Berulang kali Azizah melafalkan zikirnya. Sudah satu minggu dia di salah satu ponpes yang ada di Madiun. Selama satu minggu juga ia jalani hari-harinya dengan kesedihan. Tak jarang, Azizah sering menangis di malam hari, entah saat sedang tiduran, di kamar mandi bahkan saat sujud malam.
"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah."
Azizah terus menerus melafalkan zikirnya. Dia berharap dengan terus mengingat Allah, segala kesedihan dan kegundahan di hatinya segera hilang.
"Zah." Azizah menghentikan zikirnya lalu menoleh. Terlihat Muslimah, salah satu rekan kamarnya sekaligus seniornya datang dan membawakan makanan.
"Berhenti dulu, lalu makan. Jangan sakiti tubuhmu dengan tidak makan. Percuma kamu berzikir terus tetapi mengabaikan kesehatan. Allah jelas gak suka."
Azizah menghentikan zikirnya, menaruh tasbih di tempatnya dan melepas mukena, melipat dan menaruhnya di atas nakas. Dia segera beralih ke samping muslimah.
"Maaf ya Mbak Im
Sri duduk dengan tenang sambil mendengar penjelasan dari dokter spesialis jantung di depannya. Sesekali Sri tersenyum menatap sang dokter muda. Dia jadi teringat pada cucunya."Ini hasil CT scan sekaligus stress test yang sudah kami lakukan pada jantung Ibu, menurut kami lebih baik Ibu segera melakukan pemasangan ring demi keselamatan ibu."Hening. Dokter berperawakan tinggi menjulang dengan wajah blasteran itu kembali bersuara setelah menjeda kalimatnya."Saya sarankan Ibu segera memberitahu keadaan Ibu kepada keluarga. Karena jika terlambat, itu bisa berakibat fatal. Ibu bisa mencoba berobat di sini atau di Jogja. Ada banyak rumah sakit rujukan bagus yang bisa saya rekomendasikan untuk Ibu jika Ibu memilih berobat di Jogja.""Terima kasih atas sarannya, Dok. Akan saya pertimbangkan.""Saya harap Ibu mau melakukan usul saya.""Saya belum tahu dokter. Ya sudah terima kasih Dokter Reihan, saya pamit dulu."Reihan mengangguk. Sete
Emma menatap dari kejauhan kamar rawat sang ibu. Tadi pagi, Pandu mengabarkan jika Sri sudah sadar. Dan Sri mencari-cari Emma dan Zio. Namun baik Emma maupun Zio sama sekali tidak menggubris permintaan Sri.Zio malah memilih jalan dengan Zaky dan Yudho. Sementara Emma beralasan dia sibuk mau bertemu dengan temannya. Bukannya bertemu dengan teman, Emma malah mengawasi keadaan Sri dari kejauhan. Dia sama sekali tak mau mendekat. Sakit hati Emma lebih besar dari pada rasa sayangnya pada sang ibu.Gerakan mencurigakan Emma terlihat sekali oleh Fina yang baru saja datang."Tante."Panggilan Fina membuat Emma kaget. Dia merasa malu karena terpergok melakukan tingkah absurd. Emma tersenyum pada Fina dan dibalas oleh Fina dengan tak kalah manis."Fina.""Halo, Tante." Fina mengambil tangan Emma dan menciumnya takdim membuat Emma terpukau. Entah kenapa sejak pertama berjumpa, Emma sudah menyukai Fina. Bagi Emma, Fina ini seperti cerminan
Emma sedang menimang putranya dengan penuh sayang. Sesekali mencium pipi sang putra dengan gemas. Sementara Arini sedang melipat pakaian si kecil.Usia Zio kini menginjak tiga bulan. Dia termasuk bayi yang tidak terlalu rewel dan gampang ditenangkan jika menangis."Den Emma sudah kewes sekali dalam merawat Mas Nathan."Emma menoleh ke arah Arini lalu tersenyum."Benarkah?""Iya benar.""Dia sangat tampan.""Gimana gak tampan kalau bapak ibunya bule semua." Arini tertawa pun dengan Emma.Suara bel berbunyi. Baik Emma dan Arini saling berpandangan."Siapa ya?""Kurang tahu, Den. Apa Den Raphael?'"Sepertinya bukan. Raphael tadi menelepon, dia pulang larut karena ada kesibukan.""Ya sudah saya buka dulu pintunya ya Den Emma."Emma hanya mengangguk. Dia kembali fokus dengan putranya. Bahkan kini dia sedang menyanyikan lagu nina bobo pada sang putra.Arini membuka pintu rumah, di
Fina menatap tak percaya. Dia shock tentu saja mengetahui cerita yang ada. Tanpa sadar air matanya keluar.Emma baru saja menyelesaikan ceritanya tentang bagaimana Zio terlahir serta bagaimana hubungan antara Zio, Emma, Raphael dan keluarga Sri saat ini yang jauh dari kata harmonis."Jadi Zio terlahir dari rahim Ibu Arini?"Emma mengangguk."Tapi Om dan Tante orang tuanya."Sekali lagi Emma hanya mengangguk."Terus, setelah Om dan Tante kembali ke Perancis, Zio tinggal sama Eyang Rudolf?""Iya. Ayah merawat Nathan sampai Nathan berusia lima belas tahun. Awal kepergian kami ke Perancis dan juga Arini. Nathan sempat sakit. Tetapi Ayah mampu memberinya semangat hingga Nathan mampu menjalani kehidupannya. Berulang kali Ayah memintaku mengunjunginya tapi aku tak mau. Hatiku masih sakit.""Akhirnya Ayah yang mengalah. Setiap tahun dia membawa Nathan mengunjungi kami. Tentu mereka hanya berdua. Ibu dan keluarga Pandu jelas tak m
Sri tak bisa membendung air matanya. Bahkan sesekali Pandu harus menyeka air matanya dengan tissue. "Te-ri-ma ka-sih." Sri mengucap dengan terbatas-bata. Emma hanya tersenyum dan mulai menyuapi Sri lagi. Dengan telaten Emma menyuapi Sri membuat Sri merasa terharu sekaligus rasa bersalahnya semakin besar. 'Ya Tuhan, inilah anak yang sejak dulu kubenci? Ternyata dia begitu perhatian padaku.' Sri hanya bisa berkata dalam hati sementara Pandu hanya mengawasi penuh haru. Kini dia menyadari kenapa ayahnya begitu sayang pada Emma. Emma, adiknya adalah pribadi yang baik hati dan tulus. Sungguh Pandu merasa kerdil sekarang. Dia yang begitu dibanggakan tapi kalah jauh dengan Emma yang berjiwa besar. Aktivitas di ruang rawat Sri terlihat dari kaca pintu. Zio mengawasi tingkah ketiganya dengan sesekali memasang senyum lebar. Merasa cukup melihat, dia berbalik dan mendapati Fina yang sedang menatapnya dengan tajam. "Kenapa?" Fina mendesah l
"Ya ampun. Aku tahu dari dulu kamu cantik, Fin. Tapi gak nyangka kamu bakalan secantik ini."Sosok asing yang mengaku namanya Nathan, memandangi Fina dengan penuh kekaguman dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuat Fina merasa risih."Apa kabar? Lama ya gak ketemu. Hampir enam tahun."Nathan mengulurkan tangannya, mau tak mau Fina menyambut walau enggan. Kedua tangan bertemu, Nathan bahkan meremas tangan Fina membuat sang gadis segera menarik tangannya. Nathan menarik kursi di samping Zio dan segera duduk, dipandanginya wajah cantik Fina dan dia terus merecoki Fina dengan banyak pertanyaan."Kamu kuliah di sini? Ambil jurusan apa? Kamu ngekost dimana?"Dan bla bla bla. Fina sudah mulai risih sementara Zio yang berada di samping Nathan hanya bersedekap sambil sesekali terkekeh melihat tingkah Nathan yang terlalu terpesona dengan kecantikan Fina."Kamu sama siapa ke sininya? Sama kedua orang tua kamu atau kakak-kakakmu?"Fina hanya menunjuk Zio dengan lirikan matanya. Membuat Nathan
Terik matahari begitu menyengat di kulit. Para peserta PKKMB yang merupakan kepanjangan dari Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru sudah mulai gelisah. Ada yang sejak tadi kipas-kipas dengan berbagai alat yang mereka bawa seperti baju, kerudung, sobekan kertas dan lainnya. Ada juga yang beberapa kali mengelap keringat bahkan para peserta yang berada pada barisan tengah terkadang malah sengaja jongkok demi menghindari sengatan matahari. Tentu aksi jongkok menyembunyikan diri tidak bisa berlangsung lama karena selalu saja ada mata awas dari para panitia yang merupakan mahasiswa senior."Woi, kamu yang di tengah di barisan nomer lima, berdiri!" Salah satu senior ada yang membentak Adi, salah atau mahasiswa baru kedokteran. Adi kaget dan segera berdiri. Siwi yang niatnya mau ikutan jongkok pun tidak jadi. Dia berada persis di depan Adi. Fina tersenyum pada rekannya. Sementara Zio yang berada di samping Adi sudah terkekeh."Gila itu para senior kita. Beneran dah! Kita dijemur m
Cekrek!Pintu dibuka dengan sangat pelan oleh Adi. Dia mengintip terlebih dahulu sekelilingnya. Di belakang Adi, ada Zio dan Dito. Keduanya ikut-ikutan menyembulkan kepala melalui daun pintu."Aman gak?" tanya Dito lirih."Aman," balas Adi pun dengan suara lirih.Zio menoleh ke belakang pada ketiga rekan satu grupnya."Gimana?" bisik Fina."Aman. Ayok masuk.""Oke."Fina, Siwi, dan Rahma mengikuti langkah ketika pria melewati sebuah pintu. Siwi sejak tadi menggenggam erat lengan kiri Fina. Sementara Rahma walau terlihat berusaha berani, sesekali dia berjengit dan ikut-ikutan bergelayut pada lengan kanan Fina. Sementara ketiga pria tampak gagah berani memimpin di depan."Suwer. Ini para senior kok ya nemu tempat angker banget macem gini? Ini beneran rumah sakit bukan sih? Horor bener tempatnya," keluh Dito."Lah, dimana-mana yang namanya kamar mayat ya angker, Bro. Duh, ini kamar cuma adanya bangsal sama lemari kok ya serem sih? Padahal gak ada mayatnya juga." Adi begidik ngeri.Akhirn
Sepuluh Tahun Kemudian Zio baru selesai bertugas. Dia segera membereskan barang-barangnya, memasukkan ke dalam tas, menaruh jas dan sneli pada tempatnya lalu segera keluar dari ruangannya. Di sepanjang koridor dia menyapa para perawat, rekan kerja atau tersenyum pada pasien atau pengunjung yang berpapasan dengannya. Sampai di parkiran dia segera masuk ke dalam mobil. Satu jam kemudian dia sudah sampai di rumah. "Sore Tuan Nathan." "Sore Gemma. Fin Fin sudah pulang?" "Belum, Nona Fina masih harus menunggu satu pasiennya yang mau melahirkan." "Oh, anak-anak mana?" tanyanya sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjuk angka setengah empat. "Jalan-jalan bersama Tuan Besar dan Nyonya." "Oke. Aku mandi dulu ya Gemma." "Baik, Tuan." Zio segera masuk ke kamarnya. Zio dan Fina akhirnya tidak LDR-an lagi sejak sembilan tahun yang lalu. Baik Fina dan Zio menyelesaikan program spesialis tepat waktu. Di sini Zio harus mengacungkan trofi buat sang istri. Di saat dia hanya memikirkan ku
Tarik napas hembuskan. Fina berkali-kali mencoba mengontrol napasnya dan menahan agar tidak mengejan duluan. Sesuai perkiraan ternyata hari kelahiran putrinya hanya maju tiga hari dari HPL. Sang suami sudah diberitahu sejak Fina sering mengalami kontraksi palsu dua hari yang lalu. Zio bilang akan mengusahakan pulang, tetapi Fina paham jarak Paris-Purwokerto sangat jauh. Tapi tetap saja dia berharap sang suami segera pulang. "Suamimu katanya pakai jet pribadi lagi. Biasa nyewa punya temennya Mr. Oliver." Emma yang sejak satu minggu yang lalu sudah di Purwokerto menemani Fina bersama Nasha. Bahkan Ibu Arini juga sedang perjalanan menuju ke rumah sakit. "Sakit Sayang?" tanya Emma. Fina hanya mengangguk. Dia hampir mewek tapi berusaha tegar. Sang ibu yang paham apa yang dirasakan putrinya. Mengelus punggung sang anak yang sedang rebahan dalam posisi miring ke kiri. "Banyak istighfar ya Nduk. Mamah tahu rasanya. Kamu kuat." Fina tak bisa menahan tangisnya. Dia menarik tangan sang ibu
Zio sedang mengangguk-angguk sambil mendengarkan perkataan dosennya. Sejak satu jam yang lalu sang dosen yang sedang marah memarahi Zio karena berani membolos dari ujian. Fina yang kasihan kepada suaminya, turut membantu. Dengan jurus rayuan maut, Fina meminta ijin pada sang dosen untuk bicara. Dia bercerita apa adanya kalau dia dan Zio bertengkar hebat yang menyebabkan Zio langsung ke Indonesia demi menyelesaikan masalah rumah tangga. Cukup lama keduanya bicara.Zio padahal sudah pasrah jika harus mengulang satu tahun lagi. Tapi rupanya aksi heroik Zio membuat dosennya, prof. Louisa yang terkenal killer jadi simpati. Bahkan menyebabkan Zio harus mendengarkan kisah cinta sang dosen dengan suaminya yang juga penuh liku drama. Zio antara harus bersyukur dan siap kuping. Bersyukur dia diberi keringanan dan kesempatan untuk mengikuti ujian susulan tapi dia juga harus membayar kebaikan hati sang dosen dengan mendengarkan cerita sang dosen selama hampir dua jam. Fina sendiri hanya menyaks
Flo tertawa saat melihat ponselnya menampilkan nomer Fina. Rupanya Fina mengajaknya melakukan panggilan video call. Flo segera memposisikan dirinya di samping pria yang semalaman berbagi peluh, cairan dan kenikmatan bersamanya. Dia segera menekan tombol terima dan tampaklah wajah Fina yang menatap Flo dengan tatapan membunuh."Hai Fin, gimana kabarmu? Masih sehat kan? Hahaha. Eh, suamimu semalam hebat banget tahu. Kemarin dia semalaman bersama Aisyah, dan tadi malam dia menghabiskan malam bersamaku. Hahaha. Kita habis kamu tahu lah ... bercinta." Flo menunjukkan leher dan bagian tubuh atasnya yang penuh tanda merah. Dia bahkan sengaja masih belum memakai baju dan menutupi bagian tubuhnya dengan selimut. Bukan itu saja, Flo bahkan sengaja memancing kemarahan Fina dengan mengecup punggung toples lelaki yang kini masih tidur di ranjangnya.Fina menampilkan ekspresi marah dan air matanya sudah meleleh, meluber-luber bersamaan dengan ingusnya."Brengsek kamu, Flo," desis Fina."Hahaha. Ya
Fina baru saja menyelesaikan sholat subuhnya. Dia menatap jam yang menunjuk angka lima. Fina memegang perutnya yang sudah meronta-ronta ingin makan. Mau marah terus sama suami dan ngumpet terus di kamar juga bukan pilihan yang baik. "Kamu lapar ya Dek? Umi juga, tapi Umi masih marah sama Abi kamu. Nyebelin." Fina mengelus perutnya, tapi dasarnya sudah sangat lapar, perutnya sampai berbunyi. Fina sudah tak peduli dengan aksi marahnya pada suami. Dia memutuskan bangkit dan keluar kamar. "Bodo amat. Aku marah tapi aku lapar, ya aku mau makan." Fina segera membuka pintu kamarnya, namun dia kaget mendapati sesosok tubuh terjatuh mengenai kakinya. Fina berteriak dan meminta Zio bangun. Saking marahnya dia hendak menggunakan kakinya untuk membangunkan sang suami tapi sadar itu gak sopan dan dosa pula. Akhirnya Fina berjongkok dan membangunkan suaminya. "Hei bangun. Jangan tidur di sini. Sana tidur di kamar tamu." Fina mengguncang-guncang tubuh suaminya. "Zi, bangun Zi. Hei bangun." Ta
Sebuah pesan mampir di ponsel Fina. Tubuhnya bergetar akibat menahan amarah.[Kamu lihat, suamimu di sini banyak yang naksir. Dan dia selalu ada waktu untukku, putriku dan wanita lain. Jadi jangan berpikir kalau kamu itu cuma satu-satunya. Ya mungkin kamu satu-satunya di Indonesia tapi di Paris, Nathan punya kami]Fina hampir membanting ponselnya saat lagi-lagi Flo mengiriminya foto. Tadi foto Zio sedang berpelukan dengan Aisyah dan sekarang giliran foto toples lelaki yang mirip Zio sedang tiduran bersama Florence.[Kami sering menghabiskan waktu berdua, di tempat tidur. Dia memang hebat, selalu bikin puas dan dia sangat suka kalau aku di bawah. Dia bilang suka melihat ekspresiku saat mengerang di bawah tubuhnya. Hahaha. Dia juga bilang kalau sekarang kamu gak bisa menuhin hasrat dia gara-gara lagi hamil. Dan dia bilang kini kamu terlalu gendut, gak enak buat dipandang apalagi diajak gelut di kasur hahaha]Florence bahkan sampai mengirimkan emoticon tertawa mengejek membuat Fina marah
Fina mencoba menikmati kehamilannya. Bersyukur kehamilannya tidaklah terlalu rewel karena yang rewel dan ngidam parah adalah bapaknya. Zio yang manja jadi semakin manja. Beberapa hari setelah dia tahu sang istri hamil dan dia sendiri sudah kembali ke Paris, Zio jadi kena sindrom ngidam parah. Setiap pagi dia muntah-muntah dan lemas membuat keluarganya khawatir. Jika siang hari gejala muntahnya sudah reda. Tetapi Zio juga sering ngidam makanan yang aneh-aneh membuat Gemma, Antonio, Emma, Raphael hingga sepupunya si Benyamin kelimpungan mencari makanan yang diinginkan si calon bapak. Tapi diantara semua keinginan si calon bapak, hanya ada satu ngidam yang tidak bisa dituruti oleh semua orang."Fin Fin, Mas Jo kangen. Pengen peluk, Mas Jo ngidam nenen?" rengeknya.Fina hanya bisa meringis mendengarkan rengekan sang suami, setiap hari setiap waktu. Bahkan pernah suatu hari, Zio mengungkapkan keinginannya ketika mereka sedang video call-an dimana ada keponakan-kepanakan yang tentu saja men
Kembali ke rutinitas, mau tak mau Zio dan Fina harus menjalani LDM (Long Distance Marriage) untuk satu tahun lebih ke depannya. Menjalani LDM ternyata tidaklah mudah, ada saja masalah mulai dari gara-gara tidak mengangkat telepon sesegera mungkin hingga cemburu. Ya cemburu. Fina jadi super pencemburu gara-gara sosok Florence yang kini jadi berada di sekitaran Zio dan juga sosok Aisyah yang kini jadi lebih intens berhubungan dengan sang suami dengan alasan pekerjaan. Florence terlihat sekali mencoba memancing Fina lewat update-an status I*-nya yang memasang momen-momen bersama keluarga Evrard dan beberapa kali memposting foto Zio saat menggendong putrinya. Bahkan Aisyah yang kalem juga sepertinya masih berharap jadi madunya. Terlihat dari kehadiran Tuan Ali yang sering membawa sang putri ke rumah Raphael dengan alasan Aisyah sedang belajar bisnis. Sama seperti Fina yang jadi pencemburu, Zio juga cemburu pada sosok Faisal dan Azka yang merupakan teman baru Fina dan usianya lebih tua se
Malam harinya keluarga Nara berkumpul. Mereka semua membicarakan perihal perkataan Winda dan mau tak mau Zio dan Fina bercerita. Meski sedikit menyayangkan sikap sang putri, tapi Rayyan bersyukur, anaknya masih selamat. "Kita jadikan hal ini sebagai bahan pelajaran." Fina dan Zio mengangguk. Semua orang lalu beristirahat. Esok harinya semua orang kembali ke Purwokerto karena dua hari lagi resepsi pernikahan Fina dan Zio akan diselenggarakan. Fina dan Zio jadi ikutan sibuk. Acara resepsi pun digelar dengan meriah, baik Fina dan Zio tak pernah tak menebar senyum. Teman-teman kuliah dan SMA mereka banyak yang datang, kebanyakan pasti akan mengolok-olok dua pasangan. Untung baik Fina dan Zio tahan banting. Zaky, Yudho, Emi, Yuni, Riris dan kawan-kawan dekat Fina-Zio akhirnya datang. Mereka membuat suasana makin heboh apalagi dengan banyolan-banyolan dari Yudho dan Zaky. "Gimana malam hari? Jatah aman?" "Aman, Zak." "Aku yang deg-degan, gak bisa gegayaan." Zaky terlihat nelangsa kare