak akan memberitahukanmu, sebelum kamu mau, mencium sepatuku ini," jelas Arnold dengan angkuh.Lelaki itu menjulurkan kakinya, ke arah Jeremy. Jeremy memasang wajah memelas, kemudian dia berdiri, dan mendekati sepatu Arnold.Arnold tersenyum mengejek, dia mengira, bahwa Jeremy akan semudah itu melakukan perintahnya."Dasar lelaki payah," ejek Arnold, ketika Jeremy, memandangi sepatu Arnold tersebut."Aku yakin, kamu pasti baru melihat sepatu semalam ini kan!" lagi- lagi Arnold mengejek Jeremy.Hingga, terdengar suara erangan."Akkkhh, kakiku," pekik Arnold. Lelaki itu berguling- guling kesakitan, diikuti gelak tawa Jeremy Alexander.Jeremy mengeluarkan cincin besi dengan mata berbentuk kepalan tinju. Dia pun mengenakannya di jari man
Bab124Rebecca membuka mata, di sambut pemandangan yang tidak biasa dia lihat.Wanita itu menyisir seluruh ruangan dengan matanya, terlihat sosok Jeremy, tengah tertidur di atas sofa yang berukuran lumanya panjang.Kamar yang sekarang dia gunakan untuk beristirahat lumayan besar dan di lengkapi beberapa peralatan mahal.Rasa haus menghinggapi. Dengan perlahan, Rebecca mencoba bangun, namun tubuhnya tidak kuasa menahan sakit. Wanita itu merintih, menangis dengan pelan."Rebecca," panggil Jeremy. Entah sejak kapan, lelaki itu sudah terbangun dan menghampiri Rebecca."Kamu sudah bangun rupanya, ayo makan dulu, aku sudah menyiapkannya dari tadi." Jeremy meraih nampan, yang terletak di atas nakas. Nampan itu berisi nasi goreng bertabur daging di atasnya, dengan jus buah hangat."Sakkkiittt," rintih Rebecca."Jangan menangis, tahanlah! Kalau tidak, lukamu akan semakin terasa sakit. Setelah makan, dokter pribadiku akan kemari untuk memeriksamu.""Apa yang Tuan lakukan tadi di club?""Kamu t
Bab125"Aku tidak suka dengan lelaki itu, Mom. Entah mengapa, bagiku dia sangat sombong," terang Desca, ketika dia dan Ibunya sedang duduk bersantai di depan tivi."Hhmm, jadi bagaimana dengan sosok Jeremy?""Lumayan, tapi dia bukan pengusaha sukses! Aku ingin berkenalan lebih jauh dulu, apakah bisa?"Nyonya Jovanka hanya menghela napas. "Kita tidak kekurangan hal apapun, mengapa kamu harus mencari yang sukses lagi?""Itu typeku, Mom.""Tapi aib kamu harus segera di tutupi. Momy memilih Jeremy, karena dia bukan kalangan orang kaya raya. Jadi, mudah untuk di kendalikan. Apalagi, dia tidak begitu banyak punya kerabat.""Dari mana Momy tahu?""Itu hal mudah! Informasi mudah di beli. Setidaknya, dia tidak begitu buruk.""Ini baru 1 bulan, Mom. Anak ini tidak akan mudah di ketahui.""Desca!! Jika klien Momy tau, saingan bisnis dan keluarga besar tau, Momy akan malu tujuh turunan."Desca menghela napas berat. "Baiklah, My, atur saja." "Memang seharusnya begitu! Makanya, seharusnya kamu bis
Bab126"Penasaran?" "Ah enggak." Rebecca berusaha menahan malu dan kembali fokus dengan dengan hidangan makan malam mereka."Enak," kata Jeremy, ketika lelaki itu, mulai memasukkan makanannya ke mulut."Cocok banget ini sudah," lanjutnya, kembali membuat Rebecca mati penasaran."Jadi apa sih," tanya wanita itu sedikit kesal."Jadi istri," ucap Jeremy sembari berpikir. "Jadi Asisten rumah tangga kayaknya," lanjut lelaki itu terkekeh.Wajah Rebecca yang semula memerah menahan malu, dengan hati berbunga- bunga, mendadak masam dan malas makan."Ada apa dengan wajah di pasang sedatar begitu?" "Nggak!" ketus Rebecca.Jeremy terkekeh. Keduanya kembali fokus menyantap makan malamnya."Aku ingin kembali bekerja, Tuan," lirih Rebecca, ketika mereka selesai makan malam."Memang sudah sehat betul? Kalau tidak bagaimana? Kamu yakin akan bekerja dengan maksimal, dan memastikan tidak akan ada kesalahan?"Pertanyaan beruntun dari Jeremy, membuat pikiran Rebecca seketika penuh, otaknya nyaris ngelag
Bab127"Tentu saja! Jangan kuatirkan apapun.""Aku duda," kata Jeremy. "Aku pernah menikah, kemudian gagal.""Tidak masalah, itu masa lalu Anda. Saya, tidak berhak untuk terlibat," ucap Desca dengan tulus."Hhmmm, bagaimana aku menjelaskannya? Jujur, aku sudah memiliki seorang kekasih. Kurasa, aku tidak bisa menikah denganmu."Seketika wajah ceria Desca lenyap begitu saja."Siapa dia?" tanya nyonya Jovanka."Hhmm, biarkan itu menjadi privasi saya. Maaf jika saya menolak.""Tuan! Aku tidak pernah di tolak siapapun! Jangan berani- berani kamu menghinaku seperti ini," bentak Desca tak senang dengan jawaban Jeremy."Tenanglah Nona muda! Ini bukan hinaan. Jujur, nona Desca adalah calon istri yang sempurna. Tapi sayangnya, aku sudah jatuh cinta kepada wanita lain, tolong maafkan aku," lirih Jeremy."Bushitt!!!" Desca berdiri dengan emosi. "Mom, aku tidak terima dengan semua ini, aku malu," isak Desca, kemudian wanita itu pergi, meninggalkan ruangan vvip tersebut.Kini, hanya ada Jeremy dan
Bab128"Apa? Menikah?" Rebecca terkejut, ketika keduanya makan malam di apartemen."Ya! Tinggallah di sini, saya akan menyiapkan beberapa keamanan untuk kamu.""Tuan, mengapa mendadak seperti ini? Lalu sebenarnya saya ini----"Rebecca menjeda ucapannya sembari menyeka air matanya. "Malam panjang itu," lirihnya. Rebecca seolah tidak mampu berkata- kata lagi.Baginya, Jeremy seakan lupa, telah mengambil miliknya yang paling berharga.Melihat wajah kecewa Rebecca, Jeremy pun merasa bersalah."Maafkan aku, aku yang salah untuk hal itu," ucap Jeremy. "Ini memang pilihan yang sulit.""Kupikir Anda memiliki rasa kepadaku," sahut Rebecca. "Malam itu, adalah malam pertama bagiku, mungkin itu tidak begitu penting bagi Tuan. Tapi bagiku----" Rebecca seakan tidak mampu melanjutkan ucapannya.Suaranya tercekat, seakan membuatnya kehilangan kata- kata. Yang ada, hanya rasa sesak di dalam dada.Perhatian, belaian kelembutan Jeremy, seolah menghipnotis wanita itu, hingga membuatnya memberikan segalan
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku