Baru gebetan tapi niat sama usahanya tidak tanggung-tanggung. Jangan lupa vote ya Kakak Penasaran dengqn kisah Riswan dan Risa? Ada judul sendiri untuk mereka, JANDA TANGGUH DIKEJAR MANTAN SUAMI. Silakan ditambahkan ke pustaka ya! Aku tunggu komennya.
Langkahnya mulai melambat mendengar suara-suara sumbang yang mulai bersahutan. Sekilas telinga Akram mendengar dan mulai mencerna situasi. Seorang wanita yang tampaknya pemilik kost sedang mencaci maki Danu dan dua orang pemuda yang biaya kostnya menunggak. Akram bisa menilai dari penampilan mereka yang menyandang tas ransel dan drafting tube. "Kalau tidak mampu bayar, tidak usah tinggal di sini lagi! Saya juga butuh uang!" cecar wanita itu berkacak pinggang. Kalimatnya yang sama sudah berulang sejak tadi. Bahkan penghuni kontrakan lama sudah hapal betul kalimat selanjutnya. "Kamu juga jangan sok baik! Kamu di sini itu jadi biang gosip!" ucapnya pada Arum yang mengulurkan tiga lembar uang seratus ribuan pada wanitanya itu sebagai tambahan sewa kamar Danu. "Pak Danu, ini masih kurang tiga ratus! Bapak itu menunggak dua bulan! Selama ini selalu saja nunggak. Kalian mahasiswa tukang tipu! Minggu depan kalian keluar saja dari sini. Saya capek dijanji kiriman dari kampung. Paling kalian p
Tiga buah koper dan dua tas besar diturunkan Akram dan Danu dari bagasi mobil. Arum memandangi rumah minimalis tanpa pagar itu. Ada sebuah sepeda motor dan sepeda yang terparkir di sudut carport dekat tong sampah. Arum dan Wina duduk di teras menunggu Akram membuka pintu rumah. "Silakan masuk!" ucap Akram meletakkan koper dan tas milik Arum di depan kamarnya. Langkahnya lalu bergegas ke kamar tamu dan meminta Wina membaringkan putrinya di tempat tidur. Danu turut menarik kedua koper dan tasnya. Setelah itu Akram ke dapur mengambil beberapa botol air mineral. Air galon dispensernya belum diganti karena seminggu lebih ia membiarkan rumahnya kosong. Untung saja pagi tadi ia sempat bersih-bersih. "Bang, besok saja beres-beresnya. Barang-barang sepupu saya di lemari tidak banyak. Biasanya kamar tamu ini dia yang pakai kalau malas ke apartemennya. Besok akan saya keluarkan. Di dalam kamar ada kamar mandinya. Kalau lapar tengah malam, cari saja makanan di kulkas," canda Akram yang membuat
"Bagaimana? Enak tidak?" tanya Akram pada Nara. Gadis kecil itu mengangguk kemudian kembali menyendok bubur ayam ditambah toping abon telur. Mereka sedang menikmati sarapan pagi di meja makan. Sedangkan Nara sudah duduk anteng makan bubur di depan televisi, menonton film kartun. Akram dan Danu membahas pekerjaan. Akram bertanya pada Arum dan Wina apa yang mereka ingin lakukan hari ini karena dia dan Danu sepertinya akan pulang larut malam. Keduanya bingung karena hari ini adalah hari Minggu. Wina tidak berangkat kerja karena semalam ia sudah meminta cuti sehari pada bosnya. Ia sengaja melakukan hal itu karena mengira dirinya tidak akan sanggup keluar kamar kostnya hari ini. Tapi situasi sudah berbeda dan jujur saja, perasaan ibu satu anak itu sudah mulai tenang. "Di rumah saja, istirahat. Mau keluar malas, macet," jawab Arum dan Wina turut mengangguk. "Adina sama Alyana mau ke sini ketemu kamu. Kalau kamu tidak keberatan, aku bolehkan mereka ke sini," ujar Akram menoleh setelah men
"Ardito!" panggil pengacara paruh baya itu sebelum masuk ke dalam mobilnya. Masih dengan senyum ramahnya, pria itu mengulurkan sebuah bungkusan kecil pada pemuda itu. Mereka bertiga berhenti sejenak. Kemudian pengacara itu mempersilahkan pasangan suami istri itu masuk lebih dulu ke dalam taksi online yang mereka pesan. Mereka paham jika pengacara itu ingin bicara berdua dengan Ardito. "Ini titipan dari klien saya. Dia bilang ini untuk kamu, karena dia ingin kamu bisa leluasa menghubungi kakak kamu kapan saja kamu mau. Di dalamnya juga ada kartu ATM dari rekening khusus pelajar yang sudah saya buka untuk kamu. Mulai sekarang kamu itu tanggung jawab klien saya, bukan lagi tanggung jawab paman dan bibi kamu. Mereka sudah memahami itu setelah bicara dengan klien saya. Secepatnya dia akan jemput kamu untuk ke Makassar, tapi dia minta kamu untuk bersabar," jelasnya sembari mengusap punggung Ardito sebelum pamit kembali ke kantor. Dalam perjalanan pulang, mereka bertiga diam saja. Paman da
Berkonsultasi dengan sahabat Riswan yang memang seorang pengacara handal membuat Akram lega. Setidaknya keputusannya untuk bekerja sama dengan beberapa pihak akan aman disertai legalitas hukum. Akram akui jika omnya, Haslanuddin adalah orang yang tenang dan selalu berpikir jangka panjang. Semua tindakannya dipikirkan dengan matang dan tidak ingin pengacara lain selain sahabat sepupunya ini. "Kita ketemu di kantor Kamis pekan depan. Titip salam untuk Om Has dan Tante Has," ujar pria berkacamata itu tersenyum ramah. Satu hal yang berbeda, sejak dulu semua sahabat setengah lusin Riswan akan memanggil pasangan suami istri itu sebutan om dan tante dengan nama Has yang merupakan awalan nama mereka. Kata mereka, namanya juga pemilik Yayasan HAS. "Iya Bang. Salam buat keluarga Abang juga. Sekali lagi terima kasih sudah meluangkan waktu dihari libur Abang," ujar Akram setelah pria itu menerima pesan dari istrinya jika sudah selesai berbelanja. "Jangan sungkan, Ram. Kamu adiknya Riswan, jadi
Masih dengan langkah mengendap-endap, Akram meletakkan tumpukan map di meja kerjanya. Malam ini ia pulang larut karena besok ia akan rapat dengan petinggi yayasan. Setelah bertemu Faiz dan mengunjungi Riswan di apartemennya, Akram tidak langsung pulang. Ia justru melajukan mobilnya ke kantor. Ada rencana yang ingin dilakukannya untuk Arum sehingga sebisa mungkin pekerjaannya tidak ada yang tertunda. Tadinya ia pikir Arum masih terjaga karena lampu kamar masih menyala. Ternyata wanita itu membaca novel hingga akhirnya ketiduran. Akram gerah karena seharian ini ia ke sana kemari mengurus pekerjaannya. Begitu santai ia meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Belasan menit berlalu, Akram kembali keluar hanya dengan mengenakan handuk. Hal pertama yang dilakukannya adalah meraih ponselnya yang bergetar. Pesan dari Riswan dan berisi pertanyaan tidak penting. Sepupunya itu sedang meledeknya dengan mengingatkan dirinya untuk tidak khilaf. Ingin rasanya ia mengembalikan pesan itu pada sepupuny
Arum baru saja selesai mandi setelah sejak siang hingga sore berkutat di dapur. Ditemani Nara yang dengan senang hati membantunya memasukkan keripik bayam ke dalam toples. Arum gemas sekali melihat tingkahnya. Setelah itu Nara kembali bermain boneka Barbie sambil menonton film kartun yang serupa. Saat Arum sholat Ashar di kamar, ia turut memanggil Nara masuk dan duduk tak jauh darinya. Entah mengapa ia jadi selalu kepikiran jika anak itu jauh darinya. Ada saja yang ditakutkannya, semisalkan Nara tiba-tiba ke dapur dan mengambil sesuatu dan memecahkannya. Masih untung jika tidak terkena pecahan kaca atau benda tajam lainnya. Dulu ia pernah lalai saat menjaga Ardito dan hal itu masih teringat olehnya. Ketika ia membuat sup daging, perkedel dan sambal tempe, kegiatannya itu sama sekali tidak membuatnya lelah, justru sangat menikmatinya. Gadis kecil itu kembali ingin membantunya. Sempat bingung karena tidak tahu apa yang harus ia minta pada Nara. Saat melihat bahan masakannya, akhirnya
Arum menyalin folder berisi beberapa file tersebut dan menunggu prosesnya selama belasan menit. Setelah itu file yang diinput tadi kini muncul dalam dua kolom. File asli di kolom kiri dan hasil analisisnya berbentuk tabel dan poin-poin di kolom kanan. Berbagai tombol diklik bergantian sesuai warna dan simbol. Setengah jam kemudian, hasil analisis itu rampung dengan berbagai hasil sudut pandang. Akram terdiam menatap hasil print out yang muncul satu persatu dari printernya. Bukan hanya analisis keuangan yang tertera, tapi juga analisis hukum dan analisis faktor resiko lainnya. "Jadi kerjaan kamu selama ini seperti ini?" tanya Akram dan lagi-lagi Arum mengangguk seperti kebiasaannya. Memang tugasnya yang harus menginput semua hasil analisa itu kemudian memberitahukan pada atasannya. Termasuk mana pilihan yang paling menguntungkan untuk perusahaan sesuai hasil analisis software dan harapan atasannya. Dengan demikian atasannya bisa menentukan keputusan sesuai dengan kondisi terkini seka
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k