<span;>Hari-hari berlalu. Tak ada perubahan yang terjadi dalam rumah tangga Fara dan Ivan. Fara tetap berperan jadi istri yang baik, sedangkan Ivan tetap bersikap acuh pada Fara, istrinya. Dan semua itu tetap jadi rahasia mereka berdua. Tak ada yang tahu, termasuk Lusy yang kini menjalin hubungan lebih dekat dengan Ivan. Yang Lusy tahu hanyalah Ivan mendua, membagi hati dengannya. Tapi Lusy tak tahu jika selama ini pernikahan Fara dan Ivan seperti sebuah sandiwara. Pernikahan hampa yang berdiri di atas kertas, tanpa berdasarkan cinta.
<span;>Jika Ivan tak setia, itu Lusy tahu. Tapi jika Ivan tak memiliki cinta untuk Fara, itu Lusy tak pernah tahu. Karena itulah dia sering merasa cemburu pada Fara. Terutama disaat Ivan sedang berada di rumah, jauh dari sisinya. Namun begitu, Lusy tetap memegang janjinya untuk merahasiakan tentang hubungan gelapnya bersama Ivan dari Fara. Sebab Lusy memang ingin merebut Ivan secara diam-diam. Membuat Fara cemburu berarti mengam<span;>Fiona berjalan menuruni tangga. Ketika melewati ruang tengah, langkahnya terhenti. Suara Ivan yang sedang asyik teleponan dengan seseorang menarik perhatiannya. Ivan terdengar sedang berbicara dengan suara yang lembut dan gaya yang sedikit romantis. Kening Fiona pun berkerut bingung. dengan siapakah kakaknya itu bicara? Bukankah Fara, istrinya, sedang berada di dapur? Lantas dengan siapakah dia bicara semesra itu? <span;>Fiona berdiri mendengarkan dari balik pintu. Bukan berniat ingin medengarkan, tapi pembicaraan Ivan yang entah dengan siapa itu memang benar-benar menarik perhatiannya. perempuan muda itu pun asyik mencuri dengar dengan kening yang berkerut. <span;>Ketika Ivan menutup pembicaraan di telepon, Fiona segera bertanya dengan perasaan bingung. "Mas, bicara dengan siapa?" <span;>Ivan yang tak mengetahui keberadaan Fiona di dekatnya pun terlonjak kaget. Dia cepat menoleh dengan wajah yang terkejut, seperti s
<span;>"Apa kegiatanmu hari ini, Van?" tanya Bu Elsa pada Ivan. <span;>Ketika itu mereka sedang makan siang bersama. Pak Arifin, Bu Elsa, Fiona, Ivan dan Fara duduk mengitari meja makan yang cukup besar. sebagian hidangan makan siang itu Fara yang memasaknya tadi. Memang disetiap hari Minggu Fara selalu menyempatkan diri untuk memasak. Dia ingin agar Ivan bisa menikmati hasil masakannya meskipun hanya seminggu sekali saja. <span;>Ivan yang mendengar pertanyaan ibunya itu pun langsung mengangkat wajahnya dan menatap ibunya dengan sedikit terkejut. <span;>"Huh? Kegiatan saya? Memangnya ada apa, ma?" <span;>"Tidak ada apa-apa. Hanya saja mama perhatikan selama ini kamu tdak pernah mengajak Fara jalan-jalan. Ini kan hari MInggu, kalau kamu tdak ada kegiatan, kenapa tidak kamu ajak Fara jalan-jalan, Van?" Usul dari Bu Elsa mengejutkan Ivan, hingga putranya itu terkesiap menatapnya. <span;>"Jal
<span;>Mereka memasuki gedung mal yang siang itu cukup ramai oleh pengunjung. Tapi mereka hanya berputar-putar tak ada tujuan. Ivan asyik berjalan sendirian di depan, sementara Fara mengikutinya dari belakang. Seperti orang bingung, gerutu Fara dalam hati. <span;>"Mas," panggil Fara sambil menjejerkan langkahnya dengan Ivan. <span;>"Ya." sahut Ivan menoleh sekilas. <span;>"Ngapain kita cuma berputar-putar seperti ini dari tadi? Aku lelah. Kakiku sakit," rengek Fara. <span;>Ivan pun menghentikan langkahnya dan menatap Fara. "Kita disuruh mama jalan-jalan, kan?" sahutnya dengan ekspresi wajah yang menyebalkan. <span;>"Tapi tidak harus berputar-putar seperti ini kan, mas?" ucap Fara kesal. <span;>"Jadi kamu maunya gimana? Kamu mau belanja? Ya sudah, kamu beli saja apa yang kamu mau. Kamu boleh belanja sebanyak-banyaknya, asal jangan ngambek dan merengek seperti ini," kata I
<span;>"Ada apa, Lusy? Kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Ivan sambil terus melangkah menjauh dari tolet. <span;>"Aku cemburu," sahut Lusy di seberang telepon. <span;>"Jangan begitu dong, sayang. Bagaimanapun juga Fara itu adalah istriku. Lagi pula selama ini aku kan lebih banyak menyisihkan waktuku untukmu," bujuk Ivan lembut. <span;>"Tapi aku selalu merasa cemburu tiap kali mas sedang bersama Fara." Terdengar suara Lusy yang seperti merajuk. <span;>"Tidak usah cemburu. Kamu tetap kesayanganku." Ivan merayu hingga di seberang sana terdengar Lusy tertawa merdu. <span;>"Betulkah aku kesayangan Mas Ivan?" Lusy memancing sebuah rayuan. <span;>"Ya, tentu saja. Kalau bukan kesayangan, mana mungkin aku lebih memilih melewati malam bersamamu dari pada bersama Fara?" <span;>Lusy pun kembali tertawa merdu. Ivan membayangkan betapa cantiknya wajah Lusy jika s
<span;>"Fara, tolong buatkan aku kopi dan bawa kemari. Pagi ini aku hanya ingin minum kopi," kata Ivan sambil duduk di sofa kesayangannya yang ada di dekat jendela kamar. <span;>"Tidak sarapan?" tanya Fara. <span;>Ivan menggeleng. "Malas. Nanti saja di kantor," jawabnya. <span;>Fara pun bergegas ke dapur dan membuatkan Ivan secangkir kopi. Meski Ivan masih tetap bersikap dingin, tapi Fara selalu berusaha untuk melayaninya dengan baik. Bukan bermaksud menghiba cinta dari suaminya itu. Tapi Fara hanya ingin melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. <span;>Tak lama Fara kembali. Dilihatnya Ivan sedang duduk melamun sambil membuang pandangannya keluar jendela. Entah apa yang dipikirkannya. Rasa-rasanya selama ini Fara tidak pernah melihat Ivan melamun seperti itu. Biasanya, jika Ivan duduk di sana, dia pasti akan asyik dengan ponselnya. Tapi pagi ini terlihat lain. Ivan tampak merenung seolah sedang memiki
<span;>Fara duduk melamun di teras rumah orangtuanya. Rasa jenuh mulai menghinggapi. Ingin jalan keluar rumah, tapi dia teringat larangan dari suaminya. Tidak boleh keluyuran, pesannya. Tapi kalau cuma berkutat di rumah seharian setiap hari seperti ini, Fara benar-benar merasa bosan. Rasanya waktu yang terlewati begitu kosong. Apa lagi tak ada yang dinantinya di sore hari. Dari pagi hingga malam Fara merasa seorang diri. Seluruh waktu yang berjalan benar-benar hanya untuk dirinya sendiri dan harus dia lewati dalam sepi. Hanya di rumah, tak boleh keluyuran sama sekali. Huh, sungguh menyebalkan! <span;>Jika tak boleh keluar rumah, mungkin lebih baik Riska saja yang ku suruh datang kemari untuk menemani, pikir Fara akhirnya. Semoga saja Riska ada waktu. Sebab sahabatnya itu seringkali disibukkan dengan urusan ibu rumah tangga. Maklumlah, dia punya dua orang anak yang masih kecil-kecil. <span;>Fara pun menghubungi nomor Riska. Segera terdengar s
<span;>Pagi itu Fara kembali ke rumah mertuanya. Seperti rencananya, dia ingin menelepon Ivan dan memintanya untuk pulang. Fara ingin tahu apa jawaban dari suaminya nanti. Ingin tetap menghabiskan akhir minggunya di Bandung, atau mau mengikuti keinginannya untuk segera pulang? <span;>Ketika Fara menelepon, ternyata nomor Ivan tidak aktif. Fara pun mencoba lagi. Tapi masih tetap tak terhubung. Beberapakali mencoba, tetap seperti itu hingga perasaan Fara pun menjadi gundah. Berbagai macam pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Kenapa harus dimatikan seperti ini? Bukankah sebelum Ivan berangkat Fara telah berpesan supaya ponsel suaminya itu tetap aktif? <span;>Kenapa hp-mu tidak aktif, mas? Apa kamu sengaja menghindariku? Apa mungkin kamu sibuk mengurus pekerjaan di Sabtu pagi seperti ini hingga hp-mu di non aktifkan? Ah, rasanya tidak. Entah mengapa hati kecilku berkata, kamu tak ingin aku mengganggumu. <span;>Fara menunggu.
<span;>Matahari baru saja tenggelam ketika Ivan sampai di rumah. Dia pun langsung bergegas menuju kamarnya. Kegagalannya untuk menikmati liburan bersama Lusy membuatnya malas berbasa-basi dengan kedua orangtuanya yang saat itu sedang duduk santai di ruang tengah. Ivan tahu ibunya pasti akan memberikannya pertanyaan sehubungan dengan kepergiannya keluar kota, dan sungguh Ivan enggan untuk menjawabnya. Sebab alasan keluar kota untuk satu urusan pekerjaan hanyalah kebohongan yang dikarangnya saja. Jadi Ivan enggan untuk memperpanjang kebohongannya itu di depan kedua orangtuanya. <span;>Sambutan tak hangat diberikan Fara ketika Ivan masuk. Wajah cemberut langsung diperlihatkannya begitu Ivan melangkah memasuki kamar. Dia kesal karena Ivan baru pulang saat hari menjelang malam. Padahal waktu yang ditempuh dari Bandung paling hanya beberapa jam saja. Tidak perlu menghabiskan waktu seharian seperti ini. Apa lagi setelah percakapan di telepon tadi pagi, hp Ivan kemba
"Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i