“Apa ya, saya juga tidak paham Pak,” respon Ardhan yang bingung tiba-tiba rekan bisnisnya mengatakan tentang mimpinya.
“Baru kali ini lho Pak, saya mimpi dan itu mengganggu aktivitas karena kepikiran terus,” imbuh lelaki itu.
“Tidak usah dipikirkan Pak Prama, mimpi itu bunga tidur,” jawab Ardhan santai. Ia lantas mengajak rekannya itu untuk masuk ke kantor mereka. Setiap kali Prama menjelaskan detail mimpinya, Ardhan selalu mengalihkannya pada hal lain.
Seperti saat ini mereka jadi membahas masalah klub bola padahal Prama sama sekali tidak mengerti permainan sepakbola. Keduanya terus mengobrol serius sampai tak terasa sudah sampai di depan kantor sementara mereka. Prama masuk lebih dahulu diikuti Ardhan di belakangnya.
Tak ada yang berubah dengan tatanan meja kerja Ardhan, semua masih tampak rapi seperti saat terakhir ditinggalkannya. “Pak Ardhan mau sampai k
“Baik Pak, saya terima file-nya. Terima kasih banyak.”Meskipun merasa kesal dengan perbuatan Prama namun Ardhan harus tetap bersikap ramah dan sopan pada rekan bisnis perusahaannya itu karena ia tak mau kerjasama mereka terputus. Sebenarnya file yang diberi oleh lelaki itu tak diperlukan oleh perusahaan Ardhan tetapi ia tetap membawanya.“Hati-hati di jalan Pak.”Ardhan hanya tersenyum simpul, kakinya bergerak cepat menuju area parkir. Si hijau langsung menyala dalam sekali percobaan, perlahan ia mulai meninggalkan area proyek. Kondisi jalanan tampak lebih ramai dan padat daripada biasanya, sehingga Ardhan sedikit telat sampai di kantor.“Selamat sore Pak Ardhan, pegawai teladan perusahaan kita. Yang lain sudah pulang tetapi Pak Ardhan baru datang sekarang,” ujar Moritz menyambut kedatangan Ardhan di lobby kantornya. Tentu saja apa yang dilakukan oleh lelaki seumuran Ardhan itu menarik perhatian para pegawai yang akan pulang. Mereka mengira jika keduanya akan bertengkar lagi.Ternyat
Jonas sama terkejutnya dengan Ardhan, perkataan Moritz barusan mengisyaratkan jika dirinya siap melakukan kriminal. “Maksud bapak apa, Pak? Apa yang akan Pak Moritz lakukan pada Pak Ardhan?”“Hahaha, tenang saja Jonas. Jangan takut begitu, aku tidak akan melakukan kekerasan padanya,” ucap Moritz. Ardhan tahu siapa temannya itu, ia juga yakin jika Moritz tak akan tega melakukan hal keji padanya. Tetapi melihat dari waut wajahnya ketika berbicara seperti itu, Ardhan yakin ada hal laiin yang akan lelaki itu lakukan.“Aku mundur Pak Moritz, aku tidak mau ikut terlibat masalahmu lagi,” ucap Jonas kemudian pergi meninggalkan Moritz.Lelaki itu tak mencegah kepergian salah satu anak buahnya, ia tetap di sana menunggu Ardhan keluar dari lift. “Tunggulah aku hingga besok pagi,” ejek Ardhan kepada Moritz. Ia lantas pergi keluar dengan santai.Ternyata tak cuma Moritz dan Jonas yang tidak bisa bisa melihat Ardhan, orang-orang yang berada di luar juga tidak menyadari kehadiran lelaki itu. Mereka
“Ada bu, dia di seberang,” jawab Ardhan sembari menunjuk sosok pria tua baik hati itu.“Jangan bicara ngawur kamu, Dhan. Sudah masuk sana, mandi ganti baju,” usir sang Ibu karena takut anaknya membicarakan sosok yang tak terlihat.“Motormu biar ayah yang urus,” imbuh sang Ayah.Karena anaknya tak kunjung masuk ke dalam, ibu Ardhan sampai mendorongnya. “Sebentar Bu, aku mau berterima kasih pada Kakek itu,” ucap Ardhan. Namun tenaga ibunya sangat kuat hingga dirinya masuk ke dalam kamar.Lelaki itu segera membuka jendela kamarnya, ia masih ingin melihat sosok Kakek misterius itu. Sayangnya kakek itu sudah pergi. “Ardhan, cepat mandi dan ganti baju!” ujar ibunya yang sedikit panik.Ardhan menurut, ia menutup jendelanya kemudian meletakkan tas kerjanya. Membuka baju kerjanya, tangannya menyambar handuk lalu berjalan menuju kamar mandi. Kini lelaki itu sudah merasa lebih segar, dirinya duduk di meja makan. Berhadapan dengan kedua orang tuanya.“Siapa yang tega melakukan itu padamu?” tanya
Ardhan menantikan kalimat Pak Bobby selanjutnya, ia menduga jika atasannya tahu tentang kejadian kemarin sore. Ketika pria didepannya itu buka suara, mendadak telepon di ruangannya berdering.Pak Bobby memberikan kode pada anak buahnya itu untuk menunggu karena ia harus menjawab panggilan tersebut. Ardhan menghela napas lega, ia membenarkan posisi duduknya. Ketegangannya sedikit mencair dan atmosfer di ruangan tersebut menjadi hangat.“Begini Dhan, aku mendapatkan telepeon jika kerja sama kita dengan anak perusahaan Pak Prama ditunda hari ini. Jadi kamu baru akan pindah kerja besok.”“Hari ini saya kerja di mana, Pak? Kantor atau proyek?” tanya Ardhan, ia butuh kepastian akan ditempatkan di mana.“Karena kemarin kamu terlibat masalah dengan Moritz dan Jonas. Saya –““Bukan saya yang mencari masalah Pak, mereka yang ingin mencelakai saya,” ujar Ardhan menggebu-gebu, ia tak ingin atasannya menjadi salah paham. “Jonas mencopot busi dan mencoba menggunting kabel rem motor saya. Hari ini s
“Siapa?” tanya Ardhan.Brakkk ... Braakkk ... BraakkkPria yang mengikuti mereka dari belakang itu memukul jendela belakang hingga depan. Tentu saja hal itu membuat keduanya terkejut. “Itu Mas Prama, Mas,” kata Kinanthi dengan suara yang pelan. Perempuan itu terlihat sangat ketakutan.Usai melakukan ha tersebut pengemudi motor itu tancap gas. Ardhan yang mengetahui kalau ternyata itu adalah Prama ikut memacu gas dalam-dalam. Ia tak ingin reka bisnisnya itu salah paham dengannya. Ia bertekad untuk bertemu dengan Prama dan menjelaskan semuanya.Baik Ardhan ataupun pengendara motor itu tak ada yag mau mengendurkan tensi mereka, adegan yang tercipta seperti di film-film action. Saling berkejaran satu sama lain, didalam mobil Kinanthi hanya bisa menangis.“Mas Ardhan kita sudahi saja. Tidak usah dikejar lagi,” larang Kinanthi.“Tetapi kita harus menjelaskan ke Pak Prama. Saya tidak mau terseret dalam kisah cinta kalian, saya hanya sekedar membantu saja,” tolak Ardhan. Ia bersikeras untuk m
Ardhan terkejut mendengar perkataan supir taksi tersebut, ia refleks kembali memandang wajah lelaki tersebut melalui kaca spion depan sembari berpikir siapa orang tersebut.“Wah kayaknya kamu beneran lupa,” ucap pria itu lagi.“Apa kita satu sekolah dulu? SMP ya?”“Bukan, kita pernah bertemu di suatu tempat. Yasudah tak apa kalau kamu lupa,” kata lelaki itu pasrah. Ardhan meminta maaf karena sama sekali tak ingat siapa lawan bicaranya itu. Ia lantas memulai perkenalan seperti orang yang baru kenal.Pria bernama Marco itu lalu menceritakan bagaimana awal mereka bertemu, ingatan Ardhan yang semula hilang tiba-tiba muncul termasuk bagian yang membuat kesal pada pria itu. “Bagaimana bisa aku lupa kejadian hari itu ya,” celetuknya.“Tak apa, namanya juga manusia ada lupanya juga,” balas lelaki berkulit coklat tersebut. Ardhan
“Saya masih merasa tidak enak hati pada anda, Pak,” akunya, raut wajahnya lelaki itu tampak murung. “Semoga Pak Ardhan tidak mengaitkan hal ini dengan kerjasama kita ya.”“Tentu saja saya tidak akan melakukannya Pak Prama, bahkan saya sudah melupakan hal tadi,” timpal Ardhan, ia menanggapi dengan bijak.“Syukurlah kalau begitu. Oh iya ini sudah jam makan siang, bagaimana jika kita makan siang bersama, saya yang traktir, Pak.”Ardhan mengiyakan ajakan makan siang dari rekan bisnisnya itu. Keduanya berangkat menuju restoran rekomendasi Prama menggunakan kendaraan masing-masing. Meskipun mereka berangkat berbarengan namun karena perbedaan yang jauh antara motor Prama dan motor gede milik Prama, lelaki itu sering tertinggal di belakang.Dirinya yang kesal dengan sikap Prama berhenti lebih dahulu. Ardhan kehilangan jejak Prama, sehingga ia meminta bantuan aplikasi petunjuk jalan. Berbekal arah dari aplikasi tersebut, ia meneruskan kembali perjalanannya.Setelah berjibaku selama 45 menit di
“Pak Ardhan ... Pak Ardhan malah minta doa dari orang seperti saya,” katanya sembari tertawa. “Mana mungkin dikabulkan Tuhan.”Ardhan yang semula tersinggung oleh sikap lelaki itu kini menjadi mengerti kenapa pria itu tertawa mendengar ucapannya. “Jangan bilang begitu Pak, kita tidak tahu doa siapa yang dikabulkan. Yasudah kalau begitu saya pergi dulu, sekali lagi terima kasih traktirannya Pak Prama semoga restorannya selalu ramai.”“Hati-hati di jalan Pak Ardhan,” ujar Prama.Ardhan menghidupkan motor tersebut dan bergerak meninggalkan restoran tersebut. Ia tak sempat memikirkan tentang sindiran dari Prama karena dirinya menikmati pemandangan di kanan dan kiri jalan. Banyak tempat yang bisa ia kunjungi bersama kekasihnya nanti.Dan kini lelaki itu sudah sampai di tempat kerjanya lagi. Pak Bobby memberikan dirinya tugas baru, Ardhan tak merasa kesulitan karena dirinya pernah mengerjakan tugas yang sama sebelumnya. Pekerjaannya selesai sebelum jam pulang tiba. Waktu luangnya itu ia gun
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s