<span;>"Ada apa, Lusy? Kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Ivan sambil terus melangkah menjauh dari tolet.
<span;>"Aku cemburu," sahut Lusy di seberang telepon.<span;>"Jangan begitu dong, sayang. Bagaimanapun juga Fara itu adalah istriku. Lagi pula selama ini aku kan lebih banyak menyisihkan waktuku untukmu," bujuk Ivan lembut.<span;>"Tapi aku selalu merasa cemburu tiap kali mas sedang bersama Fara." Terdengar suara Lusy yang seperti merajuk.<span;>"Tidak usah cemburu. Kamu tetap kesayanganku." Ivan merayu hingga di seberang sana terdengar Lusy tertawa merdu.<span;>"Betulkah aku kesayangan Mas Ivan?" Lusy memancing sebuah rayuan.<span;>"Ya, tentu saja. Kalau bukan kesayangan, mana mungkin aku lebih memilih melewati malam bersamamu dari pada bersama Fara?"<span;>Lusy pun kembali tertawa merdu. Ivan membayangkan betapa cantiknya wajah Lusy jika s<span;>"Fara, tolong buatkan aku kopi dan bawa kemari. Pagi ini aku hanya ingin minum kopi," kata Ivan sambil duduk di sofa kesayangannya yang ada di dekat jendela kamar. <span;>"Tidak sarapan?" tanya Fara. <span;>Ivan menggeleng. "Malas. Nanti saja di kantor," jawabnya. <span;>Fara pun bergegas ke dapur dan membuatkan Ivan secangkir kopi. Meski Ivan masih tetap bersikap dingin, tapi Fara selalu berusaha untuk melayaninya dengan baik. Bukan bermaksud menghiba cinta dari suaminya itu. Tapi Fara hanya ingin melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. <span;>Tak lama Fara kembali. Dilihatnya Ivan sedang duduk melamun sambil membuang pandangannya keluar jendela. Entah apa yang dipikirkannya. Rasa-rasanya selama ini Fara tidak pernah melihat Ivan melamun seperti itu. Biasanya, jika Ivan duduk di sana, dia pasti akan asyik dengan ponselnya. Tapi pagi ini terlihat lain. Ivan tampak merenung seolah sedang memiki
<span;>Fara duduk melamun di teras rumah orangtuanya. Rasa jenuh mulai menghinggapi. Ingin jalan keluar rumah, tapi dia teringat larangan dari suaminya. Tidak boleh keluyuran, pesannya. Tapi kalau cuma berkutat di rumah seharian setiap hari seperti ini, Fara benar-benar merasa bosan. Rasanya waktu yang terlewati begitu kosong. Apa lagi tak ada yang dinantinya di sore hari. Dari pagi hingga malam Fara merasa seorang diri. Seluruh waktu yang berjalan benar-benar hanya untuk dirinya sendiri dan harus dia lewati dalam sepi. Hanya di rumah, tak boleh keluyuran sama sekali. Huh, sungguh menyebalkan! <span;>Jika tak boleh keluar rumah, mungkin lebih baik Riska saja yang ku suruh datang kemari untuk menemani, pikir Fara akhirnya. Semoga saja Riska ada waktu. Sebab sahabatnya itu seringkali disibukkan dengan urusan ibu rumah tangga. Maklumlah, dia punya dua orang anak yang masih kecil-kecil. <span;>Fara pun menghubungi nomor Riska. Segera terdengar s
<span;>Pagi itu Fara kembali ke rumah mertuanya. Seperti rencananya, dia ingin menelepon Ivan dan memintanya untuk pulang. Fara ingin tahu apa jawaban dari suaminya nanti. Ingin tetap menghabiskan akhir minggunya di Bandung, atau mau mengikuti keinginannya untuk segera pulang? <span;>Ketika Fara menelepon, ternyata nomor Ivan tidak aktif. Fara pun mencoba lagi. Tapi masih tetap tak terhubung. Beberapakali mencoba, tetap seperti itu hingga perasaan Fara pun menjadi gundah. Berbagai macam pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Kenapa harus dimatikan seperti ini? Bukankah sebelum Ivan berangkat Fara telah berpesan supaya ponsel suaminya itu tetap aktif? <span;>Kenapa hp-mu tidak aktif, mas? Apa kamu sengaja menghindariku? Apa mungkin kamu sibuk mengurus pekerjaan di Sabtu pagi seperti ini hingga hp-mu di non aktifkan? Ah, rasanya tidak. Entah mengapa hati kecilku berkata, kamu tak ingin aku mengganggumu. <span;>Fara menunggu.
<span;>Matahari baru saja tenggelam ketika Ivan sampai di rumah. Dia pun langsung bergegas menuju kamarnya. Kegagalannya untuk menikmati liburan bersama Lusy membuatnya malas berbasa-basi dengan kedua orangtuanya yang saat itu sedang duduk santai di ruang tengah. Ivan tahu ibunya pasti akan memberikannya pertanyaan sehubungan dengan kepergiannya keluar kota, dan sungguh Ivan enggan untuk menjawabnya. Sebab alasan keluar kota untuk satu urusan pekerjaan hanyalah kebohongan yang dikarangnya saja. Jadi Ivan enggan untuk memperpanjang kebohongannya itu di depan kedua orangtuanya. <span;>Sambutan tak hangat diberikan Fara ketika Ivan masuk. Wajah cemberut langsung diperlihatkannya begitu Ivan melangkah memasuki kamar. Dia kesal karena Ivan baru pulang saat hari menjelang malam. Padahal waktu yang ditempuh dari Bandung paling hanya beberapa jam saja. Tidak perlu menghabiskan waktu seharian seperti ini. Apa lagi setelah percakapan di telepon tadi pagi, hp Ivan kemba
Ivan membuka pintu. Dibuatnya sedikit celah dan ditutupi oleh badannya hingga ibunya tak bisa melihat ke dalam kamar. Sikapnya dibuat setenang mungkin agar ibunya tak curiga kalau sedang ada pertengkaran antara dia dan Fara. "Ada apa, Van?" tanya ibunya dengan wajah cemas. "Tidak ada apa-apa, ma. Memangnya ada apa?" Ivan balas bertanya dengan wajah polos. Bu Elsa, ibunya pun menatapnya dengan pandangan menyelidik. Sangat jelas terlihat jika dia tidak percaya pada pengakuan putranya yang mengatakan tidak ada apa-apa. Karena Bu Elsa yakin sekali kalau tadi dia mendengar suara Fara yang menjerit marah. "Mana Fara?" tanya Bu Elsa dengan wajah serius. "Fara..., ada, ma. Mama ada perlu dengan Fara?" jawab Ivan sedikit gugup. "Apa dia baik-baik saja? Tadi mama dengar Fara menjerit marah," kata Bu Elsa hingga Ivan semakin gugup. Dan rupanya Bu Elsa bisa melihat kegugupan putranya itu dengan jelas. Pandangan matanya kembali penuh se
Fara terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa sakit. Dia mengeluh pelan ketika cahaya lampu kamar yang masuk ke matanya membuat kepalanya terasa semakin pusing. Dengan segera Fara pun kembali memejamkan matanya. Dan dengan satu tangan dia memijat perlahan kepalanya yang terus berdenyut sakit. "Sudah bangun?" Terdengar suara Ivan bertanya. Fara tak menyahut. Dia diam sambil terus memijat kepalanya. "Kepalamu masih sakit?" tanya Ivan lagi. "Ya." Fara menyahut dengan suara yang pelan. "Kalau begitu tidur saja lagi. Aku sudah minta bibik supaya mengantarkan sarapanmu kemari. Jadi kamu tidak perlu turun ke bawah." "Baik sekali," sahut Fara sedikit sinis. Ivan yang sedang merapikan kemejanya di depan cermin itu pun menoleh pada Fara. "Apa aku pernah jahat padamu?" tanyanya. "Apakah berkhianat itu bukan satu perbuatan yang jahat?" Fara balik bertanya. "Jangan memulai lagi, Fara. Atau aku akan b
Fara menoleh Ketika terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Hari ini Fara memang mengurung diri di kamar. Dari pagi sampai siang, Fara tak beranjak dari tempat tidurnya. Pikirannya masih kacau dan kepalanya masih berdenyut sakit. Tapi untunglah ibu mertuanya tak banyak bertanya. Mungkin karena ibu mertuanya itu mengira jika Fara memang sedang sakit dan butuh istirahat. Jadi Fara bisa menghabiskan waktunya di dalam kamar tanpa takut diberikan pertanyaan oleh mertuanya itu. "Ya?" tanya Fara tanpa beranjak dari tempat tidur. "Ini Fiona, mbak. Boleh aku masuk?" Terdengar suara Fiona dari balik pintu. "Ya, masuk saja, Fi. Pintunya tidak dikunci," sahut Fara. Pintu terbuka perlahan dan wajah cantik Fiona pun menyembul. Dia tak segera melangkah masuk. Perempuan muda itu berdiri menatap Fara dengan wajah cemas. "Mbak Fara sakit?" tanya Fiona pelan. Fara menggeleng. "Tidak. Cuma sedikit pusing saja. Sini, Fi, masuk," panggilnya.
Hari-hari pun berlalu. Ivan memenuhi janjinya untuk menghabiskan waktunya bersama Fara. Setiap sore selepas jam kerja usai, dia pun segera pulang ke rumah tanpa nongkrong-nongkrong dulu bersama dengan teman-temannya di cafe. Atau menikmati sore yang indah dulu bersama Lusy seperti yang dahulu sering dia lakukan. Ivan benar-benar ingin membuat Fara diam dan tak membongkar perbuatan buruknya pada orangtuanya. Predikat laki-laki sempurna yang selama ini melekat padanya harus bisa dia pertahankan. Jika memang satu hari nanti pernikahannya dengan Fara harus berakhir, maka itu haruslah datang dari Fara. Bukan karena kesalahannya atau kekurangannya sebagai seorang suami. Fara pun merasa senang. Karena setidaknya Ivan mau memenuhi janjinya. Meski Fara tak tahu apakah semua itu bisa berlangsung lama. Karena selama Ivan menutup hati untuknya, maka suaminya itu mungkin tidak akan bisa bertahan lama untuk tetap diam di sisinya. Dia pasti akan mencari kesenangan lain diluar sana. Tapi
"Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk
"Pulanglah, mas," pinta Fara dengan suara yang bernada lembut. Entah mengapa sesungguhnya hatinya tak tega untuk mengusir Ivan dengan tegas. Meski Ivan telah menyakiti hatinya, tapi Fara tak mampu untuk bersikap kasar pada suaminya itu. Ada luka yang dalam terpancar lewat tatapan Ivan yang dapat Fara lihat dengan jelas tiapkali mereka beradu pandang. Luka? Sungguhkah dia terluka dengan perpisahan ini? Ah, hati Fara bertanya ragu. "Pulanglah." Fara mengulangi kata-katanya karena Ivan tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ivan menggeleng. "Tidak sebelum aku mendengar jawaban 'ya' darimu." Fara menghela napas panjang. Dia bingung tak tahu lagi harus berkata apa pada suaminya itu. Mestinya Ivan bisa mengerti kalau Fara bersungguh-sungguh menginginkan perceraian mereka. Bukankah tiapkali dia datang Fara selalu menolaknya? Tapi kenapa suaminya itu malah semakin gencar berusaha membujuknya untuk mau kembali? Bahkan suaminya itu seperti mengenyampingkan harga dirinya yang dulu selalu d
Seperti biasa sepulang dari bekerja Ivan melajukan mobilnya menuju ke rumah Fara. Tapi kali ini dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak jauh dari rumah istrinya itu. Sebab dia melihat ada motor Gilang terparkir di sana. Dengan perasaan cemburu Ivan memperhatikan tanpa kedip. Tapi pemuda yang menjadi saingannya itu tak terlihat sama sekali. Tembok pagar rumah Fara menghalangi pandangan Ivan untuk memantau apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu di sana. Pikiran Ivan pun melayang membentuk gambar-gambar yang membuat rasa cemburunya semakin menggelora. Pasti pemuda ingusan itu sedang duduk bersama Fara, pikir Ivan kesal. Pasti dia sedang melancarkan rayuan gombalnya pada Fara! Oh, apakah Fara bahagia mendengar rayuannya? Apakah dia tersipu malu? Brengsek betul aku tidak dapat melihat mereka dari sini! Tapi aku yakin! Aku yakin kalau pemuda itu sedang merayu istriku! Berani betul dia merayu Fara! Fara masih istriku! Aku dan dia belum resmi bercerai! Kurangajar! Betul-betul
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i