Senja tertegun dengan ucapan sahabatnya. Meski kadang suka kebingungan dalam mengambil sikap, nyatanya Nina juga temannya yang cerdas dalam memperhatikan keadaan sekitar. Terlebih karena mendapatkan pengalaman dari orang tuanya yang broken home. Orang tuanya bercerai ketika Nina masih kelas tiga SMA.Jadi ia tidak perlu lagi mempermasalahkan Sabda kapan akan bilang I Love You padanya. Nina saja yang tiap hari mendapatkan ucapan itu saja, nyatanya hubungan mereka belum tahu akan di bawa ke mana."Ja, beneran kamu harus banyak bersyukur. Kamu mendapatkan suami yang nggak hanya keren secara fisik. Tapi juga sangat baik dari sikapnya dalam menghormati wanita. Memang sih, jadi pria macho adalah impian tiap lelaki. Makanya sebagian besar mereka berusaha menumbuhkan otot di tubuhnya. Berbadan sehat, terlebih kalau sampai six pack, wih tambah bikin wanita klepek-klepek. Tetapi kejantanan fisik saja nggak cukup bikin perempuan bahagia jika nggak diimbangi oleh sikap mengayomi. Lihatlah suamimu
Sabda berdiri di depan pintu yang ada nama panjang beserta gelarnya di sana, tapi Sabda enggan membaca. Cukup ia tahu kalau dia itu dipanggil Pak Dion. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana sambil menunggu Nina mengetuk pintu."Masuk," suara berat terdengar dari dalam.Nina memutar handle pintu. "Permisi Pak Dion, ini ada Pak Sabda ingin bertemu.""Persilakan masuk, Nin."Gadis itu mengangguk kemudian memandang pada Sabda yang berdiri di belakangnya. "Silakan masuk Mas Sabda. Aku tinggal turun ya.""Oke. Terima kasih."Setelah Nina pergi, Sabda masuk dan kembali menutup pintu. Seorang pria penuh wibawa duduk di kursi putar belakang meja. Wajahnya lumayan tampan, tapi ada bekas goresan luka lama di pelipis kirinya. Mungkin pernah terluka sewaktu kecil dulu."Selamat pagi, Pak Dion. Saya Sabda, suaminya Senja!" Sabda memperkenalkan diri. Kedua pria berdiri dan saling berjabatan tangan. Pak Dion tersenyum. "Silakan duduk Pak Sabda.""Terima kasih." Sambutan yang sangat sopan membua
Sementara Sabda yang telah sampai di kantor segera menemui Anggit dan mengajaknya membahas mengenai laporan yang harus segera di selesaikan. Dia ingin lekas menjemput Senja ke rumah sakit. Dalam perjalanan tadi Senja sudah mengirimkan pesan kalau dokter sudah mengizinkannya pulang.Anggit yang masuk ke ruangannya membawa laptop, beberapa map berisi berkas, dan tablet untuk mencatat. "Semua sudah selesai apa belum?" tanya Sabda."Sudah, Pak. Silakan Pak Sabda cek."Sabda sibuk memeriksa laporan, sedangkan Anggit memperhatikan sambil mencatat apa yang penting dan hendak di sampaikan kepada atasannya."Kabar Bu Senja bagaimana, Pak?" tanya Anggit setelah dilihatnya Sabda selesai menandatangani beberapa berkas."Alhamdulillah, hari ini sudah boleh pulang. Makanya saya harus cepat-cepat menyelesaikan ini biar bisa menjemputnya di rumah sakit.""Syukurlah. Nanti saya kepengen membesuk di rumah. Bolehkan, Pak?"Sabda menatap sekilas asistennya. Kemudian pria itu mengangguk. Anggit sudah emp
Senja lega bisa memandang sunset dari jendela rumahnya. Semburat jingga di cakrawala barat selalu di sukainya, seperti ia mencintai namanya. Rambutnya yang panjang dibiarkannya basah tanpa di keringkan pakai hairdryer. Sudah beberapa hari ini ia tidak keramas, tadi di bantu suaminya untuk membasuh rambutnya. Sabda memang suami yang perfect, seperti kata Nina."Kenapa tersenyum-senyum sendiri di sini?" Sabda menegurnya. Kemudian ikut berdiri menatap ufuk barat. "Senja," gumamnya sambil memandang warna yang indah di sana. Senja tersenyum. Hari-harinya akan seperti ini, dia akan lebih banyak kesepian kalau suaminya bekerja. Dia akan di temani Mbak Nur seminggu paling tidak tiga sampai empat hari. Yang tiga hari dia akan ada di apartemen untuk beres-beres di sana. Mbak Nur ada kalau siang saja, sorenya akan pulang ke rumah karena dia masih punya anak yang masih sekolah dasar."Jadi, nanti malam aku ikut nggak, Mas? tanya Senja setelah duduk di kursi meja makan bersama suaminya."Kamu akan
Senja kemudian menunduk dan melanjutkan menyuap makanan. Dadanya berdebar dua kali lipat dari sebelumnya. Ada yang menghantam di dalam sana, rasa cemburu yang melonjak tiba-tiba dan menyesakkan dada. Perutnya juga terasa menegang. Senja menoleh pada sang suami ketika pria itu meraih jemarinya. "Kita pulang," bisik Sabda."Iya, sebentar lagi Mas. Aku habiskan dulu nasinya," jawab lirih Senja. Meski kecewa dalam dada dan khawatir dengan bayinya, Senja masih terpikirkan untuk menjaga sikap di hadapan keluarga dan tamu mertuanya. Ketenangan yang berusaha ditunjukkan Senja justru menyulut rasa iri di hati Bela. Terlebih gadis itu melihat Sabda yang tak lagi memandang layar televisi yang menampilkan beberapa kebersamaan mereka yang di rekam keluarga waktu itu.Dua perempuan dalam perasaan cemburu dan iri. Dua rasa yang memiliki arti berbeda. Iri itu perasaan menginginkan sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Sementara cemburu lebih ke perasaan takut kehilangan dan rasa ingin melindungi pa
Akhirnya Citra pulang ke rumah orang tuanya. Dikarenakan sakit, dia memakai kamar di lantai satu yang biasa di tempati adiknya. Sekarang si bungsu itu sedang kuliah di luar kota dan hanya pulang sebulan sekali."Ikutilah saranku, Mas. Kita tinggal terpisah. Siapa tahu dengan begini kita tahu apa yang kita inginkan dalam pernikahan kita." Citra mengulangi kalimat yang diucapkan di rumah sakit tadi. Ketika mereka sedang duduk berdua di tepi ranjang."Orang tua kita akan curiga."Citra tersenyum getir. Alasan ini yang pada akhirnya menjebak Arga bertindak hingga kehilangan kekasihnya. Dia terlalu memikirkan apa perasaan orang tuanya tanpa bisa berjuang untuk orang yang dicintainya. Akhirnya dia juga yang mendapatkan imbas dengan pernikahan yang penuh kepalsuan. "Mas, bisa beralasan kalau sibuk dengan pekerjaan. Jangan khawatir, aku akan membantu bicara."Hening. Keduanya saling diam sambil memandang tembok yang di cat warna krem di hadapannya. Terbawa arus perasaan masing-masing. Arga de
Citra semakin speechless mendengar penuturan Sabda. Andai saja Bela mendengar semua ini, dia bisa menangis darah karena menyesal kenapa meninggalkan lelaki seperti Sabda. Atau nangis guling-guling dan berteriak histeris. Betapa bodohnya gadis itu. Tak menyadari ada permata di genggaman tangannya."Mas Sabda bukan seperti pria umur tiga puluhan. Kata-kata Mas jauh lebih dewasa dari usiamu."Sabda tertawa. "Bisa saja kamu. Tapi inilah hasil sharingku dengan papa. Tiap ada waktu kami nge-gym bareng, main bulutangkis, atau futsal. Di sela waktu itulah papa mengajakku bicara, bukan menasehati tapi berbagi. Papa selalu menerapkan sharing karena putranya bukan anak kecil lagi."Citra paham sekarang. Sabda dibesarkan dengan didikan penuh tanggung jawab oleh seorang ayah. "Tapi aku tidak sesempurna yang kamu nilai, Citra. Sampai sekarang aku belum bisa meluluhkan hati mamaku untuk menerima Senja.""Mas Sabda, tetap luar biasa. Aku yakin sebenarnya Tante sudah tersentuh dengan ketulusan kalian
Two months later ...."Ja, ingat kata dokter tadi, jangan punya rasa cemas yang berlebihan. Stres bisa mengacaukan kesehatan kamu dan kondisi bayi kamu. Alhamdulillah plasentanya sudah normal dan tak ada kendala apapun." Bu Hanum menasehati putrinya saat mereka duduk berdua di kafe sebuah mall.Sudah dua minggu ini Bu Hanum tinggal di rumah Senja. Sebenarnya beliau ingin menemani hingga putrinya melahirkan, hanya saja jadwal berangkat umroh yang selalu mundur dan akhirnya bentrok dengan hari perkiraan kelahiran cucu pertamanya.Hari ini Senja hanya di temani sang ibu untuk melakukan pemeriksaan ke dokter. Kebetulan Sabda sedang banyak pekerjaan di kantor. Di samping itu, Sabda memang sengaja memberikan waktu pada istri dan mertuanya untuk jalan-jalan hanya berdua. "Kamu harus tenang, santai saja. Ibu akan doakan kamu dari tanah suci, semoga proses lahiran lancar.""Aamiin.""Kalau Pakdhemu nggak sakit waktu itu kami sudah berangkat bulan kemarin.""Nggak apa-apa, Buk. Semoga ibuk dan
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba