"Bajingan!" teriak Jared. Lehernya berlumuran darah. Ia berusaha untuk menghentikannya, namun kesadarannya mulai goyang. Sontak saja ia memerintahkan kepada seluruh anak buahnya untuk menghujani Juna dan yang lainnya dengan peluru. Dengan cepat, mereka yang berada di belakang Edwin dan Saka, serta yang berada di dalam gudang peti kemas dan mereka yang berada di atas gudang terbengkalai, semuanya tumpah ruah di jalan. Juna yang baru saja membunuh lima sniper Jared langsung meminta kepada Airin dan Gilang untuk bersembunyi di belakangnya. "Kita terkepung," ungkap Airin. Matanya terus saja bergerak. Melihat ke arah kanan-kiri untuk menyembunyikan tubuhnya di belakang Juna, namun sayangnya para pasukan Jared telah mengepung mereka dari empat arah sekaligus. "Apa kau punya ide?" Gilang ikut menodongkan pistol miliknya ke arah para prajurit berseragam hitam itu. "Tiga orang, dua senjata dan satu wanita. Apa yang kau harapkan dari itu untuk melawan puluhan orang-orang berseragam dan be
"Dia benar-benar sudah gila. Sebegitunya menginginkan takhta hingga menyingkirkan anak dan karyawannya," pikir Aji Kartanegara.Pria tua itu sedang duduk santai di belakang meja kantor yang berasal dari kayu mahoni. Sambil menikmati teh hangat buatan asisten rumah tangganya, ia melihat berita terbaru di televisi. "Kebakaran hebat yang terjadi di salah satu perusahaan milik Andika Kartanegara ini diduga karena adanya konsleting listrik. Saat ini sekitar dua puluh mobil pemadam kebakaran sedang berupaya keras untuk memadamkan api yang justru kian membesar."Salah satu reporter berita nasional melaporkan langsung secara Live di lokasi. Banyak dari warga setempat dan reporter dari stasiun berita lainnya yang ikut menyiarkan kebakaran itu. Namun ketika Andika dimintai keterangan di rumah singgahnya yang berada di ibukota, ia tidak menunjukkan dirinya. Setelah pulang, ia langsung mengunci rapat-rapat rumah mewah yang setara dengan delapan ratus milyar itu. "Mengenai korban dari aksi Jared
"Hei! Berhenti! Kau siapa?" Seorang polisi menghentikan langkah anak buah Sapto yang baru saja keluar dari ruang isolasi Jared. Terlihat ada dua polisi lagi yang ikut serta untuk menghampiri si pria yang tidak mereka kenal itu. Ketika hendak menyuruhnya berbalik, polisi yang berada tepat di belakang pria asing itu langsung ditembak pada bagian kepala bagian depan. Sontak saja, dua polisi lainnya langsung mengambil pistol mereka dari saku dan hendak membidik pros itu. Dar! Dar!Namun sayangnya, mereka justru tidak diberi waktu untuk menarik pelatuk pistolnya. Keduanya langsung ditembak pada bagian kepala. Mendengar adanya suara tembakan dari arah ruang isolasi, beberapa polisi yang sedang sibuk di ruangannya langsung bergerak. Ketika mereka tiba di lokasi, dua tubuh polisi sudah tergeletak tak bernyawa di atas lantai. Sayangnya, pria yang menyamar sebagai polisi itu telah membaur di antara kerumunan polisi dan kabur melalui pintu belakang. Di sisi lain, Jared yang baru saja mendapa
"Kau menyebalkan! Ingat! Jangan memaksaku untuk berhenti…." Lelaki itu membiarkan Airin merebahkan dirinya di kasur. Napas yang tersengal-sengal tampak terdengar begitu lirih. Lonjakan yang dialami oleh Gilang terus memaksanya menjadi liar. Ini adalah pertama kalinya ia dimanja dengan begitu intens. Desah merayap di telinga lelaki itu, membuatnya tampak bersemangat menggetarkan ranjang yang kian berantakan. "Lebih cepat… lebih cepat…." pinta Airin. "Jangan salahkan aku bila kau menggeliat seperti cacing," bisik Gilang. Sepanjang malam mereka terus bergumul melepaskan hasrat yang tampak tertahan berbulan-bulan. Ada hal yang ingin dilampiaskan Airin ketika melihat lelaki itu. Meski umur mereka tidak begitu berbeda jauh, namun Airin sangat menghormati Gilang. Namun di atas ranjang dingin, ia hanya menginginkan sosok Gilang yang liar seperti singa. Ia menginginkan Gilang menjadi miliknya. "Apa aku boleh jujur?""Katakan saja… ada apa?""Aku menginginkanmu. Apa kau mau menjadi milikk
"Kalian terlambat…." Salah satu anak buah Sapto tampak tersenyum. Ia menyindir para anak buah Aji Kartanegara yang datang terlambat. "Angkat tangan, cepat! Atau aku akan menembak kalian berlima!" seru salah satu anak buah Aji Kartanegara. Semua ujung selongsong senjata telah mengarah tepat ke kepala lima orang yang terus saja mundur ke belakang hingga menuju ke pembatas atap. Mereka berlima mengangkat tangan ke atas, namun wajah mereka tampak sumringah, seakan senang dengan kelompok Aji Kartanegara yang perlahan maju mengikuti mau mereka. "Menyerahlah!" seru salah satu anak buah Aji Kartanegara lagi. "Baiklah… kami menyerah!" Tiba-tiba salah satu dari kelima orang itu melemparkan sebuah granat asap ke arah kelompok Aji Kartanegara. Ketika asap mulai mengepul menutupi penglihatan sepuluh orang itu, anak buah Sapto langsung saja lompat dari atas gedung. Rupanya tas besar yang mereka bawa adalah parasut yang kapan saja siap digunakan. Meski rumah sakit itu hanya terdiri dari bebera
"Baiklah, sebelum ada pengumuman lainnya, aku ingin mengumumkan sesuatu," ungkap Aji Kartanegara. Para pemegang saham tertinggi telah berkumpul dan duduk tepat di kursinya masing-masing. Mereka menunggu penjelasan Aji Kartanegara yang ingin menyampaikan sesuatu. Tampak di belakang para pemegang saham ada barisan para petinggi direksi dari masing-masing anak perusahaan Kartanegara Grup. Bila dilihat, Andika tampak bersemangat mendengarkan celotehan ayahnya itu sambil memegang gelas wine miliknya. Pikirnya, apapun yang akan dikatakan oleh tua bangka itu tidak akan berpengaruh pada hasil dari rapat besar itu. Ia akan tetap menjadi pemenangnya. "Sebelumnya, aku sangat berterima kasih pada kalian semua. Aku masih ingat dengan perusahaan pertama yang kubangun bersama ayah dan kakekku. Saat itu, pria tua ini masihlah begitu muda. Ambisi dan ego menyertai setiap keputusan saya ketika itu. Namun saya akhirnya mengerti, menjadi penerus bukan hanya
[Bagaimana bocah itu? Apa dia masih tidur?]"Dia belum sadar. Sepertinya dosis yang saya gunakan terlalu tinggi. Kuharap dia tidak mati."[Biarkan saja dia mati. Sekarang, apa kau sudah menemukan di mana dua Brata itu? Dannis dan Juna maksudku.]"Sepertinya mereka lari ke luar negeri. Aku hanya mendapatkan informasi bahwa Dannis tidak sadarkan diri akibat perang di gudang peti kemas. Sepertinya dia koma."[Baguslah. Artinya kita bisa mengutak-atik Alex Group dari dalam. Cepat hubungi orang kita di dalam sana.]Setelah berhasil duduk di kursi nyaman milik Aji Kartanegara, tampaknya Andika masih merasa belum puas sebelum mendapatkan semua kekuatan yang dimiliki oleh keluarganya itu. Sasaran terakhir yang harus ia taklukkan adalah Alex Group, kumpulan perusahaan milik adik bungsunya sendiri. Meski musuhnya hanyalah tinggal Alex Group saja, namun ia tidak mau menganggap remeh grup perusahaan itu. Ada alasan kenapa adik bungsunya mempercayakan asetnya pada Juna Brata. "Apa ini rumahnya?"
Acara minum teh di kebun bunga hanya dihadiri oleh Dannis, Alex Kartanegara dan juga Juna. Mereka begitu nikmat menyeruput hangatnya teh buatan Diana Ningrat yang hanya datang sebentar untuk mengantarkan ketiga cangkir teh itu. Wajah wanita paruh baya itu masih begitu cantik dan muda. Ketika Dannis melihatnya pertama kali, ia sangat terkejut akan kecantikan sang ibu. "Si–siapa kau?" tanya Dannis ketika ia pertama kali membuka matanya di kamar tidur. Dirinya dikejutkan dengan kemunculan sosok wanita itu. Ia tidak tahu itu siapa dan dirinya juga tidak mengenal tempat asing itu. Dannis bahkan tidak mengenal pria tampan yang sedari tadi sepertinya ia berdiri di dekat pintu. "Dannis, ini ibu…." "I–ibu? Ma–maksudnya?" Jujur saja, Dannis tidak bisa mengerti ucapan Diana saat itu. Ia seakan bodoh karena tidak bisa memahami maksudnya. Ibu yang ia maksud sama sekali tidak berada di pengalaman hidupnya. Maklum saja, Dannis telah diserahkan ke panti asuhan sejak ia bayi. Sosok ibu baginya ha
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba