Bab129Melihat wajah kesal Rebecca, Jeremy merasa gemas dan tanpa aba- aba, mencium wanita itu."Tuan," desis Rebecca, ketika leher wanita cantik itu, menjadi sasarannya."Jangan memancingku dengan wajah seperti itu, aku bisa khilaf," bisik Jeremy ke telinga Rebecca, membuat tubuh wanita itu meremang."Jangan seperti ini, Anda calon suami orang," kata Rebecca memperingatkan.Jeremy kembali tersenyum dan membingkai wajah Rebecca dengan kedua tangan kekarnya.Rebecca menyelami bola mata coklat Jeremy yang indah dan teduh. Hingga tanpa sadar, dia terbuai dan membiarkan bibir seksi Jeremy menyentuh bibir mungilnya.Lagi, Rebecca kalah, dan mungkin akan selalu kalah dalam bertahan.Dirinya sungguh tidak begitu hebat dalam hal ini. Jeremy sukses menundukkannya. Apapun yang kini lelaki itu lakukan, Rebecca seolah tersihir dan menikmati setiap perbuatan nakal Jeremy.________Case dan Joe kembali ke kota Monarki. Kesembuhan Zaki, putra tunggal mereka yang nyaris 98% membuat keduanya memutuska
Bab130"Apapun yang terjadi, aku akan berusaha membahagiakan kalian berdua. Hanya kalian, kini yang aku punya," lirih Joe.Case tersentuh. Joe benar, kini Case pun hanya punya Joe dan Zaki. Case berpikir keras, tidak ada salahnya, untuk memberi Joe kesempatan, selagi laki- laki itu bersungguh- sungguh.Akhirnya, Case pun luluh dan memberikan kesempatan itu. Keduanya menikah secara sederhana.Begitu banyak impian mereka, untuk membangun kehidupan yang lebih baik.Usai pernikahan, kedua nya malah berdebat di ruang keluarga.Sedangkan Zaki, kini sudah pandai bermain bersama anak sebayanya, yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka."Jadi kamarku akan menjadi ruang kerjamu?" tanya Case kesal, ketika Joe meminta kamar Case menjadi ruang kerjanya."Iya! Kamu kan sudah sah kembali menjadi istriku! Jadi, kamu harus tidur di kamarku, kamar kita."Case menarik napas berat, kemudian berjalan ke arah kamar Joe. "Kamarmu jelek!" komentar Case. "Jelek? Tapi ini cukup besar, kita bisa mendek
Bab131"Joe," lirih lelaki yang bersimpuh itu. Joe memegangi tangan Zaki dan mendekat ke Case."Ayo, kita harus mencari bahan yang kamu butuhkan." "Zaki sudah selesai kan mainnya?" ucap Case. "Sudah," jawab Zaki tersenyum."Yuk, kita cari yang Ibu perlukan," ajak Case kepada Zaki dan Joe.Kemudian Case melihat ke arah lelaki yang bersimpuh itu."Demi Tuhan, yang kamu lakukan itu adalah kejahatan yang paling biadab. Seumur hidup, aku tidak akan mengampunimu," kata Case, sebelum dia berlalu bersama Joe dan anaknya dari hadapan lelaki tadi.Lelaki itu merasakan sesak dalam dadanya, mendapati kebencian Case yang begitu dalam padanya. Semula dia berniat membeli beberapa perlengkapan kantornya yang telah habis. Entah bagaimana, ketika melewati stand permainan anak ini, dia menangkap sosok Case yang sedang duduk menyendiri di tempat tunggu.Awalnya memang dia ragu, kemudian mendekat dengan jelas. Rupanya dia tidak salah lihat, wanita itu benar- benar Case.Wanita yang selama ini dia kira
Bab132Joe tersenyum, kemudian membuka gulungan paket tersebut."Apaan nih? Foto?" Case mengernyit, melihat foto pernikahan keduanya pagi tadi."Iya," jawab Joe sembari meraih bingkai foto, yang dia beli di pusat perbelanjaan tadi."Kapan kamu pesan ini, cepat banget.""Tadi pagi juga selesai acara pernikahan kita. Aku memesannya secara online, dan sore ini baru diantar. Bayarnya dua kali lipat, agar di prioritaskan.""Boros! Kita nyaris bangkrut kalau begini.""Kapan lagi kita punya foto pernikahan," gumam Joe, membuat Case lagi- lagi terharu."Iya deh, pasang sudah sana," kata Case. Setidaknya, hal itu membuat senyuman kecil terbit di wajah tampan Joe.Foto pernikahan itu lumayan besar dan dipasang di dalam kamar mereka.Joe memandangi foto pernikahan itu dengan perasaan sedikit sedih. Karena di foto itu, hanya ada mereka berdua, tidak ada foto kerabat, Ibu atau yang lainnya."Kamu rindu Ibu?" tanya Case, sembari memeluk lengan suaminya. Joe membelai lembut rambut depan wajah istrin
Bab133Rebecca mengernyit."Benar dengan nona Rebecca?" "Hhmm, ya. Siapa? Sepertinya saya tidak mengenal Anda," kata Rebecca pelan. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Zacob White.Rebecca mengangguk pelan. Lelaki itu pun duduk, sembari tersenyum.Zacob berusaha menebarkan pesonanya. Lelaki itu lumayan tampan, hanya saja begitu angkuh."Kamu terlihat sedih," gumam Zacob, membut Rebecca mengalihkan pandangannya dari Jeremy dan Desca yang sedang duduk di singgasana pelaminan mereka.Rebecca menoleh ke arah Zacob. "Apakah Tuan sedari tadi memperhatikan saya?" tanya Rebecca dengan tatapan datar."Tidak, hanya saja penasaran! Kamu nampak cantik. Tapi sayangnya, matamu terlihat banyak anak air menggenang.""Dari mana Tuan tahu nama saya?" Rebecca terus melayangkan pertanyaan."Hhmm, kamu asistennya Jeremy kan?" Bukannya menjawab, Zacob malah balik bertanya."Ya." Rebecca menjawab singkat."Tentu saja saya tahu nama kamu! Siapapun yang mengenal Jeremy, pasti juga mengenal kamu."Sungguh tida
Bab134Di kamar pengantin, Desca terdiam, ketika sosok Jeremy memasuki kamar."Kenapa belum mandi?" tanya Jeremy, kepada Desca yang masih duduk menghadap meja riasnya."Aku ingin bicara serius!" sahut Desca, kemudian wanita itu berbalik badan, menghadap ke arah Jeremy.Lelaki itu pun mengambil posisi duduk di atas ranjang pengantin mereka."Hhmmm, ada apa?"Desca menatap lekat wajah tampan Jeremy. Rasanya sangat sulit, jika dia harus jujur dengan keadaannya yang sudah berbadan dua.Tapi jika kelak Jeremy tahu bagaimana? Desca merasakan dilema sangat mengganggunya."Apakah kamu baik- baik saja dengan pernikahan ini? Aku butuh jawaban jujur," kata Desca.Jeremy tersenyum. "Untuk apa di bahas lagi, kita sudah sah menikah. Jalani saja, hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini."Desca menarik napas berat. "Maaf, aku telah membuatmu seperti ini. Aku pun tidak paham jalan pikiran Momy, yang begitu kekeuh menikahkan kita.""Ya, mau bagaimana lagi. Cepatlah mandi, agar kamu bisa fresh. Setela
Bab135Panggilan telepon pertama tidak terjawab, kedua hingga ketiga, barulah suara parau di sebrang telepon terdengar."Ya, Tuan." Suara itu tampak lemah dan terdengar kecil sekali."Rebecca, bagaimana perkembangan kantor?""Semua sudah saya laporkan melalui email, Tuan." Suara Rebecca dan bahasanya terdengar kaku."Rebecca, apakah kamu baik- baik saja?""Menurut Tuan bagaimana? Apakah saya sedang dalam keadaan sekarat?""Mengapa bahasamu seperti itu?""Diluar jam kerja, Anda bukan bos saya.""Saya rindu," lirih Jeremy."Rindu? Bulshit.""Serius.""Terserah! Jika tidak ada hal yang begitu penting, jangan hubungi saya lagi. Nikmatilah malam pengantin Anda dengan baik, biarkan wanita bodoh seperti saya meratapi nasib yang terluka meski tak berdarah.""Maaf," lirih Jeremy hingga sambungan telepon Rebecca matikan."Brengsek!! Kamu jahat Tuan, jahat ...." Rebecca meraung sembari menghamburkan seluruh isi kamarnya."Ibu, ini rasanya sakit sekali, bahkan membayangkannya saja, aku nyaris keh
Bab136"Nggak apa- apa, hanya masalah pekerjaan."Desca meletakkan rantang bawaannya."Makan bareng yuk," ajak Desca ramah. Jeremy menatap wajah istrinya itu, wanita yang baru tiga hari ini menjadi istrinya.Bahkan, Jeremy belum menyentuhnya sama sekali. Dia masih merasa enggan, untuk melakukannya. Desca pun nampak berusaha mengerti dan tidak pernah menanyakan apapun pada Jeremy. Hanya saja, dia pernah menceritakan hal ini pada sang Ibu."Apa? Desca, kamu harus tidur dengannya. Jika tidak, anak dalam kandunganmu itu, akan ketahuan bukan anaknya.""Jadi bagaimana My. Jeremy selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kalau Desca yang ngajak duluan kan tidak mungkin," sahut wanita itu."Kamu harus ambil hatinya. Jeremy itu kalau Ibu lihat lelaki yang baik dan pengertian, dia juga bukan laki- laki arogan yang sulit untuk diambil hatinya. Hanya saja, mungkin dia segan untuk memulai.""Kasih saran yang benar lah, My. Mana mau Desca minta duluan," seru wanita itu lagi."Kamu pakai pakaian seksi dong
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah
Bab150Jeremy tertegun, melihat kedua anak itu."Clara, Ansel," teriak seorang wanita, dengan suara yang tidak asing di telinga Jeremy.Jeremy menoleh ke arah wanita itu. Wanita yang mengenakan baju kaos hitam ketat, dengan rok lebar bawahannya.Rambut pendek bergelombang, membuat Jeremy sangat terkejut."Rebecca," gumam lelaki itu. Wanita itu pun sama, terkejut karena bertemu pandang dengan Jeremy."Mami ...." Kedua anak itu berlari senang ke arah wanita tadi. Dengan cepat, wanita itu memeluk kedua anak itu dan membawanya menjauh.Jeremy berniat mengejar. Namun suara panggilan Sam dan Desca mengalihkan perhatiannya."Mami kenapa begitu terlihat panik? Dan kenapa kita pulang secepat ini?" tanya Ansel."Iya, Mami nggak asik, baru juga kita mau berenang," celetuk Clara, kesal."Mami lupa, kalau Mami ada urusan. Kita pulang dulu, oke.""Benar- benar jalan- jalan yang mengesalkan, tidak sesuai dengan harapan," ungkap Clara bernada kecewa."Sudahlah, nanti kalau Mami di pecat, kita semua d
Bab149"Suamiku ...." Desca memeluk suaminya dari belakang.Jeremy tersenyum. "Kamu belum tidur?""Belum! Aku pengen makan pizza." "Pesan sayang." Jeremy mengusap lembut tangan sang istri."Sudah, aku mau disuapin sama kamu," bisik wanita itu di dekat telinga suaminya."Untuk malam ini saja, tolong." Jeremy menghentikan aktivitasnya dan melepaskan pelukan Desca, kemudian lelaki itu berdiri, menghadap istrinya sembari tersenyum."Ayo!" Kata Jeremy tersenyum, membuat Desca sumringah. Keduanya keluar kamar, dengan Jeremy yang merangkul mesra istrinya itu.Hari- hari Desca di penuhi kebahagiaan, apalagi saat dia positif hamil kembali, setelah 2 bulan yang lalu dia keguguran._______"Bos yakin akan ke Negeri Fantasy? Bukankah nyonya Jovanka sudah mewanti Anda, untuk tidak muncul di kehidupan nona Desca lagi.""Aku hanya ingin bertemu dia, cuma sekali saja, memastikan dia bahagia. Aku mendengar kabar beberapa bulan yang lalu, dia keguguran anakku.""Bos, ada baiknya untuk kita menjauhi ny
Bab148"Dalam sepanjang hidup masa sulitku, kamu adalah saudara yang begitu kejam, tidak pernah mencariku sama sekali. Aku bertahan hidup dengan berbagai cara, sedangkan kamu hidup dengan nyaman di rumah ini tanpa beban. Kamu pasti tidak pernah merasakan takut akan kelaparan, seperti yang sering aku rasakan," lirih Elvina.Joe dan Case terdiam."Aku marah, sangat marah setelah tahu kamu mengurus seluruh tanah peninggalan kakek, tanpa mencariku terlebih dahulu. Bisakah kukatakan kamu serakah?" Joe menarik napas, dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang."Datanglah, dan bawa seluruh berkas yang aku minta," tegas Joe kepada lelaki di telepon. Usai panggilan telepon di matikan, Joe kembali menatap Elvina."Katakanlah, apa maumu sekarang ini. Jika kamu ingin tinggal di tempat ini, maaf tidak bisa. Biar bagaimana pun juga, aku tahu tabiatmu begitu jelek kepada Case.""Suamiku jangan begitu! Biar bagaimana pun juga, Elvina adalah saudara perempuanmu, dia kerabat kita.""Tidak! Aku