"Hai, guys! Ini adalah mobil mini van yang sudah dilengkapi dengan beberapa perangkat elektronik termutakhir. Rei, bagaimana?" ungkap Juna.Ia memperlihatkan niatnya dengan memberikan Rei sebuah tempat kerja berupa mobil mini van. Saat ini mereka bertiga sedang berada di basement tingkat tiga, di tempat yang begitu sepi. Tampak Rei sangat menikmati hadiah yang diberikan oleh Juna. Perangkat komputer super canggih dan peralatan termutakhir untuk melakukan pelacakan dan penyadapan sudah berada di tangannya. "Ini luar biasa! Apa kau baru saja merampok seorang hacker terdekat?" sindir Rei. "Bukan, bodoh! Aku membelinya saat acara penyambutan di Balairung. Apa kau ingat dengan kejadian orang tuanya Randy?" Juna menoleh ke arah bosnya. "Hah? Oh, iya. Tapi bukannya waktu itu warna Van-nya hitam?" Dannis tampak santai menanggapi cerita pengawalnya sambil menyendok es krim kecil di tangannya. "Kau benar. Saat itu aku tidak jadi menggunakan mobil ini karena terlalu mencolok. Lihat saja, ad
"Apa aku ketinggalan sesuatu?" tanya Rei yang tampak kebingungan ketika melihat mereka semua sedang berdebat. Om Gunawan yang sedang membereskan peralatan make up-nya terlihat menyingkir dari pergulatan itu. Ia tampak tenang dan bahkan bersenandung. "Bocah! Sini!" teriak Nina. Rei yang tidak tahu apa-apa akhirnya menurut saja. Ia menghampiri Nina yang tampak sedang kesal. Itu terlihat jelas dari raut wajahnya. "Ada apa? Apa kita sedang membicarakan rencana kita untuk masuk ke gedung utama?" Rei asal menebak. "Kita tidak jadi mengambil sertifikat tanah itu!" sentak Nina dengan begitu tegasnya. "Benar! Akan sangat berbahaya kalau kita melakukannya," sahut Gilang. Namun suara kedua orang itu tidak didengar oleh Dannis. Semakin keduanya menolak rencana pencurian itu, semakin Dannis geram dengan mereka. Ia melirik Juna yang berdiri di sampingnya. Tanda yang diberikan oleh bosnya tampak sungguh-sungguh. Dengan cepat, Juna langsung membawa peralatannya yang telah dikemas di sebuah ran
"Telat!" Teriakan Dannis ke layar smartphone-nya menyentak Gilang yang berada di kursi penumpang. Setelahnya, panggilan telepon itu terputus. "Panggilannya diputus sama Dannis." Gilang menoleh ke Nina. "Dasar! Kenapa dia keras kepala sekali!" Nina membanting stir lumayan keras. Mobil seharga milyaran milik Gilang hampir saja menyentuh bibir trotoar yang ada di sisi samping area gedung kantor grup Kartanegara. Sayangnya mereka parkir di sisi lain area gedung Kartanegara, jauh dengan tempat Dannis dan Juna berada. "Lalu sekarang apa?" Gilang merasa bingung. "Kita masuk ke kantor itu! Minimal kita bisa membantu mereka untuk mengalihkan perhatian orang-orang di sana," pikir Nina. Perempuan itu membuka pintu mobil dan melemparkan kuncinya ke Gilang yang masih meringkuk di dalam mobil. Ia bergegas jalan menuju ke dalam area grup Kartanegara. Tampak langkah kakinya begitu tegas dan lebar-lebar. Ia terlihat begitu tergesa-gesa menuju ke gedung utama Kartanegara. "Gawat! Aku tidak bisa
"Loh, kok, ada si ular betina?" Dannis langsung berdiri dan menoleh ke arah Airin. "Siapa yang kau panggil dengan ular?!" Airin mengernyitkan matanya dengan tatapan tajam. Lelaki itu tidak menjawab sahutan Airin. Ia malah melirik ke arah Nina yang tampak memalingkan wajahnya dari Dannis. Tampak perempuan itu menjauhi Dannis dengan sengaja. Ia tidak mau menatapnya dan malah beralih bicara dengan Juna. "Kenapa Anda bodoh sekali! Untung saja Pak Andika tidak ada di kantornya," ungkap Nina. "Maaf, tapi kami harus melakukannya. Bila surat itu tidak diambil, maka kami akan kehilangan tanah dan universitas itu," pikir Juna. Ruangan itu begitu suram. Terlihat dari interior yang didominasi oleh warna abu-abu, hitam dan warna sejenisnya. Pemilihan furniturenya juga agak monoton dengan warna dindingnya. Tidak ada yang spesial dari hiasan dan interiornya. Namun, pandangan Dannis justru terpaku ke meja kantor Andika Kartanegara. Rapi, tidak ada berkas yang tergeletak di atasnya. Meja kayu be
"Apa dia sudah pergi?" Airin merasa gelisah ketika melihat ke seluruh penjuru ruangan arsip yang tampak remang-remang dan berdebu."Sebentar, aku akan menghubungi Rei." Dannis segera menghubungi si bocah hacker."Rei juga ikut dalam misi bodoh ini?" Airin tampak terkejut. Juna memberikan anggukan kepala seraya menjawab pertanyaan si perempuan itu. Ia merasakan napasnya begitu berat ketika berada di ruangan arsip. Jujur saja, suara dari hexos yang membantu mengeluarkan udara keluar terdengar sangat mengganggu telinganya. "Rei–""Kak! Adipati membuka pintu lemari besi itu! Dan di dalamnya benar ada beberapa berkas dokumen!" Rei tampak memotong ucapan sepupunya. Ia menjelaskan semua perilaku Adipati yang tampak mengambil satu dokumen yang didalamnya menyebutkan nama 'Arya Diningrat.' Tanpa tahu nama siapa yang tertera di dokumen itu, Rei terus mengoceh dan mendorong Dannis untuk mengambil berkas dokumen itu. Sontak saja Dannis yang sedari tadi diam hanya bisa melayang jauh ke ingatan
"Kita berpisah di sini. Aku masih ada keperluan di kantor. Bye …." Airin akhirnya pergi meninggalkan ketiganya tepat di lorong pintu masuk samping, tepatnya di depan pintu emergency. Untungnya CCTV masih berada di kendali Rei. Mereka keluar dari pintu emergency ketika tidak ada seorangpun yang lalu-lalang di sekitaran lorong itu. "Sebaiknya kita berpencar. Berikan dokumennya padaku. Nanti akan kuberikan ke Pak Gilang," pinta Nina. "Kalian parkir di mana?" tanya Juna. "Di sisi lain area gedung ini. Mungkin saat ini Pak Gilang sedang berdoa sangat kusyuk untuk keselamatan kita," sindir perempuan itu. Tampak ia menahan tawanya dengan satu tangan. Akhirnya mereka berjalan keluar melewati pintu masuk bagian samping. Sempat ada beberapa orang dan bahkan security yang tampak curiga. Namun wajah mereka langsung berubah biasa lagi karena mungkin mereka berpikir kalau ketiganya adalah seorang karyawan. Rei yang sedari tadi menunggu di mobil dengan keadaan pintu Van tertutup merasa sumring
"Terserah kau saja." Dannis berbalik untuk yang kedua kalinya. Kali ini tampak ia sudah tidak menghiraukan bocah berusia 15 tahun itu. Kekesalan terlihat dari raut wajah bocah itu. Satu tangannya mengepal, lalu yang satunya menunjuk ke arah Dannis sambil melontarkan cacian dari jarak jauh. "Jangan sok penting! Kau itu bukan siapa-siapa di keluarga Kartanegara! Kau itu cuma keluarga pengawal yang coba mengambil alih semua warisan paman Alex!" teriaknya. Dannis terlihat tidak menoleh sedikitpun. Meski ia mendengar semua celotehan bocah itu, ia tetap melanjutkan langkahnya dengan santai. "Lihat saja! Kau pasti akan dihabisi oleh ayah!" ancam bocah itu. Di lain tempat, Gilang yang sedang mengantarkan Nina kembali ke apartemennya tampak terkejut dengan interior dari unit apartemen perempuan itu. Rapi, tertata, terkonsep, dan luasnya agak kecil, namun membuatnya nyaman."Saya hanya punya ini dan camilan ini." Nina memberikan sirup orange dingin dan juga camilan berupa singkong goreng b
"Rei, kau lagi di mana? Mama sudah di ibukota. Ingat! Besok, jangan kabur!" Lina Tan, ibu dari Rei Kartanegara tampak membentak anaknya dengan pesan suara. Saat ini wanita yang menjadi janda dari anak kedua Aji Kartanegara itu tampak sedang menuju ke sebuah rumah mewah yang lebih mirip dengan mansion di pinggiran ibukota. Tampak warna hitam dan abu-abu begitu dominan dari mansion bergaya Eropa klasik itu. Mobil Lina Tan perlahan memasuki area mansion yang di mana di kedua sisi jalannya terlihat ada beberapa bunga-bunga dan pepohonan yang ditata rapi, berbaris hingga menuju ke area kolam air mancur yang berada tepat di depan pintu masuk. Terlihat seorang pengawal telah menyambut Lina Tan ketika ia turun dari mobil. Wanita yang memiliki lekuk tubuh bagaikan gitar spanyol itu mengenakan gaun dress panjang berwarna putih yang dihiasi oleh kalung permata di lehernya. Ia dikawal memasuki mansion itu dengan dituntun oleh sang pengawal. Tampak wallpaper abu-abu mendominasi interior di dala
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba