"Baiklah, sebelum ada pengumuman lainnya, aku ingin mengumumkan sesuatu," ungkap Aji Kartanegara. Para pemegang saham tertinggi telah berkumpul dan duduk tepat di kursinya masing-masing. Mereka menunggu penjelasan Aji Kartanegara yang ingin menyampaikan sesuatu. Tampak di belakang para pemegang saham ada barisan para petinggi direksi dari masing-masing anak perusahaan Kartanegara Grup. Bila dilihat, Andika tampak bersemangat mendengarkan celotehan ayahnya itu sambil memegang gelas wine miliknya. Pikirnya, apapun yang akan dikatakan oleh tua bangka itu tidak akan berpengaruh pada hasil dari rapat besar itu. Ia akan tetap menjadi pemenangnya. "Sebelumnya, aku sangat berterima kasih pada kalian semua. Aku masih ingat dengan perusahaan pertama yang kubangun bersama ayah dan kakekku. Saat itu, pria tua ini masihlah begitu muda. Ambisi dan ego menyertai setiap keputusan saya ketika itu. Namun saya akhirnya mengerti, menjadi penerus bukan hanya
[Bagaimana bocah itu? Apa dia masih tidur?]"Dia belum sadar. Sepertinya dosis yang saya gunakan terlalu tinggi. Kuharap dia tidak mati."[Biarkan saja dia mati. Sekarang, apa kau sudah menemukan di mana dua Brata itu? Dannis dan Juna maksudku.]"Sepertinya mereka lari ke luar negeri. Aku hanya mendapatkan informasi bahwa Dannis tidak sadarkan diri akibat perang di gudang peti kemas. Sepertinya dia koma."[Baguslah. Artinya kita bisa mengutak-atik Alex Group dari dalam. Cepat hubungi orang kita di dalam sana.]Setelah berhasil duduk di kursi nyaman milik Aji Kartanegara, tampaknya Andika masih merasa belum puas sebelum mendapatkan semua kekuatan yang dimiliki oleh keluarganya itu. Sasaran terakhir yang harus ia taklukkan adalah Alex Group, kumpulan perusahaan milik adik bungsunya sendiri. Meski musuhnya hanyalah tinggal Alex Group saja, namun ia tidak mau menganggap remeh grup perusahaan itu. Ada alasan kenapa adik bungsunya mempercayakan asetnya pada Juna Brata. "Apa ini rumahnya?"
Acara minum teh di kebun bunga hanya dihadiri oleh Dannis, Alex Kartanegara dan juga Juna. Mereka begitu nikmat menyeruput hangatnya teh buatan Diana Ningrat yang hanya datang sebentar untuk mengantarkan ketiga cangkir teh itu. Wajah wanita paruh baya itu masih begitu cantik dan muda. Ketika Dannis melihatnya pertama kali, ia sangat terkejut akan kecantikan sang ibu. "Si–siapa kau?" tanya Dannis ketika ia pertama kali membuka matanya di kamar tidur. Dirinya dikejutkan dengan kemunculan sosok wanita itu. Ia tidak tahu itu siapa dan dirinya juga tidak mengenal tempat asing itu. Dannis bahkan tidak mengenal pria tampan yang sedari tadi sepertinya ia berdiri di dekat pintu. "Dannis, ini ibu…." "I–ibu? Ma–maksudnya?" Jujur saja, Dannis tidak bisa mengerti ucapan Diana saat itu. Ia seakan bodoh karena tidak bisa memahami maksudnya. Ibu yang ia maksud sama sekali tidak berada di pengalaman hidupnya. Maklum saja, Dannis telah diserahkan ke panti asuhan sejak ia bayi. Sosok ibu baginya ha
"Aku merasa terkejut dengan pemikiran kakak tertuaku itu. Dan demi menyelamatkan ibumu dan kau, satu-satunya cara untuk terbebas dari rencana Andika di masa depan adalah dengan menyingkir pergi. Tapi kami tidak bisa membawamu ke luar negeri, hal itu karena kami harus memastikan kala itu Andika tidak mencium kebohongan kami," ungkap Alex Kartanegara. Kedua sahabat itu membuat sebuah rencana di mana kecelakaan yang semula telah direncanakan oleh Andika akan tetap dilakukan, namun akan ada improvisasi dari Alex dan juga David Brata. Meski rencana ini akhirnya akan menjadi salam perpisahan bagi David, namun ia tetap menyerukan rencana ini agar tetap berjalan sesuai kehendak Andika. "Ayah ingin tetap rencana itu dijalankan?" Juna merasa terkejut kalau ayahnya begitu peduli hingga rela mengorbankan dirinya."David kala itu sudah berkeluarga. Dia baru saja menikah sekitar dua bulan setelah Dannis lahir. Saat itu, ibumu sedang mengandungmu. Aku tidak tahu bagaimana caranya sahabatku itu meya
"Kau sudah tahu tempatnya? Baiklah, aku akan segera ke sana." Gilang menutup panggilan masuk dari Rangga. Tampak Airin begitu penasaran dengan pesan yang diucapkan oleh Rangga. Ia yang sedang memasak di dapur menghampiri kekasihnya itu di ruang keluarga. "Ada apa? Apa yang Rangga katakan?" tanya Airin. "Dia berhasil menemukan di mana letak Saka di kurung," ucap Gilang. Lelaki itu tampak bergegas pergi sambil membawa sedikit makanan yang telah dimasak oleh Airin. "Apa sebaiknya aku ikut denganmu?" Airin merasa khawatir kalau terjadi apa-apa dengan Gilang. "Tidak perlu. Lebih baik kau di sini saja. Dan tolong hubungi Juna dan Dannis untuk segera kembali." Gilang tersenyum kecil. Sebenarnya ia merasa takut dengan apa yang akan dihadapi, namun ini adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan Saka. Ketika Gilang melewati pintu, Airin menundukkan wajahnya seraya cemas dengan nasib kekasihnya. Meski di belakang Rangga ada puluhan pasukan bayaran dan pasukan khusus kepolisian, namun ia
"Pak, intel kami baru memberitahu kalau ada pasukan penyergapan yang sedang bersembunyi di sekitar rusun yang kami tempati. Apa yang harus kami lakukan? Menyerang atau mundur?" [Bila mereka bersikeras menyerang, maka berikan mereka pelajaran! Aku sedang berupaya untuk memindahkan sebagian aset Kartanegara Group ke luar negeri. Bila proses selesai, kita akan pergi dari negeri bodoh ini.]"Baiklah, sehari saja cukup? Kami akan mencoba menahan mereka."[Cukup. Aku juga sedang mencoba untuk mengacak-acak Alex Group.]Andika mulai berbenah diri. Ia meminta kepada para tim yang selalu ikut dengannya dan bekerja dibalik bayang-bayang untuk mengatur semua pemindahan aset dari Kartanegara Group ke perusahaan bayangannya di luar negeri. Tim itu terdiri dari dua belas orang yang bekerja di beberapa bidang tertentu. Sapto adalah pemimpin mereka. Dan tim ini sedang meretas dan mengalihkan semua aset berupa nominal uang, sertifikat tanah, dan perusahaan ke aset Andika di luar negeri. Mungkin isti
"Aku baru mendapatkan kabar kalau saat ini Andika sedang berada di kantor pusat. Apa yang harus kita lakukan? Langsung ke sana?" tanya Juna. “kita akan langsung ke kantornya. Tapi untuk berjaga-jaga, Anya dan Luna akan stand by di tempat lain." Dannis merasa ada yang mengganjal di hatinya. "Baiklah, aku setuju," jawab Luna. Perjalanan beberapa jam menggunakan jet pribadi yang dimiliki oleh Alex Kartanegara tampaknya tidak membuat Dannis mengalami jet lag lagi. Ia sudah lumayan terbiasa dengan pesawat. Terlihat ada sebuah mobil mini Van berwarna hitam yang sudah dipersiapkan Juna tepat di hangar udara yang disewa olehnya. Mereka akhirnya mendarat dan sampai di negerinya, namun kali ini mereka datang dengan membawa bantuan dan rencana yang matang. "Kita berpisah di sini. Aku dan Anya akan langsung bergerak ke gedung yang berada di sebelah kantor pusat. Dan ingatlah, tolong jangan mati konyol," ucap Luna. "Kau juga." Dan ia tersenyum.Mereka pun berpencar dalam dua mobil. Luna dan
“Kita bagi dua tim. Tim satu akan naik melewati tangga di sisi selatan, lalu tim dua akan melewati tangga di sisi Utara. Kita bertemu di lantai teratas. Sisir semua kamar dan jangan sisakan mereka satu pun!” Komandan telah memberi perintah melalui alat komunikasinya. Seluruh tim yang semula terbagi menjadi empat tim telah mengerucut menjadi dua. Rangga bersama komandan mulai menaiki tangga untuk menuju ke lantai dua. Dari tim yang semula berjumlah 15 orang telah bertambah menjadi 30 orang. Semuanya tampak waspada ketika menyusuri lantai dua. “Awas! Itu perangkap!” Teriakan Rangga terlalu lambat. Alhasil, tiga orang yang berjalan di paling depan menginjak ranjau yang sengaja di letakkan di bawah keramik. Mereka benar-benar bersusah payah sampai menggali ke dalam lantai sekitar sepuluh sentimeter. Dan karena hal itu, ledakan besar begitu keras terdengar hingga menghempaskan ketiga prajurit itu ke belakang. Tampak luka di sekujur tubuh mereka begitu mengenaskan. Tidak jauh dari itu,
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba