“Verbannen ke-10? Sedang apa kau di sini?” Aden merasa heran dengan kemunculan seseorang yang mengaku sebagai buronan sepertinya. “Ada yang harus kau tahu tentang organisasi. Mereka sedang melakukan perburuan,” ungkap Steven. Mendengar hal itu, Aden menurunkan senjatanya. Ia mencoba mempercayai keempat orang yang tiba-tiba muncul di depan rumah kumuhnya tanpa meninggalkan kecurigaan. “Baiklah, sebaiknya kita bicara di dalam.” Aden mempersilahkan mereka untuk masuk. Penampakan rumah Verbannen ke-10 sangatlah tidak menarik. Dannis jadi teringat dengan kontrakannya dulu sebelum ia bertemu Juna. Kontrakan tempat ia tinggal setelah keluar dari panti asuhan sangatlah kumuh dan buruk, namun rumah Aden jauh lebih dari itu. Ini bisa dibilang tidak layak tinggal. Lantainya hanya beralaskan tanah. Tidak ada perabot elektronik. Semuanya hanya kayu. Bahkan untuk memasak pun, Aden menggunakan kayu bakar. Untuk ranjang tidur, ia memilih menggunakan ranjang kayu tanpa kasur busa ataupun kapuk. I
“Ke mana perginya dia?” Dannis baru saja bangun. Ia mencoba merenggangkan semua ototnya yang tegang. Jujur saja, tidur tanpa alas seperti kasur sangatlah tidak enak baginya. “Entahlah, aku tidak melihatnya sejak subuh tadi,” ungkap Juna. Ia sedang memasak mie instan di atas perapian. “Lalu di mana Steven dan Reina?” Dannis mengkhawatirkan kedua temannya. “Mereka juga menghilang. Aku juga tidak melihatnya sejak subuh.” Juna berpikir mungkin saja mereka bertiga kabur bersama-sama meninggalkan mereka berdua. Namun kejadian yang sebenarnya sangatlah berbeda. Setelah melewati malam yang candu, bergulat bersama dalam sorot terang bulan, Reina dan Steven ikut bersama dengan Aden untuk turun bukit. Aden ternyata memergoki keduanya bercumbu di bawah pohon rindang di depan gubuk kumuhnya ketika menjelang subuh. Keduanya tampak kelelahan dan hanya menutupi tubuh mereka dengan pakaian masing-masing yang belum sempat dipakai lagi. “Kita tunggu saja mereka. Kuharap mereka tidak pergi meninggal
“Pembuatnya? Siapa?” Dannis menoleh ke arah Steven. “Tanyakan padanya nanti. Sekarang kita harus bergegas ke landasan itu!” Reina membentak para lelaki itu. Perjalanan menuju ke landasan pesawat itu tidaklah mudah. Dari rumah kumuh milik Aden yang berada tepat di puncak bukit, mereka harus turun sedikit dan menempuh jarak hingga seratus meter lebih ke sisi lain bukit. Reina dan Steven sebenarnya tidak tahu-menahu tentang landasan itu. Mereka berdua juga terkejut ketika pertama kali melihatnya. Tapi mereka bisa menyimpulkan bahwa landasan itu dibuat oleh Aden Embara. “Sebenarnya kita mau apa di sana?” Dannis merasa bingung. Suasana paginya tampak rusak oleh permainan kucing-kucingan ini. “Jangan banyak bicara! Cepat lari saja!” bentak Reina lagi. Mereka segera menyusuri jalan setapak yang telah dilapisi oleh batu pipih. Steven dan Juna menduga batu-batu setapak ini adalah buatan Aden. Ternyata tinggal begitu lama di bukit, Aden memiliki hobi untuk mendesain sebuah bukit layaknya
“Rumah siapa itu?” pikir Dannis dalam hati ketika ia menoleh ke arah bawah. Helikopter yang dikemudikan oleh Aden tampak turun dan terbang rendah menuju ke sebuah helipad yang berada di tengah-tengah halaman rumah seseorang yang letaknya tidak jauh dari tepi pantai. Saat ini mereka sudah melewati perbatasan dan berada di negara gajah putih; Thailand. Namun mereka tidaklah pergi terlalu jauh dari area perbatasan. Perlahan helikopter mendarat. Ada beberapa orang yang memberi arahan saat pendaratan itu. Dan beberapa orang yang mengenakan setelan jas lengkap berwarna hitam tampak menghampiri helikopter. “Siapa mereka?” tanya Reina. “Kau akan tahu setelah kita turun,” jawab Aden Embara. Setelah mesin helikopter mati, mereka segera turun dan menyambut orang-orang itu. Ia menghampiri mereka dan bersalaman dengan salah satu dari pria itu. Raut wajahnya tampak senang hingga senyum kecil terlontar ke arah mereka. “Silahkan ikuti kami,” ucap salah seorang dari mereka.“Siapa mereka? Ini ru
Semua mata tertuju pada sosok pengawal yang tampak kelelahan dan cemas. Gan Phassakorn yang masih menikmati aksinya menodongkan senjata ke arah kepala Reina harus menurunkan egonya. Ia merasa kesal karena merasa diganggu. Namun persoalan datangnya para tamu jauh lebih penting dari pada miliknya. “Amankan area! Gunakan seluruh persenjataan! Dan kalian semua, ikuti aku!” Gan Phassakorn telah memberi perintah. Tidak lama dari itu, terdengar suara desing peluru dari arah halaman luar. Meski sedikit samar, namun Gan, Dannis dan yang lainnya tahu kalau baku tembak telah dimulai. Sesegera mungkin Gan memandu para temannya untuk menuju ke sebuah ruang baca. Di sana ia menekan beberapa tuts piano yang tiba-tiba membuat lemari kayu tinggi yang berada di belakang piano itu bergerak dan membuka. Terlihat ada celah kecil yang terlihat. “Apa itu pintu rahasia?” Juna merasa takjub. “Kau baru melihat yang seperti ini?” Gan menyindir sambil tersenyum. Ia mengajak semuanya untuk masuk ke dalam. Ter
“Luna! Matikan lampunya!” perintah Gan Phassakorn. “Kau bicara dengan siapa?” Aden menoleh.“A.I milikku. Kau pikir markas ini tidak dilengkapi dengan sistem keamanan seperti di markas-markas superhero?” Gan tersenyum. “Lampu segera dimatikan.” Sebuah suara terdengar dari arah langit-langit. Suaranya seperti seorang wanita muda. Ketika suara itu terdengar dan lampu di dalam ruangan mati total, Dannis dan yang lainnya merasa takjub saat tiba-tiba lampu sorot berwarna-warni seperti yang ada di dalam sebuah klub malam mulai menyala begitu terang dari berbagai spot. “Aktifkan mode Midnight Party!” Gan kembali memberi perintah. Dengan cepat, lampu-lampu sorot yang telah menyala mulai bergerak ke sana-kemari dan membuat suasana di dalam ruangan itu tampak seperti suasana di klub malam. Merah, putih, biru, hijau dan ungu mendominasi kelap-kelip lampu yang menyorot. Ditambah lagi, musik mulai terdengar dengan volume lumayan keras. “Kau juga memutar musik?” Dannis tampak risih dengan sua
“Argh!” Pria itu merasakan nyeri di lengannya yang dilumpuhkan oleh timah panas. Ujung pistol milik Gustav masih berada di hadapannya, Steven tidak bisa berbuat banyak karena ia takut mantan temannya itu akan berbuat sesuatu yang gila. Senyuman licik di wajah Gustav telah menjadi peringatan baginya untuk menjaga sikap.Namun ketika ia melihat ke arah Reina, pria itu tahu kalau kekasihnya itu sedang melakukan sesuatu. Demi kesempatan yang ingin dibuat oleh Reina, Steven mencoba mengulur waktu. Momen nostalgia dirinya bersama Gustav menjadi andalan untuk meruntuhkan fokus mantan temannya itu. “Kau masih setia pada tuanmu? Apa kau anjing peliharaannya?” sindir Steven. “Oh, mantan peliharaan ingin menyindirku sebagai peliharaan? Apa kau tidak punya muka? Tetaplah dirimu sendiri di cermin. Kau pikir aku tidak tahu saat ini bau bekerja untuk siapa!” Gustav semakin serius. “Apa maksudmu?” Steven mulai terpancing. Reina yang tidak diawasi oleh Gustav mulai melakukan pergerakan secara sem
“Apa kau dengar?” Reina yang sedang menuju ke sisi kanan rumah bersama kekasihnya tampak terkejut ketika mendengar teriakan keras yang melengking tinggi dari arah belakang. Steven yang berjalan tertatih dan berada di samping wanitanya juga merasa heran. Ada tanya yang cukup besar dibenaknya. Mereka berdua masih berusaha untuk menuju ke sisi kanan dengan menyusuri beberapa ruangan lagi. Keduanya meninggalkan mayat Gustav begitu saja di ruangan sebelumnya. “Apa yang terjadi? Itu bukannya suara Dannis?” pikir Steven. “Apa kita perlu ke sana?” tanya Reina. “Kita selesaikan dulu yang di sini. Aku takut para Jager yang ada di sisi kanan akan mengepung ke area belakang. Setidaknya kita bantu Dannis,” pikir Steven. Dan benar saja, ketika mereka membuka pintu yang menghubungkan rumah dengan halaman di sisi kanan rumah, beberapa Jager terlihat sedang berdiri dalam diam. Mereka seperti sedang sibuk mengamati suara keras yang mengetuk rasa ingin tahu mereka. Kesempatan itu pun tidak dibiarka
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba