Fara berdiri, menatap Ivan dengan wajah yang cemberut. Sementara Ivan tersenyum senang melihat kehadiran Fara di ruangan itu. Sikapnya sama sekali tak menunjukkan kalau sedang ada masalah besar yang mereka hadapi. Wajah Ivan tampak polos seperti orang yang tak bersalah.
"Sayang," panggil Ivan dengan sebuah senyuman manis. "Masih ngambek?" tanyanya melanjutkan.Fara tak menjawab. Dia terus berdiri diam dengan tatapan mata yang menyiratkan betapa dia kesal dengan sandiwara suaminya itu."Fara," panggil Pak Surya karena dilihatnya Fara yang cuma berdiri diam.Fara pun melangkah maju dan duduk di samping ayahnya. "Mas Ivan ngapain kemari?" tanyanya segera."Loh, kamu kok bertanya seperti itu? Ivan kan suamimu, Fara. Jadi wajar saja kalau dia datang kemari menemuimu. Dia kangen sama kamu." Pak Surya menyela dengan nada bicara yang lembut."Iya, Fara. Aku kangen sama kamu," kata Ivan, juga dengan nada suara yang lembut.Fara terbangun karena sebuah tepukan lembut di pipinya. Dia pun membuka matanya dan mendapati wajah Ivan yang begitu dekat dengan wajahnya. Hangat embusan napas suaminya itu terasa menyapu pipinya. Dan dilihatnya Ivan tersenyum seolah senang telah berhasil membuatnya terjaga. "Bangun, pemalas. Sudah pagi," kata Ivan pelan. "Aku masih mengantuk. Semalam mas membangunkan aku terus," sahut Fara dengan sikap malas. "Jangan mengeluh. Itu kewajiban seorang istri," kata Ivan menyahuti. "Huh?" "Melayani suami, itu tugas seorang istri." Ivan menegaskan kalimatnya tadi karena dilihatnya Fara seperti bingung. "Memperlakukan istri dengan baik dan menjaga perasaannya juga tugas seorang suami," celetuk Fara cepat. "Aku memperlakukanmu dengan baik. Aku selalu memberimu nafkah lahir dan batin. Iya, kan?" "Ya. Tapi tidak menjaga perasaannya. Tidak setia dan...." "Cukup! Jangan menyulut pertengkaran! Ini masih p
Mereka sampai di rumah mertua Riska sebelum jam makan siang. Begitu mereka sampai, rengekan dua buah hati Riska langsung terdengar menyambut mereka. Rupanya kedua bocah itu tidak mau dijemput pulang. Mereka masih betah menginap di rumah nenek mereka yang asri dan berhalaman luas itu. Riska pun sibuk mendiamkan rengekan kedua putranya. Dia berjanji untuk membawa mereka pulang sore hari. Jadi mereka masih ada waktu siang ini untuk bermain bersama dengan teman-teman mereka di halaman rumah nenek mereka yang luas ini. Fara tertawa melihat tingkah dua bocah itu. Si sulung tampak protes karena merasa waktu yang diberikan oleh ibunya begitu sempit. Dia ingin satu atau dua hari lagi. Tapi setelah dibujuk dengan lembut akhirnya dia mau diam dan menurut. "Biarkan saja mereka di sini barang satu atau dua hari lagi, Ris. Mereka masih betah di sini," kata ibu mertuanya. "Tapi saya takut jika mereka terlalu lama di sini, nanti akan merepotkan ibu," sahut Riska member
"Kenapa akhir-akhir ini mas semakin jarang menemuiku? Sedang asyik dengan Fara atau ada yang baru?" tanya Lusy dengan wajah cemberut. Ivan yang baru saja sampai di rumah Lusy itu pun langsung mengerutkan keningnya, bingung menatap kekasih hatinya itu. "Yang baru?" tanyanya. "Ya, kekasih baru!" jawab Lusy cepat, bernada cemburu. "Ah, ada-ada saja kamu. Mana mungkin aku punya kekasih baru? Menghadapi kamu dan Fara saja sudah bikin aku pusing." "Kenapa pusing? Bukannya mas dan dia akan segera bercerai? Mas bilang dia sudah pulang ke rumah orangtuanya." Ivan menghela napas panjang. "Ya, Fara memang sedang menginap di rumah orangtuanya sekarang. Tapi bukan berarti perceraian kami sudah di depan mata. Aku belum menemukan alasan yang tepat yang akan aku berikan pada orangtua dan keluarga besarku. Aku bingung, Lusy." "Jadi harus berapa lama lagi aku menunggu?" tanya Lusy kesal. "Sabarlah, Lusy," pinta Ivan dengan nada lem
"Jangan bilang kalau kamu telah jatuh cinta padanya," kata Riska pada Gilang di satu pagi. "Apa salahnya? Setiap orang berhak untuk jatuh cinta, kan?" Gilang menyahuti dengan sikap santai. "Tapi dia istri orang, Gilang! Dan usianya jauh di atas kamu!" Riska menatap tak berkedip pada Gilang yang sedang duduk di depannya. "Cinta tak terbatas umur. Apa lagi saya tahu kalau dia akan berpisah dari suaminya." "Begitukah? Jadi Fara telah menceritakannya padamu?" Gilang menggeleng. "Fara tak pernah bercerita tentang rumah tangganya. Tapi saya bukan orang bodoh yang tidak bisa melihat kalau sedang ada sesuatu antara dia dan suaminya. Kalau rumah tangga mereka baik-baik saja, apa mungkin mereka hidup terpisah seperti sekarang? Mungkin jodoh Fara adalah saya, mbak." "Fara? Mbak Fara! Dia jauh lebih tua darimu, Gilang!" kata Riska mengoreksi cara Gilang menyebut nama Fara. "Kalau sudah cinta, tidak perlu lagi panggil dengan s
Ivan masuk ke ruang makan, membuka kulkas dan mengambil sebuah apel. Digigit dan dikunyahnya apel itu dengan nikmat. Lalu dia menaik sebuah kursi untuk kemudian duduk santai di sana sambil menikmati buah apelnya. Fiona yang sedang duduk di sana pun menoleh sekilas pada kakaknya itu. Gadis yang sedang asyik bermain hp sambil ngemil biskuit cokelat buatan ibunya itu pun menghentikan kegiatannya dan melontarkan sebuah pertanyaan pada Ivan. "Makin genting, ya?" Ivan yang sedang sedang menggigit apel pun cepat menoleh padanya. "Apanya?" tanyanya bingung. "Hubungan Mas Ivan dengan Mbak Fara. Sepertinya makin genting. Mbak Fara sampai pulang ke rumah Om Surya sekarang," kata Fiona menjelaskan pertanyaannya barusan. "Loh, kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Fara pulang ke rumah orangtuanya karena ingin merawat bapaknya. Kondisi Om Surya kan sudah semakin membaik sekarang. Dia ingin mendampingi bapaknya biar bapaknya cepat sembuh. Kamu, kok, mikirnya malah
"Selamat malam, Fara." Fara terpaku menatap Gilang yang sedang berdiri sambil tersenyum manis di hadapannya. "Fara?" ucapnya bingung. Sebab baru kali ini dia mendengar Gilang memanggil namanya seperti itu. "Kenapa? Apa tidak boleh aku memanggilmu seperti itu?" tanya Gilang. "Oh, tidak apa. Hanya saja terdengar sedikit tidak biasa," jawab Fara masih dengan perasaan bingung. "Kalau begitu aku harus sering memanggil namamu biar kamu terbiasa mendengarnya." Gilang kembali memperlihatkan senyum manisnya. Fara pun tersenyum kikuk, tak tahu harus berkata apa. Dia merasa sikap Gilang agak aneh malam ini. Tak hanya memanggilnya hanya dengan sebutan Fara saja, tapi pemuda itu pun kini sudah mulai beraku-aku padanya. Tidak lagi memakai bahasa 'saya' saat bicara dengan Fara seperti biasanya. Mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya, pikir Fara. Tapi apa? "Kamu belum kembali ke Bogor?" tanya Fara kemudian. "Sudah, semalam. Tap
"Masuk!" perintah Ivan dengan nada tegas. Fara tercekat. Untuk beberapa detik lamanya dia berdiri terpaku di tempatnya. Sorot mata Ivan yang tajam membuat lututnya terasa lemas. Apa lagi wajah Ivan tampak begitu garang diliputi emosi. Rasanya baru kali ini Fara melihat Ivan semarah itu menatapnya. "Ada apa, mas? Kenapa mas marah seperti itu?" tanya Fara setelah hilang rasa terkejutnya. "Bagaimana aku tidak marah jika aku datang kemari dan mendapati istriku sedang duduk berduaan dengan laki-laki lain?!" jawab Ivan segera. Fara pun kembali tercekat. Dia menatap Ivan dengan wajah terkejut. "Apa yang mas pikirkan tentang aku dan Gilang?" "Menurutmu apa?! Pantaskah seorang perempuan yang bersuami duduk berduaan dengan laki-laki lain? Sekarang cepat masuk ke dalam! Aku ingin bicara!" "Bicara atau marah-marah?" "Aku suamimu! Aku berhak untuk bicara, termasuk juga untuk marah-marah padamu!" geram Ivan kesal. Far
"Pertengkaran macam apa itu?" tanya Riska ketika Fara selesai bercerita. "Entahlah. Aku bingung dengan sikap Mas Ivan. Dia begitu yakin kalau aku tidak akan bisa pergi darinya." "Mungkin dia melihat kalau kamu sangat mencintai dia selama ini. Itulah yang membuatnya yakin kalau kamu tidak akan pergi meninggalkan dia, Far. Bahkan setelah dia berselingkuh dengan Lusy." "Aku memang mencintai dia." Fara jujur mengakui perasaannya. "Bahkan sampai detik ini, setelah semua perbuatannya itu?" Riska tampak sedikit terkejut. Fara menggeleng pelan. "Sekarang hatiku mulai membeku. Aku lelah. Jika pun aku masih tetap melayaninya sebagai seorang suami, itu hanya sebatas kewajiban saja. Karena bagaimanapun aku masih tetap istrinya." "Lalu bagaimana dengan Gilang?" "Maksudmu?" "Dia sudah menyatakan perasaannya padamu, kan? Bagaimana menurutmu?" "Entahlah." Fara tampak ragu. "Bagaimana perasaanmu padan
"Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i