Lagi-lagi orangnya Abang Riswan. Dokter Dwi moga jodoh sama yang baik juga ya. Tapi maaf, bukan sama Abang Riswan, soalnya si abang sudah kepincut sama yang lain. Ikuti ceritaku yang lain deengan judul JANDA TANGGUH DIKEJAR MANTAN SUAMI
Akram tersenyum lega duduk di kursi pesawat. Selain memandang foto USG dari darah dagingnya, telinganya juga terus mendengar detak jantung calon anaknya melalui earphone yang tersembunyi di balik kupluknya. Riswan benar, hal itu membuatnya lupa sejenak dengan dunia. Sungguh kuasa Allah tiada terkira. Perjalanan Akram dini hari ini terasa sekejap saja di pesawat. Tiba di Surabaya, ia langsung menuju ke salah satu warkop milik kenalannya. Salah seorang sahabatnya itu mempertemukannya dengan beberapa orang. Mereka sibuk berbincang dan membuat kesepakatan. "Kenapa buru-buru banget sih Ram?" tanya Lintang. Akram tersenyum lalu menjawab, “Kamu lupa aku sibuk dan tidak boleh ketahuan ada di sini?” Sebelum subuh, Akram dijemput Jef dan mereka bergegas ke kota berikutnya. Selama empat hari, seperti itulah kesibukan Akram. Jika bukan mengurus urusan pribadi, ia akan disibukkan dengan masalah pekerjaannya yang terkait Yayasan HAS. Putra Ardanuansyah itu sudah sesibuk pejabat pemerintahan. Pe
Senyum Ardan dan Novita semakin merekah di depan kamera. Saat ini pasangan suami istri itu sedang berada di TPS. Tepatnya di depan masing-masing kotak suara yang siap menampung kertas pencoblosan. Keduanya diapit oleh putra dan juga putrinya. Di TPS lain, keluarga Latief dan keluarga Haslan sudah lebih dulu menyelesaikan kegiatannya. Mereka turut hadir di TPS tempat keluarga kecil Ardan menyalurkan suara. Setelah menanggapi beberapa pertanyaan wartawan, Ardan memboyong keluarganya ke posko induknya. Di sana keluarga dari istrinya, iparnya beserta tim suksesnya sudah berbondong-bondong datang untuk acara santap siang bersama. Begitu juga dengan keluarga calon pasangannya dalam pilkada kali ini. Akram dan Riswan bercengkrama menanggapi beberapa pria sesama anggota partai yang mengusung pasangan Ardanuansyah dan Syarief. Ardan merasa bangga putra dan keponakannya mampu mengimbangi topik pembicaraan mereka. Bahkan beberapa di antara mereka sepertinya tertarik ketika membicarakan program
Setelah semuanya beranjak untuk beristirahat, lain halnya Akram yang masih termenung menatap layar ponselnya. Tiga kata yang menghiasai wallpaper ponselnya yang selalu mengingatkannya agar tidak goyah dengan keputusannya. Putra sulung Ardanuansyah itu sedang merenungi nasibnya dan nasib adiknya. Notifikasi pesan dari sekretarisnya mengalihkan atensi Akram. Setelah dibalas jika besok dirinya akan mengurus masalah tersebut, Akram kembali membuka percakapan group dengan sahabat-sahabatnya. Tadi dalam perjalanan pulang, Lintang membahas lebih dulu tentang Faiz. Akram tidak menyangka jika gebetan adiknya itu bergerak cepat dan memenuhi tantangan dengan lancar. Boys After Flower Dok_Preman: Assalamualaikum... Ram, beneran Adina pacaran? Atau baru gebetan? Dia datangin aku kemarin. Bi_Antara: Kokbisa? Teruskamudiapaindok? Ranu_Man: Gimana ceritanya? Pacar? Gebetan? Teman aja kalieee Jangan lupa pakai spasi Bi... Susah bacanya! Aku_Ram: Iya, benar gebetannya Adina. Namanya
Langkahnya mulai melambat mendengar suara-suara sumbang yang mulai bersahutan. Sekilas telinga Akram mendengar dan mulai mencerna situasi. Seorang wanita yang tampaknya pemilik kost sedang mencaci maki Danu dan dua orang pemuda yang biaya kostnya menunggak. Akram bisa menilai dari penampilan mereka yang menyandang tas ransel dan drafting tube. "Kalau tidak mampu bayar, tidak usah tinggal di sini lagi! Saya juga butuh uang!" cecar wanita itu berkacak pinggang. Kalimatnya yang sama sudah berulang sejak tadi. Bahkan penghuni kontrakan lama sudah hapal betul kalimat selanjutnya. "Kamu juga jangan sok baik! Kamu di sini itu jadi biang gosip!" ucapnya pada Arum yang mengulurkan tiga lembar uang seratus ribuan pada wanitanya itu sebagai tambahan sewa kamar Danu. "Pak Danu, ini masih kurang tiga ratus! Bapak itu menunggak dua bulan! Selama ini selalu saja nunggak. Kalian mahasiswa tukang tipu! Minggu depan kalian keluar saja dari sini. Saya capek dijanji kiriman dari kampung. Paling kalian p
Tiga buah koper dan dua tas besar diturunkan Akram dan Danu dari bagasi mobil. Arum memandangi rumah minimalis tanpa pagar itu. Ada sebuah sepeda motor dan sepeda yang terparkir di sudut carport dekat tong sampah. Arum dan Wina duduk di teras menunggu Akram membuka pintu rumah. "Silakan masuk!" ucap Akram meletakkan koper dan tas milik Arum di depan kamarnya. Langkahnya lalu bergegas ke kamar tamu dan meminta Wina membaringkan putrinya di tempat tidur. Danu turut menarik kedua koper dan tasnya. Setelah itu Akram ke dapur mengambil beberapa botol air mineral. Air galon dispensernya belum diganti karena seminggu lebih ia membiarkan rumahnya kosong. Untung saja pagi tadi ia sempat bersih-bersih. "Bang, besok saja beres-beresnya. Barang-barang sepupu saya di lemari tidak banyak. Biasanya kamar tamu ini dia yang pakai kalau malas ke apartemennya. Besok akan saya keluarkan. Di dalam kamar ada kamar mandinya. Kalau lapar tengah malam, cari saja makanan di kulkas," canda Akram yang membuat
"Bagaimana? Enak tidak?" tanya Akram pada Nara. Gadis kecil itu mengangguk kemudian kembali menyendok bubur ayam ditambah toping abon telur. Mereka sedang menikmati sarapan pagi di meja makan. Sedangkan Nara sudah duduk anteng makan bubur di depan televisi, menonton film kartun. Akram dan Danu membahas pekerjaan. Akram bertanya pada Arum dan Wina apa yang mereka ingin lakukan hari ini karena dia dan Danu sepertinya akan pulang larut malam. Keduanya bingung karena hari ini adalah hari Minggu. Wina tidak berangkat kerja karena semalam ia sudah meminta cuti sehari pada bosnya. Ia sengaja melakukan hal itu karena mengira dirinya tidak akan sanggup keluar kamar kostnya hari ini. Tapi situasi sudah berbeda dan jujur saja, perasaan ibu satu anak itu sudah mulai tenang. "Di rumah saja, istirahat. Mau keluar malas, macet," jawab Arum dan Wina turut mengangguk. "Adina sama Alyana mau ke sini ketemu kamu. Kalau kamu tidak keberatan, aku bolehkan mereka ke sini," ujar Akram menoleh setelah men
"Ardito!" panggil pengacara paruh baya itu sebelum masuk ke dalam mobilnya. Masih dengan senyum ramahnya, pria itu mengulurkan sebuah bungkusan kecil pada pemuda itu. Mereka bertiga berhenti sejenak. Kemudian pengacara itu mempersilahkan pasangan suami istri itu masuk lebih dulu ke dalam taksi online yang mereka pesan. Mereka paham jika pengacara itu ingin bicara berdua dengan Ardito. "Ini titipan dari klien saya. Dia bilang ini untuk kamu, karena dia ingin kamu bisa leluasa menghubungi kakak kamu kapan saja kamu mau. Di dalamnya juga ada kartu ATM dari rekening khusus pelajar yang sudah saya buka untuk kamu. Mulai sekarang kamu itu tanggung jawab klien saya, bukan lagi tanggung jawab paman dan bibi kamu. Mereka sudah memahami itu setelah bicara dengan klien saya. Secepatnya dia akan jemput kamu untuk ke Makassar, tapi dia minta kamu untuk bersabar," jelasnya sembari mengusap punggung Ardito sebelum pamit kembali ke kantor. Dalam perjalanan pulang, mereka bertiga diam saja. Paman da
Berkonsultasi dengan sahabat Riswan yang memang seorang pengacara handal membuat Akram lega. Setidaknya keputusannya untuk bekerja sama dengan beberapa pihak akan aman disertai legalitas hukum. Akram akui jika omnya, Haslanuddin adalah orang yang tenang dan selalu berpikir jangka panjang. Semua tindakannya dipikirkan dengan matang dan tidak ingin pengacara lain selain sahabat sepupunya ini. "Kita ketemu di kantor Kamis pekan depan. Titip salam untuk Om Has dan Tante Has," ujar pria berkacamata itu tersenyum ramah. Satu hal yang berbeda, sejak dulu semua sahabat setengah lusin Riswan akan memanggil pasangan suami istri itu sebutan om dan tante dengan nama Has yang merupakan awalan nama mereka. Kata mereka, namanya juga pemilik Yayasan HAS. "Iya Bang. Salam buat keluarga Abang juga. Sekali lagi terima kasih sudah meluangkan waktu dihari libur Abang," ujar Akram setelah pria itu menerima pesan dari istrinya jika sudah selesai berbelanja. "Jangan sungkan, Ram. Kamu adiknya Riswan, jadi
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k