Hari-hari berlalu dalam ketenangan. Tak ada yang merusuh, tak ada yang membuat jengkel. Tomy tak pernah datang lagi sejak Emily mendatangi dan mengancamnya waktu itu. Sinta pun entah kemana, tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di depan Emily. Emily pun senang dan bersyukur. Setidaknya hampir dua minggu ini dia bisa merasakan hidup tenang tanpa gangguan dari mereka sedikit pun.
"Kemana Sinta, ya? Sudah lama nggak kelihatan. Tumben. Biasanya dia mondar-mandir di depan setiap hari," kata Emily pada Inung yang pagi itu datang mengajak Abian untuk pergi ke toko.
"Kabarnya sih diajak ibunya pulang kampung. Apa mungkin untuk mengurus pernikahannya dengan laki-laki yang waktu itu mencari alamat rumahnya?" jawab Inung.
Emily menggeleng pelan. "Rasanya aneh kalau tiba-tiba saja dia mau menikah dengan laki-laki itu. Sebab terakhir ketemu dulu, dia masih mengejar Mas Abi," katanya menyahuti.
"Iya juga sih. Rasanya aneh memang," kata Inung menimpali.
"
Jeritan itu mengejutkan, sekaligus memberikan harapan. Setidaknya suara jeritan itulah yang menghentikan aksi Tomy yang ingin menodainya. Dan sungguh Emily bersyukur pada si pemilik jeritan itu. Emily pun mengangkat wajahnya melihat ke arah pintu kamarnya. Sinta. Ya, ada Sinta di sana yang sedang berdiri dengan mulut yang menganga. Perempuan itu tampak sangat terkejut melihat semuanya. Dia pun menatap Emily dan Tomy bergantian dengan mata yang terbelalak lebar.Untuk jelasnya, mari kita mundur beberapa menit ke belakang.Ketika itu, Sinta berjalan di tengah derasnya hujan. Dia hendak ke apotek membeli obat untuk ibunya yang sakit. Sejak kembali dari kampung kemarin, penyakit asam urat ibunya kambuh. Mungkin karena selama berada di kampung ibunya tak menjaga makanannya. Sayuran yang menjadi pantangannya dimakan juga. Jadilah begitu kembali pulang asam uratnya kambuh seperti itu.Akhirnya siang ini Sinta pun terpaksa menerobos derasnya hujan demi untuk membeli oba
Beberapa saat lamanya Abian menatap Emily dengan kening berkerut. "Tomy? Tapi bagaimana mungkin dia bisa datang kemari? Darimana dia bisa tahu alamat rumah ini?"Emily menggeleng. "Saya nggak tahu darimana dia tahu alamat rumah ini. Tapi tiba-tiba saja dia datang menemui saya dan dia mengulangi niat buruknya yang dulu."Rahang Abian mengeras menahan rasa amarah. Sungguh terlalu jika Tomy mengejar Emily sampai ke rumah ini dan kembali ingin menodainya! Abian tak terima perlakuan kurangajarnya itu terhadap Emily. Laki-laki perlente itu harus diberi pelajaran lebih keras lagi dari kemarin, geram Abian dengan emosi yang hampir memuncak."Tapi bagaimana kau bisa lepas dari Tomy, Mily?" tanya Abian setelah sesaat terdiam menenangkan hatinya yang terbakar emosi."Sinta menyelamatkan saya, mas.""Sinta?""Ya. Tadi Sinta tiba-tiba masuk dan mengejutkan Tomy. Nasib baik masih melindungi saya. Tuhan mengirim Sinta untuk menolong saya."Abian men
Sandra terus berusaha menyerang Emily. Agaknya dia benar-benar marah karena Emily telah menghina suaminya seperti itu. Sementara Abian pun terus berusaha melindungi Emily dengan tubuhnya. Dibiarkannya Sandra melampiaskan kemarahannya padanya. Tak apa, asalkan bukan Emily yang disakiti. Abian rela menerima pukulan dan cakaran dari Sandra yang masih terus mengamuk mengikuti emosinya.Sebetulnya Abian ingin menjauhkan Sandra dari Emily. Tapi kondisi Sandra yang sedang hamil membuat Abian tak berani berbuat sesuatu. Dia takut jika sampai mengenai perut Sandra dan melukai bayinya. Sebab Sandra sedang bergerak tak beraturan melampiaskan emosinya yang meledak. Dia memukul, mencakar dan menarik Abian, berusaha menjauhkannya dari Emily.Abian melihat ada Tomy yang sedang berdiri tercengang menatap ke arah mereka. Tapi laki-laki itu tak berbuat apa-apa. Wajahnya tampak terkejut. Entah terkejut karena melihat ada Abian dan Emily di sana. Atau karena melihat istrinya yang sedang m
Kedua orangtua Emily tiba. Mereka disambut oleh satu pemandangan yang mengejutkan. Tak ada yang bisa mereka katakan. Mereka hanya bisa menghela napas kecewa melihat anak-anak dan menantu mereka bertengkar dan saling menyakiti seperti itu. Tapi mungkin ada penjelasan di balik semua ini. Sebab rasanya tak kan mungkin sampai terjadi pertengkaran seperti itu tanpa adanya satu alasan yang kuat.Ketika mereka semua dikumpulkan dan duduk berhadapan, kedua putri mereka pun langsung saling berebut untuk memberikan alasan mereka masing-masing. Keduanya merasa benar. Mereka saling menyalahkan hingga hampir saja terjadi keributan lagi seperti tadi."Bisa kalian bicara baik-baik?" tanya ayahnya dengan suara yang tegas.Semua pun terdiam. Emily dan Sandra tak lagi berebut bicara dan saling berteriak marah."Sulit bicara baik-baik kalau Emily dan Abian senang menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan, pa!" kata Sandra mencoba menempatkan dirinya dan Tomy sebagai korba
"Kenapa kamu pendiam sekali pagi ini, Sinta?" tanya Guntur yang pagi itu datang berkunjung."Tidak apa-apa, mas. Cuma sedang memikirkan sesuatu saja," sahut Sinta tanpa menoleh pada Guntur yang duduk di sebelahnya."Apa kamu memikirkan tentang lamaran saya? Saya kan tidak mendesakmu untuk segera menjawabnya, Sinta. Beberapa hari lagi saya balik ke kampung. Kamu bisa dengan tenang memikirkan jawaban apa yang terbaik untukmu. Mungkin bulan depan saya baru akan datang lagi untuk meminta jawaban darimu."Sinta menghela napas. "Bukan itu yang mengganggu pikiran saya," katanya."Lantas apa? Dari tadi saya perhatikan kamu banyak diam."Sinta tampak ragu untuk bicara. Dia tak tahu apakah penting menceritakan tentang hal yang mengganggu pikirannya ini pada Guntur. Tapi Sinta ingin menceritakan semuanya secara jujur. Dan Sinta tak bisa bicara jujur pada temannya atau ibu-ibu yang biasa diajaknya ngobrol. Sebab jika dengan mereka lebih asyik kalau ceritanya p
Sinta keluar dari rumah Emily dengan perasaan kesal. Bagaimana mungkin perempuan itu bisa berbuat seenaknya? Dia yang memanggilku, meminta bantuanku, lalu setelah aku menolaknya, dia seenaknya mengusirku. Kurangajar betul dia. Aku tidak terima!Hati kecil Sinta terus mencaci Emily, menuangkan rasa kesalnya sendirian. Tak ada sedikit pun kesadaran dalam hatinya kalau semua itu terjadi karena kesalahannya. Istri mana yang tak kan marah jika diajak untuk berbagi suami? Tapi Sinta tak berpikir ke arah sana. Tak menimbang rasa atas sakit hati Emily karena permintaannya itu. Yang Sinta pahami, dia telah diusir tadi. Dan dia merasa kesal karena mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari Emily.Sinta tidak bodoh. Tapi dia hanya sering tak sadar akan kesalahannya. Yang dia lihat hanya kesalahan orang lain saja. Dan dia pun merasa berhak untuk marah dan membalas rasa sakit hatinya.Sambil berjalan pelan menuju rumah temannya, Sinta berpikir tentang semua yang terjadi kema
Abian duduk dengan gelisah. Nasi Padang yang ada di hadapannya tak disentuhnya sama sekali. Tak ada keinginan untuk makan saat ini. Cerita Sinta tentang kebohongan Emily membuat perasaannya tak karuan. Tak ingin percaya tapi cerita Sinta terdengar masuk akal dan sesuai dengan kenyataan. Karena ketika dia menyindir Emily tentang mobil mewah yang sering datang, ternyata Inung pun mendengarnya. Berarti mobil mewah itu memang sering datang tapi Emily merahasiakannya. Pertanyaan yang mengganggu Abian adalah, kenapa Emily merahasiakannya?Ada cemburu dan sakit hati yang merayap perlahan. Tak seharusnya Emily berbuat seperti itu. Bagaimana mungkin Tomy berkali-kali datang mengunjunginya tapi dia tak bercerita tentang itu? Dan darimana Tomy bisa tahu alamat rumah mereka? Emily-kah yang diam-diam memberitahukannya? Oh, Abian jadi merasa serba salah kini. Dia tak bisa begitu saja acuh pada cerita Sinta. Bagaimana pun cerita itu pasti akan menyita pikirannya. Dan sungguh semua itu sanga
Di pagi itu Abian duduk termenung sendirian. Pikirannya masih tak karuan. Terlebih lagi Emily terus menangis semalaman. Dan akhirnya pagi ini dia mengalami demam. Padahal sejak semalam Abian sudah berusaha untuk membujuknya supaya berhenti menangis. Tapi seolah tak mendengarkan, Emily terus terisak sambil terbaring memunggungi Abian.Emily menangis bukan hanya karena pertengkarannya dengan Abian semalam. Tapi karena di dalam kepalanya terbentuk prasangka buruk yang menyatakan kalau Abian mulai menyukai Sinta. Mungkin karena itu suaminya mempercayai kata-kata Sinta. Sampai-sampai tega mencurigainya seperti itu. Oh, Emily pun bersedih dan kecewa karena prasangka yang ada di kepalanya itu. Prasangka yang dia ciptakan sendiri yang belum terbukti kebenarannya.Oh, bagaimana jika benar itu terjadi? Sekarang saja dia sudah mulai kehilangan kepercayaannya padaku. Menuduhku seperti itu hanya karena termakan cerita bohong Sinta. Apa lagi jika benar Sinta berhasil menguasai
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&