"Gas ... kenapa ada kissmark di lehermu?"
Aruna menghampiri suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia berdiri di hadapan Bagas. Memperhatikan baik-baik ruam kemerahan pada samping kanan leher suaminya."Kissmark?"Bagas menghindari tatapan mata dari istrinya. Dia berbalik menghadap cermin. Melihat tanda merah yang Aruna maksud."Ini bentol, Runa. Leher ku gatal-gatal," tukas Bagas seraya menggaruk leher.Aruna menatap curiga suaminya. "Gas ... aku bisa membedakan ruam kemerahan karena dihisap nyamuk dan ruam kemerahan karena dihisap manusia. Jelas-jelas tanda merah di lehermu bekas hisapan manusia.""Jangan bicara sembarangan, Aruna! Kamu menuduhku selingkuh?"Aruna merapatkan bibir melihat suaminya yang marah. "Maaf … aku tidak bermaksud menuduh, aku hanya–.""Curiga?" sela Bagas. Menatap tajam istrinya. Kesal karena bukan sekali dua kali Aruna mencurigainya. "Runa ... kamu jangan terus curiga. Kamu mau aku benar-benar selingkuh? Aku lelah terus kamu curigai."Aruna diam. Tidak lagi berkata-kata.Bukan tanpa alasan Aruna menaruh curiga pada Bagas. Akhir-akhir ini, Aruna sering mencium aroma parfum wanita pada kemeja kerja suaminya. Dia juga beberapa kali menemukan bekas lipstik di kerah kemejanya. Karena itu, Aruna curiga Bagas bermain wanita dibelakangnya. Hanya saja Aruna belum memiliki cukup bukti, apalagi Bagas juga selalu berhasil mengelak dengan berbagai alasan."Gas ... kalau kamu tidak lagi mencintaiku, lebih baik kita pisah. Aku tidak rela dimadu, apalagi diselingkuhi," ucap Aruna seraya menatap Bagas dengan tegas.Bagas menatap sendu istrinya. Dia membawa Aruna ke dalam pelukannya. Berusaha menenangkan keresahan hatinya."Sayang ... percayalah padaku. Aku hanya mencintaimu. Tidak ada wanita lain dalam hatiku kecuali kamu. Aku hanya milikmu seorang, Runa."Aruna mengepalkan tangan. Masih ada keraguan dalam hatinya pada Bagas. Namun, Aruna sadar tidak boleh menuduh suaminya sembarang. Akhirnya, Aruna pun membalas pelukan Bagas. Tidak mau ada keributan."Aku mempercayaimu, Gas. Tapi entah kenapa, hatiku selalu curiga. Tolong … kamu jaga baik-baik kepercayaanku.""Tentu sayang. Aku akan setia padamu. Sekarang tidurlah. Aku harus segera pergi ke rumah mamah. Malam ini, giliranku menginap disana," ucap Bagas sambil melepas pelukannya.Aruna bergeming. Baru ingat dengan pembagian jatah malam yang harus Bagas lakukan terhadapnya dan orang tuanya.Berbeda dengan pasangan suami istri lain, dimana seorang suami akan mengajak istri untuk menginap di rumah orang tuanya, Bagas tidak bisa melakukan hal tersebut, karena pintu rumah keluarga Birendra tertutup rapat bagi Aruna.Aruna Cahyani dan Bagas Birendra menikah tanpa restu orang tua. Aruna dan Bagas sudah menjalin hubungan sejak duduk di bangku SMA. Namun, hubungan mereka ditentang orang tua Bagas, karena latar belakang Aruna yang merupakan seorang yatim piatu.Tiga tahun lalu, setelah menyelesaikan studi, Bagas nekat menikahi Aruna meski tanpa restu orang tuanya. Selama tiga tahun berumah tangga, kehidupan Aruna dan Bagas baik-baik saja. Namun beberapa bulan ini, ketenangan rumah tangga mereka terganggu, karena orang tua Bagas tiba-tiba meminta Bagas untuk menginap di rumah mereka, dua malam dalam sepekan.Bagas adalah putra satu-satunya dari pasangan Dewi dan Dimas Birendra. Karena itu, orang tuanya merasa berhak terhadap diri Bagas dan memintanya membagi jatah tidur di rumah mereka.Aruna sempat menolak. Berat baginya tinggal di rumah sendirian meski hanya dua malam saja, karena Bagas dan Aruna memang belum dikaruniai keturunan. Namun, Bagas berhasil meyakinkan Aruna untuk setuju. Bagas mengatakan, ini kesempatan baginya untuk membujuk kedua orang tuanya agar mau menerima Aruna dalam keluarga besar Birendra. Aruna pun tidak memiliki pilihan, selain mendukung usaha suaminya."Hati-hati dijalan," ucap Aruna sambil mengantar Bagas hingga depan teras rumah.Bagas mengecup kening istrinya, lalu berjalan memasuki mobil. Dia pun melajukan mobil menuju rumah orang tuanya."Aku harus memastikan kejujuran Bagas," ucap Aruna, begitu melihat kepergian mobil suaminya.Aruna selalu merasa gelisah setiap kali ditinggal Bagas menginap di rumah orang tuanya. Dia tidak bisa tidur, apalagi dengan tanda-tanda perselingkuhan yang Aruna dapat akhir-akhir ini. Karena itu, malam ini Aruna memutuskan untuk membuntuti Bagas.Aruna bergegas masuk ke dalam rumah, mengambil kunci mobil. Dia berjalan menuju mobil miliknya yang dibelikan oleh Bagas, lalu melajukan mobilnya meninggalkan rumah. Menyusul kepergian Bagas."Semoga kecurigaanku salah. Aku harap, kamu benar-benar menjaga kepercayaanku padamu, Bagas."Satu jam kemudian …Aruna tiba di depan rumah keluarga Birendra. Dia memarkirkan mobilnya di depan pagar. Memperhatikan Bagas yang baru saja turun dari mobil."Mas Bagas!"Deg!Jantung Aruna berpacu kencang saat mendengar suara wanita memanggil mesra nama suaminya.Aruna pun tersentak melihat seorang wanita cantik keluar dari rumah keluarga Birendra, lalu berlari memeluk Bagas. Mata Aruna seketika membulat, melihat bagas yang membalas pelukan wanita tersebut dan membiarkannya bergelayut manja pada lengannya."Mas ... aku sangat merindukanmu. Kenapa mas datang terlambat?"Aruna menatap nanar suaminya yang tertawa dipeluk wanita lain. Terlihat Bagas mengecup kening wanita yang memeluknya. Melakukan hal yang sama seperti kebiasaan yang sering Bagas lakukan selama ini padanya."Aruna sedikit rewel. Kamu sih ngasih kissmark di leherku. Untung saja, dia percaya ucapanku dan mengijinkan aku pergi."Air mata aruna menitik melihat kemesraan Bagas dengan wanita yang memeluknya. Tidak menyangka, ternyata selama ini Bagas benar-benar berkhianat."Ayo Bagas, ajak Carissa masuk! Kita makan, kalian pasti sudah lapar."Tangan Aruna terkepal saat melihat orang tua Bagas keluar dari rumah, menyambut kedatangan Bagas tanpa mempermasalahkan posisinya yang sedang merangkul mesra seorang wanita yang bukan istrinya.Aruna pun sadar, ternyata perselingkuhan Bagas didukung oleh kedua orang tuanya."Keterlaluan!"Brak!Tiiinnn!Aruna yang kesal memukul bagian tengah setir mobil, hingga tanpa sengaja menekan klakson. Sontak, perhatian Bagas dan orang tuanya beralih ke luar pagar."Aruna?"Bagas kaget melihat mobil Aruna terparkir di depan rumah. Buru-buru, Bagas melepas wanita yang dirangkulnya, lalu berlari menuju gerbang."Runa?"Menyadari kedatangan Bagas, Aruna segera menyalakan mesin mobil. Bersiap untuk pergi. Aruna tidak mau bertemu suaminya, apalagi bicara dengannya."Runa turun! Biar aku jelaskan. Jangan salah paham! Runa?!"Bagas menggedor kaca mobil. Meminta Aruna untuk mendengar penjelasannya, tapi Aruna segera melajukan mobilnya meninggalkan Bagas.Buru-buru, Bagas pun berlari menuju mobil untuk mengejar istrinya."Mas, kamu mau pergi?"Wanita yang tadi memeluk Bagas menghampiri Bagas ke mobilnya. Tapi, Bagas tidak mengindahkan. Dia bergegas memacu mobil mengejar kepergian Aruna."Mas Bagas, jangan pergi!"Tin! Tin!Bagas menekan klakson mobil, begitu berhasil mengejar mobil Aruna. Dia melajukan mobilnya tepat di sebelah mobil istrinya."Runa, hentikan mobilmu! Dengar penjelasanku!" teriak Bagas.Aruna tidak mengindahkan. Dia malah semakin mempercepat laju mobilnya. Nampak, air mata Aruna jatuh dari kedua matanya. Membuat penglihatan Aruna sedikit kabur."Runa, pelankan laju mobilmu. Jangan mengebut!"Bagas khawatir melihat istrinya yang malah menambah kecepatan mobil. Dia pun berusaha mengejar ketertinggalannya seraya berteriak membujuk istrinya agar memelankan laju mobil."RUNA AWAS BAHAYA!"BRAKKK!TIIINNN!Bagas tercengang melihat mobil istrinya dihantam mobil lain yang melaju cepat dari arah persimpangan jalan. Sontak, Bagas pun menginjak pedal rem. Menghentikan laju mobil yang dikendarainya."ARUNA!""Runa … bangun sayang. Tolong buka matamu." Aruna samar-samar mendengar suara Bagas. Dia perlahan membuka mata, lalu melirik Bagas yang duduk di sampingnya. "Bagas?" lirih Aruna. Memanggil nama suaminya. Bagas tersenyum melihat istrinya yang sudah siuman. Dia pun mengecup tangan Aruna yang digenggamnya. "Syukurlah sayang … kamu sudah sadar." Aruna mengernyit begitu mencium bau desinfektan yang sangat menyengat. Matanya menyapu sekeliling. Dilihatnya ruangan serba putih yang kini ditempatinya. Aruna terkesiap saat sadar selang infus terpasang di tangan kirinya. "Dimana aku?" tanya Aruna dengan suara parau. "Kamu ada di rumah sakit, sayang. Semalam, kamu mengalami kecelakaan." "Kecelakaan?" lirih Aruna. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Aruna pun sadar ada perban yang melingkar di kepalanya. 'Apa yang terjadi padaku?' batin Aruna seraya berusaha mengingat kejadian yang dialaminya. Aruna buru-buru menarik tangannya dari Bagas, begitu ingat dengan pengkhianatan yang dilak
"Pergilah! Kami ingin membicarakan masalah pribadi," titah Dewi pada dokter dan perawat yang mengobati Aruna. Dokter dan perawat pun bergegas pergi dari ruang rawat. Meninggalkan Aruna yang masih terpukul dengan kabar buruk yang baru saja di terimanya. "Kamu dengar kata dokter kan Aruna? Saat ini kamu mandul. Kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk Bagas. Jadi, lebih baik kamu dan Bagas bercerai saja. Bagas anak kami satu-satunya, kami harus mendapat penerus darinya," ujar Dewi. Menyadarkan Aruna dari pikirannya. Aruna menatap sendu ibu mertuanya. Meski dia sudah terbiasa mendengar kata-kata pedas dari Dewi yang selalu menghina dan merendahkannya, tapi perkataan Dewi kali ini membuat hati Aruna tambah terluka. Sebagai seorang wanita dan ibu, Dewi sungguh tidak berperasaan. Dia tidak sedikitpun menaruh iba pada Aruna yang baru saja kehilangan kandungan. Wanita itu malah memanfaatkan musibah yang menimpa Aruna untuk memisahkan Bagas darinya. "Berapapun uang yang kamu inginkan, ak
Tanpa memikirkan perasaan Aruna, kesepakatan antara Bagas dan orangtuanya tercapai. Dewi dan Dimas setuju akan memenuhi syarat yang diajukan oleh putra mereka. Orang tua Bagas pun memberitahu, bahwa pernikahan Bagas dan Carissa akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka meminta Bagas untuk fokus mempersiapkan pernikahan. "Ingat Bagas … Nanti sore, kamu dan Carissa harus pergi ke butik untuk fitting baju pengantin. Kamu tidak boleh terlambat. Jangan permalukan kami di depan orang tua Carissa," ujar Dewi, tanpa mengindahkan keberadaan Aruna yang mendengar perkataannya. Bagas tidak memiliki pilihan. Dia setuju melakukan permintaan orang tuanya. "Bagas akan pergi tepat waktu, asal ada orang yang menemani Aruna di rumah sakit. Bagas tidak tenang meninggalkan Aruna sendirian." "Itu urusan Mamah. Kamu fokus saja pada pernikahanmu dan Carissa," tukas Dewi. Karena tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan, Dewi dan Dimas pun bergegas pergi dari kamar rawat. Mereka pergi tanpa sedikitpun bic
Siang beranjak malam, Aruna termenung seraya mencengkram ponsel. Baru saja, Aruna mendapat pesan dari Bagas bahwa pria itu tidak bisa kembali ke rumah sakit. Bagas beralasan harus menghadiri pesta bujang yang diadakan oleh teman-teman calon istrinya. Aruna pun tersenyum getir. Belum apa-apa, Bagas sudah melupakan janjinya. Padahal sebelumnya, Bagas berjanji akan langsung pulang ke rumah sakit setelah acara fitting baju pengantinnya selesai. 'Rupanya ... pesta lajang itu lebih penting bagimu dari pada aku, Bagas. Sungguh terlalu, kamu lebih memilih pergi berpesta dari pada menemaniku yang sedang terbaring sakit,' batin Aruna. Merasa kecewa pada suaminya. "Nyonya … sudah larut malam. Sebaiknya, anda istirahat." Aruna melirik Lastri yang dari tadi duduk disampingnya. Terlihat wanita itu menatap sendu padanya. Meski Aruna belum terlalu mengenal Lastri, tapi Aruna bisa menilai Lastri adalah wanita baik. Dari semenjak Lastri bersamanya, wanita itu tidak banyak bicara. Dia diam menemani
"A-apa maksud kamu?" Bagas menatap bingung Aruna yang malah terlihat semakin marah. Aruna pun menatap tajam suaminya. "Bukan hanya perhatian pada calon istrimu, tapi Kamu juga sangat perhatian pada teman-temannya. Tidak perlu menyembunyikan apapun lagi dariku, Bagas. Aku hanya ingin tahu sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan wanita itu?" "Aruna. A-Aku-," "Berapa lama?" tegas Aruna. Tanpa menurunkan tatapan tajamnya terhadap Bagas. "Satu bulan? Dua bulan atau tiga bulan? Sudah berapa lama kamu berselingkuh?" Bagas terhenyak. Dia menatap sendu istrinya. Bagas meraih tangan Aruna, lalu menggenggamnya dengan erat. "Maafkan aku, Runa. Lima bulan lalu, mamah mengenalkannya padaku. Saat itu perusahaan kami sedang kolaps. Dan hanya keluarga Carissa yang bisa membantu kami. Aku hanya menjalin hubungan pertemanan dengannya, aku sungguh tidak mengkhianatimu." "Teman selingkuhan maksudmu?" dengus Aruna seraya menghempas tangan suaminya. Dia menatap Bagas dengan nyalang. "Mana ada
Mobil yang Aruna dan ibu mertuanya tumpangi sampai di pekarangan rumah keluarga Birendra. Aruna turun dari mobil dengan dibantu oleh Lastri. Dia pun bergeming melihat rumah besar milik mertuanya. Aruna merasa takjub dengan kemegahan rumah tersebut. Aruna pun kini sadar, alasan orang tua Bagas tidak mau menerimanya sebagai menantu. Dia tersenyum getir menyadari perbedaan antara dirinya dan Bagas. 'Ternyata kita memang beda kasta, Bagas. Kehidupan kita jauh berbeda, bagai langit dan bumi. Namun walau begitu, aku tidak mau menjadi bumi yang bisa kamu injak-injak," batin Aruna. Dewi tertawa melihat Aruna yang melongo. Dia pun mencibir menantunya. "Dasar udik! Pasti kamu baru pertama kali berkunjung ke rumah sebagus ini kan? Lihat, air liurmu sampai menetes. Ck!Ck!Ck! Dasar orang miskin!" Aruna terperanjat mendengar cibiran Ibu mertuanya. Baru sadar Dewi memperhatikannya. Aruna pun hanya bisa diam. Tidak menimpali. Aruna sadar memang baru pertama kali berkunjung ke rumah mewah dan me
Aruna turun dari taksi dengan di dibantu oleh Lastri.Sejenak, dia berdiri di depan hotel. Memperhatikan banner pernikahan yang memuat foto Bagas dan Carissa. Dalam foto tersebut, nampak Bagas dan Carissa saling beradu kening seraya tersenyum. Mereka nampak bahagia.Aruna menarik nafas dalam-dalam. Meringankan rasa sakit yang menyesakkan dada. Hatinya pedih melihat Bagas bermesraan dengan wanita lain. Aruna pun bertanya-tanya, kapan suaminya mengambil foto pernikahan? Apakah saat dirinya dirawat di rumah sakit ataukah dari jauh-jauh hari sebelumnya?"Ternyata, kamu tidak terpaksa menikahi wanita itu Bagas," lirih Aruna sambil masih menatap foto suaminya. "Kamu memang menginginkan pernikahan ini."Senyum bahagia di wajah Bagas menjelaskan isi hati pria itu pada Aruna. Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Bagas membuat Aruna sangat mengenal suaminya. Hingga dengan sekali lihat saja Aruna mengetahui, senyum bahagia Bagas pada foto pernikahannya tidak palsu. "Nyonya, Apa tidak sebai
"Aruna?"Tepat ketika Aruna dan Lastri keluar meninggalkan ruang resepsi, Bagas tanpa sengaja melihat ke arah istrinya. Bagas pun kaget mengetahui keberadaan Aruna di pesta pernikahannya. Seketika, senyum di wajah Bagas pun menghilang. 'Bukankah mamah bilang Aruna tidak akan datang? Kenapa dia ada disini?' batin Bagas. Mengingat perkataan ibunya yang mengatakan bahwa Aruna tidak jadi datang ke pesta pernikahan, karena ingin istirahat di rumah. Tadi setelah mengetahui Aruna tidak jadi datang ke pesta pernikahan, Bagas yang sebelumnya sempat khawatir pun merasa lega. Karena itu, sekarang Bagas leluasa melakukan peranannya sebagai mempelai pria dengan mengesampingkan rasa bersalahnya terhadap Aruna. 'Aruna pasti tidak baik-baik saja. Dia pasti sedih melihatku bersama Carissa,' batin Bagas. Menyentak pikirannya yang tercenung karena rasa kaget melihat keberadaan istrinya. 'Aku harus mengejar Aruna.'Bagas melangkah hendak menyusul Aruna. Namun, Carissa dengan cepat merangkul lengan
Di rumah sakitWilliam Agnibrata yang sudah sadar sedang melakukan pemeriksaan kesehatan. Beberapa dokter pun bertanya tentang banyak hal padanya. Dokter bertanya tentang nama, keluarga, profesi dan hal terakhir tentang kecelakaan yang William alami. William mampu menjawab semua pertanyaan dokter dengan baik. Dia ingat semua hal tentang dirinya, termasuk kecelakaan yang terjadi padanya. "Syukurlah … Keadaan tuan William baik-baik saja. Kecelakaan yang dialaminya sama sekali tidak mengganggu ingatan tuan William, seperti yang kita takutkan. Tuan William hanya perlu istirahat untuk memulihkan kondisi tubuhnya," ujar salah satu dokter, setelah selesai melakukan pemeriksaan. Widia Agnibrata dan Kusuma Agnibrata pun senang mendengar kabar baik tentang keadaan putra Mereka. Orang tua William tidak menyangka, William yang beberapa Minggu lalu harus menjalani operasi karena pendarahan otak akibat kecelakaan yang dialaminya akan sadar dengan keadaan ingatan utuh. Padahal sebelumnya, Dokt
PLAK! Tangan Bagas melayang dan mendarat tepat di wajah Lastri. Membuat tubuh wanita paruh baya itu tersungkur dan menelungkup di atas lantai. Terlihat sebercak darah keluar dari ujung bibir kanan Lastri. Wanita itu pun hanya bisa menunduk sambil terduduk di atas lantai."Beraninya kamu membawa istriku pergi tanpa seizinku!" berang Bagas seraya menunjuk wajah lastri dengan penuh amarah.Bagas marah besar. Tadi, setelah selesai bicara dengan dokter, Bagas kaget mendapati Aruna yang tidak ada di depan ruang dokter. Bagas pun kalang kabut mencari keberadaan istrinya. Dia sudah bertanya pada perawat dan pengunjung yang berada di sana, tapi tidak ada satupun dari mereka yang melihat kepergian Aruna. Setelah Bagas menemukan Aruna dan Lastri yang berada di lobby rumah sakit. Dia pun mengajak mereka pulang. Dan setiba di rumah, Bagas meminta Aruna untuk istirahat di kamar. kini, Bagas pun tengah menuntut penjelasan dari pelayannya. Hanya saja, Bagas tidak bisa menahan emosi, hingga ia sa
Aruna dan Lastri berada di atap bangunan rumah sakit. Terlihat Aruna yang menangis. Meluapkan rasa sedih dan kecewanya karena pengkhianatan Bagas. Aruna meraung seraya memukuli dada. Meratapi kesengsaraan yang dialaminya setelah kecelakaan yang menimpanya.Lastri pun tidak mampu berbuat banyak. Wanita itu hanya diam. Dia berdiri di belakang Aruna seraya menatap iba padanya. "Bi … apa bibi sudah menemukan pria itu?" tanya Aruna. Melirik Lastri dengan berurai air mata. Aruna teringat pada William Agnibrata, pria yang sudah menabrak mobilnya.Lastri pun mengangguk. "Saya sudah menemukan tempat pria itu dirawat, Nyonya. Tapi, saya tidak bisa memastikan langsung keadaannya. Penjagaan di sana sangat ketat. Saya tidak diizinkan untuk mendekat." Aruna mengepalkan tangan. Merasa kesal pada keadaannya. Di saat Aruna harus berjuang mati-matian bertahan di samping Bagas hanya untuk bisa menjalani pengobatan demi mendapatkan kembali kemampuannya dalam berjalan, orang yang sudah membuat Aruna
Beberapa jam berlalu sejak Aruna menjalani pemeriksaan. Dia melakukan rontgen dan CT scan untuk mencari tahu penyebab kelumpuhan yang dialaminya.Aruna juga menjalani elektromiografi (EMG), guna memeriksa kontraksi otot-otot anggota gerak bagian bawahnya.Meski saat ini Aruna sama sekali belum dapat menggerakkan bagian bawah tubuhnya, tapi dari hasil pemeriksaan, dokter semakin yakin jika kelumpuhan yang Aruna alami hanya bersifat sementara. "Mari kita lakukan pengobatan dengan obat dan terapi. Saya akan meresepkan obat yang harus nyonya Aruna konsumsi untuk mengurangi peradangan yang terjadi. Dan untuk terapi, kita akan melakukan fisioterapi dan terapi okupasi. Jadwal terapi bisa kalian diskusikan dengan perawat yang bertugas," ujar dokter, setelah memberikan penjelasan tentang hasil pemeriksaan. Aruna dan Bagas pun mengangguk. Setuju dengan opsi pengobatan yang dokter berikan. Terlihat rasa lega dalam wajah Aruna. Dia merasa senang, karena dokter menjamin dirinya bisa kembali semb
Di dalam ruang pemeriksaan, udara terasa hening dan tenang. Matahari masuk melalui jendela-jendela besar, menyinari ruangan dengan cahaya terang. Pada ranjang pemeriksaan, terlihat Aruna sedang berbaring. Nampak, seorang dokter tengah memeriksa keadaan kakinya. Sedang di sebelah dokter tersebut, terlihat Bagas memperhatikan proses pemeriksaan istrinya. "Sayang sekali, kenapa anda tidak memberikan perawatan intensif terhadap luka istri anda. Jika hal itu dilakukan, mungkin kaki nyonya Aruna tidak akan menjadi kaku seperti ini," tutur dokter seraya merangsang gerakan pada kaki Aruna dengan memukul daerah lututnya. Bagas melirik Aruna. Nampak, wajah Aruna yang terlihat tegang tidak jauh berbeda dengan dirinya. Bagas dan Aruna sama-sama khawatir, karena belum mendapatkan penjelasan pasti tentang cedera kaki yang Aruna alami."Banyak hal yang terjadi setelah kecelakaan. Aruna membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, karena itu kami tidak buru-buru mengambil tindakan pengobatan untuk ka
Aruna dan Bagas dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nampak, keduanya sama-sama terdiam, Bagas tenggelam dalam pikirannya dan Aruna pun tenggelam dalam pikirannya sendiri. Di kursi belakang, Lastri memperhatikan kedua majikannya. Dia sempat khawatir pada Aruna yang mungkin akan hilang kendali setelah mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh suaminya, tapi dia lega karena ternyata Aruna mampu mengendalikan emosinya dengan baik. "Bagas," panggil Aruna. Memecah keheningan di dalam mobil. Bagas yang sedang menyetir pun menoleh. Dia tersenyum pada Aruna yang ternyata sedang menatapnya. "Kenapa?" Aruna kembali meluruskan pandangan. Menatap jalanan. "Berkendara seperti ini mengingatkanku pada kecelakaan yang aku alami tempo hari." Deg! Bagas dan Lastri sama-sama kaget mendengar Aruna yang tiba-tiba mengungkit kecelakaan yang dialaminya. "Hal itu sudah berlalu, sayang. Seharusnya, kamu tidak perlu lagi mengingat hal buruk itu. Aku tidak mau kamu bersedih," ujar Bagas. Menimpali pe
Matahari berada di ketinggian langit, kanopi biru cemerlang membentang dari ujung cakrawala satu ke ujung cakrawala lainnya. Dari kejauhan, terlihat hamparan langit tanpa awan membentang seakan tidak ada ujungnya.Aruna tersenyum memperhatikan langit cerah yang dilihatnya. Dia senang, karena setelah sekian lama terkurung dalam kamar, akhirnya bisa menghirup udara segar. Hari ini, Bagas menepati janjinya membawa Aruna terapi ke rumah sakit. Setelah satu Minggu menunggu, akhirnya Aruna akan melakukan terapi untuk kedua kakinya yang lumpuh. "Anda pasti gugup nyonya," ujar Lastri. Mengalihkan perhatian Aruna dari langit yang diperhatikannya. Aruna menoleh pada Lastri yang berdiri di sampingnya. Senyum Aruna pun merekah mendapati ekspresi wajah Lastri yang terlihat tegang. "Aku baik-baik saja. Aku justru tidak sabar ingin segera bertemu dokter," ucap Aruna. Lastri menarik nafas seraya tersenyum kaku. Sadar sikapnya sudah berlebihan, bukan Aruna. "Saya benar-benar gugup, Nyonya. Semog
Aruna tersenyum getir. Kata-kata Carissa seolah mempertegas posisinya. Walau Aruna istri pertama, tapi statusnya merupakan istri siri."Aku tahu," ucap Aruna singkat. Carissa tersenyum puas. Karena berhasil membuat wajah Aruna berubah pucat. Dia yakin, Aruna sadar betul dengan posisinya yang lebih unggul. "Maaf sudah mengganggu kalian. Aku akan pergi." Carissa berbalik. Dia mendekati Bagas, lalu tanpa malu melumat bibir suaminya. "Carissa akan bersiap memakai lingerie ini. Mas jangan lama-lama disini," ucapnya dengan nada manja. Aruna memejamkan mata. Tanganny terkepal kuat. Hati Aruna pedih. Bukan karena cemburu, tapi karena Aruna kesal tidak mampu berbuat apapun saat Bagas dan Carissa mempertontonkan kemesraan dihadapannya. "Pergilah!" usir Bagas seraya mendorong tubuh Carissa. Carissa pun tidak menentang. Dia pergi dari kamar Aruna dengan senyum penuh kemenangan. Bagas memegang tangan Aruna. "Maafkan Carissa. Orang tuanya terlalu memanjakan dia. Jadi, Carissa agak sedikit ma
Dimas dan Dewi berdiri di depan rumah. Mereka menyambut kepulangan putra dan menantu baru mereka. Dimas dan Dewi pun memeluk Bagas dan Carissa bergantian. Carissa segera memberikan hadiah mahal untuk kedua mertuanya. Sedangkan Bagas bergegas pergi menuju kamarnya. Bagas membuka pintu kamar. Keningnya berkerut saat melihat kamarnya yang ternyata kosong. Bagas pun segera bertanya kepada ibunya. "Mah ... Aruna dimana?" Dewi terkesiap mendengar pertanyaan Bagas. Baru ingat kalau sebelum berangkat bulan madu, Bagas meminta untuk memindahkan Aruna ke kamarnya. "Aruna masih di kamar lamanya. Mamah sudah memintanya pindah, tapi Aruna menolak." Mata Bagas memicing. Tidak begitu saja mempercayai perkataan ibunya. "Mah, jika sampai gara-gara hal ini Aruna kembali marah pada Bagas. Bagas tidak akan tinggal lagi di rumah ini." "Bagas ... Mamah benar-benar sudah menawari Aruna untuk pindah. Hanya saja dia menolak. Su-sungguh!" Dewi berusaha meyakinkan putranya, tapi Bagas tidak mau mendengar