“Apa kau dengar?” Reina yang sedang menuju ke sisi kanan rumah bersama kekasihnya tampak terkejut ketika mendengar teriakan keras yang melengking tinggi dari arah belakang. Steven yang berjalan tertatih dan berada di samping wanitanya juga merasa heran. Ada tanya yang cukup besar dibenaknya. Mereka berdua masih berusaha untuk menuju ke sisi kanan dengan menyusuri beberapa ruangan lagi. Keduanya meninggalkan mayat Gustav begitu saja di ruangan sebelumnya. “Apa yang terjadi? Itu bukannya suara Dannis?” pikir Steven. “Apa kita perlu ke sana?” tanya Reina. “Kita selesaikan dulu yang di sini. Aku takut para Jager yang ada di sisi kanan akan mengepung ke area belakang. Setidaknya kita bantu Dannis,” pikir Steven. Dan benar saja, ketika mereka membuka pintu yang menghubungkan rumah dengan halaman di sisi kanan rumah, beberapa Jager terlihat sedang berdiri dalam diam. Mereka seperti sedang sibuk mengamati suara keras yang mengetuk rasa ingin tahu mereka. Kesempatan itu pun tidak dibiarka
“Ha~”“Ini akhirnya, ‘kah?”“Aku akhirnya bisa istirahat dengan tenang.”Ia hanya mampu menunggu malaikat maut menjemputnya. Namun disaat keteguhan hatinya tidak sejalan dengan takdir, ia pun merasa heran. Kenapa dirinya belum mati? Apa ada yang salah?Perlahan Dannis membuka kedua matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah tubuh Andika yang mulai tumbang ke sisi samping hingga lelaki itu tersungkur di tanah. Tampak darah segar mengucur dari tengkorak bagian belakang. Pistol yang digenggam oleh Andika pun terlepas dari genggaman dan jatuh lebih dulu dari tubuhnya. Wajah Dannis begitu terkejut. Ia tidak menyangka bila paman tirinya justru jatuh tidak berdaya. Ketika ia mendekat dan memeriksa embus napas dan denyut nadinya, telah dipastikan kalau Andika telah tewas. “Ba–bagaimana mungkin?” tanya Dannis dalam benaknya. “Ada apa denganmu?! Kenapa kau pasrah seperti itu?” teriak Steven dari kejauhan. Pria itu berjalan bersama Reina yang baru saja melepaskan tembakan. “Kenapa kau tidak m
Hari yang kelam di waktu kemarin akhirnya telah lewat begitu saja. Pagi buta di bandara terdekat tampak begitu ramai. Tapi sayangnya Steven dan Reina tidak melewati lobi dan boarding pass bandara untuk melihat lalu-lalang para penumpang. Mereka langsung menuju ke hanggar pesawat yang disewa oleh Gan Phassakorn. “Kau masih memiliki hal lain untuk dipamerkan?” Steven menoleh ke arah Gan dengan penuh tanya. Awalnya ia menyangka kalau mereka akan menyewa private jet dari jasa sewa, tapi yang ada di hadapannya justru memperlihatkan private jet milik Gan Phassakorn. “Kau ingin melihat klub malamku di Las Vegas?” Gan tersenyum. “Sudahlah, sayang. Jangan memancingnya untuk pamer. Saat ini dua peti mati itu sudah berada di bagasi. Kita hanya tinggal berangkat saja,” balas Reina. “Apa Aden dan Dannis baik-baik saja? Dia belum mengenal baik anak itu. Kuharap kau dan Aden bisa melatihnya menjadi seorang pemburu para Jager.” Steven masih agak khawatir meninggalkan anak bosnya di tangan dua man
“Apa tempatnya di sini?” Dannis menatap keluar jendela. Perjalanan mereka terhenti di sebuah jalanan sempit, padat dan ramai dengan banyaknya pedagang makanan di pinggir jalan. Dannis memang tahu kalau Thailand sangatlah terkenal dengan aktivitas malamnya seperti para penjual makanan pinggir jalan dan pasar malam untuk bersenang-senang, namun bayangan yang ada di kepalanya mengalahkan kenyataan yang ia lihat sekarang. “Dari share link yang Gan berikan, tempatnya kurang lebih di ujung jalan sana. Sepertinya kita harus masuk ke dalam,” pikir Aden. Mobil yang ia kendarai terjebak di pintu masuk jalan sempit yang penuh dengan para penjual makanan dan orang yang lalu-lalang. Bila pun ia memaksakan masuk, ia harus berhati-hati agar tidak menggilas orang yang lewat. “Kau yakin mobil bisa masuk ke sana? Atau kita sebaiknya jalan kaki saja?” pikir Dannis. “Benar juga. Kalau begitu aku akan memarkirnya di pinggir jalan sekitar sini. Sebaiknya kau turun dulu,” ungkap Aden. Dannis pun turun
Akal sehat lelaki itu tampak melayang. Ia tidak bisa berpikir jernih ketika tangan wanita itu mulai meraba tubuhnya. Ya, mereka sudah berada di dalam pondok kecil yang terbuat dari kayu. Hanya sebuah pondok yang diperuntukkan untuk menyimpan peralatan berkebun, namun memiliki luas seperti kontrakan tiga petak. Dannis terus mengikuti sentuhan tangan wanita itu hingga ia terlena dan terbang dalam rasa yang belum pernah ia bayangkan. Dan perlahan dirinya pun geram. Ia tidak hanya ingin diam dan pasrah ketika tubuhnya dimanja. Dengan cepat kedua tangan Dannis ikut berpetualang bersama pikiran liarnya. Sentuhan bibir antara keduanya seraya mencicipi sesuatu yang lembut. Tanpa sadar, lelaki itu sudah melepaskan kemeja yang ia gunakan. Lekukan otot perut dan dada bidangnya tampak menggoda wanita itu hingga ia menaikkan ritme permainan. “Buka bajuku,” bisik wanita itu. Gaun merah tua yang dikenakannya langsung dibuka paksa oleh Dan
“Aw, ke … kepalaku sakit sekali.” Dannis mencoba membuka matanya perlahan-lahan. Satu tangannya langsung memegangi kepalanya yang terasa pusing sekali. Seakan apa yang ia lihat berputar tidak karuan. Saat pandangannya mulai terang dan fokus, tampak lampu berwarna putih terang bersinar menyilaukan matanya. “Ini di mana?”“Kenapa aku ada di sini?” Ia tahu kalau saat ini dirinya berada di dalam sebuah ruangan. Tapi ia tidak tahu ruangan apa itu. Ketika ia mencoba meraba tubuhnya, hanya ada selimut tebal berwarna putih yang membungkus tubuhnya dari bagian leher hingga ke ujung kakinya. Saat ia membuka selimut itu dan melihat tubuhnya, ia terkejut! Ternyata ia sama sekali tidak mengenakan pakaian. “Kau sudah bangun?” Dannis mendengar suara wanita dari sampingnya. Ketika ia menoleh, ada Rosella yang ikut berbaring bersamanya dengan tubuh yang dibungkus oleh selimut. Sontak saja Dannis pun bangun dan duduk sambil menarik selimut yang membungkusnya. Kedua matanya tampak terbelalak ketika
“Oh, aku lupa. Apa kita harus mengundi siapa yang melatihnya duluan?” Gan melirik ke kedua temannya.“Aku akan melatih dasarnya terlebih dulu. Lalu setelah itu Gan bisa memberikan sedikit pengalamannya. Dan yang terakhir akan disempurnakan oleh Rosella. Ini juga sesuai dengan peringkat kita. Aku berada di nomor sembilan, ‘kan?” Aden menunjuk dirinya sendiri. “Aku paham. Baiklah. Silahkan berlatihlah di halaman belakang dekat labirin. Ada lapangan tembak setelah melewati pondok kayu,” ungkap Gan. Mendengar kata ‘pondok kayu’, Dannis jadi teringat dengan kejadian kemarin. Ia masih sangat jelas melihat semua kejadian itu di dalam pikirannya. Dalam beberapa detik, otaknya melayang ke masa lalu, membayangkan kembali ia dan Rosella di meja kayu besar. “Jangan melamun. Aku tahu kau pasti sedang memikirkan tentang pondok dan meja kayu,” bisik Rosella. Sontak saja Dannis pun terkejut. Ia menjadi salah tingkah setelah mendengar ucapan Rosella. Tiba-tiba ia pun beranjak pergi dari meja dapur
Luka dari perasaan kehilangan seseorang yang dicintai memanglah berat. Entah ia adalah seorang saudara, teman, anak, orang tua atau apapun statusnya dihati kita. Sulit memang, namun semua itu harus dilewati oleh lelaki yang hidupnya seakan sedang dipermainkan oleh Tuhan. Akhirnya Dannis harus menghentikan tangisnya dan kembali memegang pistol. Satu-satunya cara untuk maju ke depan hanya melaju bagai peluru yang menerjang target di depannya. “Kau sudah merasa tenang?” Aden melirik ke lelaki di sampingnya. “Sedikit.” Dannis berusaha mengusap semua air matanya. Ia berupaya kembali berdiri tegak dan memegang pistolnya lagi. “Kalau begitu, ayo kita mulai latihannya,” ungkap Aden. Verbannen peringkat ke-9 itu mulai mengajarkan Dannis menggunakan beberapa jenis senapan dan amunisinya. Meski lelaki itu telah menerima pelatihan dasar dari Juna sebelum ini, namun Aden masih ragu bila Dannis tahu tentang beberapa jenis senapan laras pendek dan panjang. Ia juga mempraktekkan kegunaan masing-m
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba