Napasnya tersengal-sengal, tangannya bergetar. Di saat yang bersamaan, ia menggigil karena mimpi buruk itu. Sakit. Dadanya terasa nyeri, perutnya terasa perih. Kepalanya terasa berputar.
Ia selalu benci saat ini, saat di mana perasaan muak itu menghinggapi dirinya. Setiap kali setelah pulang dari rumah Mamanya, ia pasti selalu merasakan hal ini. Bayangan-banyangan mengerikan dan menjijikan itu membuat sendi-sendinya ngilu.
Rasanya benar-benar melelahkan setiap kali pasca ia merasa seperti ini. Emosi dan tenaganya seperti terkuras habis. Tapi setelah menggores bagian tubuhnya, anehnya ia selalu bisa meredakan itu semua. Meskipun ia harus terkapar setelahnya, ada kepuasan yang mampu menggantikan segala emosi yang berkecamuk. Ia tahu kebiasaan itu sangat-sangat buruk.
Sakit jiwa.
Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya. Ia juga tahu kalau ia tidak normal. Ia sudah mencoba konsultasi online ke psikiater mengenai masalahnya dulu ke
Terima kasih sudah baca sampai bab ini. Jangan lupa berikan bintang ;)
Seorang wanita duduk dengan angkuh menyilangkan kakinya, menghisap *shisha dan menghembuskan asapnya ke udara. Aroma manis menyeruak melingkupi udara di sekitarnya. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum sinis pada terkaan di kepalanya. (*shisha = metode merokok asal Timur Tengah menggunakan tabung berisi air, mangkuk, pipa, dan selang.) Kalau apa yang dicurigainya terbukti benar, ia sudah menyiapkan skenario untuk menghukum orang yang telah merebut apa yang menjadi miliknya. Ia menoleh pada wanita di hadapannya. “Apa lo bisa dipercaya?” “Ya! Tentu!” Gadis mungil itu menjawab sambil berlutut. Wajah cantik itu menyeringai, lipstik merah menghiasi bibir tipisnya yang terbentuk sempurna. Tahi lalat di atas bibir wanita itu membuat wajahnya di saat yang bersamaan semakin cantik dan mengerikan. “Ini.” Ia melemparkan plastik kecil ke arah gadis yang berlutut. Gadis itu menangkapnya gelagapan dengan sorot seperti kelapa
Aneth membuka pintu kamarnya hendak berangkat ke kantor saat menemukan sebuah buket bunga tergeletak di depan pintu kamarnya. Ia mengambil buket itu dengan bingung. Siapa yang mengiriminya bunga? Salah kirim kah? Ia lalu melihat kartu yang diselipkan di atas bunga, hanya ada satu kata sapaan, ‘Pagi’. Begitulah tulisan di kartu itu. Tidak ada nama pengirim dan tujuan. Hari ini ia tidak keluar untuk jogging, makanya baru menyadari ada buket di depan pintu kamarnya. Berpikir sejenak, Aneth mengeluarkan ponsel dari tasnya. Sejak kemarin ia belum memeriksa notifikasi pesan yang masuk. Setelah pertemuannya dengan Elden, mood-nya hancur seketika. Ia hanya mandi setelah pulang kemarin dan meminum obat tidurnya agar bisa beristirahat tanpa terbangun tengah malam. Tidak ada tanda-tanda Elden mengiriminya pesan setelah pertemuan mereka. Ia memerhatikan kembali buket bunga itu, buket cantik berwarna kuning cerah. Bungan
Setangkai bunga yang sama dengan buket kemarin, bunga mekar berwarna kuning cerah lagi-lagi ada di depan pintunya. Kali ini pesannya berisi ‘I know what you’ve done’. (Aku tahu apa yang telah kamu lakukan) Seketika Aneth bergidik ngeri. Ia sudah bertanya ke penghuni indekos lain soal bunga itu. Tapi katanya tidak ada yang memesan bunga maupun yang mengirimi mereka. Katanya kalau ada, orang yang memberikan akan memberi tahu mereka dan beberapa orang menjawab, tidak dalam situasi harus menerima bunga. Sebenarnya begitu juga dengan Aneth, ia juga sedang tidak di posisi untuk menerima bunga. Apa lagi Valdi bilang tidak mengiriminya bunga. Tapi melihat pesan di kartu itu, sepertinya bunga itu memang ditujukan untuknya. Tapi, siapa? Siapa yang mengirimnya? Kenapa pesannya seperti itu? Apa yang orang ini tahu? Tunggu dulu—ada. Ada satu orang yang mungkin melakukan ini. Terhalang waktu yang sudah mepet untuk pergi ke kantor,
Ia baru sempat tidur tiga jam pagi itu. Kepalanya terasa berat menahan kantuk. Beberapa kali mengerjap dan menguap, ia menepuk-nepuk pipinya dengan telapak tangan agar tidak mengantuk. “Kenapa Neth? Kamu begadang?” Suara seseorang di depannya mengejutkannya. “Oh? Pagi, Pak,” ia langsung membetulkan posturnya dan mengangguk memberi salam. “Pagi... Kamu keliatan lesu hari ini,” sahut Yuka. Aneth refleks menyentuh kedua pipinya dan menunduk. “Kelihatan banget ya, Pak?” Yuka mengangguk. “Sedikit. Memang habis ngapain?” “Ah, itu ...” Aneth bingung mau menjawab apa, lalu ia berkata jujur. “Semalam habis nonton, Pak.” Sebelah alis Yuka terangkat, “Marathon drakor?” Ia teringat gadis-gadis senang sekali menonton acara itu hingga kadang menangis, teriak histeris, tertawa, ya contohnya Yurika, kakak perempuannya. “E-ee iya, Pak,” jawab Aneth sambil tertawa kaku. Tak lama lift berdenting menunjukan lantai kantor A
Laki-laki ber-sweater ombre keabu-abuan itu sedang duduk mengobrol dengan temannya ketika melihat seseorang yang tak diduga muncul. Dari sana tampak sepupunya datang bersama... Aneth? Dia tidak berhalusinasi, kan? Valdi sedikit tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sewaktu Yuka berkata akan mengajak Aneth, ia kira itu hanya gurauan. Dan lagi, Aneth menerima ajakannya? Sepupunya tampak menyapa beberapa orang yang dia kenal di sana dan memperkenalkan Aneth kepada mereka. Tangannya terkepal erat menyaksikan keakraban mereka. Kenapa Aneth mau pergi dengan Yuka? “Oh, ternyata benar lo udah sampai,” ujar kakak sepupu, menghampirinya. “Aneth! Lo datang sama Yuka?” Sementara Ivy, sang tunangan, memekik girang bercampur kaget. “Hai, iya. Katanya ada kalian, makanya dia ajak gue.” Aneth tersenyum menjawab Ivy, lalu menoleh sekilas ke arahnya. Ia hanya bisa menelan kejengkelannya untuk sekarang, meskipun sebenarnya i
“Kapan ciuman pertama lo?” Orang-orang di ruangan bersorak riuh. Yang pertama kali mendapat pertanyaan adalah perempuan yang sebelumnya menegur temannya ketika membicarakan Yuka. “Baru mulai aja pertanyaannya udah begini. Wah, gimana pertanyaan selanjutnya nih,” celetuk seorang laki-laki yang sebelumnnya bermain dart. “Pokoknya semua harus kena. Nggak mau tau,” perempuan yang mengenakan bodycon mini dress warna peach itu tertawa. “Ciuman pertama ya, apa pipi termasuk?” tanya perempuan yang mendapat giliran. “Ya nggak lah, Bambang.” “Hmm, ngak terlalu ingat. Kalau nggak salah waktu SMP?” Mendengar jawabannya, yang lain berwow-ria dan meledek perempuan itu. Setelahnya permainan kembali berlanjut. Aneth heran, mereka tidak kehabisan pertanyaan sama sekali. Beberapa pertanyaan ada yang masih dalam batas wajar. Tapi tidak sedikit juga pertanyaan ekstrem yang sulit dijawab. Contohnya sepert
“Ternyata hebat juga lo,” Elden mendekati Aneth yang sedang berdiri di dekat meja Bar. Saat itu Aneth sedang memerhatikan sekeliling mencari Yuka. Sepertinya laki-laki itu tidak ada di ruangan. Mungkin ke toilet, pikirnya. Aneth mengabaikan Elden yang berdiri di sebelahnya memegang dua gelas minuman. Sebelah tangannya menyodorkan segelas wine, tetapi Aneth memalingkan wajah. Elden meletakan gelas itu di meja lalu meneguk minumannya sendiri. “Datang sama cowok yang namanya Yuka, TTM-nya sama cowok yang udah punya tunangan. Two-timing, huh?” sindir Elden. Dengan jutek Aneth menoleh ke arahnya. Tatapan tajamnya seperti mampu melubangi kepala Elden. Dari mana dia tau soal Valdi? Jujur saja, ia sangat panik dengan kalimat laki-laki itu barusan. Tapi ia berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya. “Siapa ya namanya,” lanjut Elden tanpa peduli. “Val...Valdi. Iya bener Valdi!” Ia menyerukan nama itu cukup keras.
Setelah menutup telepon dari Yuka, Aneth menyisir rambutnya dengan jari, menggenggam sebagian rambutnya menutupi wajah. Sebelah tangan yang lain menopang tangannya yang memegangi rambut. Ia lalu menoleh ke jendela. Kepalanya terasa berputar-putar karena terlalu banyak meneguk alkohol. Sebenarnya dia tidak pulang sendiri.'Maaf ya, saya bohong.' Bisiknya dalam hati.Sewaktu ia keluar dan membuka aplikasi taksi online, dia sudah sempoyongan. Saat itu Elden memergokinya dan meraih pinggangnya.'Sial, dia lagi, dia lagi.' Aneth sempat mengumpat dalam hati.Tapi entah mengapa ia juga merasa sedikit lega karena laki-laki itu yang menemukannya. Gila! Bisa-bisanya dia berpikir lebih aman bersama laki-laki brengsek ini.“Siapa lagi sekarang? Your sugar Daddy?” celetuk Elden mendengar percakapan Aneth di telepon memanggil lawan bicaranya dengan sebutan ‘Pak’.“Berisik,
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi