“Mungkin saja, tidak ada yang tahu tentang masa depan,” kata si Kakek. Ardhan menundukkan kepalanya, ia bingung harus berbuat apa sekarang. Kakek menyarankan lelaki itu untuk tidur karena bagaimanapun ia harus bekerja besok. “Karirmu sedang bagus dan banyak yang mengincar kejatuhanmu jadi bersikap profesional-lah.”Meski dengan terpaksa, Ardhan segera merebahkan dirinya dan bersiap untuk tidur. “Semoga besok ada kabar baik dari pacarku ya Kek,” ujarnya.Pria tua berpakaian serba putih tersebut tahu bagaimana harus bersikap kepada lelaki yang sedang bersusah hati itu. “Tentu saja ada kabar baik untukmu, Dhan,” ujarnya. Kalimat penghiburan itu mampu membuat Ardhan tertidur pulas. “Tetapi jangan lupa kalau kabar buruk juga menyertainya.”Pria tua itu yakin bahwa Ardhan mampu menghadapi situasi rumit yang akan terjadi ke depannya. Malam bergulir perlahan namun pasti, berganti dengan hari baru. Seperti biasa Ardhan bangun karena alarmnya berbunyi nyaring, ia langsung duduk meski matanya be
Yang apa Kek, cepat katakan!” desak Ardhan.“Nanti saja bilangnya, sekarang cepat cari tempat parkir,” ujar Kakek. Ia mengalihkan topik pemicaraan, Ardhan dengan terpaksa menuruti perkataan si Kakek. Ia mencari tempat parkir di barisan tengah.“Pokoknya jangan sampai lupa beritahu kelanjutan kalimatmu,” ujar Ardhan yang terdengar seperti ancaman.“Iya, akan kuberitahu saat kita di atas,” sahut Kakek seraya berjalan di belakang Ardhan. “Tetapi tidak sekarang, Dhan. Aku rasa kamu belum siap,” imbuhnya. Ia tak ikut Ardhan naik ke lantai atas, Kakek malah menghilang entah ke mana.Ardhan yang sudah sampai di ruangannya tak tahu jika tidak Kakek di belakangnya sejak tadi. Ia memanggil kakeknya seraya memutar tubuhnya, lelaki itu juga mencari di luar. Ardhan sampai membuka korden jendelanya tetapi sang Kakek tidak juga muncul.“Ke mana Kakek,” gumamnya.Ardhan bingung mencari keberdaan si Kakek karena sosok misterius seperti lelaki tua itu bisa menghilang dan muncul kapanpun, tidak bisa dit
“Maaf sekali Mas Ardhan, saya tidak bisa membantu. Atasan saya sedang tidak ada di tempat ja—““Jadi saya tidak bisa mendapatkan tanda tangannya?” tanya Ardhan, lelaki itu tampak kecewa.“Tetapi bohong,” ujar Kinanthi seraya memberikan kertas tersebut kepada pemilknya, ia tertawa keras melihat ekpresi Ardhan tadi. Sedangkan laki-laki yang digoda hanya bisa menggaruk kulit kepalanya. Ia tak menyangka jika Kinanthi akan mempermainkannya.Ardhan yang sempat tersulut emosi mendadak reda karena melihat senyum perempuan itu begitu manis. “Dia cantik ya kalau tersenyum begitu,” ujar si Kakek, ia turut menggoda Ardhan.“Terima kasih untuk tanda tangannya dan kejutannya ya,” kata Ardhan, Kinanthi da Kakek kembali tertawa.“Sama-sama, Mas Ardhan,” balasnya. Karena tujuannya sudah tercapai maka Ardhan pamit pulang ke kantornya. “Hati-hati di jalan,” ujar perempuan tersebut sembari mengantar mereka ke teras depan.Tugasnya sudah selesai, Ardhan kembali ke kantor dengan hati gembira. Ia tak menyan
“Tidak penting berbicara dengan orang itu,” jawab si Kakek. Ardhan mengerutkan dahinya, ia lantas melihat siapa yang menelponnya. “Orang itu mengajakmu makan siang,” lanjut si Kakek.Memang benar ucapan Kakek, orang yang menelpon Ardhan adalah Prama. “Kakek tahu dari mana yang menelponku adalah Pak Prama?” tanya Ardhan polos.“Hanya menduga saja, barangkali Kinanthi bercerita padanya sehingga ia menelponmu,” lanjut si Kakek.“Mbak Kinanthi cerita apa tentang aku ke Prama?”“Mana kutahu, aku hanya menebak saja. Barangkali alur ceritanya seperti itu,” ujar si Kakek sembari menyandarkan punggungnya di kursi.“Mari kita bertemu Mbak Kinanthi,” ajak Ardhan. Kakek tersenyum penuh arti, rencananya untuk mempertemukan Ardhan dan perempuan itu berjalan baik meskipun ia harus putar otak untuk membuat cerita bohong.“Sekarang atau saat makan siang?”“Nanti saat pulang kerja,” kata Ardhan. “Kalau sekarang aku kerja dulu, sebentar lagi jam istirahat, pekerjaanku masih banyak.”Kakek menganggukkan
Ardhan refleks membalikkan badannya, kini ia dan sosok laki-laki yang menyapanya saling berhadapan. Butuh waktu beberapa detik untuk Ardhan menjernihkan hati dan pikirannya.“Ke sini lagi Pak,” tanya sosok itu.“Benar Pak, saya rapat dadakan dengan staff perusahaan ini,” jawab Ardhan setelah mendengar bisikan Kakek.“Oh begitu, urusan pekerjaan rupanya,” jawab sosok tersebut. Kakek dan Ardhan saling berpandangan, ia tak tahu apa yang membuat lelaki temperamental ini berubah jadi lembut dan penyabar.“Tanya kepada dia ada di sini, aku ingin tahu,” ujar si Kakek.“Pak Prama, ada rapat juga di sini atau ingin bertemu mbak Kinanthi saja?” tanya Ardhan.“Oh tidak, saya hanya mengantarkan teman saja setelah makan siang tadi,” jawab Prama dengan nada yang lembut. “Kapan-kapan kita makan siang bareng lagi ya,” ajaknya.“Dengan senang hati Pak, jika saya tidak bawa bekal makanan,” jawab Ardhan, ia menggunakan bahasa yang sopan untuk menolak lelaki itu. Bagaimanapun Ardhan masih trauma menolak
“Harus senang karena ini tugas kantor,” ujar Ardhan, ia mencoba berdamai dengan keadaan.“Baguslah kalau begitu, itu baru calon orang sukses,” puji si Kakek. Ia membereskan meja kerjanya sebelum pulang ke rumah. Dalam waktu singkat ruangannya sudah rapi dan Ardhan keluar bersama si Kakek menuju lift yang terletak di ujung koridor.Kebetulan mereka berbarengan dengan Moritz dan Jonas, namun kedua perusuh itu sama sekali tidak berkutik, jangankan berbicara, menolehpun tidak. Kakek tentu saja heran dengan sikap mereka.“Syukurlah kalau mereka sudah tobat,” kata Kakek., Ardhan meresponnya hanya dengan senyuman.Setibanya di lantai dasar, Ardhan terus berjalan hingga lobby sedangkan Moritz dan Jonas pergi ke kantin. Kakek bertanya tujuan lelaki itu selanjutnya, apakah pulang atau mampir ke tempat lain.“Langsung pulang saja, Kek. Aku kangen kasurku,” jawab Ardhan sembari memakai jaketnya. Mesin motornya sudah menyala, kedua tangannya sudah diposisi dan perlahan pedal gas mulai diputar, mer
Pagi datang dengan cepat, alarm Ardhan kembali menyala, memaksanya untuk membuka mata. Setelah melakukan peregangan sebentar, lelaki itu langsung turun dari ranjangnya. Tangan kanannya meraih handuk merah kemudian keluar dari kamarnya, menuju kamar mandi.“Kamu sudah bangun, Dhan,” sapa si Ibu yang sibuk membuat sarapan. “Kamu baik-baik saja?”“Aku baik-baik saja, Bu,” jawabnya. Ardhan menunjukkan sisi dewasanya, ia tak mau ibunya terus mengkhawatirkannya. “Jangan khawatir, aku mencoba berdamai dengan keadaan.”“Kamu masuk kerja hari ini?”“Tentu saja, Bu. Aku punya banyak tanggung jawab jadi harus bersikap profesional,” jawabnya. Sang Ibu menatap anaknya dengan bangga.“Ibu bangga denganmu, Dhan. Tetapi kita tetap harus bertemu orang tua Karina, kita harus menyelesaikan masalah ini dengan baik.”“Pasti Bu, aku akan meminta ijin bossku untuk pulang setengah hari. Kita harus ke rumah Karina menjelaskan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman nantinya,” ujar Ardhan.“Baiklah kalau begitu
“Orang yang berjodoh denganmu,” kata Kakek. “Perempuan yang ditakdirkan menjadi pasanganmu.”“Siapa dia Kek?” tanya Ardhan penasaran. “Apa mbak Kinanthi?”“Mungkin, aku juga tidak tahu. Tak semua urusanmu aku mengetahuinya, Dhan.”“Haruskah aku dekat dengan dia?” tanya Ardhan lagi.“Harus,” jawab kakek singkat padat dan tegas,“Kenapa harus? Kenapa mbak Kinanthi orangnya?” selidik Ardhan.“Karena kalian adalah partner kerja. Mau dekat dengan Kinanthi atau Prama?” tanya Kakek.“Tentu saja mbak Kinanthi, aku muak dengan orang bernama Prama Danureja.”“Kalau begitu lakukanlah,” ucap Kakek.Ardhan mengatakan jika ia akan memulainya setelah masalahnya dengan Karina selesai. Keduanya terus mengobrol sampai tiba di rumahnya. Kedua lelaki itu terkejut karena melihat ada sebuah mobil terparkir di depan rumah Ardhan.“Mobil siapa itu?” gumam Ardhan, ia mematikan mesin motornya kemudian memarkirkannya di garasi dan mulai mencari tahu siapa pemilik mobil putih itu.“Kamu sudah pulang, Dhan,” kata
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s