Sementara Citra hanya membatin dalam hati. Pria mana yang tahan di rendahkan terus menerus. Mentang-mentang ia kaya dan punya jabatan tinggi di perusahaan, lantas seenaknya terhadap suami. Memerintah suami sesuka hati, tanpa adanya sikap menghargai. Padahal Fatih juga berasal dari keluarga berada. Orang tuanya pengusaha tambang batubara. Tapi Nindy masih bersikap seenaknya. Mungkin ini alasan Fatih menduakannya. Bahkan setelah semuanya terbongkar, suami kakak iparnya itu tidak menunjukkan penyesalan. Malah memberikan dua pilihan, bercerai atau di madu. "Aku mau cerai saja, Ma. Aku nggak sudi di madu dengan perempuan itu. Aku sudah menghubungi pengacara tadi pagi. Dalam minggu ini berkas gugatan akan masuk ke pengadilan.""Kamu serius?" tanya Pak Dipta."Tampaknya Fatih juga nggak bisa lepas dari perempuan itu."Bu Yola hanya diam. Hatinya juga ikut merasakan sakit, seperti yang di rasakan putri kesayangannya. Apa yang tidak mustahil, setiap hari waktu Fatih lebih banyak dengan seling
Sabda termenung di depan laptopnya hingga jam sebelas malam. Dia sedang berbincang dengan Candra via email. Setelah Bela menarik diri jadi investor, ada dua orang lagi yang mundur juga. Padahal segala perencanaan untuk proyek baru sudah matang dan siap di kerjakan. Suntikan dana ini sangat penting demi keberlangsungan proyek untuk memenuhi aset proyek, saham, dan pembagian keuntungan. Tiga investor mundur dan ini sangat terasa bagi Sabda. Sebab mereka semua adalah investor-investor besar.[Kita sudah kehilangan tiga investor, Mas. Tahu nggak ini semua imbas dari masalah pribadi kita. Masalahmu juga masalahku.] Tulis Sabda pada sang kakak.[Aku usahakan dalam dua hari ini bisa pulang dan membahasnya denganmu. Jika mertuaku nggak sakit seperti ini, beliau bisa kunego untuk jadi investor.][Kita berdua diuji menangani proyek ini. Papa ingin tahu sejauh mana kemampuan kita. Please, jika urusan Mas telah selesai, sempatkan untuk pulang dan kita bahas ini.][Aku akan segera pulang. Maaf, ka
Sabda diam, menatap Anggit sejenak kemudian beralih pada layar laptop yang menyala. Sekarang dirinya memang perlu untuk memiliki media sosial. Sebagai pekerja profesional, memang penting memiliki media sosial yang di update secara berkala. Namun sejak dulu dia paling malas untuk memiliki akun di sana. "Oke, kamu yang bikin akunnya dan meng-handle semuanya."Anggit mengangguk, tambah satu lagi pekerjaannya. Tapi ya, memang begitulah salah satu tugas seorang asisten pribadi. Mulai dari mempersiapkan agenda kegiatan harian sampai beberapa hari berikutnya, menyiapkan materi presentasi klien, mengatur jadwal meeting, dan termasuk meng-handle akun profesional media sosial si bos. Mungkin bosnya tadi tidak kepikiran dengan akun di media sosial, karena diingatkan jadinya Sabda melimpahkan itu padanya."Baiklah, Pak. Saya permisi dulu. Habis ini saya akan menelepon Ibu." Anggit mengambil tabletnya dan segera keluar ruangan.Sabda menatap layar laptop, ada email masuk dari kakaknya. Ada kabar
Radja meringkuk di gendongan Sabda setelah habis di susui oleh Senja. Pria itu duduk di salah satu bangku besi depan sebuah minimarket di salah satu pusat perbelanjaan sambil menunggu istrinya yang sedang berbelanja. Mereka tadi sengaja tidak membawa stroller.Dia tidak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya. Sabda tetap asyik mengajak bayinya bicara. Radja anteng melihat papanya yang menatap penuh cinta. Bayi itu menunjukkan responnya dengan tatapan bening matanya yang sering berkedip-kedip. Sabda ingin menjadi papa yang hebat seperti papanya.Tanpa di sadari Sabda, ada Arga dan Citra yang datang menghampirinya. "Wah, Papa muda lagi momong ini," seloroh Citra yang membuat Sabda mengangkat wajahnya. Pria itu tersenyum. "Hai, dari mana kalian?""Mau belanja. Senja mana?""Lagi belanja juga di dalam."Citra menunduk, menyentuh tangan Radja yang berada dalam dekapan sang papa. "Pipimu makin tembam aja, Nak."Ketika Citra asyik mengajak bicara bayi laki-laki itu, Arga hanya diam.
Senja baru saja menyusui Radja dan menidurkannya di box. Bayinya sudah anteng dan dia tinggal bersiap-siap ke kantor suaminya. Rok plisket panjang warna army, blouse putih bermotif floral, dan jilbab warna senada dengan roknya sudah ia siapkan sejak pagi. Sebenarnya Sabda mengajaknya berangkat bersama, tapi Radja tadi masih belum mandi dan belum minum ASI.Baru saja keluar dari kamar mandi, pintu kamarnya diketuk dari luar. "Ya, sebentar!" gegas dia membuka pintu.Bu Airin sudah berdiri di sana dengan pakaian muslimah warna merah maroon. Senja buru-buru menyembunyikan rasa kagetnya. Berucap syukur jika ibu mertuanya sudah bisa berubah. Padahal hari Sabtu waktu mereka datang ke sana, Bu Airin hanya memakai baju rumahan biasa. Mungkin saja karena di dalam rumah, ketika keluar sang mertua sudah merubah penampilan."Radja mana?" tanya Bu Airin sambil masuk kamar."Baru saja nenen, Ma. Sekarang tidur. Mama nyetir sendiri?""Enggak, di antar Pak Cipto. Nanti biar Pak Cipto saja yang nganter
"Bisa kita bicara di luar sebentar?" kata Bela berdiri di depan Sabda. Ketika itu Candra juga memandangnya. Seorang consultant project juga sempat menatap sekilas."Bicara di sini saja," jawab Sabda."Kenapa nggak ada surat perjanjian investasi untuk perusahaan kami?" tanya Bela dengan suara cukup keras. Daripada nanti menjadi pusat perhatian yang lain, Sabda berdiri dan mengajak gadis itu duduk di kursi terpisah yang ada di pojok ruangan."Karena kamu sudah membatalkannya," jawab Sabda tenang, karena sebagian dari peserta rapat tetap memperhatikan mereka berdua. Termasuk Senja."Tadi sudah aku bilang kalau nggak jadi narik invest kami.""Ini sebuah bisnis, Bu Bela. Jadi kita harus sportif dan profesional. Bukan sesuka hati main cabut dan kembali bergabung. Kami tidak sedang bermain-main." Emosi Sabda terpancing.Bela terdiam sejenak. Sedangkan Sabda berdiri lagi untuk mendekati sang kakak dan memintanya untuk mengalihkan perhatian para anggota rapat yang lain, supaya tidak mendengar
Candra berjalan menjajari langkah istrinya meski Tata tidak begitu meresponnya. Memang tak semudah itu mendapatkan maaf, setelah apa yang telah dilakukan Candra pada Tata. Pengkhianatan yang sudah kelewat batasnya. Tata dan mertuanya masih bersedia kerjasama saja itu sudah sangat baik. Candra harus bersabar untuk mengambil hati istrinya kembali.Setelah mengambil makan siang, Sabda mengajak istrinya mengambil tempat duduk paling pinggir. Ia tahu kalau ada yang ingin dibicarakan oleh istrinya. Mereka duduk berdampingan di meja yang menghadap ke dinding. "Ada yang ingin kamu tanyakan?""Kenapa jumlah uang yang ditulis di surat perjanjian nggak sesuai yang aku bilang kemarin, Mas? Kata Anggit tadi, Mas yang memberitahu kalau nominal investasiku sebesar satu miliar," jawab Senja sambil menyuap nasi berlaukan sup buntut, perkedel kentang, dan tempe goreng."Mana ponselmu? Coba kamu cek I-banking punyamu?"Senja mengambil ponselnya dari dalam tas. Ia segera membuka satu pesan yang masuk dar
Entahlah, melihat Senja tampak was-was Sabda malah senang untuk terus menggodanya. Wajah yang bersemu merah antara malu dan mau terlihat sangat menggemaskan. Okelah, dia tidak mungkin akan melakukannya di kantor. Dia masih bisa berfikir waras agar tidak membuat kekacauan di perusahaan keluarganya. Meskipun mereka adalah pasangan suami istri. "Mas, ini kantor," protes Senja ketika Sabda memandangnya dengan tatapan penuh nafsu."Sesekali kita lakukan di kantor, mencari suasana baru." Sabda masih menunduk tepat di atas wajah istrinya."Kita lakukan di rumah nanti malam. Semaunya Mas, deh. Please jangan di sini!" Senja memohon dan membuat Sabda tersenyum makin lebar."Beberapa hari ini kita nggak ada waktu untuk itu, kan? Mas sibuk persiapan proyek ini.""Iya. Tapi bukan di sini. Memangnya Mas mau jadi gosip di kantor kalau bosnya ena-ena di ruangannya. Nanti jadi sorotan dan masuk berita online. 'Bos mesum di kantor bersama investornya'." Pikiran Senja jadi ke mana-mana. Membayangkan wa
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba