"Apa? One night stand?!" Kedua mata lelaki itu hampir saja keluar ketika mendengar ucapan Airin.
Dan benar saja. Ketika pintu lift terbuka, kedua telinganya langsung mendengar suara yang lumayan keras dari beberapa kamar."Kau mendengarnya, 'kan? Itulah one night stand yang kumaksud." Airin segera keluar dari lift sambil menarik kerah baju lelaki itu.Di sepanjang lorong, Dannis tampak gelisah karena terganggu oleh suara-suara yang terdengar dari beberapa kamar yang ada di sisi kiri dan kanan lorong hotel. Sesekali ia mencoba untuk menutup telinganya."Ada apa? Apa kau baru pertama kali mendengar suara mendesah?" Perempuan itu merayu Dannis dengan menempelkan bibirnya ke telinga dan berbisik lirih."Jangan dekat-dekat!" Spontan saja Dannis mendorong tubuh Airin agar menjauh dari dirinya. Setelahnya, ia melewati perempuan itu dengan wajah kesal.Dalam hatinya, ia pasti akan memilih untuk kembali"Juna? Apa menurutmu aku sudah keterlaluan?" ["Kau sedang berada di mana? Entahlah … kurasa apa yang kau lakukan sudah sesuai porsinya."] "Aku sedang jalan-jalan santai sambil menunggu Nina."["Sebaiknya kau tunggu Nina di satu tempat yang ramai. Kau tahu, daerah situ sangatlah rawan ketika malam tiba."]"Aku mengerti, bye …."Panggilan telepon yang dilakukan oleh Dannis akhirnya berakhir. Saat ini ia sedang menyusuri gelapnya jalan yang berada di pinggiran kota. Dan bila dilihat di sisi kiri dan kanan jalan, hanya ada lampu jalan yang menjadi penerang di sepanjang jalan itu. Tampak terasa udara malam yang lumayan dingin mulai menusuk kulit lelaki itu. Saat keluar dari hotel sebelumnya ia masih mengenakan setelan jasnya, namun saat ini Dannis memilih untuk mencopotnya. Ia bahkan membuka salah satu kancing kemejanya untuk merasakan embusan angin yang lewat. Setelah berjalan lumayan jauh dari hotel, tampak sebuah cahaya memantul hingga ke bahu jalan. Dari kejauhan Dannis melihat cah
"Siapa kau?" tanya Dannis.Ia tampak bingung ketika langkahnya dihentikan oleh seorang bocah yang terlihat masih berada di bangku kuliah. Meski ia memiliki warna kulit yang lumayan putih, tatapan mata tegas, bibir merah muda kecil, rahang yang tegas, serta potongan rambut belah tengah ala artis Korea, namun gerak-geriknya tampak mencurigakan. Dannis sampai menatapnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Ada perasaan curiga kalau lelaki muda yang ada di depannya adalah sindikat penipu. Lihat saja dari wajahnya, tampan bagai artis Korea, namun hanya menggunakan hoodie lusuh berwarna abu-abu bergambar Mickey mouse, kaos oblong berwarna putih dan celana denim yang tampak robek-robek. "Ikut denganku, aku ingin bicara." Ia langsung berbalik dan menuju ke dalam hotel. Namun sebelum hendak memasuki pintu utama, langkahnya dihentikan oleh suara Nina."Hei! Apa kau tidak punya sopan santun?! Tidak memperkenalkan diri, namun langsung menyuruh orang untuk mengikutimu? Apa itu etika yang sopa
Brak!"Jangan bertele-tele! Katakan saja siapa kau sebenarnya! Aku tidak punya waktu untuk meladeni bocah yang sok penting sepertimu!" bentak Dannis. Kedua tangannya sempat menggebrak meja di depannya. Untungnya tidak terlalu keras. Namun pukulan tangan Dannis sempat membuat lelaki muda di depannya tersentak kaget. "Tunggu sebentar lagi, aku harus selesaikan makanku dulu." Ia masih mencoba untuk mengukur waktu sambil mempermainkan emosi Dannis yang sudah tampak seperti roller coaster. "Terserah kau saja!" Dannis tidak mau peduli lagi. Tampak ia berdiri dan pergi dari meja itu. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Dannis menyempatkan waktunya untuk membayar secara kontan chef pembantu yang sudah menolongnya. Wajahnya begitu kesal. Setelahnya, ia menuju ke arah lift tanpa ingin tahu tentang bocah bodoh itu lagi. Ketika lift terbuka dan dirinya masuk, tiba-tiba terdengar teriakan."Tunggu! Baiklah, aku menyerah!" Lelaki muda itu berlari secepat mungkin. Lalu ia berdiri di depan pintu
"Hari ini kita akan ke mana?" tanya Rei. Lelaki muda itu baru saja terbangun dari tidurnya. Wajahnya tampak kusut dan rambutnya masih acak-acakan. Ia mendatangi Dannis yang berada di beranda balkon kamar. Tampak Dannis sedang duduk menikmati pemandangan pagi sambil meminum segelas kopinya. "Kita akan pulang," balasnya. "Pulang? Kenapa cepat sekali? Seharusnya kau menikmati pulau Dewata dulu," pikir Rei. "Kalau kau ingin menetap, silahkan saja. Yang pasti aku dan Nina akan ke bandara setengah jam lagi." Dannis beranjak dari kursinya. Ia meninggalkan bocah itu sendirian di balkon. "Dasar! Kenapa dia kaku sekali!" Rei menggelengkan kepalanya seraya menanggapi betapa dinginnya sikap Dannis kepadanya. Setelah perbincangan semalam yang selesai sekitar jam setengah dua malam, ada satu pertanyaan yang masih menggantung. Namun kala itu Dannis tidak mau menjawabnya. Ia memilih pergi ke tempat tidur dan mengunci kamarnya. Alhasil, Rei harus tidur di sofa.Di restoran hotel, Nina tampak sed
"Apa kalian ingin pergi tanpaku?!" Airin berjalan begitu cepat menghampiri mereka bertiga. Namun ketika sudah begitu dekat, ia malah melewati Dannis dan Nina begitu saja. Kedua tangannya langsung melingkar ke punggung Rei. Ia memeluk bocah gila itu dengan begitu erat. "Hei, vampir! Lepaskan!" teriak Rei yang tampak risih. Pelukan perempuan itu sangat menjijikkan baginya. "Halo, Rei. Aku tidak menyangka kalau kita bisa bertemu di sini," sapa Airin. Senyuman yang merekah terlihat dari bibirnya. Kedua mata perempuan itu tampak menatap Rei dengan berbinar-binar. Bagaikan mata seekor kucing yang merajuk ke tuannya. "Lepaskan!" Rei berteriak lagi. Sayangnya kedua tangannya tidak bisa digerakkan karena terikat di dalam pelukan erat itu. Dannis dan Nina yang berdiri tidak jauh dari mereka merasa terkejut. Bahkan petugas bandara yang mengantar mereka ikut melongo. "Hei, kenapa kau ada di sini? Dari mana kau tahu kalau kami ada di bandara?" tanya Dannis. "Oh, itu mudah. Aku tinggal mengi
"Ini apartemenmu?" Rei menoleh ke atas. Melihat betapa tingginya gedung apartemen mewah di pusat ibukota. Gedung tersebut merupakan salah satu aset milik Dannis Kartanegara dari jalur harta ayahnya. Dan merupakan salah satu apartemen mewah peringkat lima besar di ibukota yang memiliki konsep tiga tower diperuntukkan untuk apartemen, lalu pada bagian bawah diperuntukkan untuk pusat perbelanjaan. "Ada apa? Kau tidak suka?" Dannis langsung bergegas pergi setelah selesai bicara. Ia tidak suka berdebat dengan si bocah. "Entahlah … aku hanya tidak habis pikir saja. Kenapa kau tidak memilih rumah megah, mewah dan memiliki luas halaman berhektar-hektar," pikir Rei. "Malas! Terlalu besar! Aku tidak suka membersihkan sesuatu yang merepotkan!" balas Dannis. Ia memandu si bocah dan sekretaris pribadinya menuju ke lift khusus apartemen. Karena Juna sedang sibuk, yang tadi menjemput mereka di bandara adalah supir dari kant
"Aku lagi mau jalan ke sana."["Tolong belikan bunga kesukaan ayah, ya, Lun"] "Pasti, Ma." Panggilan teleponnya telah terputus. Nina segera bergegas menuju ke pemakaman. Ia menghentikan salah satu taksi yang sempat jalan setelah menurunkan penumpangnya. "Ke mana, Bu?" tanya supir taksi."Ke TPU Kelapa, Pak," balas Nina. Sudah sekitar 2 bulan lamanya ia tinggal di luar negeri bersama dengan ibu dan pamannya. Ia belajar untuk mengikhlaskan diri dari apa yang menimpanya. Kehilangan ayah tercinta ketika ia baru saja lulus kuliah merupakan pukulan berat baginya.Bila ada yang sudah menduga … benar sekali, Nina adalah sosok perempuan yang sempat mengacuhkan Dannis ketika di pemakaman umum. Ia adalah Luna Arya Diningrat. Sosok yang dikabarkan telah menjalani hidupnya di luar negeri tanpa ada kabar sedikitpun. Namun sayangnya saat ini ia telah berada di samping Dannis lagi dengan identitas yang berbeda. Mencoba mencari tahu siapa dalang dari alasan ayahnya memilih untuk bunuh diri. Luna
"Aku tidak ingin berdebat tentang ular itu. Dan kau, cepat keluar dari kamar ini!" bentak Dannis. Ia sudah sangat lelah mengarungi satu jam lebih perjalanan udara yang membuatnya trauma. Dan ketika sampai di apartemennya sendiri, ia bahkan tidak bisa menghabiskan waktu sendiri dengan tenang di kamar kecilnya. "Baiklah, tapi jangan salahkan aku. Aku sudah memberitahukanmu tentang ini," balas Rei. Ia beranjak pergi dari ranjang dan meninggalkan Dannis bersama dengan ketenangannya. Namun sebelum sempat Rei menutup pintu kamar, tiba-tiba Juna yang berada di unit apartemen lain langsung mendobrak masuk dan menyingkirkan Rei dari depan pintu kamar Dannis. "Hei?!" Rei tampak terdorong hingga terjungkal ke sofa. "Dan!" teriak Juna. Sayangnya, Dannis tidak merasa terkejut sedikitpun. Ia justru rebahan santai sambil memegang tabletnya. Perlahan melirik ke arah Juna yang tampak tergesa-gesa dan panik. Namun tatapan kedua mata Dannis tampak biasa saja. "Apa?" tanyanya. "Kau sudah melihat
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba