Ivan masuk ke ruang makan, membuka kulkas dan mengambil sebuah apel. Digigit dan dikunyahnya apel itu dengan nikmat. Lalu dia menaik sebuah kursi untuk kemudian duduk santai di sana sambil menikmati buah apelnya. Fiona yang sedang duduk di sana pun menoleh sekilas pada kakaknya itu. Gadis yang sedang asyik bermain hp sambil ngemil biskuit cokelat buatan ibunya itu pun menghentikan kegiatannya dan melontarkan sebuah pertanyaan pada Ivan. "Makin genting, ya?"
Ivan yang sedang sedang menggigit apel pun cepat menoleh padanya. "Apanya?" tanyanya bingung."Hubungan Mas Ivan dengan Mbak Fara. Sepertinya makin genting. Mbak Fara sampai pulang ke rumah Om Surya sekarang," kata Fiona menjelaskan pertanyaannya barusan."Loh, kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Fara pulang ke rumah orangtuanya karena ingin merawat bapaknya. Kondisi Om Surya kan sudah semakin membaik sekarang. Dia ingin mendampingi bapaknya biar bapaknya cepat sembuh. Kamu, kok, mikirnya malah"Selamat malam, Fara." Fara terpaku menatap Gilang yang sedang berdiri sambil tersenyum manis di hadapannya. "Fara?" ucapnya bingung. Sebab baru kali ini dia mendengar Gilang memanggil namanya seperti itu. "Kenapa? Apa tidak boleh aku memanggilmu seperti itu?" tanya Gilang. "Oh, tidak apa. Hanya saja terdengar sedikit tidak biasa," jawab Fara masih dengan perasaan bingung. "Kalau begitu aku harus sering memanggil namamu biar kamu terbiasa mendengarnya." Gilang kembali memperlihatkan senyum manisnya. Fara pun tersenyum kikuk, tak tahu harus berkata apa. Dia merasa sikap Gilang agak aneh malam ini. Tak hanya memanggilnya hanya dengan sebutan Fara saja, tapi pemuda itu pun kini sudah mulai beraku-aku padanya. Tidak lagi memakai bahasa 'saya' saat bicara dengan Fara seperti biasanya. Mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya, pikir Fara. Tapi apa? "Kamu belum kembali ke Bogor?" tanya Fara kemudian. "Sudah, semalam. Tap
"Masuk!" perintah Ivan dengan nada tegas. Fara tercekat. Untuk beberapa detik lamanya dia berdiri terpaku di tempatnya. Sorot mata Ivan yang tajam membuat lututnya terasa lemas. Apa lagi wajah Ivan tampak begitu garang diliputi emosi. Rasanya baru kali ini Fara melihat Ivan semarah itu menatapnya. "Ada apa, mas? Kenapa mas marah seperti itu?" tanya Fara setelah hilang rasa terkejutnya. "Bagaimana aku tidak marah jika aku datang kemari dan mendapati istriku sedang duduk berduaan dengan laki-laki lain?!" jawab Ivan segera. Fara pun kembali tercekat. Dia menatap Ivan dengan wajah terkejut. "Apa yang mas pikirkan tentang aku dan Gilang?" "Menurutmu apa?! Pantaskah seorang perempuan yang bersuami duduk berduaan dengan laki-laki lain? Sekarang cepat masuk ke dalam! Aku ingin bicara!" "Bicara atau marah-marah?" "Aku suamimu! Aku berhak untuk bicara, termasuk juga untuk marah-marah padamu!" geram Ivan kesal. Far
"Pertengkaran macam apa itu?" tanya Riska ketika Fara selesai bercerita. "Entahlah. Aku bingung dengan sikap Mas Ivan. Dia begitu yakin kalau aku tidak akan bisa pergi darinya." "Mungkin dia melihat kalau kamu sangat mencintai dia selama ini. Itulah yang membuatnya yakin kalau kamu tidak akan pergi meninggalkan dia, Far. Bahkan setelah dia berselingkuh dengan Lusy." "Aku memang mencintai dia." Fara jujur mengakui perasaannya. "Bahkan sampai detik ini, setelah semua perbuatannya itu?" Riska tampak sedikit terkejut. Fara menggeleng pelan. "Sekarang hatiku mulai membeku. Aku lelah. Jika pun aku masih tetap melayaninya sebagai seorang suami, itu hanya sebatas kewajiban saja. Karena bagaimanapun aku masih tetap istrinya." "Lalu bagaimana dengan Gilang?" "Maksudmu?" "Dia sudah menyatakan perasaannya padamu, kan? Bagaimana menurutmu?" "Entahlah." Fara tampak ragu. "Bagaimana perasaanmu padan
Fara kembali pulang dan disambut dengan pelukkan hangat dari ibu mertuanya. Tampak sekali jika perempuan paruh baya itu senang dengan kepulangan Fara ke rumah itu. "Bagaimana kondisi bapakmu, Fara? Mama dan papa baru besok rencananya mau datang ke sana," kata Bu Elsa pada Fara. "Bapak sudah jauh lebih baik, ma," jawab Fara dengan nada lega. "Syukurlah, mama senang mendengarnya. Semoga bapakmu segera pulih seperti semula." "Pasti cepat sembuh karena kemarin Fara yang merawatnya, ma," kata Ivan menimpali. Bu Elsa pun tersenyum. "Ya, itu pasti. Tapi sekarang perawatnya sepertinya butuh istirahat. Kamu terlihat lelah, Fara. Cepatlah ke kamarmu dan istirahat. Nanti mama suruh bibik untuk buatkan jus biar badanmu bisa segera segar kembali." Fara mengangguk dan segera melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya di lantai atas. Sementara Ivan mengekor di belakangnya dengan wajah puas. Sesampainya di kamar, Fara segera duduk
Hari menjelang sore. Matahari mulai turun ke langit sebelah Barat. Saat itu Lusy tiba di depan rumah orangtua Fara. Dia pun berdiri dan memperhatikan suasana rumah yang terlihat sepi. Perlahan Lusy membuka pagar dan berjalan pelan memasuki halaman yang luas. Rumah yang dulu sering didatanginya itu kini terasa asing baginya. Seperti ada aura tak bersahabat di sana. Aneh. Tapi entahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Lusy terus memasuki halaman rumah. Berjalan pelan di jalan setapak berbatu menuju ke teras. Lalu langkahnya terhenti tepat di depan teras yang sepi. Pintu rumah itu tertutup rapat. Lusy memperhatikan sesaat sambil menguatkan hatinya. Dia berbisik pada hatinya, mengatakan bahwa apa yang dilakukannya ini adalah benar. Dia harus memperjuangkan cintanya. Dan sepertinya inilah jalan satu-satunya yang harus dia tempuh agar Fara bisa menyingkir dari kehidupan Ivan, kekasih hatinya. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Lusy terkejut. Wajah ibunda Fara menyembul d
Fara mendapat telepon. Ibunya memintanya untuk segera pulang. "Pulanglah, Fara. Kondisi bapakmu memburuk." Fara terkejut. Terakhir dia bertemu, bapaknya dalam keadaan yang baik. Kondisinya sudah sehat meski belum sepenuhnya pulih. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Ibunya mengabari kalau Kondisi bapaknya memburuk? Apakah yang terjadi? "Ada apa, bu? Kenapa bapak bisa kembali memburuk? Bukankah kemarin bapak sudah membaik?" tanya Fara cemas. "Pulanglah dulu. Kita bicara di sini setelah kamu tiba nanti," sahut ibunya. Fara pun bergegas pergi. Pada Ivan dia pamit tanpa menjelaskan Kondisi bapaknya. Dia hanya bilang ada keperluan sebentar. Ivan hendak mengantar tapi Fara menolaknya. Sebab dia masih marah pada Ivan dan tidak mau melibatkan suaminya itu untuk urusan ini. Lagi pula Fara berpikir nanti Ivan pasti akan kembali bersandiwara di depan orangtuanya. Berpura-pura jadi suami yang baik hingga kedua orangtuanya semakin menyayangi dan menga
Mereka berhadapan, saling melempar tatap dengan tajam. Wajah keduanya sama tak bersahabat. Dengan sikap berdiri yang tegap, mereka seakan siap untuk saling menyerang. Riska yang melihat semua itu pun gelisah, berdiri tak tenang di dekat Fara. Sungguh dia takut jika kedua sahabatnya itu tak bisa menahan diri. Tak bicara dengan kata-kata tapi lewat pukulan dan tendangan yang menyakitkan. Jika hal itu sampai terjadi, bagaimana dia bisa memisahkan mereka? Ah, Riska menyesal telah mengantar Fara ke sana. Harusnya dia melarang Fara untuk datang ke rumah Lusy. Apa lagi dia tahu jika Fara sedang dikuasai oleh emosi. Lewat sedikit cerita dari Fara saat di perjalanan tadi, Riska tahu permasalahan apa yang sedang terjadi di antara mereka. Dan Riska tak menyalahkan jika Fara kini dikuasai oleh emosinya. Sebab Lusy memang sudah sangat keterlaluan. Dia sudah bertindak gila tanpa menggunakan otak! Riska menyentuh pelan pundak Fara, seolah ingin menenangkan. Tapi Fara tak bereak
Seluruh anggota keluarga berkumpul. Mereka membahas tentang perselingkuhan Ivan dan kelangsungan rumah tangga Ivan dan Fara. Sama seperti kedua orangtua Fara yang terkejut saat mendengar tentang perselingkuhan itu, kedua orangtua Ivan dan seluruh anggota keluarga pun tersentak kaget. Bahkan Bu Elsa yang tak kuat menanggung rasa kecewa dan malu pun menangis dalam rapat keluarga itu. Sementara Pak Arifin tak banyak bicara. Dia lebih banyak diam mendengarkan yang lainnya mengeluarkan pendapat. Semua menyarankan perceraian meskipun keputusan terakhir tetap berada di tangan Fara. Tapi kedua orangtua Fara kukuh menyatakan kalau Fara dan Ivan harus berpisah. Tidak ada kata tidak. Keinginan mereka sudah mutlak harus dijalani. Mereka tak ingin putri mereka terus hidup bersama dengan laki-laki yang telah menyakitinya. Menjadi janda, mungkin itu pilihan yang terbaik dari pada harus terus hidup dalam luka. Sementara itu Ivan mendengarkan semua pembicaraan itu dalam dia. Dia tak tahu h
"Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i