"Bagaimana? Apa sudah ditemukan?" Gilang terlihat panik. Wajahnya tampak begitu tegang ketika mendapatkan panggilan masuk dari ketua Tim SAR. ["Maaf, Pak. Kami belum menemukan tubuh Mas Dannis. Tapi kami akan menyusuri kembali sungai serta lereng jurang."] Ketua Tim SAR mengakhiri panggilannya. Sudah sekitar delapan jam berlalu semenjak Dannis terjatuh. Seluruh Tim SAR gabungan di wilayah itu dan juga tim yang berasal dari ibukota di terjunkan langsung dengan dibekali helikopter milik perusahaan Kartanegara Karya. Sedari tadi, Gilang selalu saja mondar-mandir. Ia tidak bisa menghentikan langkahnya untuk sebentar saja. Kuku di ibu jari kanannya menjadi korban karena terus saja digigit olehnya. "Pak, apa Dannis akan baik-baik saja?" Luna tampak khawatir. Pertanyaan bodohnya tentu saja tidak bisa dijawab oleh semua orang yang ada di sana. "Sebaiknya kamu tenangkan diri dulu. Pak Gilang pasti akan mengerahkan segala cara untuk menyelamatkan temanmu," balas Pak Tio. Proyek yang sehar
"Juna! Bantu aku untuk mempersiapkan helikopter! Kita akan membawanya ke rumah sakit di ibukota!" Gilang telah memberikan perintahnya. Tanpa adanya jawaban, Juna segera pergi dengan membelah kerumunan orang-orang yang menutupi jalannya. Derai air mata mengalir dari pipi Luna yang terus saja mendekap tubuh Dannis yang tampak pucat dan dingin. Tim SAR berhasil menemukannya menjelang Isya. Tubuh Dannis ditemukan di pinggiran rawa dekat sungai. Ia terbawa arus hingga sejauh dua kilometer dari tempat jatuhnya. Untungnya, setelah diperiksa oleh tim SAR, Dannis masih bernyawa. Namun keadaannya begitu lemah. "Pak, helikopter sudah siap!" Ucap salah seorang tim SAR. "Baiklah, bantu aku membawanya!" Gilang langsung mengangkat tubuh sepupunya bersama dengan uluran bantuan dari beberapa tim SAR dan pekerja proyek di dekatnya. Evakuasi di malam hari itu dilakukan dengan begitu cepat. Tubuh Dannis diletakkan di bangku belakang. Ia dijaga oleh Juna dan juga Gilang. "Tunggu! Izinkan aku ikut!"
"Apa yang dia lakukan? Apa mungkin … dia … ada hubungannya dengan kecelakaannya Dannis?"["Aku juga tidak tahu. Tapi bila Dannis sampai bangun, mungkin ia akan melaporkan Randy."] Dep!Panggilan keduanya tiba-tiba terputus. Koneksi Anya yang berada di daerah pedalaman sepertinya mengalami gangguan sinyal. Untuk sejenak saja, Aryo mengistirahatkan dirinya dengan duduk di salah kursi yang berada di lorong unit gawat darurat. Pikirannya tidak sepenuhnya tenang. Ia terus saja memikirkan keterlibatan Randy dengan kecelakaan yang dialami oleh mantan sahabatnya.Sedari tadi begitu banyak perawat dan dokter yang lalu-lalang dari ruangan di dekatnya itu. Dan di antara orang yang lewat di depannya, terlihat ada Juna yang baru saja tiba dan segera menghampiri dirinya. "Bagaimana keadaan Dannis? Apa dia baik-baik saja?" Tanya Aryo. Wajah cemasnya begitu terlihat. "Dokter sedang melakukan tindakan. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam sana," balas Juna. Keadaan di dalam ruangan begit
"Kepalaku sakit sekali … ngomong-ngomong, ini di mana?" Dannis masih merasakan rasa sakit akibat benturan di kepalanya. Ia tampak bingung ketika melihat interior kamar itu. Sejenak ia mengira bahwa dirinya berada di rumah. Namun ketika melihat infus dan juga selang yang masih menusuk dan masuk ke tubuhnya, ia baru sadar bila dirinya berada di rumah sakit. "Kita ada di rumah sakit ibumu. Aku langsung melarikanmu ke sini setelah kau ditemukan tergeletak tidak sadarkan diri di pinggiran sungai," ungkap Gilang. Pria itu menghampiri sepupunya dan berdiri di samping kanannya. Ekspresi lega tergambar jelas di wajahnya. Penantiannya selama ini akhirnya berbuah manis. Rasa cemas di pikirannya terasa menghilang begitu saja."Bagaimana dengan yang lain? Luna? Apa dia baik-baik saja? Apa dia ikut ke sini?" Dannis terus saja mengajukan pertanyaan kepada Gilang. "Bos, sebaiknya kau pikirkan dirimu saja." Juna tersenyum samb
"Kau sudah bangun? Apa kau mau bubur atau sarapan yang lain?" Juna baru saja masuk ke dalam kamar rawat inap bosnya. Ia telah mengenakan setelan jas hitam ala dirinya. Berjalan menghampiri bos muda sambil memberikan hasil dari beberapa tes yang dilakukan oleh dokter. Sebelum ia tertidur tadi malam, Dannis menjalani beberapa tes tambahan untuk melihat gambaran di kepalanya. Dan tentu saja, perbincangan yang sempat terputus tadi malam dilanjutkan oleh Juna pagi ini. "Terima kasih. Letakkan saja di meja." Dannis melihat layar smartphone miliknya. Ada satu pesan yang terus saja mengusik hatinya. [Aku akan mampir besok pagi, tunggu aku.] Pesan singkat itu berasal dari Luna. "Sebelum kau diminta oleh dokter untuk menjalankan beberapa tes, kau mengatakan kepadaku untuk berhati-hati dengan anak dari pejabat daerah yang ada di dekat kampusmu. Apa maksudmu adalah Randy?" Juna kembali bertanya.
"Aku tidak peduli dengan ingatanmu." Randy menghentikan langkahnya dan berbalik. Tatapan tajam dari kedua matanya seakan menyatakan perang terhadap Dannis. Sikapnya begitu santai. Terlihat kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celananya. Namun pandangan matanya terlihat begitu tegas, seakan di garis sudut matanya ada yang menarik saat ia menoleh ke arah Dannis. "Benar juga. Lagi pula kau juga tidak terlalu peduli padaku. Kalau begitu santai saja. Aku akan berusaha untuk secepatnya mengingat semua. Kuharap ada jawaban kenapa aku begitu bodoh sampai terjatuh ke dalam jurang," ungkap Dannis. Lelaki itu tersenyum. Ia mencoba melerai tatapan tajam milik Randy dengan sindirannya. Namun sayangnya, Randy justru tidak mempedulikannya. Ia melanjutkan langkahnya dan keluar dari ruangan itu.Namun ketika ia berada di lorong rumah sakit, lelaki itu meninju dinding yang berada di sampingnya. "Kurang ajar! Apa yang seb
"Apa kita langsung pulang ke apartemen atau kau ingin pergi ke tempat lain dulu?" Juna menoleh ke wajah bosnya yang tengah sibuk merapikan pakaian."Aku ingin mampir sebentar ke kampus. Apa menurutmu, si brengsek itu akan terkejut ketika melihatku?" Ucap Dannis.Ia teringat kejadian dua hari yang lalu, ketika Juna memergoki kelakuan Randy yang membocorkan semua keburukan Aryo terhadap Dannis. Untungnya Bu Darmi bisa mengerti ketika Juna akhirnya memilih untuk ikut campur. Pengawal itu menjelaskan tentang perlakuan buruk Aryo terhadap bosnya ketika berada di kampus. Namun ia tidak selamanya menjatuhkan martabat Aryo di depan ibunya. Juna menjelaskan kepada Bu Darmi bila anaknya melakukan semua hal itu karena dorongan dari seseorang."Mungkin saja. Namun dia masih belum mengetahui bahwa kau hanya berpura-pura hilang ingatan. Apa kau berencana ingin mempermainkannya?" Juna tersenyum."Entahlah … yang pasti aku akan menuju ke tahap berikutnya dari rencanaku. Dan ngomong-ngomong, apa selur
"Jangan coba-coba!" Dannis menangkis tinju milik Randy dengan mempergunakan telapak tangannya sebagai bantalan penahan tinju musuhnya itu. Dengan cepat, Dannis segera menyingkirkan cengkeraman erat tangan lelaki itu dari kerah kemejanya. Tatapan tajam milik Dannis beradu dengan kekesalan yang dipancarkan oleh kedua mata Randy. Meski adu tinju sudah selesai, keduanya yang memiliki tinggi badan yang sama masih terlibat kontak mata. "Kau akan menyesal karena sudah kembali ke kampus," ucap Randy. Senyuman singkatnya seakan sedang menyindir lelaki di depannya. Ia bahkan sampai menunjuk dada Dannis dengan salah satu jarinya. Namun sayangnya, ancaman yang diutarakan oleh musuhnya itu tidak membuat Dannis tertekan. Ia sudah memegang seluruh puzzle masalah milik Randy. Bila ia mau, saat itu juga Dannis bisa membombardir Randy dengan semua peluru perak yang ia punya. "Kau tidak apa-apa?" Juna sempat terkejut. Pukulan y
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba