Dira mengembangkan senyumnya. Baru kali ini wanita itu bersyukur saat sedang sakit. Iya, ternyata Abi tidak banyak mengucapkan kata dia justru langsung memperlihatkan dengan tindakan. Lelaki itu mungkin sadar jika Dira kelaparan lalu dia menawarkan bubur untuk makan malamnya. "Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?" tanya Abi saat tanpa sengaja memergoki Dira yang terus tersenyum sembari memandang dirinya. "Tidak, aku merasa rumah sakit ini seperti hotel bintang lima. Apa aku boleh berlama-lama di sini?" jawab Dira. Dira baru saja dipindahkan ke ruang rawat VIP sesuai permintaan Abi. Tidak hanya itu, lelaki itu kini bersama dengan Dira dan dengan telaten menyuapi dirinya. "Tinggalkanlah di sini, mungkin ginjal kamu yang akan menjadi jaminannya," ketus Abi. Meskipun begitu Abi merasa senang, tapi perasannya juga bercampur aduk seperti permen nano-nano saat bersama Dira saat ini. Ada rasa menggebu untuk bisa menjaga dia, tapi di lain sisi masih ada rasa benci pada wanita itu. Seket
Rico memandang lekat wajah Dira yang kini tengah menatap kosong ke arah pintu. Lelaki itu bisa membayangkan bagaimana perasaan Dira saat ini. Masih jelas terdengar di gendang telinga lelaki itu saat kata cibiran dan umpatan dilontarkan oleh Abi untuk wanita itu. "Dasar murahan! Kamu bilang jika kamu itu istriku, tapi lihatlah kamu saat ini saling mengungkapkan kata cinta dengan lelaki lain. Aku tidak pernah mengharap kamu hadir atau benar-benar ingin menjadi istriku, Andira Sabit. Tapi jujur aku sangat kecewa. Kamu benar-benar murahan dan wanita sial yang pernah aku kenal!" Rico mengingat setiap bait kata yang diucapkan Abi untuk Dira. Tidak heran jika saat tadi wanita itu berkata tidak berharap jika Abi memberikan belas kasian untuknya demi mempertahankan harga dirinya. "Dira," ucap Rico memanggil nama wanita itu agar fokusnya kembali. "Apa aku begitu memalukan dan sangat murahan?" tanya Dira meminta pendapat dari Rico dia sama sekali tidak bisa menerima semua perlakuan Abi. Dia
Di rumah sakit."Pa, Mama baik-baik saja. Hanya saja darah tinggi Mama naik," ucap Miranda melalui sambungan telepon. Wanita paruh baya itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan. Beberapa hari yang lalu dia sering mengeluh sakit kepala. Sementara di seberang sana, Fauzan baru saja menghela napas lega. Meskipun dia sedikit kesal dengan sang istri karena dirinya ingin menemani ke rumah sakit, tapi ditolak oleh sang istri. "Kalau begitu Mama kapan pulang. Apa perlu Papa meminta Abi untuk menjemput Mama?" tanya Fauzan. "Tidak perlu, Pa. Kan sudah ada supir, sudahlah Pa. Mama tidak apa-apa, setelah ini pasti akan kembali sehat. Ini juga gara-gara menantu kita itu makanya Mama sering migrain," jawab Miranda.Sejak pertemuan dengan Dira waktu itu, Miranda selalu memikirkan hubungan Abi dengan Dira. Satu setengah bulan yang diminta Dira tentu saja ada maksud dibalik itu semua. Miranda mengingat betapa licik wanita itu, dia ingin memperingatkan Abi. Namun, sang anak sepertinya sudah bers
Kaki wanita paru baya itu tak lagi mampu menopang berat badannya. Rasa bersalah kini menyelimuti hatinya. "Apa yang sudah aku lakukan? Aku menghancurkan hidupnya?" tanya Miranda pada dirinya sendiri. Satu kalimat yang kini terus tersemat bagaikan pengingat untuknya. Kalimat yang diucapkan Dira. Aku juga tidak pernah berharap bisa menikah dengan keluarga Sander. "Lalu kenapa dia mau menikah saat itu? Ada apa sebenarnya di keluarga Sabit ini?" Miranda memikirkan semua hal yang kini menjadi teka-teki di benaknya. Semakin Miranda memikirkan semuanya kepalanya kembali berdenyut nyeri. "Sepertinya aku harus segera menemui Abi. Aku harus bertanya padanya, kali ini aku tidak boleh membuat keputusan begitu saja, apalagi keadaan Dira sekarang seperti itu." Miranda kini menahan rasa nyerinya dia langsung membulatkan tekad untuk menemui Abi di perusahaan. Namun, saat kaki wanita itu ingin melangkah meninggalkan rumah sakit. Suara Dira terdengar di gendang telinganya sontak membuatnya terkeju
Mobil berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan agar segera sampai pada tempat tujuannya. Namun, hal berbeda dirasakan oleh Miranda yang kini duduk di bangku penumpang. Pikiran wanita paruh baya itu masih berada di rumah sakit tepatnya di saat dia berbicara dengan Rico. "Jika saya mengatakan iya, apa Ibu percaya? Saya memang belum terlalu mengenal Dira, tapi sepanjang saya mengenal beberapa minggu yang lalu. Dira wanita yang kini tengah kesepian di saat hidupnya berada di ujung jurang." Kalimat perumpamaan yang dilontarkan Rico seolah menjawab semua keinginan tahuan dirinya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku amat benci pada wanita itu tapi aku sama sekali tidak bisa membiarkan keadaan terus begini. Bukankah ini tidak adil untuknya?" gumam Miranda. Miranda sekilas melihat ke arah spion dia tahu jika sekarang sang supir sedang memperhatikan dirinya. "Apa ada yang salah denganku? Kenapa kamu memperhatikan aku seperti itu?" tanya Miranda. "Tidak, Bu
Dira pasrah jika dirinya akan mendapatkan sebuah tamparan dari manager Dika, karena dia tahu jika dirinya sudah bersalah. Seharusnya dia bisa mengontrol emosinya. Kini wanita itu memejamkan matanya guna bisa menikmati rasa sakit saat ditampar. Namun, sudah beberapa saat dia memejamkan mata, tapi tidak merasakan apa-apa. Apa manager Dika tidak jadi menamparnya?Dira langsung membuka kelopak matanya, dia kini dibuat terkejut saat tangan kekar manager Dika dipegang oleh Abi. "Apa kamu seorang pecundang?" tanya Abi membuat Dira masih tidak percaya jika sang suami membela dirinya. Dika langsung melepaskan tangannya dari cengkraman Abi. "Anda tidak perlu ikut campur. Ini masalah saya dengannya! Lagi pula siapa Anda?" seru Dika. "Siapa saya tidaklah penting. Bukankah sebagai seorang lelaki harusnya Anda tidak perlu main tangan?" ucap Abi. Kini perasaan Abi memberontak, dia bilang seorang lelaki tidak boleh main tangan? Lalu apa yang selama ini dia lakukan pada Dira? Bahkan dia pernah me
Kaki jenjang Dira terus melangkah maju, dia berniat untuk mengabaikan Abi yang kini terus menatap dirinya dengan tatapan nyalang. "Kamu!" teriak Abi saat Dira berada satu langkah di depan, melewati Abi. Dira menghentikan langkahnya, dia menunggu Abi berbicara kembali. Namun, beberapa saat berlalu lelaki itu tak ada niatan lagi berucap kata. Dira kembali melangkah. "Kamu berniat mengabaikan aku?" Suara Abi kembali terdengar di gendang telinga Dira. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya tanpa ingin membalikkan tubuhnya. "Setelah apa yang terjadi kamu mengabaikan aku dan berniat untuk kembali bekerja? Dan lagi harusnya kamu belum keluar dari rumah sakit, tapi sekarang kamu berkeliaran di sini, apa kamu hanya berpura-pura semalam?" cecar Abi. Dira berdecak sebal, emosinya kini sedang tidak stabil. Bahkan dia tidak bisa menilai seperti apa dirinya saat ini, apakah Dira yang polos atau memang Dira yang penuh dengan api kebencian. "Apa aku meminta? Apa Kakak lupa jika aku wanita li
Dira sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abi saat mengetahui pipinya yang mungkin saja kini sudah membiru. Dalam hatinya dia terus mengutuki Nadya. "Kamu lepas atau aku yang lepas?" Abi mengulang kembali kalimatnya tidak hanya itu kini posisi tubuhnya juga menghadap ke arah Dira. Benak Dira langsung beraksi saat mendengar ucapan Abi. Dia ingin agar Abi tidak melakukan apa yang diinginkan dia pun berkata, "Jika aku melepaskan masker ini apa aku bisa mendapatkan ciuman dari Kakak lagi? Ah, aku ingat kejadian kemarin." "Bahkan kamu sama sekali tidak bisa membalas ciuman itu." Abi menjawab dengan nada pelan, dia tidak ingin menunjukkan rasa kecewanya. "Kakak bicara apa?" tanya Dira sembari mengedipkan kedua matanya seperti wanita centil.Abi menarik sudut bibirnya ekspresi yang ditunjukkan Dira benar-benar membuat dia gemas. Sayangnya, sekali lagi wanita itu sama sekali tidak mau membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. Kini tangan Abi terulur dan ingin menarik
Abi merasa sangat bersalah ketika hidung yang ia tarik tadi bukan hanya merah tapi juga mengeluarkan cairan berwarna merah. Seketika itu Abi langsung membawa Dira ke rumah sakit. Lelaki itu berdecak sebal saat di rumah sakit justru dokter yang menangani Dira lagi dan lagi adalah Rico. "Sudah selesai belum? Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!" seru Abi saat melihat Rico yang kini membersihkan darah dari hidung Dira yang tak kunjung berhenti. "Bawel amat! Ini juga karena perbuatan dirimu. Aku heran kenapa wajah Dira penuh memar apa kamu melakukan KDRT?" tuduh Rico. "Jangan sembarang bicara! Sudahlah lebih baik panggil dokter yang lain. Aku mampu membayar tiga kali lipat," ujar Abi kesal dengan tuduhan Rico tadi. Dahi Rico mengkerut sembari menatap penuh tanya pada Dira. Lelaki itu berharap Dira dapat memberikan jawaban yang kini mengganjal di benaknya. Iya, pertanyaan apa kira-kira hubungan Dira dan Abi kini sudah membaik? "Aku sudah tidak apa-apa. Ini juga akan segera b
Dira tercengah saat mengetahui hal penting yang ingin dilakukan Abi. Setelah kepergian Miranda, Abi langsung menghubungi Zain pengacara yang mengurusi perjanjian yang kemarin dibuat untuk kedua belah pihak. "Jadi ini hal penting yang Kakak maksud?" tanya Dira menatap wajah tampan sang suami yang kini berada di sampingnya."Iya, ini hal penting yang harus segera kita selesaikan." Abi memegang tangan Dira lalu menautkan tangannya, "aku sudah bilang padamu jika aku akan memulai dari awal denganmu. Dan langkah pertama yaitu membatalkan perjanjian konyol yang sudah kita buat." Bola mata Dira berbinar di ujungnya ada tumpukan cairan yang hampir saja keluar dari bendungan. Dira sama sekali tidak menduga hal sepele seperti ini tak luput dari pemikiran Abi. "Kamu menangis?" Tangan Abi yang menganggur kini menghapus air bening yang sempat mengalir. Kedua bola mata keduanya kini saling bertatapan seakan tidak ada habisnya Abi langsung meletakkan kepala Dira di pundaknya. Tentu saja Zain yan
"Jadi ini alasan kamu tidak pulang?" cetus seorang wanita paru baya yang tak lain adalah Lita. Iya, sejak tadi ia mengikuti Nadya. Sebagai seorang ibu iya tahu persis apa yang dialami sang anak yang tiba-tiba berubah. Lalu fakta yang barusan ia dapatkan jika Indra sang suami justru memberikan ide gila pada sang anak guna memiliki Abi dan menyelamatkan gudang. "Bu, aku bisa menjelaskan ini semua," ucap Indra yang langsung menghampiri Lita yang kini masih berada di pintu masuk. "Penjelasan apa? Ini semua sudah cukup jelas bagiku. Kamu membuatku hidup bak ratu dengan cara seperti ini?" pungkas Lita tak terima. Tidak! Lebih tepatnya ia membohongi dirinya sendiri, dia senang hidup bak ratu karena itu semua adalah hal yang paling ia inginkan sejak dulu, hidup miskin dengan banyak kekurangan tak mampu ia hadapi ditambah dengan kelahiran Dira sebagai mana janin itu sama sekali tidak ia inginkan. "Lalu aku harus bagaimana? Omset kita semakin hari semakin menurun. Bahan yang kita dapatkan t
"Di—Dira, kenapa kamu ada di sini?" tanya Nadya sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah Dira. Wanita itu juga merasa sesak di dadanya saat melihat Dira keluar dari kamar Abi. "Kak Nadya." Mulut Dira bergerak menyebut nama sang kakak. Entah apa yang terjadi pada Dira saat ini setalah ia melihat bola mata sang kakak penuh dengan kebencian saat menatap dirinya. Seolah Dira kini sudah menghancurkan hati sang kakak, tidak heran dan hal itu disadari Dira terlebih ia sudah tidur dengan Abi. Sementara itu, Nadya langsung menghampiri Dira, wanita yang kini memiliki status sebagai kakak Dira itu ingin memberikan tanda merah di pipi sang adik. Namun, sayangnya saat tangannya hampir melayang ke pipi mulus sang adik tertahan di udara. Nadya langsung melirik pada sosok lelaki yang kini memegang pergelangan tangannya. "Kak Abi." "Jangan pernah kamu melakukan kekerasan lagi pada Dira, Nadya. Jika kamu melakukan itu lagi aku akan membuat kamu menerima akibatnya." Ancam Abi sembari melepaskan
"Selamat pagi, Ma," sapa Abi pada Miranda yang kini terduduk di meja makan. Tersirat dengan jelas wajah cemas wanita paru baya itu, tak kala ia tidak melihat Dira. "Abi, mana Dira? Kamu tidak melakukan apapun kan padanya?" cecar Miranda sembari berdiri lalu menggeser Tubun Abi berharap wajah sang menantu berada di balik punggung sang anak. "Ada Ma, Dira di kamar katanya lagi gak enak badan," jawab Abi. "Gak enak badan?" Miranda mengulang kalimat terakhir Abi, setelah wanita itu sadar ia langsung melangkahkan kakinya menuju kamar. "Mama mau kemana?" Abi menarik tangan Miranda guna mencegah wanita paru baya itu tidak melihat keadaan Dira. Abi sedikit menyesali perbuatannya, akibat ia sudah tidak bisa menahan hasratnya saat di kamar mandi, lelaki itu mengulangi kejadian semalam hingga membuat Dira lemas dan seluruh tubuhnya yang putih penuh dengan tanda kemerahan. "Mama ingin melihat Dira, Abi. Mama yakin keadaan Dira semakin memburuk, kita harus ke rumah sakit." Miranda ingat kead
Dira tersenyum miris, berulang kali suara Abi yang menyebutkan nama Nadya terus terdengar di gendang telinganya. Wanita yang kini sudah tidak bisa dikatakan sebagai seorang gadis lagi langsung mengubah posisinya memunggungi sang suami. Perlahan tapi pasti kali ini ia tidak sekuat biasanya yang dapat menahan butiran air bening saat bersama dengan Abi. Rasa sesak di dada wanita itu sudah tidak bisa ia tahan hingga menimbulkan suara isak kan. Tentu saja isakan yang dikeluarkan Dira didengar oleh Abi. Lelaki yang kini masih mengatur napasnya mulai sadar mungkin ia sudah salah berbicara. "Dira apa kamu menangis?" tanya Abi yang langsung mengubah posisinya menatap punggung Dira. Dira diam saat mendengar pertanyaan Abi, haruskah disaat menyedihkan seperti ini ia menjawab pertanyaan Abi yang menurutnya sedang mempermainkan dirinya."Dira, kali ini aku benar-benar dalam keadaan sadar. Aku tahu selama ini aku sudah bersikap keterlaluan padamu, aku sudah melimpahkan semua kesalahan padamu. S
Dira sama sekali tidak menyangka jika Abi benar-benar menginginkan dirinya. Namun, ada hal yang mengganjal di indra penciumannya bahwa kini ada bau aneh yang dicium Dira dari napas Abi. Apa ini alkohol? Dira mencoba menebak sebab ia sama sekali tidak familiar dengan bau itu, tapi jika dipikir-pikir Abi tidak akan meracu tidak jelas dengan menginginkan dirinya jika lelaki itu sadar. "Kak, apa Kakak sadar dengan apa yang Kakak katakan barusan? Aku ini wanita murahan yang sama sekali tidak pernah kamu inginkan, lebih baik Kakak bersihkan diri agar Kakak kembali sadar," ungkap Dira yang kini berani menyentuh tangan Abi yang masih berada di atas aset berharga miliknya. "Selama ini aku menuduh dirimu sebagai wanita murahan, harusnya kamu membuktikan jika dirimu bukanlah wanita seperti itu kan? Selain itu aku tetap masih suamimu tidak masalah jika aku menuntut hak sebagai seorang suami," sahut Abi terkesan memaksa ia tidak ingin ada penolakan. Hasratnya kini sudah menggebu, apa di umurnya
Abi mendorong kuat tubuh beraroma parfum jasmine yang digunakan Nadya, saat ini Abi sama sekali tidak bisa mengontrol dirinya. Hampir saja jemari lentik miliknya menelusuri setiap jengkal pangkal tubuh Nadya. "Nad, bawa aku pulang," rengek Abi pada Nadya. "Kak, aku ini kekasihmu. Jika Kakak menginginkan aku, ayo, tunggu apa lagi," ucap Nadya mencoba merayu Abi. "Jika kamu tidak mau mengantar aku pulang aku bisa cari taxi," ancam Abi. Sungguh lelaki itu ingin sekali menumpahkan kekesalannya pada Nadya. Bisa-bisanya wanita yang sudah ia percayai membuat ia merasakan hal menjijikkan seperti ini. Jika Abi lelaki bejat mungkin ia akan sangat senang bersentuhan dengan siapa saja, tapi dia memiliki prinsip yang sama sekali sudah tertanam kokoh di benaknya. Selain itu ia juga ingin menjaga kehormatan Nadya, kenapa wanita itu sama sekali tidak paham akan niat baiknya?"Iya, aku akan mengantar Kakak pulang," ucap Nadya. Nadya sebenarnya kesal dalam keadaan seperti ini Abi masih saja menola
Nadya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati di mana pintu itu menjadi pembatas antara dirinya dengan sosok di dalam sana. Perlahan-lahan Nadya memutar gagang pintu itu lalu menyembulkan kepalanya diikuti seluruh tubuh guna bisa masuk ke dalam. "Selamat pagi Pak Abi, hari ini jadwal Anda tidak terlalu padat. Anda hanya memiliki beberapa berkas yang harus di periksa dan ditandatangani, untuk meeting di luar yang sudah dijadwalkan dibatalkan oleh pihak mereka," jelas Nadya yang kini sudah berada tepat di depan Abi hanya ada pembatas meja diantara mereka. Tentu saja ini semua bukan kebetulan semata, karena Nadya yang sudah membatalkan semua jadwal Abi. Ia ingin membuat Abi memiliki banyak waktu agar apa yang ia rencanakan berjalan dengan lancar.Sementara itu, Abi menautkan kedua alisnya, sangat jarang koleganya membatalkan janji terlebih mereka sangat ingin bekerjasama dengan perusahaanya. Namun, jika ia memikirkan lebih jauh tidak ada salahnya para kolega membatalkan janji karen